Thursday, December 21, 2006

NARASIMHA DAVANTI SIGHRAM

Enam purnama telah berlalu, tiga serangkai menjadi pusat perhatian di Cakravartin. Ada yang mengagumi, ada yang mencibir, ada yang bersikap biasa saja. Semuanya tidak berpengaruh sedikitpun pada Dimas, dia tetap merasa seperti apa adanya. Kehidupannya di asrama bersama Nyai Janis di dunia manusia lebih melekat kuat membentuk pribadinya yang selalu rendah hati. Bahkan Dimas merasa dia tidak seberuntung anak-anak lainnya yang masih memiliki kedua orang tua. Tapi untungnya dia memiliki dua sahabat yang tak jauh berbeda dengan dirinya. Kesamaan itu membuat mereka makin kuat.

Hari biasa setelah pelajaran usai, Dimas bergegas menuju ruangan Guru Naradharma. Raji dan Pafi mengejarnya dari belakang. Tak biasanya ada panggilan khusus dari Guru Naradharma. Dimas merasa panggilan ini begitu penting sehingga langkahnya begitu cepat.

“Selamat siang Guru Naradharma” Dimas menyapa orang tua itu saat tiba di ruangannya. Raji dan Pafi secara bersamaan juga memberikan salam.

“Ah, anak-anak terima kasih sudah mau segera memenuhi panggilanku. Aku hari ini ada berita untuk kalian. Kalian sudah diijinkan untuk ikut ritual pengenalan hewan gaib. Seharusnya ritual itu baru bisa kalian ikuti setelah di tingkat lanjut. Tapi Dewan guru menganggap kalian telah siap untuk mengikutinya.” Kata Guru Naradharma langsung pada pokok masalah. Dimas, Raji dan Pafi masih kebingungan dengan yang dimaksud oleh Guru Naradharma.

“Baiklah, ritual pengenal hewan gaib adalah ritual untuk mempertemukan hewan-hewan gaib dengan tuannya yang akan menjadi penunggangnya. Narasimha, Garuda adalah hewan gaib utama dalam ritual ini. Setelah hari ini nanti malam adalah purnama, kalian bisa datang ke halaman utama kuil pada tengah malam” Kata Guru Naradharma. Dimas, Raji dan Pafi berkerut heran, tapi dada mereka sudah mau meledak.

“Itu kalau kalian mau memiliki hewan tunggangan pribadi” kata Guru Naradharma dengan wajah yang tidak butuh dan membalikan badannya. Dimas tersenyum lebar menatap Raji dan Pafi yang nyaris teriak kegirangan.

Malam telah larut, Dimas tampak gelisah menunggu waktu tengah malam. Raji yang sejak masuk ke dalam kamar sudah langsung menempel dengan bantalnya sudah terkapar tak bergerak. Dimas duduk memandang keluar melalui jendela dimana cahaya bulan cemerlang masuk menyeruak memenuhi ruangan. Memandang ke halaman utama, tampak bayangan besar bergerombol di angkasa kemudian mendarat di halaman utama. Sekitar 20 an Garuda Kencana memenuhi halaman. Tak lama kemudian diikuti beberapa ekor Narasimha melompati pagar halaman mengaum keras dibalas teriakan para Garuda dan kepakan sayapnya.

“Raji….ji bangun, sudah waktunya” Dimas membangunkan Raji. Dengan mata yang masih lengket dengan belek, Raji berusaha bangkit dan mengikuti gerakan Dimas walaupun ubun-ubunnya belum terlalu penuh yang membuatnya sempoyongan.

“Kau sudah siap ?” Pafi menyambut di depan pintu saat Dimas keluar dari kamarnya. Dimas hanya mengangguk sambil menarik tangan Raji yang masih berusaha bertahan dari rasa kantuknya.

Halaman telah penuh dengan anak-anak tingkat dasar yang berkerumun bersebrangan dengan para Garuda dan Narasimha.

“Perhatian semua siswa tingkat dasar, saya Wanapati, Saya adalah pawang dari hewan-hewan ini dan akan menjadi pengawas malam purnama ini” Dimas mengenali orang yang berbicara di tengah lapangan.

“Satu per satu kalian akan berdiri di atas batu di tengah lapangan, jika ada diantara Garuda Kencana dan Narasimha yang bersedia menjadi tunggangan kalian”

“Sekarang mulai berbaris”

Semua siswa berebut berbaris berada pada yang paling belakang. Hanya Jilan yang tampil maju paling depan. Dimas berada di belakangnya kemudian Raji dan Pafi.

“Kamu yang paling depan, silahkan maju dan berdiri di atas batu itu” Wanapati menunjuk Jilan. Dengan wajah yang angkuh Jilan maju menuju batu yang teronggok tepat di tengah lapangan. Kepakan sayap para Garuda dan auman para Narasimha menyambut langkah Jilan yang begitu percaya diri.

“Ayo siapa yang mau menjadi tungganganku” Jilan berteriak ke arah para Garuda dan Narasimha. Serentak para Garuda dan Narasimha maju ke depan mendekati Jilan. Wajahnya terlihat mulai gemetar, semua Garuda dan Narasimha mengeluarkan suara-suara keras seakan tidak menyukai teriakan Jilan. Melihat situasi yang tidak baik Wanapati menarik tubuh Jilan dan menyeretnya kemudian mendorongnya kearah barisan. Para Garuda dan Narasimha kembali mundur.

“Kalian tidak akan mendapatkan tunggangan dengan kesombongan, meskipun hewan mereka sangat peka terhadap perilaku kalian. Para Garuda dan Narasimha bisa merasakan isi hati kalian. Maka bersikaplah rendah hati, kalau aku tidak melerai, tubuhmu sudah tercerai berai sejak tadi, yang tadi bisa menjadi contoh buat kalian. Jika hewan itu sudah bersedia kalian tunggangi, usaplah kepalanya dia akan memberitahu panggilannya untuk kalian.” Wanapati menunjuk Jilan yang berdiri gemetaran menyandar tembok.

“Sekarang giliranmu Dimas” Wanapati menatap Dimas dan tersenyum. Dimas tersenyum kecil menutupi rasa ragunya. Kemudian Dimas berjalan ke tengah lapangan dan berdiri di atas Batu. Sejenak Dimas ragu hanya berdiri tegak tak berbuat apapun, para Garuda dan Narasimha berteriak-teriak. Dimas kemudian membungkuk memberikan hormat kepada semua hewan itu, dan semua Garuda dan Narasimha berhenti berteriak dan mendekati Dimas. Dimas diam menahan nafas dan terus membungkuk. Di pinggir lapangan Wanapati tersenyum. Setelah sisa beberapa langkah para Garuda dan Narasimha itu membungkuk. Semua siswa memandang dengan kagum, Dimas perlahan bangkit dan memandang para Garuda dan Narasimha yang membungkuk bersedia menjadi tunggangan Dimas.

“Jarang sekali hal ini terjadi, Dimas, kau mendapatkan kesetiaan semua hewan itu, tapi kau tidak bisa memiliki semuanya. Kau harus memilih salah satu di antara mereka. Walaupun kau sudah memilih salah satunya, kau akan mendapatkan kesetiaan mereka selamanya, walaupun mereka sudah memiliki tuannya sendiri.” Kata Wanapati.

Dimas terdiam, dia memandangi satu persatu para Garuda dan Narasimha. Kemudian matanya berhenti pada seekor Narasimha yang seperti sudah dikenalnya, begitu akrab dengan dirinya. Dimas turun dari batu dan menghampirinya kemudian membelai kepala hewan tersebut. Dengan lembut hewan tersebut mengesekan bulu halus kepalanya ke tubuh Dimas.

“Aku ingat kau, aku ingat Sighram, Aku ingat matamu ketika pertama kali kita kembali bertemu. Sekarang aku ingat Ayah, Ibu dan kau” Dimas tak kuasa menahan derai air matanya.

“Nah Dimas, kau bisa menungganinya dan berjalan keliling kota agar hati kalian berdua semakin dekat” Wanapati menyadari keadaan yang berubah.

Dimas menaiki punggung Sighram dan Narasimha itu berbalik dan melompati pagar dan hilang bersama Dimas. Prosesi dilanjutkan oleh Pafi, Raji dan anak-anak lainnya. Raji dan Pafi memperoleh Garuda Kencana, walaupun Raji sempat jatuh saat menungganginya, tapi sekarang mereka berdua berada di angkasa kota Medanggana Raya mengikuti gerak Dimas yang berada di atas punggung Sighram.

Angin menyapu rambut Dimas, menyadari ada yang mengikutinya dari udara, Dimas mendongakan kepalanya ke atas. Pafi dan Raji melambaikan tangannya.

“Sighram kita berhenti di lapangan itu” Dimas menunjuk lapangan luas yang merupakan alun-alun kota. Garuda kencana Raji dan Pafi pun mendarat mulus di hadapan Sighram dan Dimas. Sighram mengaum kecil menyambut mereka.

“Kalian memilih Garuda Kencana rupanya” Dimas turun dari punggung Sighram. Raji dan Pafi tersenyum gembira juga turun dari punggung Garuda Kencananya.

“Kalian pasti sudah mengenal Davanthi Sighram, siapakah nama sahabat baru kalian ?” Dimas menghampiri Raji dan Pafi.

“Namanya Srigati, dia yang pertama maju menghampiriku dan membungkuk” Pafi menjelaskan dengan wajah sumringah.

“Kelihatannya dia seekor betina” kata Dimas

“Betul, Srigati seekor betina. Tadi kami banyak bercerita mengenai diri kami masing-masing. Umurnya baru 5 tahun atau setara dengan 18 tahun usia manusia” Pafi memeluk leher Srigati yang mengeluarkan suara lembut dari paruhnya.

“Kau sendiri bagaimana Raji” Tanya Dimas.

“Namanya Jethoraksa, dia menghampiriku dengan cepat dan melompat-lompat. Aku pikir aku akan mati dicabik-cabik. Ternyata dia tadi menjelaskan kalau dia senang bertemu dengan aku dan mengajaku bermain” Raji nyengir sambil menepuk punuk Jethoraksa. Garuda Kencana itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memekik ringan.

“Rupanya Jethoraksa sangat periang seperti dirimu Raji” Dimas tertawa melihat tingkah Jethoraksa yang terus menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengangkat sayapnya dan mengangkat-angkat kedua kakinya. Tampak benar seperti sedang kegirangan.

“Sighram kemarilah, kenalkan dirimu kepada Srigati dan Jethoraksa” Dimas melambaikan tangannya memanggil Sighram. Narasimha itu melenggang menghampiri dan berdiri di samping Dimas. Sighram langsung mengeluarkan auman keras kepada kedua Garuda Kencana itu bergantian yang dibalas dengan pekikan keras dari Srigati dan Jethoraksa.

“Ayo kita lanjutkan berkeliling kota, aku rasa itu baik sebagai latihan buat kita agar lebih mahir mengendarainya” Pafi dengan semangat mengajak Dimas dan Raji yang dianggukan keduanya tanda setuju. Mereka kembali ke punggung tunggangan mereka masing-masing.

Srigati menjejakan kaki sambil mengepakan sayapnya membawa Pafi melesat ke udara. Suara lengking Pafi yang khas bercampur dengan pekik Srigati memecah keheningan udara. Sementara Jethoraksa dan Raji pun tak mau kalah. Mereka melesat menyusul Pafi sambil sesekali melakukan maneuver berputar dan menukik.

“Ayo Jethoraksa, kita tunjukan kehebatan kita” Raji memegang erat leher Jethoraksa yang melakukan gerakan-gerakan tak terduga. Terkadang Raji lepas dari pegangannya tapi dengan lincah Jethoraksa menukik menangkap Raji persis di punggungnya. Raji kelihatan tidak menunjukan kengerian, wajahnya malah makin cengengesan dan tanpa henti memuji-muji Jethoraksa. Mendapat pujian dari majikannya Jethoraksa makin gembira.

Lain halnya dengan Pafi, tampaknya lebih berkonsentrasi dengan kecepatan dan ketinggian. Pafi memacu kecepatan dan memanjat tinggi sampai menembus awan. Pafi tidak melakukan maneuver-manuver seperti yang dilakukan Raji dan Jethoraksa.

“Ayo Srigati, kita lihat seberapa tinggi kemampuanmu mencapai angkasa” teriak Pafi sambil menepuk lembut punggung Srigati. Garuda Kencana itu menjawabkan dengan pekik kuat dan gerakan sayap yang makin kuat membelah ketinggian.

Sementara Dimas yang berada di punggung Sighram bergerak ringan melompat-lompat zig zag diantara nadisara di tengah kota.

Tak terasa mereka begitu asyik bermain semalaman, namun tak ada wajah kelelahan yang tampak. Sedang asyik beristirahat di bawah sebuah pohon beringin besar, mendarat seekor Garuda Kencana di depan mereka.

“Anak-anak kalian sebaiknya kembali ke asrama, waktunya sudah habis” Argaphati turun dari punggung Pavakah. Dimas bangkit dari sandarannya di punggung Sighram.

“Kalau kami kembali ke asrama, lalu dimana aku menempatkan Sighram ?” kata Dimas

“Mereka semua sudah tahu tempat tinggal mereka, kalau kalian memerlukannya kalian hanya perlu memanggil namanya saja. Angin akan membawa panggilan kalian. Jiwa kalian telah menjadi satu, jadi hanya dengan panggilan kecil saja mereka sudah mendengar dan bisa mengetahui dimana keberadaan kalian” Wanapati menyudahi dengan kembali ke punggung Pavakah. Tanpa banyak bicara Dimas menaiki punggung Sighram, diikuti Raji dan Pafi yang segera naik ke atas Jethoraksa dan Srigati.

Melesat ke angkasa menembus awan menjadi gerakan kesukaan Pafi, pagi masih begitu gelap, bintang masih terasa terang di angkasa. Sedangkan Raji selalu asyik dengan maneuver-manuver berputar dan menukiknya. Dimas merasakan babak baru yang lebih menakjubkan dalam hidupnya. Rasa bertualangnya makin besar bersama Sighram melesat menembus malam yang tinggal sepertiga. Petualangan besar menanti Dimas, Raji dan Pafi yang akan menentukan nasib dunia baru mereka.

No comments: