Thursday, December 21, 2006

KUIL CAKRAVARTIN


Dimas tidak menyadari semenjak hari kelahirannya yang ke 13 semua hal yang berkaitan dengan Amukhsara mudah dirasakan tanda-tandanya. Pengaruh kuat dari buku kehidupan yang mulai memancarkan energinya memberikan kepekaan yang tinggi pada Dimas. Kehadirannya di dunia Narapati juga membawa perubahan yang sangat besar yang belum disadari oleh siapapun termasuk Dimas sendiri. Batu bintang satuasra yang tersimpan dan dijaga ketat di perut Cakravartin pun tiba-tiba memancarkan sinar ke angkasa.

Pafi datang dengan janjinya membaca semua halaman demi halaman yang terdapat di dalam buku Cakravartin. Wajahnya terlihat kusut sekali seperti kurang tidur. Agaknya dia menghabiskan waktu semalaman untuk membaca. Dengan gerakan yang sangat lesu duduk di bawah pohon beringin di halaman kuil tempat yang sama mereka kemarin duduk.

“Apakah kau menemukan sesuatu yang menarik dari buku itu ?” tanya Dimas perlahan. Dimas tidak ingin terlihat terlalu memaksa Pafi. Wajahnya sudah menunjukan kelelahan yang amat sangat.

“Ulurkan tanganmu.” Raji meminta Pafi memberikan tangannya kepadanya. Pafi tahu maksud Raji, segera menyodorkan kedua tangannya kepada Raji. Raji adalah pemilik kekuatan air yang selain bisa digunakan menyerang juga bersifat menyembuhkan dan menyegarkan. Sebuah gelombang kejut seakan terdorong masuk dari kedua tangan Raji menembus kedua tangan Pafi. Sesaat Pafi merasakan rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Tapi sejenak kemudian seakan semua irama tubuhnya kembali normal, wajahnya yang pucat mulai memancarkan sinar cerah dan segar. Raji melepaskan genggamannya dari tangan Pafi.

“Terima kasih Raji, aku sudah membaik sekarang. Baiklah aku semalaman membaca seluruh isi buku ini halaman demi halaman. Aku menemukan legenda mengenai pembuatan Cakravartin. Tapi tidak ada satu keterangan pun mengenai kemunculan sinar dari puncak Cakravartin. Sepertinya tidak pernah ada kejadian seperti ini sebelumnya sejak pembangunan kuil ini.” Kata Pafi.

“Tidak ada sama sekali ?” Dimas kembali diam, pikirannya seketika kosong.

“Iya, aku bahkan membacanya sampai tiga kali, makanya aku tidak tidur semalaman. Aku tidak menemukan cerita apapun mengenai cahaya. Buku itu hanya menyebutkan kapan dibuat, berapa lama dibutuhkan untuk membuatnya dan untuk apa.” Kata Pafi.

“Apakah sebaiknya kita bertanya saja kepada Bapak Narayala.” Raji menawarkan alternatif lain.

“Bagaimana memberitahukannya, Bapak Narayala sedang berada jauh di Minoan dan baru kembali saat pesta panen nanti. Tidak ada yang bisa kita percaya saat ini. Kita benar-benar baru berada di dunia ini, dan kita tidak tahu siapa yang bisa kita percaya selain Bapak Narayala. Lebih baik kita mencari tahu sumber lain.” Kata Dimas.

“Tapi dimana sumber lain itu ?” tanya Pafi.

“Kita akan menyelidikinya langsung tiap malam.” Kata Dimas.

“Ah…petualangan baru, aku suka itu. Bagaimana Pafi, kau juga setuju kan kalau kita obok-obok Cakravartin kalau perlu seluruh Medanggana Raya.” Kata Raji penuh semangat. Pafi menjawab dengan menggangguk setuju, walaupun dia tidak terlalu suka tapi Dimas benar, tidak ada cara lain selain langsung menyelidikinya di sumbernya.

“Baiklah, kita sudah sepakat dan nanti malam akan menjadi yang pertama. Sekarang lebih baik kita kembali ke kelas, lihat Jilan sudah mulai mengendus-endus apa yang sedang kita lakukan.” Dimas bangun dari rumput menggendong tasnya di bahu. Raji menoleh ke arah Jilan yang sedang mengawasi dari tangga kuil. Tapi yang membuat Dimas, Pafi dan Raji agak terkejut dari tangga kuil tepat di belakang Raji empat anak lelaki yang mereka kenal bergegas menuruni tangga menghampiri mereka. Wajah mereka tampak sangat penuh permusuhan. Tubuh mereka jelas lebih besar dari Dimas, Raji maupun Pafi. Pastinya mereka adalah siswa dari kelas yang lebih tinggi.

“Kau ingat mereka ? kita meninggalkan mereka dalam keadaan lumpuh di perpustakaan kemarin.” Kata Dimas santai.

“Akhirnya mereka berhasil juga bebas dari totokan kita.” Kata Pafi dengan wajah melecehkan.

“Tampaknya mereka sangat marah dan ingin membalas.” Kata Raji yang tersenyum dan agak sedikit cekikikan saat membayangkan apa yang terjadi saat perpustakaan tutup tetapi mereka masih dalam keadaan lumpuh tertotok.

“Hey, mau kemana kalian. Kalian harus membayar apa yang telah kalian lakukan.” Teriak seorang yang berjalan paling depan yang nampaknya adalah pemimpin diantara keempatnya.

Tangannya langsung melakukan gerakan serangan. Sebuah bola api menerjang ke arah Dimas, Raji dan Pafi. Dengan tangkas Raji membalas serangan. Segulung air meluncur dari kolam nadisara yang berada di sekitar halaman menelan bola api itu. Kedua tenaga yang saling berlawanan itu beradu persis di tengah menimbulkan dentuman keras. Pafi dengan sigap membuat perisai gaib melindungi kedua sahabatnya dari sebaran tenaga yang pecah. Keempat anak itu terpental ke belakang sementara Jilan tetap berdiri tegak padahal dia berada persis di belakang mereka. Lumpur yang terbawa mengotori seluruh badan mereka. Dimas menahan punggung Raji dari belakang dan mencegahnya terpental.

Dentuman yang keras mengundang banyak siswa untuk melihat yang sedang terjadi. Sorak sorai segera terdengar saat melihat pertempuran dua siswa dari tingkatan yang berbeda. Jilan sangat terkejut dengan kekuatan serangan balasan yang ditunjukan Raji. Jelas dia tahu bahwa kekuatan itu bukanlah untuk siswa tingkat dasar seperti Raji. Sekarang keempat pemuda tadi sudah kembali berdiri tegak di tengah lapangan berhadap-hadapan dengan Dimas, Raji dan Pafi.

“Kelihatannya kau boleh juga, pantas kalian punya nyali. Tapi jangan senang dulu bocah. Kau akan segera meratap minta ampun.” Pemuda itu menunjuk ke arah Raji.

“Kita lihat saja apakah aksimu sebesar omonganmu.” Kata Pafii mengejek. Dimas berusaha mengambil alih keadaan, tetapi Raji menolaknya. Emosinya sudah terbakar.

“Kita lihat apakah sekarang kau mampu menahannya.” Mendengar ejekan Pafi, pemuda tadi mendengus marah. Tangannya langsung mengayun diikuti tiga putaran api yang meluncur deras. Raji kembali menarik air yang berada di kolam nadisara dan membaginya menjadi tiga putaran air. Pafi langsung membentuk perisai gaib sementara Dimas berjaga di belakang Raji. Ketiga putaran tenaga yang berlawanan itu siap saling bertubrukan. Tetapi sebelum mereka serangan itu saling bertumbukan tiba-tiba muncul dinding batu dari dasar tanah tepat di tengah-tengah mereka sehingga menyebabkan putara api dan air itu menumbuk dinding batu tersebut. Semuanya terkejut, tidak ada yang tahu siapa yang melakukannya. Tetapi dari arah tangga kuil guru Wirabhumi bergegas menghampiri mereka. Dinding batu itu kembali masuk ke dalam tanah. Wajah Guru Wirabhumi tampak marah melihat yang terjadi.

“Apa yang kalian lakukan !!! mau pamer hah. Galih, Jambung, Sundo, Arto apakah kalian tidak malu melawan siswa tingkat dasar. Kalian siswa baru ! kalian akan mendapatkan hukuman bersama mereka sore nanti.” Guru Wirabhumi meninggalkan lokasi. Raji tampak tidak bisa terima, gerakannya tertahan oleh tarikan tangan Dimas. Galih meludah dan menatap merendahkan kemudian berbalik mengajak gengnya meninggalkan tempat. Semua siswa bubar setelah diperintah oleh Guru Wirabhumi. Bisik-bisik segera menyebar ke seluruh Cakravartin tentang siswa tingkat dasar yang mampu menahan serangan siswa tingkat utama. Dimas, Raji dan Pafi segera terkenal di seluruh Cakravartin. Sepanjang jalan menuju kelas bisik-bisik dari kumpulan-kumpulan siswa mulai dirasakan Dimas, Raji maupun Pafi. Tatapan-tatapan kagum maupun sinis terlihat jelas dari air muka mereka.

“Ayo kita segera ke kelas, aku mulai tidak nyaman dengan bisik-bisik ini.” Kata Dimas. Sebaliknya dengan Raji, wajah genitnya mulai menebar pesona kepada gadis-gadis. Sementara Pafi tak ada lagi yang dipikirkan kecuali hukuman apa yang akan diberikan oleh guru Wirabhumi kepada mereka.

Hari itu kelas berjalan agak sulit bagi ketiganya. Guru Wirabhumi menunjukan sikap agak memojokan. Bahkan Jilan pun seperti mendapatkan angin untuk menyindir. Dimas tetap tenang tetapi Raji sudah sangat gatal ingin menghajar Jilan. Untung saja Pafi memberinya totokan sehingga dia tidak bisa melakukan gerakan serangan. Raji mendelikan matanya kepada Pafi karena tujuh aliran tenaga dalamnya diganjal oleh totokan Pafi. Pafi hanya tersenyum puas melihat ketidakberdayaan Raji. Tapi dia tahu bahwa totokannya hanya sementara sifatnya, akan hilang dengan sendirinya oleh desakan tenaga dalam Raji sendiri.

Sore yang tidak menyenangkan untuk menghabiskan waktu menjalani hukuman dari Guru Wirabhumi. Bayangan-bayangan hukuman yang tidak menyenangkan membayang di mata dan makin kuat saat pintu ruangan Guru Wirabhumi terbuka. Galih bersama ketiga temannya muncul dari pintu ruangan Guru Wirabhumi langsung menghadang jalan Dimas, Raji dan Pafi.

“Kita akan lanjutkan lagi di tempat lain bocah. Kau bisa pilih dimana tempat mati yang kau pilih.” Kata Galih melakukan gerakan menggertak.

“Kami tidak ingin melanjutkan perselisihan ini, aku rasa kita bisa menyudahinya di sini saja.” Kata Dimas dengan tenang.

“Kau takut…. Hah….” Galih makin menantang. Raji mulai terpancing lagi. Tetapi belum sempat suasana panas itu berkembang, suara Guru Wirabhumi dari dalam ruangan menghentikan semuanya. Dimas, Raji dan Pafi memasuki ruangan yang penuh dengan ukiran peta dan gunung-gunung di seluruh dindingnya. Pintu ruangan kembali tertutup setelah ketiganya masuk. Tak lama kemudian ketiganya keluar dengan wajah yang mengembangkan senyum. Sebuah pemandangan yang aneh, seolah mereka begitu senang dengan hukuman yang mereka terima.

“Ternyata hukumannya tidak seberat yang aku bayangkan.” Kata Raji dengan sumringah.

“Hukuman yang diberikan bukan menekankan pada pelatihan fisik Raji, tapi pada pelatihan mental agar kita lebih rendah hati, termasuk dalam menggunakan kekuatan kita.” Kata Dimas.

“Kita akan belajar banyak sekali dari hukuman ini.” Kata Pafi.

Mereka kemudian meninggalkan Cakravartin, tapi tidak langsung menuju asrama. Mereka berjalan keluar kompleks kuil dan juga asrama terus menuju pemukiman penduduk. Berjalan di tengah-tengah kota yang terbelah oleh aliran Nadisara. Perahu-perahu tanpa layar berlalu lalang membawa banyak hasil bumi yang akan diperjual belikan di pasar-pasar. Terdapat satu pasar utama dan sembilan anak pasar. Selain kereta kayu yang ditarik oleh burung-burung galapaksi, perahu adalah sarana yang sering digunakan untuk transportasi barang dan manusia. Penduduk dilarang menggunakan kendaraan udara di dalam kota.

Menurut Bangsa Narapati Dunia ini diciptakan dalam 6 hari. Berdasarkan kepercayaan itu waktu dihitung setiap kelipatan enam hari yang berulang. Hari pertama dimulai dari hari Astra, Hari Aktu, Hari Banyu, Hari Bayu, Hari Bhumi, dan Hari Rimba. Diantara semua hari, hari Astra adalah yang paling utama. Pada hari itu semua kegiatan manusia harus ditinggalkan. Hari Astra adalah hari yang diperuntukan bagi sang Pencipta. Sehingga hari untuk berdagang dan melakukan kegiatan di pasar hanya dilakukan pada lima hari lainnya.

Hari Astra sebagai hari tempat semua bermula dan menjadi tempat sumber dari semua yang ada didunia. Hari kedua bernama hari Bhumi dimana tempat hidup dan kehidupan diciptakan pertama kali. Hari tiga adalah hari Aktu dimana bhumi dibakar terlebih dahulu agar menjadi tempat yang suci. Hari keempat adalah hari Banyu dimana bhumi yang terbakar didinginkan agar kehidupan bisa berdiri diatasnya. Hari kelima adalah hari Bayu dimana udara ditiupkan agar kehidupan bisa bernafas. Dan hari yang keenam adalah hari Rimba dimana semua pohon dan mahluk lainnya diciptakan mengisi semuanya. Setiap enam hari dinamakan satu pekan dimana melambangkan dunia yang selalu berulang mulai dari proses penciptaan alam semesta hingga penciptaan kehidupan lalu diulang lagi terus menerus.

Dimas, Raji dan Pafi berjalan terus menyusuri jalan-jalan kota yang sangat bersih dan indah. Cabang pohon-pohon jati yang meranggas berjajaran di disisi kiri dan kanan jalan. Pohon-pohon nyiur pun berjajar rapi di sepanjang jalur Nadisara. Mereka berjalan terus menuju sebuah alun-alun besar di barat kota. Ratusan pedagang berbagai macam hasil bumi dan ternak saling menawarkan barangnya kepada para pembeli yang lewat. Suasana pasar yang dirasakan begitu berbeda dengan yang dialami Dimas, Raji dan Pafi di dunia manusia. Di tengah alun-alun terdapat saluran air yang terpecah-pecah menjadi beberapa saluran seperti daun kelapa yang menjadi dermaga bagi berlabuhnya semua perahu yang membawa hasil bumi dan ternak. Diantara saluran-saluran itu terdapat bangunan-bangunan beratap tanpa dinding yang lebih rendah dari pada ketinggian air sehingga perahu-perahu yang penuh dengan hasil bumi itu terlihat mengapung setinggi dada. Para pembeli hanya tinggal berkeliling di dalam ruangan dengan pilar-pilar penyangga atap.

Sementara di bagian atas atap dimana matahari menyinari dengan teriknya, bale-bale kayu dengan atap dari alang-alang menjadi tempat pelesir para pembeli yang sudah kelelahan dan menikmati makanan diantara barang-barang bukan hasil bumi dijajakan di bagian atas. Tembikar-tembikar tanah liat, Batik, Buku, dan perlengkapan kebutuhan rumah tangga lainnya tertata rapi. Penataan pasar begitu rapi dan teratur. Tidak ada percampuran jalur perahu pedagang dengan pembeli. Kereta-kereta burung Galapaksi bersandar rapi menunggu majikan-majikan mereka selesai berbelanja. Para pembeli yang menggunakan jalur air menambatkan perahu-perahu mereka di sisi luar pasar.

“Kita akan membantu pengurusan kereta-kereta Galapaksi. Kita harus menemui juru tambat kereta.” Dimas menunjuk ke arah seorang lelaki yang sedang menambatkan sebuah kereta burung Galapaksi dan memberi makan burung-burung itu.

“Ayo kita ke sana, pasti dia orangnya.” Dimas bergegas menuju orang itu diikuti oleh Raji dan Pafi.

“Permisi pak, apakah bapak bernama Suranaya ?” tanya Dimas

“Iya betul, saya Suranaya. Ada apakah anak-anak mencari saya.” Tanya Suranaya.

“Kami dikirim oleh Guru Wirabhumi menemui bapak Surayana. Saya Dimas, ini Raji dan Pafi” Kata Dimas.

“Oh iya, Guru Wirabhumi. Baiklah nak kita langsung saja ya. Sekarang nak Dimas bantu saya untuk memberi makan burung-burung ini. Hati-hati terkadang mereka suka usil. Nak Raji membersihkan kotoran-kotoran mereka dan Nak Pafi setiap ada kereta baru masuk, tambatkan di tempat yang kosong.” Kata Suranaya.

Raji protes tapi tak berani diungkapkannya, ujungnya dia hanya merengut semrawut melihat bagian tugasnya. Pafi tertawa cekikikan melihat tugas yang akan dikerjakan Raji. Dimas sendiri merasa sedikit tergelitik. Dengan sangat terpaksa Raji membersihkan kotoran burung-burung Galapaksi yang jumlahnya puluhan dan silih berganti datang. Syarat yang diminta mereka mengerjakannya tanpa menggunakan kekuatan mereka dan itu memakan tenaga dan mengucurkan keringat. Semua dikerjakan sampai menjelang sore dimana pasar mulai menyelesaikan waktunya. Satu per satu kereta-kereta burung Galapaksi pergi bersama majikannya. Seakan terbebas dari sebuah pikulan berisi batu besar, Raji menghempaskan dirinya ke tanah. Mereka baru bisa pulang setelah semua tempat penambatan bersih dan mendapatkan sebungkus nasi sebagai upahnya.

“Aku lapar sekali, ayo kita makan.” Raji membuka bungkusan makanannya.

“Rasanya kita mulai melihat pelajaran yang kita dapat dari hukuman ini.” Kata Dimas.

Mereka bertiga pulang dengan setumpuk nasi telah berpindah dari bungkusnya ke dalam perut mereka. Merasakan mengerjakan sesuatu seperti layaknya orang biasa dan tanpa ada kekuatan khusus memberikan pengalaman ketidakberdayaan yang sangat berharga bagi mereka. Mereka akhirnya menyadari bahwa dalam setiap kekuatan diikuti sebuah tanggung jawab yang besar dan bijaksana dalam menggunakannya. Kekuatan hanya digunakan untuk menempatkan kemanusiaan pada tempat yang paling tinggi dalan setiap penegakan kebenaran.

---- **** ----

Malam mulai menggantung sepertiga. Bulan tak penuh tetap sangat terang timur kota yang agak berawan. Jalan-jalan kota sudah sepi. Medanggana Raya telah lelap tertidur di selimuti kabut dingin yang sangat tebal. Ketebalannya hingga mencapai ujung atap rumah. Bulan ini adalah bulan yang paling dingin dalam semua bulan yang terdapat dalam perhitungan waktu Narapati. Narapati menghitung waktu mereka menjadi dua bagian, waktu pergerakan matahari dan waktu pergerakan bulan. Waktu matahari digunakan untuk keperluan menentukan cuaca dan musim, sedangkan waktu bulan digunakan untuk keperluan ritual. Setiap tahun matahari dibagi 12 bulan. Tahun pertama dihitung sejak permulaan perpindahan bangsa Narapati ke dunia tengah.

Tanah benar-benar tidak kelihatan, bahkan kaki sendiri pun tidak dapat dilihat. Kabut terlalu pekat. Bagi orang biasa mungkin berjalan pun sudah menjadi hal yang mustahil. Tetapi bagi Dimas, Pafi maupun Raji, hal tersebut tidak menjadi sebuah halangan besar. Pafi mampu memerintahkan kabut-kabut itu untuk menyingkir hanya dengan kibasan halus jarinya yang lentik. Tapi kali ini agak berbeda, kabut ini tidak mau menuruti perintah Pafi. Setiap kali Pafi mengibaskan tangannya, kabut yang sudah membuka jalan dengan cepat menutup kembali. Seolah tidak bisa digerakan sedikitpun. Pafi berusaha mengeluarkan seluruh tenaganya untuk mendorong kabut-kabut itu, tapi yang didapatnya hanya rasa lelah dan kedinginan yang amat sangat. Dimas merasakan ada sesuatu yang tidak berjalan seharusnya dengan kabut itu. Dimas kemudian meminta Pafi untuk menghentikan usahanya membuka tabir kabut.

“Sepertinya kabut ini adalah kabut ciptaan sihir yang sangat kuat. Kita tidak bisa menyingkirkannya kecuali sihirnya telah dipunahkan.” Kata Dimas.

“Seperti begitu, aku seperti kehabisan tenaga. Setiap aku kerahkan kekuatan untuk mengusirnya, seolah tenagaku ikut diserapnya.” Kata Pafi yang sudah terlihat sangat lelah.

“Gila, siapa yang punya sihir sehebat ini, apakah kita kenal orang di Medanggana Raya yang mempunyai sihir sehebat ini.” Kata Raji.

“Setahuku, Cuma Bapak Narayala yang memiliki kemampuan menciptakan sihir dengan skala yang sangat luas seperti ini. Umumnya pejabat-pejabat Medanggara Raya hanya memiliki kekuatan tenaga dalam yang tinggi untuk bertempur, tidak untuk menciptakan sihir seperti ini.” Kata Pafi.

“Mungkinkah ini masih berkaitan dengan kejadian kemarin ? mungkinkah kemarin memang ada orang yang mencoba masuk ke ruang bawah tanah Cakravartin atau orang yang sama penasarannya seperti kita.” Dimas berkata-kata sendiri. Raji dan Pafi walaupun tidak bisa melihat wajah Dimas, tetapi suara Dimas cukup jelas terdengar di tengah kesenyapan malam.

“Mungkin ini dugaan yang kuat. Pasti memang ada orang yang berniat masuk ke ruang bawah tanah Cakravartin, tetapi kemarin tidak berhasil sehingga dia mencobanya kembali.” Kata Pafi.

“Lalu apa yang harus kita lakukan supaya bisa ke Cakravartin dengan keadaan seperti ini.” Raji melemparkan pertanyaan kepada kedua sahabatnya.

“Kita akan ke sana, tapi tidak dengan mata kasar kita, tapi dengan mata batin. Kita bisa berjalan dengan mengenali pantulan getaran setiap benda yang ada disekitar kita.” Kata Dimas.

“AKAMPA ATINDRIYA” Dimas merapalkan mantranya, disusul oleh Raji dan Pafi.

Sekarang mereka berjalan dengan mengandalkan getaran yang sangat halus yang mereka pancarkan dari kedua telapak tangan mereka. Getaran itu kemudian terpantulkan oleh benda-benda disekelilingnya sehingga pikiran mereka bisa melihat dengan jelas bentuk permukaan tanah dan tinggi rendahnya. Pandangan itu bagi mereka seperti sebuah dunia tanpa warna. Yang terlihat hanyalah bentuk gelap dan terang. Gelap menyatakan ruang kosong sedangkan terang menyatakan ada sebuah benda. Makin terang cahayanya makin keras benda tersebut. Dengan penglihatan itu cukup untuk mereka bergerak lebih cepat hingga sampai ke Cakravartin.

Sesosok bayangan putih seukuran tubuh mereka melesat kabur meninggalkan Cakravartin sesaat setelah mereka tiba di depan pintu Cakravartin. Dimas melesat mengejar bayangan tersebut. Tangannya mengayun deras melontarkan serangan-serangan untuk melumpuhkan bayangan tersebut. Dimas yakin bahwa serangan cukup kuat yang untuk orang seukuran dengannya tidak akan bisa menangkisnya. Dimas juga yakin orang itu seusia dengannya mengingat ukuran tubuhnya yang sama dengannya. Tetapi dengan mudahnya serangan Dimas bisa dipatahkan begitu saja. Bayangan itupun bergerak lebih cepat seakan kabut yang begitu tebal tidak menghalanginya. Dimas urung mengejarnya, pikirannya kembali ke Cakravartin.

Bersamaan dengan menghilangnya bayangan itu seluruh kabut perlahan menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Langit kembali cerah oleh sinar bulan dan bintang gemintang. Cakravartin tampak jelas di hadapan mereka. Sebuah sinar meluncur dari puncak Cakravartin hingga seperti sebuah pilar langit. Dimas kembali melihat sinar itu untuk kedua kalinya. Dirinya memimpin kedua sahabatnya memasuki ruang pertama dimana Dimas pernah menemukan sebuah lubang menuju ruang bawah tanah. Ruang bawah tanah terlihat sangat terang oleh lampu-lampu obor. Mereka bertiga menuruni tangga menuju ruangan yang lebih dalam. Dimas ingat kemarin malam dia hanya melihat dinding penuh ukiran dan buntu. Tapi sekarang dinding ukiran yang tengah telah menjadi pintu sebuah ruangan di baliknya yang penuh dengan cahaya dengan tangga menurun yang makin dalam. Makin ke bawah cahaya makin hilang dan berujung pada sebuah ruangan buntu dengan penuh ukiran. Ukiran yang berbeda dari ruangan sebelumnya yang lebih tinggi.

“SEBAN TEJA SORDHESPHEBAN”

Dimas merapalkan mantra dan beberapa cahaya lampu di atasnya padam berkumpul di atas tangannya menerangi ruangan gelap di hadapannya.

“Lihat ukiran itu, tulisan-tulisan narapati berbeda dari yang pernah kita baca di pustaka-pustaka Narapati.” Pafi menunjuk ke arah dinding.

“Aku tidak mengerti artinya, sepertinya ini adalah huruf narapati yang lain.” Kata Dimas.

“Tapi huruf-huruf ini juga tidak terlalu asing, aku yakin ada sesuatu yang tersembunyi.” Kata Raji. Tapi belum sempat mereka membahas dan menelitinya lebih dalam tiba-tiba perlahan-lahan seluruh lantai mulai mengangkat ke atas. Ruangan bawah tanah mulai kembali tertutup. Dimas, Raji dan Pafi bergerak gesit menanjak berkejaran dengan batu-batu dan dinding yang bergerak merapat. Hingga akhirnya lantai ruangan kembali tertutup rapat. Cahaya yang muncul di ujung Cakravartin kini sudah hilang. Semua sudah kembali seperti keadaan semula.

“Tapi gerbang pertama bisa dibuka, pasti penyusup tadi sudah tahu bagaimana caranya masuk. Pasti dia sudah memecahkan teka-teki tulisan itu.” Kata Pafi.

“Benar sekali, pasti kita juga bisa memecahkan teka-teki ini. Ayo sekarang kita kembali ke asrama.” Kata Dimas.

Mereka bertiga kemudian meninggalkan Cakravartin dengan mengendap-endap. Walaupun tahu Cakravartin selalu tanpa penjagaan malam, Dimas merasa perlu untuk berjaga agar tidak siapapun mengetahui keberadaan mereka setiap malam. Satu hal yang membuat Dimas agak cemas, sosok bayangan yang lebih dahulu datang ke Cakravartin. Pikirannya bertarung dalam ketidakmengertian apa yang diinginkan oleh orang itu. Mengapa anak kecil seperti dia, mungkinkah ada siswa di Cakravartin yang juga memiliki rasa penasaran yang sama dengannya saat melihat sebuah sinar meluncur dari ujung Cakravartin.

---- *** ----

Pagi kembali disambut oleh kesibukan para siswa di Cakravartin. Hari ini adalah hari Rimba, sehari menjelang puncak perayaan pesta panen. Pelajaran demi pelajaran yang diikuti oleh Dimas, Raji maupun Pafi makin menambah kekayaan pengetahuan mereka akan dunia yang baru mereka tempati. Tetapi dari semua itu pelajaran dari hukuman yang diberikan Guru Wirabhumi adalah yang mereka rasakan paling berharga diantara semuanya. Menjadi penambat kereta Galapaksi, pengangkut barang dagangan, Pembersih sampah pasar dan pekerjaan lain yang harus dilakukan tanpa menggunakan kekuatan. Merasakan menjadi orang-orang kebanyakan, walaupun pernah dialami di dunia manusia, tapi kini orang kebanyakan yang dimaksud adalah orang-orang yang tanpa kemampuan ataupun kesaktian.

“Aku menemukan ini, secara tidak sengaja ketika aku mau meletakan kembali buku Cakravartin. Buku ini tak mau masuk ke dalam raknya, jadi aku berpikir pasti ada sesuatu yang mengganjal di belakang rak, ternyata ada sebuah gulungan kain batik yang berisi ulasan lengkap mengenai Cakravartin. Rupanya buku yang aku baca tempo hari adalah salinan dari naskah aslinya. Dan tidak semua naskah aslinya disalin ulang. Beberapa bagian yang sangat penting seperti sengaja tidak disalin. Sepertinya memang sengaja disembunyikan. Dan Justru bagian itulah yang kita cari selama ini.” Kata Pafi panjang lebar. Kemudian dia meletakan segulungan besar kain putih lusuh yang sudah tampak sangat tua dan rapuh. Dengan perlahan Pafi membuka bagian yang ingin ditunjukannya kepada Dimas dan Raji.

“Lihat, disini diceritakan mengenai adanya batu bintang Satuasra yang diletakan di dasar perut Cakravartin. Batu bintang ini adalah sumber tenaga perisai gaib yang melindungi Medanggana Raya dari serangan.” Kata Pafi.

“Berarti ada orang yang berniat mengambil batu bintang itu ?” kata Raji. Pafi mengangguk.

“Ini berbahaya, jika batu bintang Satuasra dipindahkan atau diambil maka Medanggana Raya akan kehilangan pertahanan dan membuatnya mudah diserang.” Kata Dimas cemas.

“Tapi mengapa diletakan di Cakravartin, bukan di istana Raja.” Tanya Raji.

“Karena sebenarnya Cakravartin dulu adalah sebuah kuil keagamaan yang menjadi tempat suci bagi Narapati. Tapi sekarang telah diubah menjadi tempat belajar.” Kata Dimas.

Ada yang menarik perhatian Dimas saat mereka sedang sibuk di meja. Ruang perpustakaan itu kini tidak satupun serangan yang mereka terima sejak pertama kali masuk tadi. Tidak seperti waktu pertama kali mereka berkunjung ke perpustakaan. Bahkan kelompok-kelompok siswa dari kelas yang lebih tinggi pun seakan tidak berani mengusik lagi.

“Kau lihat pencari muka itu, dia kelihatan rajin sekali datang ke perpustakaan.” Kata Raji menunjuk Jilan yang sedang duduk membaca naskah.

“Dia memang sering berada di perpustakaan tapi selalu sendirian. Sepertinya tidak pernah berhasil mendapatkan teman.” Kata Pafi.

“Siapa yang mau berteman dengan dia, sombong dan suka menghina orang lain.” Kata Raji dengan mendengus.

“Sudahlah, kita tidak perlu menambah kesusahan yang dia alami. Aku rasa dia sudah susah tanpa teman.” Kata Dimas seperti biasa dengan dewasa menengahi. Jilan sempat melirik ke arahnya.

Sesaat kemudian tak ada lagi yang membicarakan Jilan. Mereka terlalu asyik bercanda dan tertawa. Walaupun sebenarnya tidak diperbolehkan berisik di ruang perpustakaan, tetapi Dimas cukup cerdik meyiasatinya. Dia membuat selubung gaib yang membuat suara mereka tidak terdengar oleh orang-orang di sekitar mereka. Untuk siswa tingkat dasar, kemampuan itu sangatlah ajaib dan langka. Pelajaran yang mereka dapatkan dari Pak Narso saat masih di asrama rupanya lebih maju dari siswa-siswa setingkatannya. Hukuman yang diberikan Wirabhumi membuat mereka lebih berhati-hati dalam menggunakan kekuatan mereka bahkan saat konfrontasi sekalipun.

Malam mulai merangkak naik meminang bulan yang sempurna di antara barisan bintang yang menghiasi langit yang sedikit berawan. Cakravartin melesatkan cahayanya diujung ubun-ubunnya. Bulan terang merangkak pelan menuju puncak langit. Cahayanya beradu terang dengan panah sinar Cakravartin. Sedikit demi sedikit kedua sinar itu bertumbukan, aura langit berubah menjadi sangat biru. Bintang-bintang tak mampu mencuri perhatian langit diantara benderangnya purnama, seperti lenyap dari pandangan. Seluruh permukaan Cakravartin berubah menjadi bening keemasan hingga semua yang terdapat di dalamnya menjadi tembus pandang. Sebuah pemandangan yang sama sekali tak disangka oleh Dimas. Raji dan Pafi pun terpesona melihat sebuah tonggak sinar yang meluncur dari dasar pusat kuil. Seolah seluruh lantai dan halaman kuil menjadi sebuah cermin.

Bayangan kuil seolah terpantulkan di bawah tanah hingga keujungnya. Pada bagian ujung bayangannya tampak sinar terang berbentuk bola. Dimas, Raji dan Pafi menyusup masuk melalui pintu tangga bawah tanah yang telah mereka lihat malam sebelumnya terbuka. Kali ini tangga itu begitu jernih sebening kaca dan terus menurun ke bawah tanah hingga berujung di sebuah ruangan bundar yang dikelilingi oleh 9 patung-patung Mahakala. Patung berbentuk kepala singa dengan sayap berkilat keemasan setinggi dua kali orang dewasa dengan sayap mengembang menghalangi pandangan inti ruangan yang menjadi sumbu dari sinar putih yang keluar hingga ujung kuil. Walaupun diputari seluruh dinding ruangan itu, pandangan tetap tidak mampu menembus apa yang berada di balik patung-patung Mahakala itu.

Sebaris tulisan terpahat di dinding, huruf-hurufnya sama sekali berbeda dengan tulisan narapati. Tulisan itu mengelilingi dinding ruangan hingga bersambung kembali.

“Lihat, tulisan di dinding itu sama seperti yang kemarin-kemarin kita lihat.” Raji menunjuk barisan huruf-huruf yang mengelilingi dinding ruangan di depannya.

“Kali ini huruf-huruf ini merupakan susunan baru, seperti diulang-ulang.” Dimas mengelilingi dinding ruangan kaca itu hingga kembali ke tempatnya semula berdiri. Pafi berusaha keras memahami tulisan-tulisan itu dengan melihatnya lebih dekat. Raji tampak lebih tertarik dengan meneliti barisan patung-patung Mahakala yang berada di dalamnya. Raji tiba-tiba mengucapkan kata-kata sendirian.

“Apa yang kau ucapkan tadi ?” tanya Pafi.

“Aku hanya membaca tulisan di bawah itu.” Kata raji menunjuk bayangan lantai yang sudah seperti cermin.

“Kau pintar Raji, kau sudah menemukan teka-teki tulisan ini.” Kata Pafi yang kemudian bergerak mundur mencoba membaca.

“SANG PENJAGA UTAMA. MELANGKAH PANJANGNYA TIGA PURNAMA” Pafi membaca keras-keras.

“Sang penjaga utama melangkah panjangnya tiga purnama. Apa artinya ?” Dimas berpikir mengira-ngira apa yang dimaksud tulisan itu. Dengan tanpa sadar Dimas berulang-ulang membaca kembali mengelilingi ruangan itu hingga dua kali saking penasarannya.

Tetapi tiba-tiba seluruh dinding ruangan seolah bergetar, kepala Raji yang masih mengintip di dinding seperti kehilangan sandaran. Tubuhnya tersurung menembus dinding yang berubah menjadi seperti benda cair. Pafi dengan sigap menarik badannya keluar dari dinding itu.

“Gerbangnya telah terbuka.” Kata Dimas spontan.

“Kau berhasil membukannya Dimas, kau lah yang dimaksud oleh tulisan itu. Untuk membukanya hanya diperlukan tiga kali mengelilingi ruangan ini yang tepat satu garis lurus dengan purnama.” Kata Pafi.

“Sejak tadi kita tidak menemukan jejak orang asing yang selalu lebih dulu memasuki tempat ini.” Kata Raji

“Aku juga berpikir demikian, aku khawatir kita justru…..” sebelum Dimas melanjutkan kata-katanya tiba-tiba sebuah suara tawa yang mereka kenal menggema di seluruh ruangan.

“Hahaha….benar anak-anak bodoh, kalian justru sengaja dipancing agar membukakan pintu terakhir untukku.” Sesosok bayangan pemilik suara itu muncul dari atas tangga masuk.

“Jilan, kau orang misterius itu ?” Dimas sama sekali tidak mempercayai penglihatannya. Pafi dan Raji langsung bersiaga dengan wajah marah.

“Seharusnya kalian sudah menyadari saat bertempur di halaman kuil, dalam jarak itu siswa pemula tidaklah mungkin tetap berdiri setelah terhentak benturan tenaga yang begitu besar. Tapi kalian terlalu bodoh.” Kata Jilan.

“Musang licik, apa yang sebenarnya kau cari” Raji membentak.

“Jangan sombong kau Raji, tenagamu tidaklah sebesar pertempuran terakhirmu. Kalau bukan karena bantuan temanmu kau sudah terlempar jauh.” Kata Jilan.

“Siapa kau sebenarnya ? apa yang kau inginkan” tanya Dimas.

“Siapapun dia jelas dia menginginkan batu bintang Satuasra, karena dia tahu hanya kau yang bisa membuka tempatnya tersimpan, maka dia memancing kita untuk membuka tempat ini. Dia memanfaatkan rasa ingin tahu kita.” Kata Pafi.

“Kau memang pintar gadis kecil, sekarang aku tinggal mengambilnya hahaha…” Jilan tertawa puas.

“Tidak sebelum melewati kami.” kata Dimas menantang.

“Kalian tidak sebanding denganku, tapi bukan aku yang akan menghadapi kalian tapi itu.” Jilan menunjuk sembilan singa bersayap. Jilan melesat ke arah dinding ruangan dengan melancarkan serangan ke arah Dimas, Raji dan Pafi secara beruntun. Kecepatannya sangat diluar bayangan mereka bertiga. Serangan Jilan berhasil ditangkis. Dimas membalas serangan untuk mencegah Jilan menembus ruangan itu.

“VAJRA BHUMI”

Dimas berteriak keras merapalkan mantra. Sebuah sinar putih kebiruan melesat keluar dari kepalan tangan kanannya yang di acungkan ke atas.

Pada saat yang bersamaan Pafi dan Raji bersiap melepaskan serangan susulan untuk melindungi Dimas dari serangan balasan Jilan.

“Ah….mantra tingkat menengah.” Jilan tanpa terdengar merapalkan mantranya melakukan gerakan melebarkan kedua tangannya ke samping lalu menepuk udara kosong di atas kepalanya. Kilat putih kebiruan yang menyerangnnya seolah tersedot masuk ke dalam tubuhnya. Kemudian dengan cepat dia masuk menembus dinding ruangan. Dimas menyusul masuk diikuti Pafi dan Raji.

Sekarang mereka semua telah berada di dalam ruangan, Jilan terlihat tersenyum senang. Perlahan wajahnya seperti mencair dan menguap ke udara. Wajah Jilan yang masih anak-anak kini berubah menjadi sosok mahluk berkulit hitam legam dengan mata berwarna hitam yang sangat besar. Dengan kepala yang lebih besar dari manusia dan tanpa rambut mahluk itu menyeringai.

“Hehehehe, anak bodoh. Sekarang aku telah menjadi tuan bagi para Mahakala penjaga Satuasra, karena aku yang lebih dulu masuk ke dalam ruangan ini.” Mahluk hitam itu terlihat sangat senang.

9 patung singa emas bersayap yang mengelilingi pilar sinar di tengahnya mulai bergerak dan mengeluarkan suara auman yang sangat keras. Saking kerasnya seluruh ruangan ikut bergetar dan mendoyongkan dinding ruangan hingga menggelembung ke luar.

“Para mahakala, serang mereka !” mahluk hitam itu memberi perintah kepada sembilan mahakala itu. Sesaat ke sembilan penjaga itu menoleh ke arah Dimas, Raji dan Pafi. Tetapi kemudian kembali menoleh ke arah mahluk hitam itu.

Kemudian ke sembilan mahakala itu mulai bergerak sambil meraung-raung mengepung Dimas, Raji dan Pafi. Tapi kemudian sebagian mengepung mahluk hitam itu. Bingung dengan keadaan yang berbalik, mahluk hitam itu segera melancarkan kepada tiga mahakala yang mengepungnya.

Enam mahakala lainnya mulai menyerang Dimas dan Pafi. Serangan semi serangan dilancarkan keduanya menghindari terkaman yang terus-menerus bergantian menyerang mereka. Tapi tak ada satupun serangan yang diarahkan kepada Raji. Raji seakan tidak terlihat oleh mahakala-mahakala itu.

“Raji bantu Pafi, dia sudah mulai terdesak.” Dimas berteriak menyadarkan Raji yang sedari tadi sudah bersiap tetapi tak ada satupun mahakala yang mau menyerangnya.

“Baiklah” Raji melompat ke tengah kepungan 3 mahakala yang sedang bersiap menyerang Pafi.

“Ayo pergilah atau aku hajar kalian semua.” Raji membentak ketiga mahakala itu. Tiba-tiba ketiganya seperti tunduk pada perintah. Tiga mahakala itu pergi meninggalkan Raji dan Pafi. Ketiga mahakala itu kemudian bergabung menyerang Mahluk hitam yang sudah melumpuhkan dua mahakala. Sementara Dimas terus melancarkan serangan-serangan yang menghempaskan mahakala-mahakala yang menyerangnya. Tetapi serangan Dimas tidaklah berdampak terhadap mereka, serangan kembali dilancarkan.

“Apa yang kau lakukan tadi Raji ?” Pafi bertanya keheranan setelah tiga mahakala yang menyerangnya pergi begitu saja setelah dibentak oleh Raji.

“Aku tidak melakukan apa-apa ? aku hanya menyuruhnya pergi” kata Raji polos.

“Rupanya mahakala-mahakala itu hanya tunduk pada perintahmu. Mahluk hitam itu tadi mengatakan, siapa yang masuk lebih dulu ke dalam ruangan ini maka dia yang mengendalikan singa-singa itu. Dan sebenarnya kaulah yang lebih dahulu memasuki ruangan ini secara tidak sengaja terperosok jatuh ke dalam tadi.” Kata Pafi.

“Benarkah, aku yang mengendalikan mereka ?” Raji keheranan

“Iya, kau harus memerintahkan singa-singa itu untuk tidak menyerang Dimas, ayo cepat !” Pafi begitu bersemangat.

“Baik..baiklah.” kata Raji agak ragu-ragu, kemudian terdiam sejenak.

“Ayo cepat, kau mau Dimas tinggal berupa daging berserakan.” Pafi membentak Raji.

“Hei, berhenti kalian !” Raji membentak keras. Tiba-tiba semua mahakala itu berhenti bergerak. Raji kegirangan melihat hasil dari perintahnya.

“Serang mahluk hitam itu” Raji berteriak keras dan menunjukan tangannya ke arah mahluk hitam yang ternganga melihat perubahan situasi yang begitu cepat. Tujuh mahakala yang tersisa kemudian bergerak mengepung mahluk hitam itu. Melihat keadaan yang membahayakan itu mahluk hitam itu dengan cepat melesat keluar dari ruangan dan mencoba kabur keluar kuil. Melihat mahluk hitam itu kabur, Dimas mengejar.

Kejar-kejaran terjadi, Pafi yang bersifat angin melesat cepat sambil mengucapkan mantra.

“AKASACARIN”

Dengan sigap menghadang mahluk hitam itu persis di halaman kuil Cakravartin. Mahluk hitam itu dengan cepat melepaskan serangan ke arah Pafi.

“ISUGAGANA”

Mahluk hitam itu menghempaskan 2 larik sinar merah berbentuk anak panah ke arah Pafi. Pafi membentuk perisai gaib untuk melindungi dirinya dari serangan. Tetapi mantra itu lebih kuat dari perisainya, tanpa dapat dihindari lagi dua anak panah itu menembus perisai Gaib Pafi dan menghantam kedua tangannya. Rasa panas terbakar yang hebat menusuk masuk mulai dari telapak tangannya hingga ke ujung bahu. Pafi menjerit keras, rasa sakit yang tak tertahankan membuatnya seketika pingsan dengan kedua tangan yang merah membara.

Dimas terkejut melihat yang dialami Pafi, dengan penuh marah Dimas melancarkan serangan ke arah mahluk hitam itu.

“SIMHA ATINDRIYA”

Sebuah sinar putih meluncur deras membentuk seekor harimau putih. Mengaum keras menerjang mahluk hitam itu dengan ganas. Melihat serangan Dimas, mahluk hitam itu tak tinggal diam.

“JIVAH CAKRACAKRA”

Sosok Srigala hitam meluncur deras dari kedua tangan mahluk hitam itu. Dentuman keras terjadi saat kedua sosok binatang itu saling bertumbukan dan bergumul saling menyerang. Seolah kehilangan tenaga, perlahan sosok harimau putih menipis dan tertelan habis oleh sosok srigala hitam. Kemudian sosok srigala hitam itu menyerang Dimas. Dalam situasi yang bimbang melihat Pafi yang terbaring pingsan, Dimas tak siap menyiapkan serangan untuk menahan serangan sosok srigala hitam yang berhasil mengalahkan harimau putih ciptaannya. Pada saat kritis tersebut sebuah sinar putih dengan sosok garuda terbang melabrak sosok srigala hitam yang hampir menerkam Dimas. Dentuman keras kembali terjadi yang mendorong srigala hitam jauh hingga terjengkang. Sosok garuda putih itu terus menyerang hingga srigala hitam melemah dan lenyap. Bersamaan dengan itu seorang berjubah putih muncul.

“Bapak Narayala.” Dimas mengenali sosok berjubah putih itu.

“Dimas, mintalah Raji untuk mengobati kedua tangan Pafi. Biar Janggan Wimana ini aku yang hadapi.” Prabu Narayala melangkah ke depan menghadapi mahluk hitam yang disebutnya Janggan Wimana.

“Hehehe…Narayala, rupaya kau masih punya kekuatan walaupun sudah 15.000 tahun.” Kata Janggan Wimana.

“Kau tidak akan pernah tahu kalau tidak pernah mencobanya Purusa.” Prabu Narayala mulai bersiap.

“Aku tidak akan melepaskanmu Narayala.” Kata Purusa

“Oh ya, aku juga tak akan melepaskanmu.” Kata Prabu Narayala

Keduanya mulai saling melepaskan mantra penyerang. Gerakan mereka makin cepat dan menimbulkan selubung gaib yang menutupi mereka.

“Raji, cepat tolong Pafi, dia terkena mantra halilintar. Kedua tangannya merah membara.” Dimas memanggil Raji yang tiba tidak lama kemudian. Raji langsung berlutut di depan Dimas yang sedang memangku tubuh Pafi yang pingsan. Kedua tangan Pafi terlihat merah menyala seakan seperti bara api. Raji menyentuh tangan Pafi dengan jarinya, rasa panas hebat menyengat jari Raji. Raji mengaduh kesakitan. Raji mengambil duduk bersila, kemudian dengan tarikan nafas yang dalam Raji menyentuh kembali kedua tangan Pafi dengan kedua tangannya yang berselubung bening kebiruan. Asap putih mengepul dengan suara seperti bara yang tersiram air saat kedua tangan Raji bersentuhan dengan tangan Pafi.

“Mantra ini terlalu kuat, aku tidak bisa menembusnya.” Raji mulai berkeringat deras. Tangan Pafi masih tetap merah membara.

“Tenagaku tidak cukup kuat untuk menyerap panasnya.” Kata Raji yang mulai gemetar.

“Aku akan membantumu, gunakanlah tenagaku.” Dimas kemudian meletakan Pafi di atas tanah dan bersila di belakang Raji. Sesaat menarik nafas dalam-dalam kemudian meletakan kedua telapak tangannya di bahu belakang Raji. Sesaat kemudian Raji mulai kembali stabil dan merasakan aliran tenaga melalui tangannya. Perlahan pula kedua tangan Pafi mulai kembali normal.

“Aku rasa sudah cukup, seluruh mantranya telah hilang. Kita hanya tinggal menunggu tenaganya pulih dan tubuhnya menyembuhkan luka-luka di dalam.” Raji melepaskan kedua tangannya dari tangan Pafi. Wajahnya penuh dengan bulir keringat.

Sementara pertarungan antara Prabu Narayala dengan Purusa makin memuncak. Keduanya sekarang sedang terjebak dalam ikatan energi yang saling mendorong. Dua tangan Prabu Narayala mengeluarkan dua larik besar sinar biru yang berputar-putar terkait dengan dua sinar merah yang keluar dari kedua tangan Purusa. Saat mencapai puncak tenaga, kedua sinar itu melebar dan berdentum keras hingga membuat keduanya terjengkang ke belakang. Saat yang sempit tersebut dimanfaatkan oleh Purusa. Tubuhnya yang kecil melesat pergi meninggalkan halaman kuil Cakravartin dengan cepat. Prabu Narayala tidak mengejar Purusa, perhatian lebih teralih kepada keadaan Pafi, Dimas dan Raji.

“Bagaimana keadaan Pafi.” Tanya Prabu Narayala

“Dia sudah stabil, seluruh mantra yang menyerangnya telah hilang. Sekarang tinggal menunggu tubuhnya sendiri menyembuhkan luka-luka dalamnya.” Raji menjawab dengan lesu.

“Kau sudah melakukannya dengan baik Raji dan melakukannya dengan tepat. Jilan yang asli sudah ditemukan, selama ini anak malang itu dibuat tertidur oleh Purusa di asramanya.” Kata Prabu Narayala. Dimas dan Raji saling pandang, rasa kasihan menyelip diantara hati mereka kepada orang yang selama ini mereka anggap sangat menyebalkan.

Kemudian Prabu Narayala berdiri menghadap kuil Cakravartin yang masih menyala terang sebening kaca. Kedua tangannya dilebarkan ke atas dan dengan mantra yang tidak terucap kedua tangannya melecutkan sembilan bola sinar keemasan yang melayang masuk ke dalam ruangan di dasar kuil. Tak lama kemudian semua sinar yang memancar padam, seluruh permukaan kuil kembali seperti semula. Pilar sinar yang meluncur di ujung kuil pun lenyap. Mereka kemudian meninggalkan halaman kuil menuju kediaman Prabu Narayala. Pafi dibawa dalam gendongan Prabu Narayala. Meninggalkan halaman kuil yang porak poranda akibat pertempuran.






Pagi di Medanggana Raya tampak cerah. Tak ada kesan ada yang tahu bahwa semalam telah terjadi pertempuran hebat. Hanya halaman kuil yang hancur porak-poranda. Para siswa yang baru tiba di halaman kuil keheranan menyaksikan yang terjadi pada seluruh area kuil. Tak ada yang tahu pagi itu ada seorang siswa tingkat dasar yang telah menghilang.

Pafi telah pulih dari lukanya, pagi itu dia tampak segar. Hanya pegal-pegal masih dia rasakan di kedua tangannya. Dimas dan Raji menyambutnya gembira saat keluar dari kamar.

“Pafi, kau sudah sembuh ?” Dimas berlari menghampiri Pafi. Raji turut menghampiri dengan senyum bahagia melihat sahabatnya kembali sehat.

“Aku baik-baik saja, Cuma kedua tanganku masih terasa pegal-pegal. Mungkin dengan sedikit berolah raga akan baikan.” Kata Pafi tersenyum gembira.

“Terima kasih Raji.” Pafi kemudian menoleh kepada Raji.

“Tidak apa-apa, aku yakin kau pun akan melakukan yang sama padaku.” Kata Raji yang tak bisa menutup kegembiraannya.

“Hari ini kita akan menghadiri pembukaan panen raya, bersiaplah” kata Dimas.

Penduduk di seluruh kerajaan Narapati merayakan pesta panen raya. Utusan-utusan dari kota-kota di seluruh kerajaan dengan beraneka macam pakaian yang indah datang dengan membawa upeti-upeti tanda selamat atas berkah yang diberikan oleh Sang Pencipta atas panen raya itu. Ribuan orang sudah berbaris sepanjang jalan menuju kuil menebarkan bunga-bunga tanda penyambutan kepada boyongan dari utusan-utusan kota-kota lain.

Tarian-tarian penyambutan dilakukan ratusan gadis-gadis dan pemuda-pemuda bermahkota emas dengan pakaian berwarna coklat tua di hiasi motif dedaunan berwarna emas. Alunan iringan musik menambah keindahan gerak gemulai para penari yang menandakan kegembiraan akan kedatangan tamu yang diagungkan.

Halaman istana hingga jalan utama yang menembus hingga gerbang timur telah penuh dengan barisan orang-orang yang dipagari pasukan kerajaan. Prabu Narayala duduk di atas panggung bersama para pejabat istana. Banyak sekali penduduk yang ingin tahu melihat kehadiran tiga orang anak-anak remaja yang tak lain adalah Dimas, Raji dan Pafi. Bisik-bisik mulai menjalar di kerumunan orang-orang yang berkumpul menyaksikan pesta panen itu.

“Selamat datang aku ucapkan kepada para utusan, terima kasih atas upeti-upeti kalian kepada Narapati. Hari ini kita merayakan panen raya sebagai tanda terima kasih kita kepada sang pencipta yang telah memberikan kita kelimpahan hasil bumi dan mencukupi kita semua dengan makanan dan pakaian. Hari ini juga menjadi hari yang sangat penting dan membahagiakan. Medanggana Raya kini berhutang terima kasih kepada tiga sahabat kecil ini. Kalian pasti bertanya-tanya siapa mereka bertiga. Mereka adalah Dimas, Raji dan Pafi yang telah dengan gagah berani melawan penyihir hitam hingga mencegahnya mencuri batu bintang satuasra. Berkat keberanian mereka, Medanggana Raya tetap memiliki pelindung kota yang selama ini menjaga kita dari serangan jahat bangsa Amukhsara. Atas jasa mereka bertiga, aku mengucapkan terima kasih dan menganugerahkan mereka tanda anggota kerajaan.”

Prabu Narayala mengalungkan masing-masing sebuah medali kepada Dimas, Raji dan Pafi. Seluruh penduduk memberikan sorakan dan tepuk tangan. Pesta panen raya dimulai, suara tetabuhan, tarian dan arak-arakan datang silih berganti menggambarkan kekayaan budaya seluruh negeri Narapati. Negeri yang baru saja diperkenalkan kepada tiga pahlawan kecil. Sebuah pengenalan yang cerdik oleh Prabu Narayala tanpa harus membuka identitas asli mereka bertiga. Kini Narapati mengenal Dimas, Raji dan Pafi sebagai anak ajaib yang menyelamatkan batu bintang Satuasra, bukan sebagai tiga serangkai sang penjaga buku kehidupan. Identitas yang akan tetap membuat ketiganya hidup sederhana.

No comments: