Tuesday, May 29, 2007

LEMBAH SUNDA


Medanggana Raya pastilah begitu cerah pagi ini pikir Dimas yang merasa baru saja bangun dari tidurnya. Dimas masih terkesan dengan perjalanan pertamanya dengan Sighram semalam. Rasanya baru saja dia berpisah dengan Sighram. Ada rasa petualangan yang kini dapat memenuhi seluruh ruang emosinya. Berjalan menuju ruangan tengah tak dijumpai Raji dan Pafi. Pastilah mereka berdua masih tertidur lelap karena kelelahan semalam pikir Dimas. Di tengah ruangan Prabu Narayala telah duduk seakan sudah menunggunya.

“Ah, baru saja aku mau membangunkanmu, rupanya kau sudah berada disini anakku.” Kata Prabu Narayala.

“Eh… Bapak Narayala, iya saya hendak berjalan-jalan di halaman. Pagi pasti sangat cerah hari ini.” Kata Dimas.

“Pagi ? fajar masih menyingsing. Malam masih seperti saat engkau kembali bersama Sighram anakku” kata Prabu Narayala. Dimas bingung dengan perkataan Prabu Narayala. Rasa tak percaya dan penasaran mendorongnya untuk mendekat jendela. Matanya memandang langit yang masih diterangi candra yang melayang begitu rendah di barat. Seekor ngengat tampak melayang tak bergerak di tengah udara malam. Dimas masih belum mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Prabu Narayala maklum dengan kebingungan Dimas.

“Aku menghentikan waktu untuk sementara, karena aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Tempat dimana kau akan tahu asal-usulmu dan arti pentingnya dirimu bagi Narapati.” Kata Prabu Narayala.

Dimas masih belum mengerti, walaupun begitu banyak keajaiban yang sudah dia lihat, tetapi menghentikan waktu belum termasuk dalam bayangannya tentang keajaiban itu. Antara rasa tidak percaya dan ingin tahu Dimas bingung memilih pertanyaan yang ingin diajukannya.

“Benarkan Bapak Narayala dapat menghentikan waktu ?” tanya Dimas dengan wajah yang masih tidak percaya.

“Ya, benar anakku. Tapi tidak semua Narapati bisa melakukannya. Kau sendiri sudah melihat buktinya, bagaimana ngengat itu diam melayang tak bergerak.” Kata Prabu Narayala sambil menunjuk ke arah jendela. Dimas henya tersenyum kecil.

“Tapi mengapa harus dengan menghentikan waktu untuk menuju tempat yang Bapak Narayala maksud.” Tanya Dimas

“Karena aku tidak ingin ada orang yang tahu mengenai kepergian kita. Jika tiba-tiba kita menghilang beberapa waktu maka akan menimbulkan pertanyaan, terutama dari kedua sahabatmu.” Kata Prabu Narayala. Dimas langsung teringat dengan Raji dan Pafi. Sebelum pertanyaan keluar dari mulut Dimas, Prabu Narayala segera melanjutkan kata-katanya.

“Raji dan Pafi sedang tertidur pulas” kata Prabu Narayala. Kemudian Prabu Narayala mengajak Dimas untuk keluar ruangan menuju halaman belakang yang langsung tembus ke dalam Kuil Cakravartin.

Prabu Narayala mengajak Dimas menuruni tangga yang terlihat sangat panjang dan dalam. Dimas berpikir bahwa tangga ini menuju perut bumi yang tepat berpusat di dasar Cakravartin. Cahaya yang dikeluarkan dari ujung tongkat yang dipegang Prabu Narayala menjadi satu-satunya penerang untuk ruangan bawah tanah yang begitu gelap gulita. Berada di samping Prabu Narayala, pikiran Dimas masih terus bertanya dan menerka-nerka apa yang akan ditunjukan oleh Prabu Narayala kepada dirinya.

Dinding-dinding yang penuh lumut menutupi relief-relief disepanjang tangga menurun. Dalam hatinya Dimas ingin sekali mengajukan pertanyaan kepada Prabu Narayala, tetapi dirinya sudah dibuat berjanji untuk tidak bertanya apapun sampai diijinkan kembali. Banyak sekali pahatan-pahatan pada dinding batu itu menceritakan sesuatu yang ingin sekali ditanyakannya, tetapi Dimas hanya bisa menelan ludah dan menahan pita suaranya agar tidak berbunyi.

Entah berapa lamanya Dimas menuruni anak tangga itu, rasanya sudah pegal kakinya, Lalu mereka tiba didasar tangga, Dimas melihat tidak ada sesuatu pun baik pintu atau apapun dalam ruangan berbentuk lingkaran itu. Belum sempat meneliti lebih jauh, suara keras seperti benda bergesekan terdengar membunyikan gema yang berulang-ulang. Dimas menyadari bahwa tangga yang tadi dipijaknya bersama Prabu Narayala untuk turun kini bergeser masuk rapat ke dinding hingga tak mungkin lagi bagi mereka untuk naik lagi ke atas. Dimas ingin bertanya kepada Prabu Narayala, tetapi Prabu Narayala meletakan telunjuknya didepan bibirnya memberikan isyarat kepada Dimas agar tetap diam. Tak bisa berbuat apa-apa Dimas hanya patuh dan diam.

Sejenak mereka berdua terdiam tanpa suara, Prabu Narayala mematikan cahaya yang keluar dari ujung tongkatnya. Suasana menjadi gelap total dan hening. Dimas merasakan adanya gerakan angin berputar di atas kepalanya. Tiba-tiba seluruh lantai yang dipijaknya menghilang, Dimas dan Prabu Narayala terhempas ke bawah. Nyaris saja keluar teriakan dari mulutnya, tetapi Prabu Narayala memegang erat tangannya. Setelah beberapa saat merasakan melayang jatuh dengan desiran angin keras dari bawah akhirnya Dimas merasakan sebuah pijakan merapat di bawah kakinya dan tak lama kemudian seperti mendaratnya seekor burung mendarat dengan sempurna tanpa hentakan.

Dalam keadaan yang masih gelap gulita, Dimas merasakan kini ruangan tempatnya berdiri seperti melebar, angin berdesir kencang menerpa wajahnya, jubahnya ikut berkibar. Prabu Narayala masih tetap memegang tangannya tanpa bicara sepatahpun.

“Sekarang pejamkan matamu, ikuti kata-kataku” Kata Prabu Narayala

“NOGARAN NARAPHATHI THORSEDHABAN” Dimas memejamkan matanya dan mengikuti lafal yang diucapkan Prabu Narayala.

“Nah sekarang bukalah matamu anakku, kau boleh bertanya apapun yang ingin kau ketahui.” Kata Prabu Narayala.

Perlahan Dimas membuka matanya, cahaya yang sangat kuat membuat matanya terasa sakit. Matanya belum menyesuaikan diri dari kegelapan total yang tadi dialaminya. Tidak berapa lama berangsur pandangannya pulih dan rasa sakitnya hilang. Dimas melihat dirinya sekarang bersama Prabu Narayala tidak lagi berada di dalam ruangan tetapi berada di atas sebongkah batu besar yang rata dan mengerucut pada bagian bawahnya. Bongkahan itu melayang di udara hingga setinggi gunung yang kini berada di pandangan matanya.

“Dimana kita sekarang Bapak Narayala” Tanya Dimas terkejut mengamati sekelilingnya.

“Kita berada di alam Narapati enambelas ribu tahun yang lalu” Kata Prabu Narayala menjawab singkat. Prabu Narayala membiarkan pertanyaan yang mengalir dari mulut Dimas. Dia tidak ingin menceritakannya sebelum menjadi sebuah pertanyaan terlebih dahulu.

“Itu gunung apa namanya” Tanya Dimas

“Itu Gunung Krakatau Purba” Jawab Prabu Narayala Singkat.

“Krakatau Purba, bukankah krakatau berada di tengah laut ?” Tanya Dimas

“Pada jaman itu Krakatau Purba berada di tengah daratan, semua adalah daratan sepanjang yang kau lihat sampai pulau Kalimantan, hingga ke utara” Jawab Prabu Narayala.

“Lalu apa yang terjadi kemudian ?” Dimas kembali bertanya.

“Lihatlah baik-baik angkasa yang hitam itu, bukan mendung, tetapi abu yang sudah berminggu-minggu dilontarkan dari mulut gunung-gunung di seluruh Swarna hingga Kelimutu. Gelap ini bukanlah malam, tapi karena matahari tak mampu menembus tebalnya debu di angkasa”

“Lihatlah baik-baik, di lembah sana di pinggir sungai, itulah ibukota Narapati Narathala.” Prabu Narayala menunjukan jarinya ke tengah lembah yang dialiri sungai raksasa yang memiliki hulu dari segala arah membuat semua wilayah terlihat seperti sebuah rangkaian tulang ikan yang bertemu di jalur pusatnya. Tepat di tengah lembah tampak sebuah kota yang sangat besar dengan puluhan bangunan tinggi yang mengitari sebuah piramida yang menjadi paling tinggi di antara bangunan kota dengan hamparan sawah yang begitu luas mengembang hijau bagaikan permadani. Prabu Narayala mengibaskan tangannya.

Pulau batu tempat mereka berdua berdiri bergerak melayang mendekati pusat kota Narathala. Kota yang sangat megah ditengah surga hutan rimba belantara dan pohon-pohon kelapa yang melambai diseluruh penjuru kota. Kapal-kapal berlabuh di sepanjang dermaga sungai, tapi tak ada denyut gerak kehidupan. Lalu Prabu Narayala menujuk ke arah kejauhan, dimana terdapat iring-iringan penduduk merayap menuju daerah yang lebih tinggi didampingi gajah-gajah penarik gerobak. Mereka mendekati iring-iringan itu hingga menuju sebuah dinding tebing yang tinggi. Sebuah bayangan seperti air terjun yang cukup besar tampak di dinding tebing. Ratusan orang berjaga membentuk barisan yang membatasi antrian para pengungsi dengan dinding tebing. Pulau batu yang dipijak Dimas dan Prabu Narayala bergerak mendekati tebing dan terbang merendah. Prabu Narayala mengajak Dimas melompat. Mereka mendarat di sisi kiri dinding tebing dimana dua orang pemuda yang serupa wajahnya sedang berbicara.


“Narayala, kita harus memindahkan seluruh penduduk segera, kita tidak punya banyak waktu” Kata seorang pemuda yang kelihatan cemas kepada seorang lelaki muda yang keduanya sangat mirip wajahnya. Dimas dapat menerka bahwa keduanya adalah saudara kembar. Garis dan bentuk wajahnya sangat dikenali Dimas, salah satu dari dua pemuda itu tidak lain Prabu Narayala. Prabu Narayala menganggukan apa yang dilihat oleh Dimas.

“Aku masih butuh waktu Naraphala, gerbang untuk memindahkan seluruh penduduk ke dunia tengah belum sempurna” Jawab Narayala.

“Tapi bintang kemukus sebentar lagi akan melintas tepat di atas ubun-ubun, semua gunung akan meletus.” Naraphala tampak tak sabar dan panik.

“Kau aturlah persiapan agar seluruh penduduk siap di depan gerbang, tapi aku tidak akan mengijinkan siapapun melintas sebelum aku yakin benar-benar aman” Narayala menenangkan Naraphala.

Datang seorang prajurit menghadap dan bersujud di hadapan Narayala dan Naraphala.

“Maafkan hamba tuanku, hamba ingin melaporkan sesuatu yang sangat penting” kata prajurit itu dengan suara yang masih terengah kelelahan.

“Ada apa prajurit” Tanya Naraphala

“Telik sandi dari pantai barat melihat permukaan air laut perlahan-lahan naik ke daratan. Banyak wilayah di sepanjang pantai barat sudah terendam air laut sampai ketinggian pohon kelapa.” Prajurit itu menjelaskan dengan cepat.

“Kapan kejadiannya ?” Tanya Naraphala

“Setelah bumi bergoncang sangat hebat sangat besar terjadi yang meruntuhkan banyak bukit dan gunung” jawab si prajurit.

“Setelah gempa terjadi, tiba-tiba saja air laut surut seperti lenyap tertelan bumi, beberapa saat kemudian gelombang sangat dahsyat menjulang setinggi 3 kali pohon kelapa menerjang seluruh pantai. Hamba sedang berada di puncak bukit ketika gempa dan gelombang pasang raksasa itu terjadi.” Sambung si prajurit.

“Kita harus segera memasuki gerbang, aku yang akan masuk lebih dulu” Naraphala habis kesabaran.

“Jangan Naraphala, kau tahu apa yang akan terjadi padamu kalau keseimbangan dunia di balik gerbang ini belum sempurna. Kerajaan Selatan pun tidak akan bisa membantu jika hal itu terjadi.” Narayala berusaha mencegah Naraphala.

“Aku tahu, tapi aku tidak ingin melihat banyak korban berjatuhan pada rakyat kita” Naraphala makin gusar tidak lagi memperdulikan kata-kata Narayala. Tanpa mempedulikan peringatan dari Narayala, Naraphala segera menyebrangi gerbang yang tampak seperti tertutup air terjun. Sedikit ragu saat pertama akan melangkah masuk, tetapi akhirnya niatnya yang begitu kuat mendorongnya menerobos lapisan dinding tersebut. Kemudian Naraphala muncul kembali dari balik dinding itu.

“Narayala, di dalam sana sudah ada dunia yang persis keadaannya dengan yang ada disini, ayo cepat kita pindahkan segera seluruh penduduk, para prajurit kerajaan selatan pun sudah berada di sana dan siap membantu perpindahan penduduk kita.” Kata Naraphala dengan penuh semangat. Narayala terlihat khawatir dengan yang baru saja di lakukan saudaranya Naraphala. Tetapi dia sangat kenal watak saudara kembarnya yang sangat keras kepala.

“Baiklah, prajurit segera lakukan persiapan untuk melakukan penyebrangan.” Kata Prabu Narayala kepada beberapa prajurit. Ratusan Prajurit segera menyebar di antara para pengungsi yang sudah kelelahan. Mendengar kepastian penyebrangan sudah dimulai, pengungsi yang jumlahnya jutaan itu pun bangkit dan mulai bergerak mendekati gerbang.

“Pikatan, kau pimpin beberapa puluh pasukan untuk menyebrang lebih dulu, cari tempat yang cukup baik untuk mendirikan kemah.” perintah Naraphala kepada seorang lelaki muda berperawakan tinggi dan kelihatan cerdas dari sorot matanya. Pikatan dengan cekatan memilih beberapa prajurit untuk ikut serta dengannya mengikuti perintah yang diberikan Naraphala. Ratusan prajurit yang terpilih dipimpin Nayakka memasuki gerbang lebih dulu. Sementara ribuan prajurit berbaris memagari antrian para pengungsi yang begitu panjang.

Dimas memperhatikan semua kegiatan yang dilakukan oleh Prabu Narayala muda bersama saudara kembarnya Naraphala.

“Apa yang sebenarnya sedang terjadi Bapak Narayala ?” Dimas melihat ada hal lain yang terjadi yang bukan seperti yang dilihatnya. Sesuatu yang menjadi penyebab semua bencana besar itu.

“Saat semua itu terjadi Bangsa Narapati sedang berperang dengan bangsa Asvin. Awalnya perang itu hanyalah perang antara Bangsa Asvin dengan Bangsa Dravida. Tetapi menjadi Bangsa Narapati akhirnya ikut memerangi Bangsa Asvin setelah mereka menggunakan senjata penghancur yang mereka sebut ‘Isuagha’. Senjata itu menghancurkan puncak-puncak es di Himalaya hingga menimbulkan banjir besar di seluruh daratan kerajaan Dravida. Pada saat berikutnya mereka mulai menghancurkan semua pulau-pulau es di utara dan selatan bumi hingga menimbulkan banjir besar di seluruh dunia. Mereka melakukan semua perang itu saat Narapati sedang menghadapi perubahan bumi. Bangsa Asvin tahu, kalau dia tidak mungkin menyerang Narapati dalam keadaan siaga, tetapi harus dalam keadaan paling lemah. Bangsa Narapati memiliki kemampuan perang yang lebih unggul dari bangsa Asvin dan mereka melakukannya saat gunung-gunung di busur api meletus secara bersamaan. Para cendikia mengatakan kepada Raja Narapati, bahwa bencana ini akan berlangsung sangat lama. Bangsa Narapati akan mengalami penderitaan hebat walaupun pindah ke tempat yang lebih tinggi. Seluruh kota-kota Narapati akan tenggelam, abu gunung akan menutup semua permukaan bumi dan menghancurkan hutan dan ladang. Seluruh dunia akan mengalami kelaparan hebat dan suhu yang sangat dingin. Kemudian Raja memerintahkan pemindahan penduduk ke dunia tengah.” Narayala terdiam.

Dimas mulai mengerti semua situasinya. Pikirannya kini kembali menuju proses pengungsian yang sedang dilakukan.

“Apa yang terjadi jika dunia balik gerbang itu belum seimbang Bapak Narayala.” Tanya Dimas.

“Kau akan menemukan jawabannya anakku, sabarlah. Perhatikan dengan baik semua yang terjadi.” Kata Prabu Narayala.

Kemudian Prabu Narayala mengajak Dimas turun dari pulau batu yang mereka pijak dan bergerak bersama para pengungsi yang mulai memasuki gerbang ke dunia tengah. Dimas menatapi satu per satu wajah-wajah lelah dan khawatir dari para penduduk Narapati yang membawa perbekalan seadanya. Prabu Narayala dan Dimas akhirnya masuk ke dalam gerbang dan menyebrang ke dunia tengah bersama para pengungsi. Keadaan berubah menjadi sangat gelap gulita. Sesaat kemudian kembali terang dan tiba di sebuah tanah lapang yang sangat luas yang diapit pohon-pohon besar pada kiri dan kanannya. Pagar betis para prajurit-prajurit yang dipimpin Nayakka diselingi oleh mahluk-mahluk bersisik berwarna hijau berjaga di pinggir-pinggir pohon. Mahluk bersisik berwarna hijau itu terlihat sangat bersahabat dengan para prajurit Narapati.

Tiba-tiba dari arah belakang iring-iringan penduduk terdengar teriakan-teriakan panik yang mendorong iring-iringan paling belakang.

“Gerbang akan ditutup, cepat!! Cepat!! Gerbang akan ditutup” beberapa prajurit berteriak.

Prabu Narayala mengajak Dimas bergerak berlawanan arah dengan antrian panjang penduduk Narapati yang masih terus bergerak memasuki dunia tengah. Kembali ke dunia manusia, langit telah berubah sangat cepat. Kemudian mereka menaiki kembali pulau batu dan terbang melayang ke angkasa mendekati awan hitam yang menggantung di seluruh lembah sunda.

“Lihatlah anakku, kapulan asap yang menjulang tinggi itu.” Kata Prabu Narayala menunjuk ke arah kapulan asap yang menjulang tinggi di kejauhan laksana pilar-pilar langit berjajar melingkar.

“Kepulan asap itu berasal dari manakah Bapak Narayala ?” tanya Dimas.

“Leuser, Sinabung, Toba, Marapi, Talang, Kerinci, Seblat, Dempo, Ranau, Rajabasa, Krakatau, Karang, Sunda, Dieng, Merapi, Bromo, Ijen, Batur, Rinjani, Tambora dan Kelimutu adalah asal dari pilar-pilar asap yang menjulang tinggi ke angkasa itu. Hal itu adalah akibat berantai dari melintasnya bintang kemukus di langit dan bersatunya matahari, bumi dan bulan pada garis yang sama yang menyebabkan seluruh tanah bergetar dan mengakibatkan gunung-gunung meletus. Pilar-pilar itu berjajar membentuk busur dimana puncaknya adalah saat anak panah api dilepaskan dari tengah busur di krakatau purba.” Kata Prabu Narayala. Dimas begitu terkesima melihat sebuah bola cahaya seterang matahari bergerak pelan dengan ekor yang begitu panjang.

Angkasa begitu merah memendar ke seluruh daratan dan lautan. Matahari mendapatkan kembarannya hari itu, begitu besar dan bergerak dengan ekor hitam legam menebar debu ke seluruh langit. Terang yang sangat menyerang satu bagian bumi dan sekaligus gelap pada bagian yang lain. Disebuah lembah dengan dinding setinggi lebih dari seratus meter antrian panjang manusia mengalir memasuki sebuah gerbang setengah lingkaran yang tampak seperti sebuah dinding air terjun.

“Cepat bergerak masuk, waktu kita tidak terlalu banyak” teriak para laki-laki yang berdiri tegak di atas batu di sisi kiri dan kanan antrian yang terus bergerak memasuki gerbang.

Angin dan guntur begitu kencang bersahutan diiringi dentuman-dentuman keras gunung-gunung yang melontarkan lahar-lahar pijar dan batu-batu api raksasa yang menyala dan berekor hitam ke angkasa. Sejak kehadiran bulan kembar seluruh permukaan bumi seakan bergerak, gunung-gunung bergetar. Begitu banyak hewan yang berpindah secara masal di darat, di laut maupun di angkasa.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama terang berubah menjadi gelap gulita oleh sapuan debu gunung-gunung yang mengamuk yang menyebar di angkasa. Sesaat seluruh suara hilang, suara kerumunan orang berisik yang sedang bergerak seperti tersedot habis, suara letusan-letusan dan getar gunung-gunung yang meletus tiba-tiba saja lenyap tak terdengar. Hanya berlangsung sesaat dan kemudian diikuti suara dentuman paling dahsyat yang pernah didengar seluruh mahluk di permukaan bumi. Antrian manusia yang sedang bergerak tiba-tiba saja tumbang terhempas sebuah kekuatan gelombang kejut yang membuat banyak orang terpental begitu jauh dan beberapa menghantam dinding tebing.

Seketika panik menerjang semua jiwa yang tergopoh-gopoh berupaya bangkit dengan telinga-telinga dan hidung yang mengalirkan darah. Suara kembali terdengar, kali ini teriakan dan tangisan panik mengemakan seluruh lembah. Namun belum banyak yang berhasil memasuki gerbang, langit mendadak berubah menjadi sangat merah menderu menerjang seluruh permukaan.

“Tutup gerbang, tutup gerbang…….” Teriak para prajurit yang persis berada di sebelah kiri kanan dinding gerbang. Seketika gerbang menutup Kepanikan hanya sesaat terjadi sebelum akhirnya terhenti bersamaan dengan hempasan awan panas yang sangat hebat bergulung-gulung memenuhi lembah, melontarkan dan membakar apa saja yang dilaluinya. Dalam sekejap seluruh hutan lembah sunda hangus terbakar, terang yang tersisa bukanlah sinar matahari, tapi hanya api yang terus membakar semua sisa hutan di lembah sunda dan kota Narathala yang mulai tertutup abu.

Air laut dengan deras mulai menembus masuk melalui celah yang terbuat dari letusan krakatau purba yang terdorong oleh gelombang laut yang terbentuk akibat gempa yang begitu hebat dari dalam tanah. Lembah sunda dibanjiri oleh air yang merubah debu letusan gunung menjadi lumpur hitam yang pekat dan memadamkan hutan-hutan yang terbakar. Sungai-sungai telah berubah menjadi hitam sepekat lumpur dan tak lagi bisa dikenali alirannya. Air terus meninggi dan merendam seluruh lembah.

Dimas menyaksikan seluruh kehancuran kerajaan Narapati di seluruh lembah sunda. Prabu Narayala merasakan getaran hebat di dada Dimas.

“Yang kau saksikan tadi baru awal dari semuanya anakku. Cerita sebenarnya yang ingin aku perlihatkan kepadamu adalah yang terjadi di dunia tengah setelah dilakukan penyebrangan. Tapi aku rasa saat ini cukup untuk memperlihatkan kepadamu apa yang terjadi sebelum penyebrangan.” Kata Prabu Narayala sambil mengibaskan tangannya. Suasana kembali gelap gulita, Dimas merasakan gerakan mundur dan naik yang kemudian diikuti dengan terang di sebuah ruangan.

“Kapankah Bapak Narayala akan memperlihatkan kepada saya mengenai yang terjadi di dunia tengah setelah perpindahan.” Tanya Dimas.

“Waktunya akan tiba anakku, aku tidak mengatakannya kapan. Aku hanya bisa mengatakannya ketika aku mulai merasakannya tiba.” Kata Prabu Narayala tersenyum kepada Dimas. Mereka berdua kemudian bergerak keluar dari ruangan dan kembali menuju kediaman. Masih begitu banyak pertanyaan yang muncul di kepala Dimas dan menunggu jawaban. Dimas kembali ke ruangan tidurnya dimana Raji masih meringkuk tak bergerak. Dimas segera mengambil tempat meletakan badannya yang sudah sangat lelah di atas tempat tidur.

Waktu berjalan begitu cepat, Dimas, Raji dan Pafi berusaha mengejar ketinggalan mereka tentang Narapati. Dunia baru ini begitu memukau Dimas hingga benar-benar membuatnya terlarut dalam setiap kegiatan. Prabu Narayala tidak mengumumkan apapun kepada rakyat Narapati mengenai siapa Dimas sebenarnya dan takdir apa yang dibawanya. Hal itu membuat Dimas tetap terlihat seperti orang biasa dan bisa bergaul dengan nyaman dengan siapapun. Kenyataan bahwa dunia barunya tetap tak mempertemukannya dengan wajah-wajah yang selama ini selalu menjelma dalam mimpi-mimpinya. Ada rasa benci mengapa harus dirinya yang terpilih untuk kehilangan kedua orang tua di usia yang masih sangat membutuhkan kasih sayang mereka.

Termenung di depan jendela memandang jauh di antara atap-atap bangunan rumah penduduk yang berjajar rapi di antara aliran nadisara. Teringat kembali perjalanan napak tilas sejarah perpindahan Narapati yang ditunjukan oleh Prabu Narayala cukup mampu menempatkan rasa sedihnya menjadi sebuah tanggung jawab yang sangat besar.

No comments: