Thursday, December 21, 2006

ARYA NARAPATI

Di ruang belajar asrama, Dimas, Raji dan Pafi sedang mengerjakan PR mereka yang mulai bertambah banyak menjelang ujian akhir. Raji mulai pusing dengan semua tugas yang sedang dikerjakannya.

“Waduh… pusing aku mengerjakan semua PR gila ini, sejak pulang sekolah tadi nggak selesai-selesai. Apalagi ini sejarah Londo ini, heran aku, kok bangsa ini mau aja dijadikan Negara boneka Belanda. Kalo Pak Tardjo nggak minta-minta, mungkin kita sudah jadi Negara yang berdiri sendiri”

Raji terus menggerutu tentang PR sejarah nasional Negara Hindia Belanda yang sedang dikerjakannya. Saat itu tahun 1939, saat dimana akhirnya muncul Petisi Sutardjo mengenai Negara Hindia Belanda yang dikabulkan oleh Ratu Kerajaan Belanda setelah diajukan tiga tahun yang lalu. Sedangkan Dimas tampaknya tetap asyik dengan tangannya yang terus menuliskan PR nya.

“Kau tidak bisa diam apa…..berisik, memangnya kalau kita memiliki negara yang berdaulat sendiri akan ada perubahan yang lebih baik?”

Pafi menimpali gerutuan Raji sambil memandangnya menantang menunggu jawaban apa yang akan diberikan Raji kepadanya. Raji tak menyahut dan terlihat tidak peduli.

“Malas aku kerjakan PR bangsa londo ini, mendingan aku kerjakan sastra Jawa saja, karya bangsaku sendiri”

Raji menutup halaman buku sejarah belanda yang sedang digunakannya untuk membuat PR. Tangannya kemudian membuka buku lain tentang sastra jawa.

“Sudah kerjakan PR sastra Jawa belum, Mas” Raji melongokan kepalanya ke arah buku catatan yang sedang ditulis Dimas.

“Belum, aku masih kerjakan sekarang” Jawab Dimas singkat.

“Kamu merasa ada yang aneh gak, Mas, selama ini masyarakat kita begitu percaya dengan ramalan-ramalan prabu Jayabaya. Lihat saja beberapa terbukti kan. Nih lihat teksnya aku bacakan ya….”

“Jika Pulau Jawa tinggal selebar daun kelor, kelak akan datang jago kate wiring kuning dedege cebol kepalang yang menguasai pulau jawa hanya seumur jagung….”

“Kau benar-benar seperti tokek ya….gak bisa diam, aku kembali saja ke kamar, mendingan kerjakan di kamar”

Pafi mendelik dengan wajah galak menatap Raji yang masih cengar-cengir.

Dimas hanya tersenyum kecil diujung bibirnya dan kemudian berkonsentrasi kembali kepada pekerjaannya. Dia tahu kalau sudah begitu Raji bukanlah orang yang bisa dinasehati. Dia akan makin tidak peduli dengan omongan orang lain. Wajah malas mulai merambat di seluruh permukaan wajah Raji, tangannya mulai ogah-ogahan menulis dan ketika semuanya mencapai puncak ubun-ubun .

Jam sudah menunjukan pukul 12 malam, Dimas, Pafi dan Raji tak tampak akan segera mengakhiri belajarnya. Walaupun guratan kelelahan sudah tampak di wajah mereka, mereka tetap menulis seakan sedang dalam dunianya sendiri. Saking asyiknya menulis, ketiganya tidak lagi berbicara satu sama lain. Mereka tak sadar kalau tiba-tiba saja di seberang meja tempatnya menulis muncul 2 sosok manusia dewasa entah dari mana datangnya. Ketika keasyikannya terganggu oleh bayangan yang menutupi kertas bukunya sontak Dimas dan Pafi bangkit dari duduknya dan berjengit kaget, sementara Raji langsung terjengkang dari kursinya. Matanya melotot dengan dada yang berdegup begitu kencang, tangan gemetaran menahan rasa takut yang mulai menjalar ke ubun-ubunnya.

Hantu, adalah kata yang pertama keluar dari pikirannya, kakinya bergerak mundur dengan gemetar mendorong kursi yang berada di belakangnya. Bunyi derak kursi yang tergeser membuat suasana yang dirasakan Dimas makin mencekam. Dalam ketakutan yang sangat, dua wajah yang muncul di depannya menarik ingatan akan kejadian aneh yang dialaminya beberapa hari yang lalu. Dimas kini sadar bahwa dua orang yang sekarang berada di hadapannya adalah orang yang sama yang tempo hari dilihatnya saat pulang dari sekolah dan saat sedang duduk makan ikan bakar di depan api unggun bersama Raji dan Pafi dan juga yang sering mengunjungi Nyai Janis, sekarang mereka ada di hadapan mata. Seketika degup jantungnya makin keras saja, suaranya tercekat, Pafi tanpa sadar tangannya sempat mengayun pelan dan tiba-tiba saja kursi yang berada di sebelahnya melayang mengarah deras ke arah dua orang misterius itu. Salah seorang misterius yang berwajah sudah agak tua tersenyum sambil mengibaskan tangannya. Kursi yang melayang ke arahnya seketika berhenti dan turun dengan lembut di sampingnya. Dimas makin kaget dengan apa yang barusan saja terjadi, tangannya tanpa sadar bergerak tidak karuan yang seketika itu pula diikuti dengan melayangnya benda-benda yang berada di dalam ruangan belajar itu meluncur deras ke arah dua orang misterius tersebut. Namun seketika itu juga benda-benda itu seperti tertahan di udara dan berhenti mendadak kemudian turun perlahan di atas lantai. Tidak ada satupun yang jatuh menyebabkan bunyi keras di lantai.

“Ganhanban Onhdhae Songakhi Dhnalathir Naraphathi Dhasi Khathanh Sedhan Enthedh Sonmadhithi ……” seorang yang lebih tua mengucapkan bahasa asing yang terdengar akrab di telinga Dimas

“Janganlah kalian takut Narapati, kami datang bukan bermaksud menyakiti” seorang yang lebih muda menerjemahkannya.

Orang tua yang berjubah putih dengan sorban di kepalanya menjulurkan tangannya untuk menenangkan Dimas, Pafi dan Raji yang sudah bangkit berdiri. Dimas merasa seperti ada yang menggenggamnya begitu kuat yang memaksanya duduk di kursi yang berada di belakangnya. Sekuat tenaga dia melawan, tetapi tidak ada daya yang mampu melepaskannya.

“Akh…akh….Na..ra..pppati ? aku bukan Narapati…..apa yang kalian lakukan kepada kami ?” Dimas berteriak

“Ya…aku tahu. Sekarang mari kita duduk, ada yang akan aku beritahukan kepadamu, namaku Prabu Narayala dan ini temanku Kerthapati”

Orang tersebut memperkenalkan dirinya dan temannya yang langsung menghaturkan sembah dengan dua telapak tangan disatukan.

“Kalian pasti ingin sekali tahu dari mana asal-usul kalian, bagaimana kalian bisa mendapatkan kemampuan-kemampuan gaib yang tidak dimiliki orang lain, dan juga ingin tahu mengenai arti mimpi-mimpimu selama ini”

Prabu Narayala berkata sambil menarik kursi di depannya yang diikuti Kerthapati. Dimas yang mendengar ucapan Prabu Narayala terdorong rasa ingin tahunya menjadi lebih tenang, Pafi dan Raji mengikuti gerakan Dimas yang mulai lebih santai. Mereka bertiga tahu bahwa kedua orang itu sering mengunjungi Nyai Janis di kantornya yang selalu ditandai dengan kabut tebal pada pagi hari. Beberapa kali mereka mencoba untuk mencuri dengar apa yang terjadi di dalam ruangan Nyai Janis bersama teman-temannya, tapi selalu saja tidak ada yang dapat didengarnya kecuali saat yang pertama kali.

“Apakah anda tahu mengenai asal usul saya ? Bagaimana anda bisa tahu mengenai mimpi-mimpi saya ?”

Hati Dimas begitu campur aduk antara bingung dan gembira juga curiga bagaimana mungkin kedua orang itu tahu semua mimpinya.

“Aku mengenalmu anak muda, aku tahu dari mana asal-usulmu. Kau pasti tahu dari siapa aku tahu mengenai mimpi-mimpimu…… ya…. Nyai Janis…”

Prabu Narayala menjelaskan. Dimas terkejut karena Prabu Narayala bisa tahu apa yang sedang dipikirkannya. Lelaki yang sudah berambut putih itu tetap tersenyum, wajahnya yang bersih dan cerah memancarkan pesona kewibawaan yang begitu dalam. Tatapan matanya yang tajam tak sanggup dipandang terlalu lama oleh Dimas yang kemudian menunduk diam. Prabu Narayala kembali melanjutkan, dengan suara yang begitu lembut dan penuh kasih sayang dia meminta Dimas meletakan tangannya di atas telapak tangannya.

“Dimas, letakan di atas kedua telapak tanganku” Prabu Narayala menjulurkan tangannya.

Seperti sebuah magnet yang sangat kuat, Dimas menyorongkan tangannya tanpa sadar, kedua telapak tangannya disatukan dengan kedua telapak tangan Prabu Narayala. Prabu Narayala segera menggenggam telapak tangan kecil Dimas dan memejamkan matanya, mulutnya berkomat-kamit membaca mantra. Rasa hangat menjalar melalui tangan Dimas menembus tulang-tulang tangannya terus meresap sampai ke leher dan menyebar diseluruh kepala. Begitu nyamanya, sampai Dimas memejamkan matanya merasakan sensasi yang dirasakannya seperti ada bagian-bagian di dalam kepalanya yang tersumbat kini terbuka mengalir dengan lancar. Namun belum lama kenyamanan dirasakannya kilasan-kilasan bayangan dari mimpi-mimpinya terus berkelebat seperti sebuah film yang sedang diputar. Mimpi-mimpinya yang terputus kini menemukan bagian-bagiannya yang hilang. Dalam pejamnya mata Dimas bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan, wajahnya begitu pucat berkeringat dan tiba-tiba matanya terbuka

“aaaa…arrrgghhh”

bangkit dari kursinya dengan napas yang tersengal-sengal seperti orang yang habis berlari jauh. Prabu Narayala dan Kerthapati menatap Dimas. Pafi dan Raji tampak cemas dengan yang terjadi pada Dimas.

“Dimas…dimas, kau tidak apa-apa…..” Pafi memegang kedua bahu Dimas.

“Apa yang kau lakukan pada Dimas”

Raji seketika maju ke hadapan Prabu Narayala, tubuhnya tanpa disadarinya membentuk sebuah lingkaran gaib dan ketika mengibaskan tangannya sebuah bola kristal terlontar dari telapak tangannya kea rah Prabu Narayala. Prabu Narayala hanya tersenyum dengan menepiskan tangannya menangkap bola kristal itu. Ajaib bola kristal itu seperti terserap masuk kedalam telapak tangannya.

“Tenangkan dirimu Raji”

Prabu Narayala tersenyum dengan tatapan mata yang tajam kea rah Raji. Raji yang terkejut sendiri dengan apa yang telah dilakukannya merasakan kepalanya dingin dan begitu tenang. Kemudian Prabu Narayala kembali menatap Dimas yang sudah duduk di atas bangku.

“Sekarang apa yang kau rasakan hilang selama ini, telah kembali. Kau adalah seorang Narapati, itulah sebabnya aku memanggil kalian Narapati”

Air mata Dimas mengalir, ingatannya yang kembali telah membawanya kepada kenyataan yang masih tidak dia pahami.

“Aku tidak mengerti, apa maksud dari semua yang aku lihat tadi” katanya sambil duduk.

“Kau akan mengerti pada waktunya nanti, sekarang sudah saatnya kau harus tahu siapa sebenarnya dirimu Dimas”

Prabu Narayala bangkit dan memegang tangan Dimas.

“Mari nak, kita akan jalan-jalan sebentar, banyak yang harus kau lihat, sudah saatnya kau tahu mengenai duniamu yang sebenarnya”

Prabu Narayala membalikan badannya berjalan ke lukisan dinding gunung bromo dan gunung semeru. Sebuah pintu muncul menggantikan lukisan itu. Kerthapati membuka pintu. Sebuah cahaya temaram menyeruak dari balik pintu.

“Pintu itu” Pafi berbisik pelan. Dimas dan Raji melihat pintu yang selama ini mereka selidiki.

Prabu Narayala membimbing Dimas, Pafi dan Raji masuk ke dalam pintu itu. Tanpa banyak Tanya ketiganya mengikuti masuk pintu. Di balik pintu mereka menemui sebuah ruangan berdinding batu hitam yang dihiasi obor-obor di kiri kanannya.

“Mari kita keluar”.

Prabu Narayala memegang pundak Dimas dan membimbingnya menuju sebuah sebuah relung seperti gerbang yang tertutup.

“Sedha…………..”

Prabu Narayala mengibaskan tangannya ke arah tembok berelung di depan mereka, tembok di depan mereka tergeser dan sinar bulan yang indah di langit yang bening masuk memenuhi ruangan. Mereka bergerak menuju pintu, tidak percaya dengan apa yang baru saja di lihatnya di luar Dimas, Pafi dan Raji berdecak kagum. Mereka berada di puncak sebuah bangunan batu berbentuk segi enam setinggi bukit dengan ribuan anak tangga menurun ke bawahnya. Terdapat 6 pilar persegi yang tersusun dari potongan-potongan batu hitam dengan relief-relief menjulang tinggi di setiap sudut di dasar bangunan. Begitu megah dan menakjubkan.

“Kita berada dimana sekarang ?”.

Dimas masih ternganga keheranan, sementara Raji bergerak ke sana kemari ke pinggir balkon. Prabu Narayala tersenyum melihat ekspresi wajah Raji yang takjub.

“Kita sekarang berada di dunia Narapati, di atas puncak kuil agung Caturbhasa Mandala di gunung Mahameru, dan kita sedang menghadap gunung bromo di depan sana”.

Prabu Narayala menujukan jarinya ke depan.

“Dunia Narapati ? apakah dunia Narapati berbeda dengan dunia manusia ?”

Dimas mengawali pertanyaannya dari ribuan pertanyaan yang nantinya akan ditanyakan kepada Prabu Narayala yang sudah siap pula dengan ribuan jawaban.

“Narapati adalah sebuah bangsa yang menempati dunia yang berbeda dengan manusia, juga berbeda dengan mahluk gaib”

Prabu Narayala menjawab dengan penuh wibawa, dia tahu kerut di wajah Dimas menunjukan ketidakmengertiannya mengenai pembagian dunia ini.

“Narapati bukan mahluk halus, mereka nyata seperti manusia, hanya saja Narapati mengisi ruang yang berbeda dengan manusia. Narapati dapat mati, makan, minum, berkeluarga seperti manusia. Dulunya Narapati bangsa yang menempati dunia yang sekarang ditinggali oleh manusia. Dunia yang masih menjadi satu sebelum banjir besar merendam semua dataran lembah dan menghancurkan seluruh kebudayaan bangsa Narapati. Untuk menyelamatkan sisa-sisa penduduk dan kebudayaan yang dimiliki, Bangsa Narapati kemudian pindah ke dunia baru dengan membuka gerbang dimensi dunia yang lain. Bangsa Narapati terus mengawasi dunia manusia dan perkembangan kemajuan dan keruntuhan peradaban mereka. Beberapa kali Narapati membantu penyelamatan manusia dari kemusnahan akibat bencana alam terutama akibat letusan gunung berapi.”

Dimas terbengong-bengong mendengar penuturan dari Prabu Narayala yang selalu tersenyum setiap kali menyelesaikan setiap kalimat dalam ceritanya.

“Tapi, nama-nama gunungnya sama” Kali ini Pafi bertanya dengan suara yang mulai bergairah. Ketakutan yang tadi mereka rasakan serta merta hilang digantikan rasa takjub dunia lain yang mereka lihat.

“Memang Dunia Narapati memiliki wilayah yang sama dengan nama yang sama, yang membedakan hanyalah ruang. Dalam dunia Narapati, Laut Jawa tetaplah sebuah daratan luas dengan lembah-lembah sungainya. Swarnadwipa, Jawadwipa dan Kanchana adalah satu daratan yang satu. Bangsa Narapati pindah ke dunia baru tepat sebelum banjir besar datang, dimana ketiga pulau besar yang sekarang didunia manusia bernama Sumatra, Jawa dan Kalimantan masih satu daratan. Tapi sayang waktu itu banyak rakyat Narapati yang terlambat pindah, akhirnya musnah bersama seluruh kota-kota di lembah SUNDA atau sekarang dikenal dengan selat karimata. Dunia Narapati memiliki sejarahnya sendiri, walaupun antara dunia Manusia dan Narapati ada kesamaan wilayah, tapi setiap sejarah yang dituliskannya memiliki jalan yang berbeda”.

Ketiga remaja itu mendengarkan dengan masih tidak mengerti.

“Apakah perbedaan dunia Narapati dengan alam Gaib ?” Raji yang sejak tadi sudah begitu bersemangat mengajukan pertanyaan.

Prabu Narayala membelai kepala Raji dengan lembut.

“Tidak anakku, Narapati tidak sama dengan alam gaib, Narapati berada di antara alam gaib dan dunia manusia. Sebelum adanya sebuah perjanjian, kami sempat mengajarkan beberapa kepandaian kepada manusia pada jaman itu. Kami mengajarkan mereka untuk membentuk kebudayaan dan masyarakat. Sampai terjadi undang-undang baru yang melarang semua bangsa Narapati mengajarkan apapun kepada manusia dan para Narapati dilarang melintas ke dunia manusia jika tidak diundang oleh manusia, kecuali atas perintah kerajaan, setiap gerbang menuju dunia manusia akan dijaga oleh Nandiswara. Jika hendak melintasi gerbang harus menunjukan ijin kerajaan, karena jika tidak maka para Nandiswara akan bertindak.”

Ketiga remaja itu mulai tampak mengerti sekaligus bingung, Prabu Narayala tampak mengerti dengan kebingungan mereka dan dia kembali menjelaskan. Lalu Prabu Narayala mengeluarkan siulan yang khas dari mulutnya, entah bagimana dia membuat siulannya begitu kencang menggema, Dimas terkagum-kagum dengan apa yang dilakukannya.

“Bagaimana Bapak Narayala bisa mengeluarkan suara yang begitu keras dan menggema ?” kata Dimas

Prabu Narayala tersenyum lalu dia menunjuk ke bawah.

“Kamu nanti juga akan bisa melakukannya, lihat dibawah itu”.

Prabu Narayala menunjuk seekor harimau putih seukuran kuda jantan dengan pelana dipundaknya. Dimas terbelalak kaget dan merapatkan tubuhnya ke Prabu Narayala. Dari angkasa turun sepasang Garuda Kencana dan dua seorang penunggangnya.

“Dimas, ini adalah dengan harimau putih Davanthi Sighram, dan yang ini adalah Arghapati dan Wirapati beserta Garuda kencananya, namanya Pavakah dan Vihangah”.

Kelimanya menunduk dan memberikan salam, Dimas tidak mengerti kalau sujud tunduk hormat itu untuk dirinya.

“Bangkitlah semuanya !”.

Prabu Narayala meminta ketiganya bangkit.

“Baiklah ! sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, Dimas naiklah ke punggung Sighram bersamaku! Raji kau naiklah bersama Arghapati, Pafi naiklah bersama Wirapati. Arghapati kau awasi jalan yang akan aku lalui dari udara, pastikan tidak ada yang mencurigakan, Kerthapati bawalah pesanku ini untuk penguasa pantai selatan jangan kembali sampai kau diperintahkan pergi”

Prabu Narayala menaiki punggung Sighram dan kemudian menarik Dimas duduk di depannya. Arghapati dan Raji segera terbang bersama Pavakah, Wirapati dan Pafi juga terbang bersama Vihangah, sementara Kerthapati langsung saja menghilang seperti ditelan bumi.

Duduk di atas Sighram harimau putih yang sangat besar adalah hal yang sangat mendebarkan sekaligus menyenangkan bagi Dimas. Dimas mencoba menyentuh bulu lembut di pundak Sighram, seakan Sighram mengerti elusan lembut yang dilakukan Dimas, Sighram mengaum menggema ke seluruh penjuru hutan Mahameru. Sighram terus berlari ke arah barat, jauh di depan sepasang Garuda Kencananya terus mengangkasa mengawasi setiap kemungkinan mencurigakan.

Di kejauhan telah tampak bangunan-bangunan batu menjulang tinggi mengelilingi sebuah piramida berbentuk segi enam. Piramida bangunan paling tinggi di antara bangunan batu lainnya. Benteng setinggi 100 meter mengelilingi kota megah itu.

“Lihat di depan sana, itu kotapraja Narapati “Medanggana Raya”.

Pilar-pilar obor dari bangunan batu mengelilingi setiap sudut kota. Medanggana Raya memang sebuah kota yang sangat besar, terlihat dari tingginya bangunan-bangunan dan luas benteng yang mengelilinginya. Relief-relief dan relung-relung berukir di setiap gerbang rumah-rumah dengan atap berbentuk limas segi empat dan kerucut-kerucut mengelilinginya. Di tengah kota terdapat Nadhisara, sebuah saluran air buatan yang besar yang membagi-bagi kota menjadi sektor-sektor. Jembatan-jembatan lengkung menghubungan setiap sisi nadisara. Patung-patung Garuda kencana berseling dengan Narasimha bertengger di setiap pilar-pilar penjaga jembatan. Pohon-pohon tumbuh teratur di setiap halaman rumah-rumah penduduk menambah keindahan pagi yang mulai menjalar di ufuk timur.

Sighram berhenti di depan gerbang batu dengan relung besar dan terukir relief-relief huruf-huruf kuno. Prabu Narayala mengibaskan tangannya sambil mengeluarkan suara yang agak berat dan lambat

“Sedhaa…..”

Gerbang batu itu bergeser ke kiri dan ke kanan membuka perlahan. Sighram bergerak memasuki pintu gerbang yang terbuka, sementara Pafi dan Raji sudah menunggu bersama Arghapati dan Wirapati beserta Garuda kencananya di balik gerbang. Mereka segera bergerak menuju kuil piramida segi enam di pusat kota. Samar-samar di kejauhan terdengar suara Azan subuh berkumandang.

“Kita sholat subuh dulu, ya”.

Prabu Narayala turun dari punggung Sighram dan mengangkat Dimas turun dari punggung Sighram.

“Sighram, kau boleh kembali ke tempat peristirahatanmu”.

Sighram menggeram kecil kemudian berbalik meninggalkan tempat. Arghapati dan Wirapati mengelus-elus kepala kedua Garuda Kencana mereka. Kedua Garuda Kencana itu juga segera mengangkasa meninggalkan mereka.

Pagi sudah benar-benar sempurna menunjukan wajahnya walaupun matahari masih setengah hati membagi kehangatannya pada rumput-rumput yang sejak malam menggigil kedinginan. Sambutan pagi itu begitu meriah, daun-daun dengan sesaji embun dinginnya menyembul di ujung-ujungnya yang runcing, burung-burung dengan kicaunya begitu bergairah mengepakan sayap untuk pemanasan setelah semalaman meringkuk di hangatnya sarang yang bergantung di dahan yang yang daunnya sudah luruh karena meranggas. Disapu angin lembut yang membawa hangatnya mentari dedaunan kering meranggas di musim yang mulai kemarau. Kemegahan kota Medanggana Raya makin terlihat jelas, batang-batang pohon jati yang meranggas di seluruh kota membuat suasana kota begitu telihat penuh akan sejarah kejayaan.

Mereka kini berada di sebuah ruangan yang merupakan bagian dari kuil utama di tengah kota. Kuil tersebut merupakan pusat segala kegiatan intelektual masyarakat Narapati di Medanggana Raya. Gerbang berbentuk segi enam setinggi duapuluh meter berbentuk pilar yang berelung ukiran di kaki kuil menembus masuk ke dasar bangunan. Memasuki ruangan pertama persegi enam yang sangat besar dengan tinggi melebihi 2 kali pohon kelapa dengan enam pilar besar menyangga langit-langitnya. Pada tiga dinding di depan, kiri dan kanan terdapat tiga ruang berarsitektur sarang lebah. Untuk mencapainya harus melalui tangga naik yang sangat lebar yang langsung dapat terlihat saat melalui gerbang utama. Sepertinya tangga itu adalah tangga utama yang menuju ruang-ruang lain pada bagian inti dan belakang kuil. Dua tangga lain berada di bagian dinding kiri dan kanan mengarah pada ruangan-ruangan pada bagian sisi kiri dan kanan kuil.

Ruangan itu terlihat sepi, hanya kursi-kursi batu yang teratur rapi mengelilingi setiap pilar. Melihat lantai dan kursi yang begitu bersih mengkilat, jelas Dimas bisa menduga bahwa sebenarnya ruangan ini sangatlah ramai pada siang hari.

“Kuil ini disebut yang artinya pembuat kemakmuran. Dahulu kuil ini kami gunakan untuk kegiatan persembahan bagi Isvarah, Dia sang pencipta. Kemudian kami mengubahnya menjadi pusat kebudayaan dan belajar”.

“Banyak sekali istilah-istilah yang digunakan dalam bahasa sansekerta dan jawa kuno, apakah Narapati tidak mempunyai bahasa sendiri ?” tanya Dimas

“Ya…memang, kebudayaan Narapati adalah kebudayaan pertama. Sansekerta adalah bahasa turunan dari bahasa Narapati yang berkembang pesat di India. Narapati sempat bersentuhan dengan kebudayaan Hindu saat pemerintahan prabu Ajisaka di Jawa. Pada saat itu manusia Jawa baru memulai peradaban yang dibawa dari India, dibuatlah Undang-undang Ajisaka yang mengatur lalu lintas bangsa Narapati ke dunia manusia. Karena hal itulah akhirnya terjadi pertukaran budaya. Sampai akhirnya Undang-undang Ajisaka diganti dengan Undang-undang baru, seperti yang aku sebutkan tadi, melarang semua bangsa Narapati mengajarkan apapun kepada manusia dan para Narapati dilarang melintas ke dunia manusia jika tidak mendapatkan ijin dari kerajaan. Untuk mencegah penyebrangan yang tidak sah kemudian ditempatkan penjaga khusus di 9 pintu gerbang yang disebut para Nandiswara.”

Prabu Narayala tersenyum, sebelum pertanyaan kembali keluar dari mulut Dimas, Prabu Narayala kembali melanjutkan.

“Tentu saja kami melintas ke dunia manusia dengan ijin terlebih dahulu. Siapapun yang pernah melintas ke dunia manusia akan dapat terlihat jelas bekas-bekas di tubuhnya. Siapapun yang melintas tanpa ijin akan mendapatkan hukuman yang sangat berat”

Jari telunjuk Prabu Narayala mengacung ke atas memberikan penekanan yang kuat pada kalimat terakhirnya. Tak terasa langkah mereka terus berjalan menapaki anak tangga menuju ruang pada lapisan kedua. Sesampainya pada depan ruangan, terhampar lorong persegi enam dengan kekosongan mutlak oleh kegelapan. Seakan tak dapat ditebak sampai mana ujungnya. Jari-jari Prabu Narayala menjentik membunyikan bunyi “klik” sambil mengucapkan kata “Aphi”. Dalam hitungan yang singkat seluruh lorong terang benderang oleh nyala obor di kiri dan kanan lorong. Jelas sekali sekarang semuanya terlihat. Di kiri dan kanan lorong terdapat pintu-pintu masuk persegi enam. Di setiap 2 pintu masuk diselingi oleh lorong persegi enam yang menghubungkan dengan lorong-lorong di bagian yang lain. Pada bagian ujung lorong terlihat sebuah ruangan yang sangat terang dan luas. Dimas, Pafi, Raji dan Prabu Narayala terus berjalan menuju ruangan paling ujung. Sesampainya di sana, ketiga remaja itu lagi-lagi berdecak kagum, kemegahan ruangannya yang dihiasi pancaran cahaya kuning dari obor-obor di sekelilingnya membuat ruangan ini tampak sangat indah. Enam Pilar menyangga sampai ke langit-langit ruangan. Di bagian tengah terdapat pilar bening seperti kaca yang menjulang setinggi pilar yang lain menembus langit-langit berdiameter 2 meter. Prabu Narayala membimbing Dimas mendekati pilar kaca itu. Tangannya bergerak menyentuh pilar dan mengucapkan mantra.

“Tanha Ekhara Sedha….”

Sepertiga bagian dinding kaca pilar yang berbentuk lingaran itu terbuka. Prabu Narayala membimbing Dimas, Pafi dan Raji masuk ke dalam pilar dan berdiri di atas sebuah lapisan batu berbentuk lingkaran yang lebih kecil dari lingkaran pilar. Alas batu yang mengkilat hitam penuh dengan ukiran tampak jelas sudah sangat sering di pakai. Prabu Narayala mengembangkan tangannya dengan telapak berada di atas, lalu dia menggumamkan mantra sambil mengangkat sedikit tangannya.

“Sorhoradh Naidh Dhoathan…”

Lingkaran batu bergerak naik ke atas sampai akhirnya menghilang dibalik langit-langit ruangan. Entah berapa tinggi telah dicapai, yang pasti merasakan sensasi yang tidak nyaman di perutnya ketika dirinya terangkat dengan cepat ke atas. Tak lama kemudian mereka berhenti dan tiba di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar. Pintu pilar kaca segera terbuka setelah Prabu Narayala mengibaskan tanggannya. Kemudian mereka berjalan menuju relung yang tertutup. Seperti yang sebelumnya dilihat, Prabu Narayala mengibaskan tangannya dan mengucapkan mantra yang diikuti dengan terbukanya dinding relung. Mereka berdua bergerak menuju pintu yang telah terbuka. Di depan tampak seperti sebuah balkon dengan dinding batu setinggi pinggang orang dewasa.
Matahari begitu hangat menyambut kedatangan mereka yang sekarang berada di puncak kuil Cakravartin. Kuil yang berada berada sebelah-sebelahan dengan kawah gunung Bromo. Medanggana Raya adalah kota yang berada di dalam kaldera Bromo purba. Bentangan bangunan kota dengan lansekap berundak-undak mengikuti bentuk lereng mengelilingi kawah dan Cakravartin. Setiap teras diisi oleh bangunan-bangunan rumah penduduk yang terbuat dari batu dengan atap-atap ukiran mengerucut. Pemandangan megah kota Medanggana Raya yang dikelilingi benteng setinggi seratus meter melingkar mengelilingi kota sampai ke tebing gunung Bromo. Dari tempat itu mereka dapat melihat puncak Mahameru yang menjulang tinggi. Dua kuil yang saling berhadap-hadapan Caturbhasa Mandala di lereng utara Mahameru dan Cakravartin di dalam kawah Bromo purba. Diantara keduanya membentang hamparan pertanian.

“Mengapa kami berada di dunia manusia Bapak Narayala, bukannya tinggal di kota ini ?” Raji bertanya

Dimas menghentikan kekagumannya akan pemandangan kota Medanggana Raya dengan pertanyaan yang memang sangat penting baginya. Alasan-alasan yang ingin diketahuinya sehingga dirinya harus tinggal di dunia manusia, sebuah asrama panti asuhan, bukannya di megahnya kota Medanggana Raya.

Prabu Narayala diam sesaat, seakan belum mendapatkan jawabannya. Sekelebat terlihat dia menghela nafas. Sepertinya dia sadar sudah waktunya pula Dimas mengetahui alasan sebenarnya dia berada di dunia Manusia.

“Anakku, keberadaanmu di dunia manusia adalah untuk keselamatanmu. Waktu itu engkau dalam bahaya besar. Bahaya yang pernah mengancam dan akhirnya merenggut nyawa kedua orang tuamu. Waktu itu kau berusia 2 tahun, kau aku titipkan kepada Nyai Janis untuk merawatmu. Nyai Janis juga termasuk yang berasal dari dunia tengah, asalnya dari Minoan. Sampai sekarang bahaya itu terus mengancammu sehingga kami harus melindungimu setiap saat.”

“Apa yang mereka inginkan dariku, mengapa aku sepertinya sedang diburu ?”

Dimas kembali bertanya. Prabu Narayala kembali menarik nafas panjang, sepertinya cerita ini sama melelahkannya dengan berlari mengelilingi kota.

“Mereka menginginkan sesuatu yang bersemayam di dalam tubuhmu” Jawab Prabu Narayala singkat.

Dimas tersentak kaget “Apa yang bersemayam di dalam tubuhku ?” sambil memegang dada dan perutnya. Pafi dan Raji memandang Dimas.

“Kau masih ingat dengan mimpi-mimpi yang aneh yang tidak kau kenal.” Prabu Narayala terlihat begitu hati-hati berusaha menjelaskan.

Dimas menganggukan pertanyaan Prabu Narayala.

“Yang kau lihat dalam mimpi-mimpimu adalah masa depan, masa yang telah dituliskan dalam BUKU KEHIDUPAN. Buku itu lah yang sekarang berada di dalam tubuhmu dan memberimu mimpi-mimpi mengenai masa depan”

Kemudian Prabu Narayala menjelaskan semua cerita mengenai BUKU KEHIDUPAN dan perang yang berkecamuk antara bangsa Narapati dengan bangsa Amukhsara.

“Demi menyelamatkan dirimu, kami harus melakukan sesuatu untuk membingungkan musuh. Selain menempatkanmu di tempat yang tidak dikenal oleh bangsa Amukhsara. Kami juga membawa serta dua anak yang lain yang memiliki jam dan tanggal kelahiran yang sama denganmu. Seorang anak laki-laki keturunan bangsa Babilon dan seorang anak perempuan keturunan bangsa Minoan. Mereka adalah kedua sahabatmu Raji dan Pafi. Kami tempatkan mereka tinggal bersama denganmu agar kau tidak merasa kesepian anakku” kata Prabu Narayala menyudahi ceritanya.

Dimas, Pafi dan Raji tertegun mengenai kenyataan terakhir yang didengarnya. Dimas menemui kenyataan dirinya adalah buruan yang sedang dicari-cari oleh bangsa Amukhsara bukanlah hal yang menakutkan dirinya. Kenyataan bahwa kedua sahabatnya adalah umpan yang setiap saat bisa dikorbankan demi menyelamatkan dirinya adalah fakta yang menyakitkan hatinya. Ada rasa kesal dan benci dengan semua yang terjadi, tapi juga ada rasa sedih yang begitu dalam. Dimas terdiam dan menunduk tak menanggapi ataupun bertanya lagi. Prabu Narayala paham apa yang dirasakan Dimas, dia menepuk bahu Dimas.

“Kalian bertiga akan selalu aman, aku dan penjaga-penjaga yang lain akan selalu menjaga kalian”

Prabu Narayala berkata pelan dan menggiring Dimas dan kedua sahabatnya kembali ke dalam ruangan. Dimas mengikuti gerakan Prabu Narayala memasuki ruangan dan dia tidak melihat beberapa orang sudah duduk menunggu di dalam ruangan itu.

Prabu Narayala mempersilahkan Dimas, Raji dan Pafi duduk di antara mereka yang semuanya serentak berdiri dan menghaturkan sembah dengan telapak tangan saling menyatu di depan dada. Sembah yang sempat dia lihat dilakukan oleh Arghapati, Wirapati dan Kerthapati kepadanya.

“Duduklah semuanya”

Prabu Narayala meminta semuanya kembali duduk di tempatnya. Dimas menatap satu persatu orang-orang yang hadir, ada enam orang termasuk dirinya. Seorang lelaki muda berpakaian hijau-hijau yang diingatnya sewaktu berada di pantai parang tritis. Seorang perempuan sangat cantik tampak duduk bersebelahan dengannya pakaian sangat indah berwarna biru laut. Dua laki-laki yang lain telah dikenal Dimas sebelumnya di kuil Caturbhasa Mandala, Kerthapati dan Arghapati.

“Aku perkenalkan, ini adalah utusan penguasa kerajaan Selatan” Prabu Narayala mulai mengenalkan lelaki berpakaian hijau-hijau yang sudah pernah dilihat Dimas sebelumnya.

“Perkenalkan hamba gusti, nama hamba NIEPETHIN SONAR, hamba biasa dipanggil NIEPETHIN”

Lelaki itu memperkenalkan diri dengan tangan kanan menyilang di dada sebelah kiri sambil membungkuk rendah. Kemudian disusul wanita cantik di sebelahnya.

“Perkenalkan hamba gusti, nama hamba HERITHA RADHNANA, hamba biasa dipanggil HERITHA”

Setelah melakukan gerakan hormat yang sama dengan Niepethin, Heritha kembali duduk.

“Kami semua adalah PAHOM NARENDRA – BATHARA SAPTHA PRABHU atau disebut tujuh penjaga BUKU KEHIDUPAN”

Prabu Narayala menatap Dimas yang masih kurang mengerti maksudnya.

“Tujuh ? lalu yang dua lagi siapa ?” kata Dimas dalam hati.

“Dua yang lain adalah Pafi dan Raji, kedua sahabatmu Dimas”

Prabu Narayala menjawab pertanyaan Dimas yang hanya diucapkannya dalam hati. Setelah melihat semua kemegahan kota Medanggana Raya, masih ada satu yang tetap mengganjal di hati Dimas. Pertanyaan yang sangat penting mengenai asal usulnya, mengenai kedua orang tuanya. Rasa sesak tiba-tiba meledak dalam dadanya, kesedihan luar biasa mengingat kembali ingatan-ingatan masa kecilnya yang telah dibuka oleh Prabu Narayala.

“Kau sudah terlalu lelah hari ini nak, lebih baik kau istirahat, kita akan bertemu lagi besok di tempat yang sama”

Dimas tidak puas dengan jawaban itu, ada pertanyaan lain yang harus segera mendapatkan jawabannya sekarang, tetapi sebelum kata-katanya keluar dari mulut Prabu Narayala sudah terlebih dulu bergerak.

“Khasaiban Gilaronan…..”

Prabu Narayala mengucapkan mantra sambil mengusap kepala Dimas, Pafi dan Raji bergantian. Seketika ketiganya merasakan kedamaian yang luar biasa menghapus semua rasa sesak di dadanya. Beban yang terasa memuncak terasa ringan terangkat keluar dari kepalanya. Matanya melihat sekeliling ruangan yang terasa makin sempit, lama kelamaan wajah-wajah para Pahom Narendra lenyap dan akhirnya gelap gulita.

“Ugh…arrrgggghhhhh…..”

Dimas menguap lebar, terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya masih terduduk di depan meja di ruang belajar bersama Raji dan Pafi.

“Ji…ji…bangun” Dimas mengguncang-guncang bahu Raji. Sementara Pafi yang mendengar suara Dimas terbangun.

“Eh…..aku tertidur di sini, bukankan semalam kita ……….” Pafi kebingunan. Raji juga akhirnya terbangun dari tidurnya.

“Wah….asyik sekali petualangan kita semalam” Raji berkata tanpa sadar kebingungan yang dirasakan oleh Pafi dan Dimas.

“Jadi apa yang sebenarnya terjadi semalam, bukankah kita berada di Cakravartin, tapi mengapa tiba-tiba kita berada kembali di ruang belajar ini, apakah yang semalam hanyalah mimpi” Pafi tambah bingung. Raji baru menyadari keberadaannya juga ikut bingung dengan gaya khasnya yang menggaruk-garuk kepalanya.

“Entahlah, tapi mana mungkin kita mengalami mimpi yang sama secara bersamaan, yang semalam itu benar-benar nyata” Dimas menjawab.

Belum sempat semuanya terjawab, tiba-tiba Nyai Janis muncul dari arah pintu. Wajahnya tersenyum ramah sekali kepada ketiganya.

“Goede Morgen Dimas, Raji, Pafi, kalian rupanya ketiduran disini” Nyai Janis menyapa ketiganya dengan ramah.

“Ayo, kalian segera mandi dan bersiap-siap berangkat ke sekolah. Waktu kalian tidak banyak untuk bersiap-siap” Nyai Janis menarik mereka bertiga yang bengong dengan perubahan yang begitu drastis.

*****

Berangkat sekolah dengan perasaan yang begitu segar adalah hal yang aneh dirasakannya pagi ini. Dimas sangat yakin bahwa semalaman dia tidak tidur tetapi berpetualang sampai pagi ke dunia Narapati. Dunia yang sekarang diketahuinya sebagai dunia tempatnya berasal. Walaupun belum menjawab seluruh pertanyaan mengenai asal-usul dirinya tapi petulangan semalam memberinya perasaan yang cukup lega mengenai siapa dirinya. Tapi keraguan muncul dalam bentuk pertanyaan dalam benaknya, “mengapa dia sama sekali tidak merasakan kantuk yang luar biasa pagi ini, padahal dia tidak tidur semalaman, apakah semalam itu nyata ataukah hanya mimpi seperti mimpi-mimpinya yang lain”. Sesaat kemudian ditepisnya semua keraguan itu dengan sikap masa bodoh dan memutuskan untuk membahasnya semuanya nanti bersama dua sahabatnya Raji dan Pafi.

“Semalaman kita tidak tidur, tapi kenapa kita tidak merasakan kantuk sama sekali pagi ini”

kata Dimas singkat dengan keyakinan bahwa kata-katanya itu akan memancing banyak pertanyaan kedua sahabatnya.

“Aku sendiri tidak yakin apakah semalam itu Cuma mimpi atau kenyataan, karena kenyataannya kita tertidur di ruang belajar” Kata Pafi.

Dimas terus berjalan, Pafi yang juga penasaran terus mengikuti Dimas disampingnya tergesa-gesa dengan kepala yang terus menerus memandang Dimas. Raji tak kalah penasaran, setelah tadi pagi dia dibangunkan Dimas dari tidurnya, rasanya dirinya akan mati penasaran kalau tidak mendapatkan jawaban yang bisa mematahkan semua penglihatannya. Dimas diam sejenak, berpikir keras dari mana harus memulainya. Raji dan Pafi makin tidak sabar menunggunya berbicara.

“Kalian ingat dua orang asing yang pernah kita lihat di jalan ini, juga sewaktu kita duduk berapi unggun dekat kali code dan juga yang mendatangi kantor Nyai Janis sewaktu kabut menutupi seluruh asrama. Bukankah mereka yang mendatangi kita semalam. Bukankah mereka betul-betul nyata, senyata kita” Dimas berkata dengan ragu.

“ Bapak Narayala, Kerthapati, Arghapati, Wirapati, Niepethin Sonar, Herita Redhana” Pafi menyebut nama-nama yang diingatnya.

“Iya..iya itu nama-nama orang aku ingat” Raji memperkuat Pafi.

“Benarkah kita bukan berasal dari dunia ini, tetapi dari dunia Narapati” Dimas bertanya kepada kedua sahabatnya.

“Aku tidak tahu, tapi hatiku berkata bahwa apa yang terjadi semalam adalah benar dan nyata. Semuanya menjadi jelas sekarang mengapa kita bertiga berbeda dari anak-anak yang lain” kata Pafi.

“Aku setuju, kelebihan yang kita miliki yang tidak dimiliki anak-anak lain, keganjilan Nyai Janis, Pintu gaib yang hanya kita melihatnya, semuanya menjelaskan bahwa kejadian semalam bukanlah mimpi” kata Raji memperkuat pendapat Pafi.

“Jika benar berarti masih ada kemungkinan kita masih mempunyai keluarga lain di dunia Narapati” Dimas berkata dengan penuh harapan.

Kalimat sederhana yang begitu saja keluar dari mulut Dimas dengan polos yang menyadarkan Pafi dan Raji akan kemungkinan itu.

“Mudah-mudahan begitu, lebih baik kita tanyakan pada kesempatan kepada Bapak Narayala” kata Pafi

“Atau Nyai Janis, aku yakin dia juga pasti tahu mengenai keluarga kita, karena semalam Bapak Narayala mengatakan bahwa Nyai Janis juga adalah bangsa Narapati” kata Raji memberikan alternative.

“Betul sekali kau Raji, hal itu cukup menjelaskan mengapa dia juga memiliki kemampuan membaca pikiran, karena dia adalah bangsa Narapati” kata Pafi

Tetapi Dimas juga malah terdiam, wajahnya tampak dalam kekecewaan Pafi dan Raji sangat mengerti arti kekecewaan itu, kesedihan yang sama mereka rasakan, hidup dan dibesarkan tanpa orang tua.

Mereka akhirnya sampai di depan halaman sekolah yang sudah siap dengan upacara bendera. Hari senin, semua siswa harus memberikan penghormatan kepada bendera negara Hindia Belanda – Merah Putih Biru dengan tujuh bintang berwarna keemasan di tengah dasar putihnya. Acara yang paling dibenci oleh Raji. Berjemur matahari pagi sambil melantunkan lagu kebangsaan kerajaan Belanda kemudian memberikan penghormatan kepada bendera yang sedang dinaikan.

Hari ini sekolah rasanya berbeda dari hari-hari biasanya, ada kesedihan yang menyelimuti wajah Dimas. Hal itu dirasakan oleh kedua sahabat Dimas. Pafi yang paling merasakannya. Dia tak tahan kalau melihat Dimas mulai terlihat sedih.

“Ada apa Mas, kenapa kau kelihatan sedih hari ini “

Pafi memulai pembicaraan dalam perjalanan mereka pulang dari sekolah menuju asrama. Dimas berusaha menyembunyikan ekspresinya.

“Eh…he..he.. siapa bilang aku sedang sedih, aku hanya sedang berpikir”

Raji sebenarnya juga melihat kesedihan yang sedang dirasakan oleh Dimas, tetapi dia sangat tahu Dimas yang tidak akan membiarkan dirinya tampak sedih dan dikasihani.

“Baiklah kalau kau tidak ingin kami SAHABATMU mengetahuinya”

kata Pafi sambil memberi tekanan pada sebuah kata. Dimas merasa tidak enak dan bersalah kepada kedua sahabatnya. Beruntung Raji segera mengalihkan suasana dengan ceritanya. Mereka bertiga akhirnya sampai di asrama tanpa ada pertengkaran terjadi.

Sejak pengetatan kegiatan malam di asrama, Dimas, Raji dan Pafi lebih sering duduk di ruang belajar sampai pukul sembilan malam. Dalam kesibukan belajar mereka yang padat, dari arah pintu ruangan Pak Narso datang menghampiri mereka.

“Anak-anak, kalian dipanggil untuk segera ke kantor Nyai Janis sekarang”

Pak Narso memandang dan menunggu Dimas, Raji dan Pafi yang saling pandang kemudian menganggukan kepala kepada Pak Narso. Kemudian Dimas, Raji dan Pafi segera menuju kantor Nyai Janis. Setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk Ketiga remaja itu memasuki ruangan Nyai Janis yang sedang sendirian duduk di kursinya.

“Duduklah anak-anak” Nyai Janis tersenyum ramah.

“Saya ingin perkenalkan dua tamu yang sering mengunjungi tempat ini”

Nyai Janis menunjukan tangannya ke sebelah kanannya. Tiba-tiba muncul dua sosok laki-laki yang sudah Dimas kenal semalam.

“kalian sudah bertemu mereka semalam”

Kata-kata Nyai Janis meyakinkan ketiganya bahwa apa yang terjadi semalam memang benar-benar nyata. Dimas dan Pafi tersenyum-senyum gembira. Lain halnya dengan Raji yang masih kaget terbengong-bengong menyaksikan kemunculan kedua orang yang diperkenalkan Nyai Janis kepada mereka. Walaupun dia juga semalam ikut dalam petualangan itu, tetapi kekagetan mereka tetap tampak dalam sebuah ketidak percayaan dengan apa yang dilihatnya.

“Bagaimana kabarmu nak” Prabu Narayala menyapa Dimas

“Aku baik Bapak Narayala, paman Arghapati ?” Jawab Dimas singkat dengan penuh senyum sambil menggangukan kepalanya.

“Ah… Raji dan Pafi, Bagaimana kabar kalian berdua” Sapa Prabu Narayala kepada Raji dan Pafi.

“Sa..sa…saya baik-baik saja” Jawab Raji agak terbata-bata.

“Saya juga” Pafi menyusul dengan singkat. Prabu Narayala tersenyum.

“Kedatangan kami kemari karena urusan yang sangat penting dengan kalian bertiga”

Prabu Narayala mulai membuka maksud dari pertemuan itu. Dimas, Raji dan Pafi berkerut heran.

“Kami berdua sekarang datang untuk menjemput kalian bertiga pindah tinggal di dunia Narapati”.

Dimas, Raji dan Pafi seperti tidak percaya mendengar apa yang dikatakan oleh Prabu Narayala.

“Apa…. Kami akan tinggal di dunia Narapati……” Dimas begitu bersemangat dengan suara yang bercampur getar tawa, kemudian memandang Raji dan Pafi yang juga tampak begitu gembira dalam suara getar mereka yang menahan lonjakan-lonjakan kegembiraan di jantung mereka. Tetapi sesaat kemudian Pafi berubah datar,

“Pindah ? lalu bagaimana dengan sekolah kami ?”

Pafi lumayan kritis mengenai masa depannya mempertanyakan hal-hal logis yang harus terjelaskan jika mereka bertiga tiba-tiba menghilang begitu saja.

“Semua sudah di atur dengan baik, kalian tidak akan membutuhkan apapun untuk dibawa, semua sudah disediakan di sana, semuanya akan dijelaskan nanti setelah kalian tiba di Cakravartin. Kita sudah tidak mempunyai banyak waktu lagi”

Nyai Janis menambahkan. Dimas, Raji dan Pafi hanya saling memandang tersenyum dan saling mengangguk-angguk yang begitu jelas menggambarkan khayalan mereka tentang keajaiban petualangan yang akan mereka hadapi nanti di Dunia Narapati.

“Mendekatlah” Prabu Narayala meminta ketiga remaja itu mendekatinya.

Tiba-tiba dari dinding ruang Nyai Janis muncul sebuah pintu yang persis sama yang berada di dalam ruang belajar. Kemudian mereka memasuki pintu tersebut dan mereka tiba di sebuah ruangan yang pernah dilihat sebelumnya. Ruangan puncak Caturbhasa Mandala di lereng gunung Mahameru.

Di depan pintu yang sudah terbuka telah menunggu seekor Narasimha dan dua ekor Garuda kencana bersama Arghapati. Mata Pafi dan Raji menatap tidak percaya menyaksikan seluruhnya dengan mata sendiri apa yang diceritakan Dimas mengenai Dunia Narapati dan mahluk-mahluk gaibnya.

“Raji, ikutlah Arghapati bersama Garuda kencananya, Pafi ikutlah naik Garuda bersama Kerthapati, dan kau anakku ikutlah bersamaku” Prabu Narayala menempatkan masing-masing menjadi dua orang dalam setiap kendaraan hewannya.

Raji dengan bersemangat menaiki Garuda kencana bersama Arghapati yang menyambutnya dengan senyum. Pafi yang agak ragu-ragu duduk di atas punggung Garuda yang memekik rendah ketika dirinya duduk di atas punggungnya. Kerthapati tersenyum melihat Pafi yang tersentak mendengar pekikan sang Garuda.

“Dia bilang senang bertemu kembali denganmu nona” Kerthapati menjelaskan arti pekikan sang Garuda. Pafi tersenyum kecut tidak mengerti maksud dari Kerthapati.

Setelah semuanya naik, Garuda kencana yang ditunggangi Raji dan Pafi segera mengepakan sayapnya mengangkasa, sedangkan para Narasimha berlari menuruni tangga kuil yang sangat panjang kemudian bergerak ke utara ke arah lereng gunung bromo dimana kemegahan Medanggana Raya berdiri tegak. Petualangan baru saja dimulai, kini Dimas, Pafi dan Raji harus menghadapi dunia baru yang sama sekali belum mereka kenal. Dunia yang memberikan mereka tempat dan kedudukan yang tinggi tetapi juga berbahaya.

No comments: