Thursday, December 21, 2006

NARASIMHA DAVANTI SIGHRAM

Enam purnama telah berlalu, tiga serangkai menjadi pusat perhatian di Cakravartin. Ada yang mengagumi, ada yang mencibir, ada yang bersikap biasa saja. Semuanya tidak berpengaruh sedikitpun pada Dimas, dia tetap merasa seperti apa adanya. Kehidupannya di asrama bersama Nyai Janis di dunia manusia lebih melekat kuat membentuk pribadinya yang selalu rendah hati. Bahkan Dimas merasa dia tidak seberuntung anak-anak lainnya yang masih memiliki kedua orang tua. Tapi untungnya dia memiliki dua sahabat yang tak jauh berbeda dengan dirinya. Kesamaan itu membuat mereka makin kuat.

Hari biasa setelah pelajaran usai, Dimas bergegas menuju ruangan Guru Naradharma. Raji dan Pafi mengejarnya dari belakang. Tak biasanya ada panggilan khusus dari Guru Naradharma. Dimas merasa panggilan ini begitu penting sehingga langkahnya begitu cepat.

“Selamat siang Guru Naradharma” Dimas menyapa orang tua itu saat tiba di ruangannya. Raji dan Pafi secara bersamaan juga memberikan salam.

“Ah, anak-anak terima kasih sudah mau segera memenuhi panggilanku. Aku hari ini ada berita untuk kalian. Kalian sudah diijinkan untuk ikut ritual pengenalan hewan gaib. Seharusnya ritual itu baru bisa kalian ikuti setelah di tingkat lanjut. Tapi Dewan guru menganggap kalian telah siap untuk mengikutinya.” Kata Guru Naradharma langsung pada pokok masalah. Dimas, Raji dan Pafi masih kebingungan dengan yang dimaksud oleh Guru Naradharma.

“Baiklah, ritual pengenal hewan gaib adalah ritual untuk mempertemukan hewan-hewan gaib dengan tuannya yang akan menjadi penunggangnya. Narasimha, Garuda adalah hewan gaib utama dalam ritual ini. Setelah hari ini nanti malam adalah purnama, kalian bisa datang ke halaman utama kuil pada tengah malam” Kata Guru Naradharma. Dimas, Raji dan Pafi berkerut heran, tapi dada mereka sudah mau meledak.

“Itu kalau kalian mau memiliki hewan tunggangan pribadi” kata Guru Naradharma dengan wajah yang tidak butuh dan membalikan badannya. Dimas tersenyum lebar menatap Raji dan Pafi yang nyaris teriak kegirangan.

Malam telah larut, Dimas tampak gelisah menunggu waktu tengah malam. Raji yang sejak masuk ke dalam kamar sudah langsung menempel dengan bantalnya sudah terkapar tak bergerak. Dimas duduk memandang keluar melalui jendela dimana cahaya bulan cemerlang masuk menyeruak memenuhi ruangan. Memandang ke halaman utama, tampak bayangan besar bergerombol di angkasa kemudian mendarat di halaman utama. Sekitar 20 an Garuda Kencana memenuhi halaman. Tak lama kemudian diikuti beberapa ekor Narasimha melompati pagar halaman mengaum keras dibalas teriakan para Garuda dan kepakan sayapnya.

“Raji….ji bangun, sudah waktunya” Dimas membangunkan Raji. Dengan mata yang masih lengket dengan belek, Raji berusaha bangkit dan mengikuti gerakan Dimas walaupun ubun-ubunnya belum terlalu penuh yang membuatnya sempoyongan.

“Kau sudah siap ?” Pafi menyambut di depan pintu saat Dimas keluar dari kamarnya. Dimas hanya mengangguk sambil menarik tangan Raji yang masih berusaha bertahan dari rasa kantuknya.

Halaman telah penuh dengan anak-anak tingkat dasar yang berkerumun bersebrangan dengan para Garuda dan Narasimha.

“Perhatian semua siswa tingkat dasar, saya Wanapati, Saya adalah pawang dari hewan-hewan ini dan akan menjadi pengawas malam purnama ini” Dimas mengenali orang yang berbicara di tengah lapangan.

“Satu per satu kalian akan berdiri di atas batu di tengah lapangan, jika ada diantara Garuda Kencana dan Narasimha yang bersedia menjadi tunggangan kalian”

“Sekarang mulai berbaris”

Semua siswa berebut berbaris berada pada yang paling belakang. Hanya Jilan yang tampil maju paling depan. Dimas berada di belakangnya kemudian Raji dan Pafi.

“Kamu yang paling depan, silahkan maju dan berdiri di atas batu itu” Wanapati menunjuk Jilan. Dengan wajah yang angkuh Jilan maju menuju batu yang teronggok tepat di tengah lapangan. Kepakan sayap para Garuda dan auman para Narasimha menyambut langkah Jilan yang begitu percaya diri.

“Ayo siapa yang mau menjadi tungganganku” Jilan berteriak ke arah para Garuda dan Narasimha. Serentak para Garuda dan Narasimha maju ke depan mendekati Jilan. Wajahnya terlihat mulai gemetar, semua Garuda dan Narasimha mengeluarkan suara-suara keras seakan tidak menyukai teriakan Jilan. Melihat situasi yang tidak baik Wanapati menarik tubuh Jilan dan menyeretnya kemudian mendorongnya kearah barisan. Para Garuda dan Narasimha kembali mundur.

“Kalian tidak akan mendapatkan tunggangan dengan kesombongan, meskipun hewan mereka sangat peka terhadap perilaku kalian. Para Garuda dan Narasimha bisa merasakan isi hati kalian. Maka bersikaplah rendah hati, kalau aku tidak melerai, tubuhmu sudah tercerai berai sejak tadi, yang tadi bisa menjadi contoh buat kalian. Jika hewan itu sudah bersedia kalian tunggangi, usaplah kepalanya dia akan memberitahu panggilannya untuk kalian.” Wanapati menunjuk Jilan yang berdiri gemetaran menyandar tembok.

“Sekarang giliranmu Dimas” Wanapati menatap Dimas dan tersenyum. Dimas tersenyum kecil menutupi rasa ragunya. Kemudian Dimas berjalan ke tengah lapangan dan berdiri di atas Batu. Sejenak Dimas ragu hanya berdiri tegak tak berbuat apapun, para Garuda dan Narasimha berteriak-teriak. Dimas kemudian membungkuk memberikan hormat kepada semua hewan itu, dan semua Garuda dan Narasimha berhenti berteriak dan mendekati Dimas. Dimas diam menahan nafas dan terus membungkuk. Di pinggir lapangan Wanapati tersenyum. Setelah sisa beberapa langkah para Garuda dan Narasimha itu membungkuk. Semua siswa memandang dengan kagum, Dimas perlahan bangkit dan memandang para Garuda dan Narasimha yang membungkuk bersedia menjadi tunggangan Dimas.

“Jarang sekali hal ini terjadi, Dimas, kau mendapatkan kesetiaan semua hewan itu, tapi kau tidak bisa memiliki semuanya. Kau harus memilih salah satu di antara mereka. Walaupun kau sudah memilih salah satunya, kau akan mendapatkan kesetiaan mereka selamanya, walaupun mereka sudah memiliki tuannya sendiri.” Kata Wanapati.

Dimas terdiam, dia memandangi satu persatu para Garuda dan Narasimha. Kemudian matanya berhenti pada seekor Narasimha yang seperti sudah dikenalnya, begitu akrab dengan dirinya. Dimas turun dari batu dan menghampirinya kemudian membelai kepala hewan tersebut. Dengan lembut hewan tersebut mengesekan bulu halus kepalanya ke tubuh Dimas.

“Aku ingat kau, aku ingat Sighram, Aku ingat matamu ketika pertama kali kita kembali bertemu. Sekarang aku ingat Ayah, Ibu dan kau” Dimas tak kuasa menahan derai air matanya.

“Nah Dimas, kau bisa menungganinya dan berjalan keliling kota agar hati kalian berdua semakin dekat” Wanapati menyadari keadaan yang berubah.

Dimas menaiki punggung Sighram dan Narasimha itu berbalik dan melompati pagar dan hilang bersama Dimas. Prosesi dilanjutkan oleh Pafi, Raji dan anak-anak lainnya. Raji dan Pafi memperoleh Garuda Kencana, walaupun Raji sempat jatuh saat menungganginya, tapi sekarang mereka berdua berada di angkasa kota Medanggana Raya mengikuti gerak Dimas yang berada di atas punggung Sighram.

Angin menyapu rambut Dimas, menyadari ada yang mengikutinya dari udara, Dimas mendongakan kepalanya ke atas. Pafi dan Raji melambaikan tangannya.

“Sighram kita berhenti di lapangan itu” Dimas menunjuk lapangan luas yang merupakan alun-alun kota. Garuda kencana Raji dan Pafi pun mendarat mulus di hadapan Sighram dan Dimas. Sighram mengaum kecil menyambut mereka.

“Kalian memilih Garuda Kencana rupanya” Dimas turun dari punggung Sighram. Raji dan Pafi tersenyum gembira juga turun dari punggung Garuda Kencananya.

“Kalian pasti sudah mengenal Davanthi Sighram, siapakah nama sahabat baru kalian ?” Dimas menghampiri Raji dan Pafi.

“Namanya Srigati, dia yang pertama maju menghampiriku dan membungkuk” Pafi menjelaskan dengan wajah sumringah.

“Kelihatannya dia seekor betina” kata Dimas

“Betul, Srigati seekor betina. Tadi kami banyak bercerita mengenai diri kami masing-masing. Umurnya baru 5 tahun atau setara dengan 18 tahun usia manusia” Pafi memeluk leher Srigati yang mengeluarkan suara lembut dari paruhnya.

“Kau sendiri bagaimana Raji” Tanya Dimas.

“Namanya Jethoraksa, dia menghampiriku dengan cepat dan melompat-lompat. Aku pikir aku akan mati dicabik-cabik. Ternyata dia tadi menjelaskan kalau dia senang bertemu dengan aku dan mengajaku bermain” Raji nyengir sambil menepuk punuk Jethoraksa. Garuda Kencana itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memekik ringan.

“Rupanya Jethoraksa sangat periang seperti dirimu Raji” Dimas tertawa melihat tingkah Jethoraksa yang terus menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengangkat sayapnya dan mengangkat-angkat kedua kakinya. Tampak benar seperti sedang kegirangan.

“Sighram kemarilah, kenalkan dirimu kepada Srigati dan Jethoraksa” Dimas melambaikan tangannya memanggil Sighram. Narasimha itu melenggang menghampiri dan berdiri di samping Dimas. Sighram langsung mengeluarkan auman keras kepada kedua Garuda Kencana itu bergantian yang dibalas dengan pekikan keras dari Srigati dan Jethoraksa.

“Ayo kita lanjutkan berkeliling kota, aku rasa itu baik sebagai latihan buat kita agar lebih mahir mengendarainya” Pafi dengan semangat mengajak Dimas dan Raji yang dianggukan keduanya tanda setuju. Mereka kembali ke punggung tunggangan mereka masing-masing.

Srigati menjejakan kaki sambil mengepakan sayapnya membawa Pafi melesat ke udara. Suara lengking Pafi yang khas bercampur dengan pekik Srigati memecah keheningan udara. Sementara Jethoraksa dan Raji pun tak mau kalah. Mereka melesat menyusul Pafi sambil sesekali melakukan maneuver berputar dan menukik.

“Ayo Jethoraksa, kita tunjukan kehebatan kita” Raji memegang erat leher Jethoraksa yang melakukan gerakan-gerakan tak terduga. Terkadang Raji lepas dari pegangannya tapi dengan lincah Jethoraksa menukik menangkap Raji persis di punggungnya. Raji kelihatan tidak menunjukan kengerian, wajahnya malah makin cengengesan dan tanpa henti memuji-muji Jethoraksa. Mendapat pujian dari majikannya Jethoraksa makin gembira.

Lain halnya dengan Pafi, tampaknya lebih berkonsentrasi dengan kecepatan dan ketinggian. Pafi memacu kecepatan dan memanjat tinggi sampai menembus awan. Pafi tidak melakukan maneuver-manuver seperti yang dilakukan Raji dan Jethoraksa.

“Ayo Srigati, kita lihat seberapa tinggi kemampuanmu mencapai angkasa” teriak Pafi sambil menepuk lembut punggung Srigati. Garuda Kencana itu menjawabkan dengan pekik kuat dan gerakan sayap yang makin kuat membelah ketinggian.

Sementara Dimas yang berada di punggung Sighram bergerak ringan melompat-lompat zig zag diantara nadisara di tengah kota.

Tak terasa mereka begitu asyik bermain semalaman, namun tak ada wajah kelelahan yang tampak. Sedang asyik beristirahat di bawah sebuah pohon beringin besar, mendarat seekor Garuda Kencana di depan mereka.

“Anak-anak kalian sebaiknya kembali ke asrama, waktunya sudah habis” Argaphati turun dari punggung Pavakah. Dimas bangkit dari sandarannya di punggung Sighram.

“Kalau kami kembali ke asrama, lalu dimana aku menempatkan Sighram ?” kata Dimas

“Mereka semua sudah tahu tempat tinggal mereka, kalau kalian memerlukannya kalian hanya perlu memanggil namanya saja. Angin akan membawa panggilan kalian. Jiwa kalian telah menjadi satu, jadi hanya dengan panggilan kecil saja mereka sudah mendengar dan bisa mengetahui dimana keberadaan kalian” Wanapati menyudahi dengan kembali ke punggung Pavakah. Tanpa banyak bicara Dimas menaiki punggung Sighram, diikuti Raji dan Pafi yang segera naik ke atas Jethoraksa dan Srigati.

Melesat ke angkasa menembus awan menjadi gerakan kesukaan Pafi, pagi masih begitu gelap, bintang masih terasa terang di angkasa. Sedangkan Raji selalu asyik dengan maneuver-manuver berputar dan menukiknya. Dimas merasakan babak baru yang lebih menakjubkan dalam hidupnya. Rasa bertualangnya makin besar bersama Sighram melesat menembus malam yang tinggal sepertiga. Petualangan besar menanti Dimas, Raji dan Pafi yang akan menentukan nasib dunia baru mereka.

KUIL CAKRAVARTIN


Dimas tidak menyadari semenjak hari kelahirannya yang ke 13 semua hal yang berkaitan dengan Amukhsara mudah dirasakan tanda-tandanya. Pengaruh kuat dari buku kehidupan yang mulai memancarkan energinya memberikan kepekaan yang tinggi pada Dimas. Kehadirannya di dunia Narapati juga membawa perubahan yang sangat besar yang belum disadari oleh siapapun termasuk Dimas sendiri. Batu bintang satuasra yang tersimpan dan dijaga ketat di perut Cakravartin pun tiba-tiba memancarkan sinar ke angkasa.

Pafi datang dengan janjinya membaca semua halaman demi halaman yang terdapat di dalam buku Cakravartin. Wajahnya terlihat kusut sekali seperti kurang tidur. Agaknya dia menghabiskan waktu semalaman untuk membaca. Dengan gerakan yang sangat lesu duduk di bawah pohon beringin di halaman kuil tempat yang sama mereka kemarin duduk.

“Apakah kau menemukan sesuatu yang menarik dari buku itu ?” tanya Dimas perlahan. Dimas tidak ingin terlihat terlalu memaksa Pafi. Wajahnya sudah menunjukan kelelahan yang amat sangat.

“Ulurkan tanganmu.” Raji meminta Pafi memberikan tangannya kepadanya. Pafi tahu maksud Raji, segera menyodorkan kedua tangannya kepada Raji. Raji adalah pemilik kekuatan air yang selain bisa digunakan menyerang juga bersifat menyembuhkan dan menyegarkan. Sebuah gelombang kejut seakan terdorong masuk dari kedua tangan Raji menembus kedua tangan Pafi. Sesaat Pafi merasakan rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Tapi sejenak kemudian seakan semua irama tubuhnya kembali normal, wajahnya yang pucat mulai memancarkan sinar cerah dan segar. Raji melepaskan genggamannya dari tangan Pafi.

“Terima kasih Raji, aku sudah membaik sekarang. Baiklah aku semalaman membaca seluruh isi buku ini halaman demi halaman. Aku menemukan legenda mengenai pembuatan Cakravartin. Tapi tidak ada satu keterangan pun mengenai kemunculan sinar dari puncak Cakravartin. Sepertinya tidak pernah ada kejadian seperti ini sebelumnya sejak pembangunan kuil ini.” Kata Pafi.

“Tidak ada sama sekali ?” Dimas kembali diam, pikirannya seketika kosong.

“Iya, aku bahkan membacanya sampai tiga kali, makanya aku tidak tidur semalaman. Aku tidak menemukan cerita apapun mengenai cahaya. Buku itu hanya menyebutkan kapan dibuat, berapa lama dibutuhkan untuk membuatnya dan untuk apa.” Kata Pafi.

“Apakah sebaiknya kita bertanya saja kepada Bapak Narayala.” Raji menawarkan alternatif lain.

“Bagaimana memberitahukannya, Bapak Narayala sedang berada jauh di Minoan dan baru kembali saat pesta panen nanti. Tidak ada yang bisa kita percaya saat ini. Kita benar-benar baru berada di dunia ini, dan kita tidak tahu siapa yang bisa kita percaya selain Bapak Narayala. Lebih baik kita mencari tahu sumber lain.” Kata Dimas.

“Tapi dimana sumber lain itu ?” tanya Pafi.

“Kita akan menyelidikinya langsung tiap malam.” Kata Dimas.

“Ah…petualangan baru, aku suka itu. Bagaimana Pafi, kau juga setuju kan kalau kita obok-obok Cakravartin kalau perlu seluruh Medanggana Raya.” Kata Raji penuh semangat. Pafi menjawab dengan menggangguk setuju, walaupun dia tidak terlalu suka tapi Dimas benar, tidak ada cara lain selain langsung menyelidikinya di sumbernya.

“Baiklah, kita sudah sepakat dan nanti malam akan menjadi yang pertama. Sekarang lebih baik kita kembali ke kelas, lihat Jilan sudah mulai mengendus-endus apa yang sedang kita lakukan.” Dimas bangun dari rumput menggendong tasnya di bahu. Raji menoleh ke arah Jilan yang sedang mengawasi dari tangga kuil. Tapi yang membuat Dimas, Pafi dan Raji agak terkejut dari tangga kuil tepat di belakang Raji empat anak lelaki yang mereka kenal bergegas menuruni tangga menghampiri mereka. Wajah mereka tampak sangat penuh permusuhan. Tubuh mereka jelas lebih besar dari Dimas, Raji maupun Pafi. Pastinya mereka adalah siswa dari kelas yang lebih tinggi.

“Kau ingat mereka ? kita meninggalkan mereka dalam keadaan lumpuh di perpustakaan kemarin.” Kata Dimas santai.

“Akhirnya mereka berhasil juga bebas dari totokan kita.” Kata Pafi dengan wajah melecehkan.

“Tampaknya mereka sangat marah dan ingin membalas.” Kata Raji yang tersenyum dan agak sedikit cekikikan saat membayangkan apa yang terjadi saat perpustakaan tutup tetapi mereka masih dalam keadaan lumpuh tertotok.

“Hey, mau kemana kalian. Kalian harus membayar apa yang telah kalian lakukan.” Teriak seorang yang berjalan paling depan yang nampaknya adalah pemimpin diantara keempatnya.

Tangannya langsung melakukan gerakan serangan. Sebuah bola api menerjang ke arah Dimas, Raji dan Pafi. Dengan tangkas Raji membalas serangan. Segulung air meluncur dari kolam nadisara yang berada di sekitar halaman menelan bola api itu. Kedua tenaga yang saling berlawanan itu beradu persis di tengah menimbulkan dentuman keras. Pafi dengan sigap membuat perisai gaib melindungi kedua sahabatnya dari sebaran tenaga yang pecah. Keempat anak itu terpental ke belakang sementara Jilan tetap berdiri tegak padahal dia berada persis di belakang mereka. Lumpur yang terbawa mengotori seluruh badan mereka. Dimas menahan punggung Raji dari belakang dan mencegahnya terpental.

Dentuman yang keras mengundang banyak siswa untuk melihat yang sedang terjadi. Sorak sorai segera terdengar saat melihat pertempuran dua siswa dari tingkatan yang berbeda. Jilan sangat terkejut dengan kekuatan serangan balasan yang ditunjukan Raji. Jelas dia tahu bahwa kekuatan itu bukanlah untuk siswa tingkat dasar seperti Raji. Sekarang keempat pemuda tadi sudah kembali berdiri tegak di tengah lapangan berhadap-hadapan dengan Dimas, Raji dan Pafi.

“Kelihatannya kau boleh juga, pantas kalian punya nyali. Tapi jangan senang dulu bocah. Kau akan segera meratap minta ampun.” Pemuda itu menunjuk ke arah Raji.

“Kita lihat saja apakah aksimu sebesar omonganmu.” Kata Pafii mengejek. Dimas berusaha mengambil alih keadaan, tetapi Raji menolaknya. Emosinya sudah terbakar.

“Kita lihat apakah sekarang kau mampu menahannya.” Mendengar ejekan Pafi, pemuda tadi mendengus marah. Tangannya langsung mengayun diikuti tiga putaran api yang meluncur deras. Raji kembali menarik air yang berada di kolam nadisara dan membaginya menjadi tiga putaran air. Pafi langsung membentuk perisai gaib sementara Dimas berjaga di belakang Raji. Ketiga putaran tenaga yang berlawanan itu siap saling bertubrukan. Tetapi sebelum mereka serangan itu saling bertumbukan tiba-tiba muncul dinding batu dari dasar tanah tepat di tengah-tengah mereka sehingga menyebabkan putara api dan air itu menumbuk dinding batu tersebut. Semuanya terkejut, tidak ada yang tahu siapa yang melakukannya. Tetapi dari arah tangga kuil guru Wirabhumi bergegas menghampiri mereka. Dinding batu itu kembali masuk ke dalam tanah. Wajah Guru Wirabhumi tampak marah melihat yang terjadi.

“Apa yang kalian lakukan !!! mau pamer hah. Galih, Jambung, Sundo, Arto apakah kalian tidak malu melawan siswa tingkat dasar. Kalian siswa baru ! kalian akan mendapatkan hukuman bersama mereka sore nanti.” Guru Wirabhumi meninggalkan lokasi. Raji tampak tidak bisa terima, gerakannya tertahan oleh tarikan tangan Dimas. Galih meludah dan menatap merendahkan kemudian berbalik mengajak gengnya meninggalkan tempat. Semua siswa bubar setelah diperintah oleh Guru Wirabhumi. Bisik-bisik segera menyebar ke seluruh Cakravartin tentang siswa tingkat dasar yang mampu menahan serangan siswa tingkat utama. Dimas, Raji dan Pafi segera terkenal di seluruh Cakravartin. Sepanjang jalan menuju kelas bisik-bisik dari kumpulan-kumpulan siswa mulai dirasakan Dimas, Raji maupun Pafi. Tatapan-tatapan kagum maupun sinis terlihat jelas dari air muka mereka.

“Ayo kita segera ke kelas, aku mulai tidak nyaman dengan bisik-bisik ini.” Kata Dimas. Sebaliknya dengan Raji, wajah genitnya mulai menebar pesona kepada gadis-gadis. Sementara Pafi tak ada lagi yang dipikirkan kecuali hukuman apa yang akan diberikan oleh guru Wirabhumi kepada mereka.

Hari itu kelas berjalan agak sulit bagi ketiganya. Guru Wirabhumi menunjukan sikap agak memojokan. Bahkan Jilan pun seperti mendapatkan angin untuk menyindir. Dimas tetap tenang tetapi Raji sudah sangat gatal ingin menghajar Jilan. Untung saja Pafi memberinya totokan sehingga dia tidak bisa melakukan gerakan serangan. Raji mendelikan matanya kepada Pafi karena tujuh aliran tenaga dalamnya diganjal oleh totokan Pafi. Pafi hanya tersenyum puas melihat ketidakberdayaan Raji. Tapi dia tahu bahwa totokannya hanya sementara sifatnya, akan hilang dengan sendirinya oleh desakan tenaga dalam Raji sendiri.

Sore yang tidak menyenangkan untuk menghabiskan waktu menjalani hukuman dari Guru Wirabhumi. Bayangan-bayangan hukuman yang tidak menyenangkan membayang di mata dan makin kuat saat pintu ruangan Guru Wirabhumi terbuka. Galih bersama ketiga temannya muncul dari pintu ruangan Guru Wirabhumi langsung menghadang jalan Dimas, Raji dan Pafi.

“Kita akan lanjutkan lagi di tempat lain bocah. Kau bisa pilih dimana tempat mati yang kau pilih.” Kata Galih melakukan gerakan menggertak.

“Kami tidak ingin melanjutkan perselisihan ini, aku rasa kita bisa menyudahinya di sini saja.” Kata Dimas dengan tenang.

“Kau takut…. Hah….” Galih makin menantang. Raji mulai terpancing lagi. Tetapi belum sempat suasana panas itu berkembang, suara Guru Wirabhumi dari dalam ruangan menghentikan semuanya. Dimas, Raji dan Pafi memasuki ruangan yang penuh dengan ukiran peta dan gunung-gunung di seluruh dindingnya. Pintu ruangan kembali tertutup setelah ketiganya masuk. Tak lama kemudian ketiganya keluar dengan wajah yang mengembangkan senyum. Sebuah pemandangan yang aneh, seolah mereka begitu senang dengan hukuman yang mereka terima.

“Ternyata hukumannya tidak seberat yang aku bayangkan.” Kata Raji dengan sumringah.

“Hukuman yang diberikan bukan menekankan pada pelatihan fisik Raji, tapi pada pelatihan mental agar kita lebih rendah hati, termasuk dalam menggunakan kekuatan kita.” Kata Dimas.

“Kita akan belajar banyak sekali dari hukuman ini.” Kata Pafi.

Mereka kemudian meninggalkan Cakravartin, tapi tidak langsung menuju asrama. Mereka berjalan keluar kompleks kuil dan juga asrama terus menuju pemukiman penduduk. Berjalan di tengah-tengah kota yang terbelah oleh aliran Nadisara. Perahu-perahu tanpa layar berlalu lalang membawa banyak hasil bumi yang akan diperjual belikan di pasar-pasar. Terdapat satu pasar utama dan sembilan anak pasar. Selain kereta kayu yang ditarik oleh burung-burung galapaksi, perahu adalah sarana yang sering digunakan untuk transportasi barang dan manusia. Penduduk dilarang menggunakan kendaraan udara di dalam kota.

Menurut Bangsa Narapati Dunia ini diciptakan dalam 6 hari. Berdasarkan kepercayaan itu waktu dihitung setiap kelipatan enam hari yang berulang. Hari pertama dimulai dari hari Astra, Hari Aktu, Hari Banyu, Hari Bayu, Hari Bhumi, dan Hari Rimba. Diantara semua hari, hari Astra adalah yang paling utama. Pada hari itu semua kegiatan manusia harus ditinggalkan. Hari Astra adalah hari yang diperuntukan bagi sang Pencipta. Sehingga hari untuk berdagang dan melakukan kegiatan di pasar hanya dilakukan pada lima hari lainnya.

Hari Astra sebagai hari tempat semua bermula dan menjadi tempat sumber dari semua yang ada didunia. Hari kedua bernama hari Bhumi dimana tempat hidup dan kehidupan diciptakan pertama kali. Hari tiga adalah hari Aktu dimana bhumi dibakar terlebih dahulu agar menjadi tempat yang suci. Hari keempat adalah hari Banyu dimana bhumi yang terbakar didinginkan agar kehidupan bisa berdiri diatasnya. Hari kelima adalah hari Bayu dimana udara ditiupkan agar kehidupan bisa bernafas. Dan hari yang keenam adalah hari Rimba dimana semua pohon dan mahluk lainnya diciptakan mengisi semuanya. Setiap enam hari dinamakan satu pekan dimana melambangkan dunia yang selalu berulang mulai dari proses penciptaan alam semesta hingga penciptaan kehidupan lalu diulang lagi terus menerus.

Dimas, Raji dan Pafi berjalan terus menyusuri jalan-jalan kota yang sangat bersih dan indah. Cabang pohon-pohon jati yang meranggas berjajaran di disisi kiri dan kanan jalan. Pohon-pohon nyiur pun berjajar rapi di sepanjang jalur Nadisara. Mereka berjalan terus menuju sebuah alun-alun besar di barat kota. Ratusan pedagang berbagai macam hasil bumi dan ternak saling menawarkan barangnya kepada para pembeli yang lewat. Suasana pasar yang dirasakan begitu berbeda dengan yang dialami Dimas, Raji dan Pafi di dunia manusia. Di tengah alun-alun terdapat saluran air yang terpecah-pecah menjadi beberapa saluran seperti daun kelapa yang menjadi dermaga bagi berlabuhnya semua perahu yang membawa hasil bumi dan ternak. Diantara saluran-saluran itu terdapat bangunan-bangunan beratap tanpa dinding yang lebih rendah dari pada ketinggian air sehingga perahu-perahu yang penuh dengan hasil bumi itu terlihat mengapung setinggi dada. Para pembeli hanya tinggal berkeliling di dalam ruangan dengan pilar-pilar penyangga atap.

Sementara di bagian atas atap dimana matahari menyinari dengan teriknya, bale-bale kayu dengan atap dari alang-alang menjadi tempat pelesir para pembeli yang sudah kelelahan dan menikmati makanan diantara barang-barang bukan hasil bumi dijajakan di bagian atas. Tembikar-tembikar tanah liat, Batik, Buku, dan perlengkapan kebutuhan rumah tangga lainnya tertata rapi. Penataan pasar begitu rapi dan teratur. Tidak ada percampuran jalur perahu pedagang dengan pembeli. Kereta-kereta burung Galapaksi bersandar rapi menunggu majikan-majikan mereka selesai berbelanja. Para pembeli yang menggunakan jalur air menambatkan perahu-perahu mereka di sisi luar pasar.

“Kita akan membantu pengurusan kereta-kereta Galapaksi. Kita harus menemui juru tambat kereta.” Dimas menunjuk ke arah seorang lelaki yang sedang menambatkan sebuah kereta burung Galapaksi dan memberi makan burung-burung itu.

“Ayo kita ke sana, pasti dia orangnya.” Dimas bergegas menuju orang itu diikuti oleh Raji dan Pafi.

“Permisi pak, apakah bapak bernama Suranaya ?” tanya Dimas

“Iya betul, saya Suranaya. Ada apakah anak-anak mencari saya.” Tanya Suranaya.

“Kami dikirim oleh Guru Wirabhumi menemui bapak Surayana. Saya Dimas, ini Raji dan Pafi” Kata Dimas.

“Oh iya, Guru Wirabhumi. Baiklah nak kita langsung saja ya. Sekarang nak Dimas bantu saya untuk memberi makan burung-burung ini. Hati-hati terkadang mereka suka usil. Nak Raji membersihkan kotoran-kotoran mereka dan Nak Pafi setiap ada kereta baru masuk, tambatkan di tempat yang kosong.” Kata Suranaya.

Raji protes tapi tak berani diungkapkannya, ujungnya dia hanya merengut semrawut melihat bagian tugasnya. Pafi tertawa cekikikan melihat tugas yang akan dikerjakan Raji. Dimas sendiri merasa sedikit tergelitik. Dengan sangat terpaksa Raji membersihkan kotoran burung-burung Galapaksi yang jumlahnya puluhan dan silih berganti datang. Syarat yang diminta mereka mengerjakannya tanpa menggunakan kekuatan mereka dan itu memakan tenaga dan mengucurkan keringat. Semua dikerjakan sampai menjelang sore dimana pasar mulai menyelesaikan waktunya. Satu per satu kereta-kereta burung Galapaksi pergi bersama majikannya. Seakan terbebas dari sebuah pikulan berisi batu besar, Raji menghempaskan dirinya ke tanah. Mereka baru bisa pulang setelah semua tempat penambatan bersih dan mendapatkan sebungkus nasi sebagai upahnya.

“Aku lapar sekali, ayo kita makan.” Raji membuka bungkusan makanannya.

“Rasanya kita mulai melihat pelajaran yang kita dapat dari hukuman ini.” Kata Dimas.

Mereka bertiga pulang dengan setumpuk nasi telah berpindah dari bungkusnya ke dalam perut mereka. Merasakan mengerjakan sesuatu seperti layaknya orang biasa dan tanpa ada kekuatan khusus memberikan pengalaman ketidakberdayaan yang sangat berharga bagi mereka. Mereka akhirnya menyadari bahwa dalam setiap kekuatan diikuti sebuah tanggung jawab yang besar dan bijaksana dalam menggunakannya. Kekuatan hanya digunakan untuk menempatkan kemanusiaan pada tempat yang paling tinggi dalan setiap penegakan kebenaran.

---- **** ----

Malam mulai menggantung sepertiga. Bulan tak penuh tetap sangat terang timur kota yang agak berawan. Jalan-jalan kota sudah sepi. Medanggana Raya telah lelap tertidur di selimuti kabut dingin yang sangat tebal. Ketebalannya hingga mencapai ujung atap rumah. Bulan ini adalah bulan yang paling dingin dalam semua bulan yang terdapat dalam perhitungan waktu Narapati. Narapati menghitung waktu mereka menjadi dua bagian, waktu pergerakan matahari dan waktu pergerakan bulan. Waktu matahari digunakan untuk keperluan menentukan cuaca dan musim, sedangkan waktu bulan digunakan untuk keperluan ritual. Setiap tahun matahari dibagi 12 bulan. Tahun pertama dihitung sejak permulaan perpindahan bangsa Narapati ke dunia tengah.

Tanah benar-benar tidak kelihatan, bahkan kaki sendiri pun tidak dapat dilihat. Kabut terlalu pekat. Bagi orang biasa mungkin berjalan pun sudah menjadi hal yang mustahil. Tetapi bagi Dimas, Pafi maupun Raji, hal tersebut tidak menjadi sebuah halangan besar. Pafi mampu memerintahkan kabut-kabut itu untuk menyingkir hanya dengan kibasan halus jarinya yang lentik. Tapi kali ini agak berbeda, kabut ini tidak mau menuruti perintah Pafi. Setiap kali Pafi mengibaskan tangannya, kabut yang sudah membuka jalan dengan cepat menutup kembali. Seolah tidak bisa digerakan sedikitpun. Pafi berusaha mengeluarkan seluruh tenaganya untuk mendorong kabut-kabut itu, tapi yang didapatnya hanya rasa lelah dan kedinginan yang amat sangat. Dimas merasakan ada sesuatu yang tidak berjalan seharusnya dengan kabut itu. Dimas kemudian meminta Pafi untuk menghentikan usahanya membuka tabir kabut.

“Sepertinya kabut ini adalah kabut ciptaan sihir yang sangat kuat. Kita tidak bisa menyingkirkannya kecuali sihirnya telah dipunahkan.” Kata Dimas.

“Seperti begitu, aku seperti kehabisan tenaga. Setiap aku kerahkan kekuatan untuk mengusirnya, seolah tenagaku ikut diserapnya.” Kata Pafi yang sudah terlihat sangat lelah.

“Gila, siapa yang punya sihir sehebat ini, apakah kita kenal orang di Medanggana Raya yang mempunyai sihir sehebat ini.” Kata Raji.

“Setahuku, Cuma Bapak Narayala yang memiliki kemampuan menciptakan sihir dengan skala yang sangat luas seperti ini. Umumnya pejabat-pejabat Medanggara Raya hanya memiliki kekuatan tenaga dalam yang tinggi untuk bertempur, tidak untuk menciptakan sihir seperti ini.” Kata Pafi.

“Mungkinkah ini masih berkaitan dengan kejadian kemarin ? mungkinkah kemarin memang ada orang yang mencoba masuk ke ruang bawah tanah Cakravartin atau orang yang sama penasarannya seperti kita.” Dimas berkata-kata sendiri. Raji dan Pafi walaupun tidak bisa melihat wajah Dimas, tetapi suara Dimas cukup jelas terdengar di tengah kesenyapan malam.

“Mungkin ini dugaan yang kuat. Pasti memang ada orang yang berniat masuk ke ruang bawah tanah Cakravartin, tetapi kemarin tidak berhasil sehingga dia mencobanya kembali.” Kata Pafi.

“Lalu apa yang harus kita lakukan supaya bisa ke Cakravartin dengan keadaan seperti ini.” Raji melemparkan pertanyaan kepada kedua sahabatnya.

“Kita akan ke sana, tapi tidak dengan mata kasar kita, tapi dengan mata batin. Kita bisa berjalan dengan mengenali pantulan getaran setiap benda yang ada disekitar kita.” Kata Dimas.

“AKAMPA ATINDRIYA” Dimas merapalkan mantranya, disusul oleh Raji dan Pafi.

Sekarang mereka berjalan dengan mengandalkan getaran yang sangat halus yang mereka pancarkan dari kedua telapak tangan mereka. Getaran itu kemudian terpantulkan oleh benda-benda disekelilingnya sehingga pikiran mereka bisa melihat dengan jelas bentuk permukaan tanah dan tinggi rendahnya. Pandangan itu bagi mereka seperti sebuah dunia tanpa warna. Yang terlihat hanyalah bentuk gelap dan terang. Gelap menyatakan ruang kosong sedangkan terang menyatakan ada sebuah benda. Makin terang cahayanya makin keras benda tersebut. Dengan penglihatan itu cukup untuk mereka bergerak lebih cepat hingga sampai ke Cakravartin.

Sesosok bayangan putih seukuran tubuh mereka melesat kabur meninggalkan Cakravartin sesaat setelah mereka tiba di depan pintu Cakravartin. Dimas melesat mengejar bayangan tersebut. Tangannya mengayun deras melontarkan serangan-serangan untuk melumpuhkan bayangan tersebut. Dimas yakin bahwa serangan cukup kuat yang untuk orang seukuran dengannya tidak akan bisa menangkisnya. Dimas juga yakin orang itu seusia dengannya mengingat ukuran tubuhnya yang sama dengannya. Tetapi dengan mudahnya serangan Dimas bisa dipatahkan begitu saja. Bayangan itupun bergerak lebih cepat seakan kabut yang begitu tebal tidak menghalanginya. Dimas urung mengejarnya, pikirannya kembali ke Cakravartin.

Bersamaan dengan menghilangnya bayangan itu seluruh kabut perlahan menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Langit kembali cerah oleh sinar bulan dan bintang gemintang. Cakravartin tampak jelas di hadapan mereka. Sebuah sinar meluncur dari puncak Cakravartin hingga seperti sebuah pilar langit. Dimas kembali melihat sinar itu untuk kedua kalinya. Dirinya memimpin kedua sahabatnya memasuki ruang pertama dimana Dimas pernah menemukan sebuah lubang menuju ruang bawah tanah. Ruang bawah tanah terlihat sangat terang oleh lampu-lampu obor. Mereka bertiga menuruni tangga menuju ruangan yang lebih dalam. Dimas ingat kemarin malam dia hanya melihat dinding penuh ukiran dan buntu. Tapi sekarang dinding ukiran yang tengah telah menjadi pintu sebuah ruangan di baliknya yang penuh dengan cahaya dengan tangga menurun yang makin dalam. Makin ke bawah cahaya makin hilang dan berujung pada sebuah ruangan buntu dengan penuh ukiran. Ukiran yang berbeda dari ruangan sebelumnya yang lebih tinggi.

“SEBAN TEJA SORDHESPHEBAN”

Dimas merapalkan mantra dan beberapa cahaya lampu di atasnya padam berkumpul di atas tangannya menerangi ruangan gelap di hadapannya.

“Lihat ukiran itu, tulisan-tulisan narapati berbeda dari yang pernah kita baca di pustaka-pustaka Narapati.” Pafi menunjuk ke arah dinding.

“Aku tidak mengerti artinya, sepertinya ini adalah huruf narapati yang lain.” Kata Dimas.

“Tapi huruf-huruf ini juga tidak terlalu asing, aku yakin ada sesuatu yang tersembunyi.” Kata Raji. Tapi belum sempat mereka membahas dan menelitinya lebih dalam tiba-tiba perlahan-lahan seluruh lantai mulai mengangkat ke atas. Ruangan bawah tanah mulai kembali tertutup. Dimas, Raji dan Pafi bergerak gesit menanjak berkejaran dengan batu-batu dan dinding yang bergerak merapat. Hingga akhirnya lantai ruangan kembali tertutup rapat. Cahaya yang muncul di ujung Cakravartin kini sudah hilang. Semua sudah kembali seperti keadaan semula.

“Tapi gerbang pertama bisa dibuka, pasti penyusup tadi sudah tahu bagaimana caranya masuk. Pasti dia sudah memecahkan teka-teki tulisan itu.” Kata Pafi.

“Benar sekali, pasti kita juga bisa memecahkan teka-teki ini. Ayo sekarang kita kembali ke asrama.” Kata Dimas.

Mereka bertiga kemudian meninggalkan Cakravartin dengan mengendap-endap. Walaupun tahu Cakravartin selalu tanpa penjagaan malam, Dimas merasa perlu untuk berjaga agar tidak siapapun mengetahui keberadaan mereka setiap malam. Satu hal yang membuat Dimas agak cemas, sosok bayangan yang lebih dahulu datang ke Cakravartin. Pikirannya bertarung dalam ketidakmengertian apa yang diinginkan oleh orang itu. Mengapa anak kecil seperti dia, mungkinkah ada siswa di Cakravartin yang juga memiliki rasa penasaran yang sama dengannya saat melihat sebuah sinar meluncur dari ujung Cakravartin.

---- *** ----

Pagi kembali disambut oleh kesibukan para siswa di Cakravartin. Hari ini adalah hari Rimba, sehari menjelang puncak perayaan pesta panen. Pelajaran demi pelajaran yang diikuti oleh Dimas, Raji maupun Pafi makin menambah kekayaan pengetahuan mereka akan dunia yang baru mereka tempati. Tetapi dari semua itu pelajaran dari hukuman yang diberikan Guru Wirabhumi adalah yang mereka rasakan paling berharga diantara semuanya. Menjadi penambat kereta Galapaksi, pengangkut barang dagangan, Pembersih sampah pasar dan pekerjaan lain yang harus dilakukan tanpa menggunakan kekuatan. Merasakan menjadi orang-orang kebanyakan, walaupun pernah dialami di dunia manusia, tapi kini orang kebanyakan yang dimaksud adalah orang-orang yang tanpa kemampuan ataupun kesaktian.

“Aku menemukan ini, secara tidak sengaja ketika aku mau meletakan kembali buku Cakravartin. Buku ini tak mau masuk ke dalam raknya, jadi aku berpikir pasti ada sesuatu yang mengganjal di belakang rak, ternyata ada sebuah gulungan kain batik yang berisi ulasan lengkap mengenai Cakravartin. Rupanya buku yang aku baca tempo hari adalah salinan dari naskah aslinya. Dan tidak semua naskah aslinya disalin ulang. Beberapa bagian yang sangat penting seperti sengaja tidak disalin. Sepertinya memang sengaja disembunyikan. Dan Justru bagian itulah yang kita cari selama ini.” Kata Pafi panjang lebar. Kemudian dia meletakan segulungan besar kain putih lusuh yang sudah tampak sangat tua dan rapuh. Dengan perlahan Pafi membuka bagian yang ingin ditunjukannya kepada Dimas dan Raji.

“Lihat, disini diceritakan mengenai adanya batu bintang Satuasra yang diletakan di dasar perut Cakravartin. Batu bintang ini adalah sumber tenaga perisai gaib yang melindungi Medanggana Raya dari serangan.” Kata Pafi.

“Berarti ada orang yang berniat mengambil batu bintang itu ?” kata Raji. Pafi mengangguk.

“Ini berbahaya, jika batu bintang Satuasra dipindahkan atau diambil maka Medanggana Raya akan kehilangan pertahanan dan membuatnya mudah diserang.” Kata Dimas cemas.

“Tapi mengapa diletakan di Cakravartin, bukan di istana Raja.” Tanya Raji.

“Karena sebenarnya Cakravartin dulu adalah sebuah kuil keagamaan yang menjadi tempat suci bagi Narapati. Tapi sekarang telah diubah menjadi tempat belajar.” Kata Dimas.

Ada yang menarik perhatian Dimas saat mereka sedang sibuk di meja. Ruang perpustakaan itu kini tidak satupun serangan yang mereka terima sejak pertama kali masuk tadi. Tidak seperti waktu pertama kali mereka berkunjung ke perpustakaan. Bahkan kelompok-kelompok siswa dari kelas yang lebih tinggi pun seakan tidak berani mengusik lagi.

“Kau lihat pencari muka itu, dia kelihatan rajin sekali datang ke perpustakaan.” Kata Raji menunjuk Jilan yang sedang duduk membaca naskah.

“Dia memang sering berada di perpustakaan tapi selalu sendirian. Sepertinya tidak pernah berhasil mendapatkan teman.” Kata Pafi.

“Siapa yang mau berteman dengan dia, sombong dan suka menghina orang lain.” Kata Raji dengan mendengus.

“Sudahlah, kita tidak perlu menambah kesusahan yang dia alami. Aku rasa dia sudah susah tanpa teman.” Kata Dimas seperti biasa dengan dewasa menengahi. Jilan sempat melirik ke arahnya.

Sesaat kemudian tak ada lagi yang membicarakan Jilan. Mereka terlalu asyik bercanda dan tertawa. Walaupun sebenarnya tidak diperbolehkan berisik di ruang perpustakaan, tetapi Dimas cukup cerdik meyiasatinya. Dia membuat selubung gaib yang membuat suara mereka tidak terdengar oleh orang-orang di sekitar mereka. Untuk siswa tingkat dasar, kemampuan itu sangatlah ajaib dan langka. Pelajaran yang mereka dapatkan dari Pak Narso saat masih di asrama rupanya lebih maju dari siswa-siswa setingkatannya. Hukuman yang diberikan Wirabhumi membuat mereka lebih berhati-hati dalam menggunakan kekuatan mereka bahkan saat konfrontasi sekalipun.

Malam mulai merangkak naik meminang bulan yang sempurna di antara barisan bintang yang menghiasi langit yang sedikit berawan. Cakravartin melesatkan cahayanya diujung ubun-ubunnya. Bulan terang merangkak pelan menuju puncak langit. Cahayanya beradu terang dengan panah sinar Cakravartin. Sedikit demi sedikit kedua sinar itu bertumbukan, aura langit berubah menjadi sangat biru. Bintang-bintang tak mampu mencuri perhatian langit diantara benderangnya purnama, seperti lenyap dari pandangan. Seluruh permukaan Cakravartin berubah menjadi bening keemasan hingga semua yang terdapat di dalamnya menjadi tembus pandang. Sebuah pemandangan yang sama sekali tak disangka oleh Dimas. Raji dan Pafi pun terpesona melihat sebuah tonggak sinar yang meluncur dari dasar pusat kuil. Seolah seluruh lantai dan halaman kuil menjadi sebuah cermin.

Bayangan kuil seolah terpantulkan di bawah tanah hingga keujungnya. Pada bagian ujung bayangannya tampak sinar terang berbentuk bola. Dimas, Raji dan Pafi menyusup masuk melalui pintu tangga bawah tanah yang telah mereka lihat malam sebelumnya terbuka. Kali ini tangga itu begitu jernih sebening kaca dan terus menurun ke bawah tanah hingga berujung di sebuah ruangan bundar yang dikelilingi oleh 9 patung-patung Mahakala. Patung berbentuk kepala singa dengan sayap berkilat keemasan setinggi dua kali orang dewasa dengan sayap mengembang menghalangi pandangan inti ruangan yang menjadi sumbu dari sinar putih yang keluar hingga ujung kuil. Walaupun diputari seluruh dinding ruangan itu, pandangan tetap tidak mampu menembus apa yang berada di balik patung-patung Mahakala itu.

Sebaris tulisan terpahat di dinding, huruf-hurufnya sama sekali berbeda dengan tulisan narapati. Tulisan itu mengelilingi dinding ruangan hingga bersambung kembali.

“Lihat, tulisan di dinding itu sama seperti yang kemarin-kemarin kita lihat.” Raji menunjuk barisan huruf-huruf yang mengelilingi dinding ruangan di depannya.

“Kali ini huruf-huruf ini merupakan susunan baru, seperti diulang-ulang.” Dimas mengelilingi dinding ruangan kaca itu hingga kembali ke tempatnya semula berdiri. Pafi berusaha keras memahami tulisan-tulisan itu dengan melihatnya lebih dekat. Raji tampak lebih tertarik dengan meneliti barisan patung-patung Mahakala yang berada di dalamnya. Raji tiba-tiba mengucapkan kata-kata sendirian.

“Apa yang kau ucapkan tadi ?” tanya Pafi.

“Aku hanya membaca tulisan di bawah itu.” Kata raji menunjuk bayangan lantai yang sudah seperti cermin.

“Kau pintar Raji, kau sudah menemukan teka-teki tulisan ini.” Kata Pafi yang kemudian bergerak mundur mencoba membaca.

“SANG PENJAGA UTAMA. MELANGKAH PANJANGNYA TIGA PURNAMA” Pafi membaca keras-keras.

“Sang penjaga utama melangkah panjangnya tiga purnama. Apa artinya ?” Dimas berpikir mengira-ngira apa yang dimaksud tulisan itu. Dengan tanpa sadar Dimas berulang-ulang membaca kembali mengelilingi ruangan itu hingga dua kali saking penasarannya.

Tetapi tiba-tiba seluruh dinding ruangan seolah bergetar, kepala Raji yang masih mengintip di dinding seperti kehilangan sandaran. Tubuhnya tersurung menembus dinding yang berubah menjadi seperti benda cair. Pafi dengan sigap menarik badannya keluar dari dinding itu.

“Gerbangnya telah terbuka.” Kata Dimas spontan.

“Kau berhasil membukannya Dimas, kau lah yang dimaksud oleh tulisan itu. Untuk membukanya hanya diperlukan tiga kali mengelilingi ruangan ini yang tepat satu garis lurus dengan purnama.” Kata Pafi.

“Sejak tadi kita tidak menemukan jejak orang asing yang selalu lebih dulu memasuki tempat ini.” Kata Raji

“Aku juga berpikir demikian, aku khawatir kita justru…..” sebelum Dimas melanjutkan kata-katanya tiba-tiba sebuah suara tawa yang mereka kenal menggema di seluruh ruangan.

“Hahaha….benar anak-anak bodoh, kalian justru sengaja dipancing agar membukakan pintu terakhir untukku.” Sesosok bayangan pemilik suara itu muncul dari atas tangga masuk.

“Jilan, kau orang misterius itu ?” Dimas sama sekali tidak mempercayai penglihatannya. Pafi dan Raji langsung bersiaga dengan wajah marah.

“Seharusnya kalian sudah menyadari saat bertempur di halaman kuil, dalam jarak itu siswa pemula tidaklah mungkin tetap berdiri setelah terhentak benturan tenaga yang begitu besar. Tapi kalian terlalu bodoh.” Kata Jilan.

“Musang licik, apa yang sebenarnya kau cari” Raji membentak.

“Jangan sombong kau Raji, tenagamu tidaklah sebesar pertempuran terakhirmu. Kalau bukan karena bantuan temanmu kau sudah terlempar jauh.” Kata Jilan.

“Siapa kau sebenarnya ? apa yang kau inginkan” tanya Dimas.

“Siapapun dia jelas dia menginginkan batu bintang Satuasra, karena dia tahu hanya kau yang bisa membuka tempatnya tersimpan, maka dia memancing kita untuk membuka tempat ini. Dia memanfaatkan rasa ingin tahu kita.” Kata Pafi.

“Kau memang pintar gadis kecil, sekarang aku tinggal mengambilnya hahaha…” Jilan tertawa puas.

“Tidak sebelum melewati kami.” kata Dimas menantang.

“Kalian tidak sebanding denganku, tapi bukan aku yang akan menghadapi kalian tapi itu.” Jilan menunjuk sembilan singa bersayap. Jilan melesat ke arah dinding ruangan dengan melancarkan serangan ke arah Dimas, Raji dan Pafi secara beruntun. Kecepatannya sangat diluar bayangan mereka bertiga. Serangan Jilan berhasil ditangkis. Dimas membalas serangan untuk mencegah Jilan menembus ruangan itu.

“VAJRA BHUMI”

Dimas berteriak keras merapalkan mantra. Sebuah sinar putih kebiruan melesat keluar dari kepalan tangan kanannya yang di acungkan ke atas.

Pada saat yang bersamaan Pafi dan Raji bersiap melepaskan serangan susulan untuk melindungi Dimas dari serangan balasan Jilan.

“Ah….mantra tingkat menengah.” Jilan tanpa terdengar merapalkan mantranya melakukan gerakan melebarkan kedua tangannya ke samping lalu menepuk udara kosong di atas kepalanya. Kilat putih kebiruan yang menyerangnnya seolah tersedot masuk ke dalam tubuhnya. Kemudian dengan cepat dia masuk menembus dinding ruangan. Dimas menyusul masuk diikuti Pafi dan Raji.

Sekarang mereka semua telah berada di dalam ruangan, Jilan terlihat tersenyum senang. Perlahan wajahnya seperti mencair dan menguap ke udara. Wajah Jilan yang masih anak-anak kini berubah menjadi sosok mahluk berkulit hitam legam dengan mata berwarna hitam yang sangat besar. Dengan kepala yang lebih besar dari manusia dan tanpa rambut mahluk itu menyeringai.

“Hehehehe, anak bodoh. Sekarang aku telah menjadi tuan bagi para Mahakala penjaga Satuasra, karena aku yang lebih dulu masuk ke dalam ruangan ini.” Mahluk hitam itu terlihat sangat senang.

9 patung singa emas bersayap yang mengelilingi pilar sinar di tengahnya mulai bergerak dan mengeluarkan suara auman yang sangat keras. Saking kerasnya seluruh ruangan ikut bergetar dan mendoyongkan dinding ruangan hingga menggelembung ke luar.

“Para mahakala, serang mereka !” mahluk hitam itu memberi perintah kepada sembilan mahakala itu. Sesaat ke sembilan penjaga itu menoleh ke arah Dimas, Raji dan Pafi. Tetapi kemudian kembali menoleh ke arah mahluk hitam itu.

Kemudian ke sembilan mahakala itu mulai bergerak sambil meraung-raung mengepung Dimas, Raji dan Pafi. Tapi kemudian sebagian mengepung mahluk hitam itu. Bingung dengan keadaan yang berbalik, mahluk hitam itu segera melancarkan kepada tiga mahakala yang mengepungnya.

Enam mahakala lainnya mulai menyerang Dimas dan Pafi. Serangan semi serangan dilancarkan keduanya menghindari terkaman yang terus-menerus bergantian menyerang mereka. Tapi tak ada satupun serangan yang diarahkan kepada Raji. Raji seakan tidak terlihat oleh mahakala-mahakala itu.

“Raji bantu Pafi, dia sudah mulai terdesak.” Dimas berteriak menyadarkan Raji yang sedari tadi sudah bersiap tetapi tak ada satupun mahakala yang mau menyerangnya.

“Baiklah” Raji melompat ke tengah kepungan 3 mahakala yang sedang bersiap menyerang Pafi.

“Ayo pergilah atau aku hajar kalian semua.” Raji membentak ketiga mahakala itu. Tiba-tiba ketiganya seperti tunduk pada perintah. Tiga mahakala itu pergi meninggalkan Raji dan Pafi. Ketiga mahakala itu kemudian bergabung menyerang Mahluk hitam yang sudah melumpuhkan dua mahakala. Sementara Dimas terus melancarkan serangan-serangan yang menghempaskan mahakala-mahakala yang menyerangnya. Tetapi serangan Dimas tidaklah berdampak terhadap mereka, serangan kembali dilancarkan.

“Apa yang kau lakukan tadi Raji ?” Pafi bertanya keheranan setelah tiga mahakala yang menyerangnya pergi begitu saja setelah dibentak oleh Raji.

“Aku tidak melakukan apa-apa ? aku hanya menyuruhnya pergi” kata Raji polos.

“Rupanya mahakala-mahakala itu hanya tunduk pada perintahmu. Mahluk hitam itu tadi mengatakan, siapa yang masuk lebih dulu ke dalam ruangan ini maka dia yang mengendalikan singa-singa itu. Dan sebenarnya kaulah yang lebih dahulu memasuki ruangan ini secara tidak sengaja terperosok jatuh ke dalam tadi.” Kata Pafi.

“Benarkah, aku yang mengendalikan mereka ?” Raji keheranan

“Iya, kau harus memerintahkan singa-singa itu untuk tidak menyerang Dimas, ayo cepat !” Pafi begitu bersemangat.

“Baik..baiklah.” kata Raji agak ragu-ragu, kemudian terdiam sejenak.

“Ayo cepat, kau mau Dimas tinggal berupa daging berserakan.” Pafi membentak Raji.

“Hei, berhenti kalian !” Raji membentak keras. Tiba-tiba semua mahakala itu berhenti bergerak. Raji kegirangan melihat hasil dari perintahnya.

“Serang mahluk hitam itu” Raji berteriak keras dan menunjukan tangannya ke arah mahluk hitam yang ternganga melihat perubahan situasi yang begitu cepat. Tujuh mahakala yang tersisa kemudian bergerak mengepung mahluk hitam itu. Melihat keadaan yang membahayakan itu mahluk hitam itu dengan cepat melesat keluar dari ruangan dan mencoba kabur keluar kuil. Melihat mahluk hitam itu kabur, Dimas mengejar.

Kejar-kejaran terjadi, Pafi yang bersifat angin melesat cepat sambil mengucapkan mantra.

“AKASACARIN”

Dengan sigap menghadang mahluk hitam itu persis di halaman kuil Cakravartin. Mahluk hitam itu dengan cepat melepaskan serangan ke arah Pafi.

“ISUGAGANA”

Mahluk hitam itu menghempaskan 2 larik sinar merah berbentuk anak panah ke arah Pafi. Pafi membentuk perisai gaib untuk melindungi dirinya dari serangan. Tetapi mantra itu lebih kuat dari perisainya, tanpa dapat dihindari lagi dua anak panah itu menembus perisai Gaib Pafi dan menghantam kedua tangannya. Rasa panas terbakar yang hebat menusuk masuk mulai dari telapak tangannya hingga ke ujung bahu. Pafi menjerit keras, rasa sakit yang tak tertahankan membuatnya seketika pingsan dengan kedua tangan yang merah membara.

Dimas terkejut melihat yang dialami Pafi, dengan penuh marah Dimas melancarkan serangan ke arah mahluk hitam itu.

“SIMHA ATINDRIYA”

Sebuah sinar putih meluncur deras membentuk seekor harimau putih. Mengaum keras menerjang mahluk hitam itu dengan ganas. Melihat serangan Dimas, mahluk hitam itu tak tinggal diam.

“JIVAH CAKRACAKRA”

Sosok Srigala hitam meluncur deras dari kedua tangan mahluk hitam itu. Dentuman keras terjadi saat kedua sosok binatang itu saling bertumbukan dan bergumul saling menyerang. Seolah kehilangan tenaga, perlahan sosok harimau putih menipis dan tertelan habis oleh sosok srigala hitam. Kemudian sosok srigala hitam itu menyerang Dimas. Dalam situasi yang bimbang melihat Pafi yang terbaring pingsan, Dimas tak siap menyiapkan serangan untuk menahan serangan sosok srigala hitam yang berhasil mengalahkan harimau putih ciptaannya. Pada saat kritis tersebut sebuah sinar putih dengan sosok garuda terbang melabrak sosok srigala hitam yang hampir menerkam Dimas. Dentuman keras kembali terjadi yang mendorong srigala hitam jauh hingga terjengkang. Sosok garuda putih itu terus menyerang hingga srigala hitam melemah dan lenyap. Bersamaan dengan itu seorang berjubah putih muncul.

“Bapak Narayala.” Dimas mengenali sosok berjubah putih itu.

“Dimas, mintalah Raji untuk mengobati kedua tangan Pafi. Biar Janggan Wimana ini aku yang hadapi.” Prabu Narayala melangkah ke depan menghadapi mahluk hitam yang disebutnya Janggan Wimana.

“Hehehe…Narayala, rupaya kau masih punya kekuatan walaupun sudah 15.000 tahun.” Kata Janggan Wimana.

“Kau tidak akan pernah tahu kalau tidak pernah mencobanya Purusa.” Prabu Narayala mulai bersiap.

“Aku tidak akan melepaskanmu Narayala.” Kata Purusa

“Oh ya, aku juga tak akan melepaskanmu.” Kata Prabu Narayala

Keduanya mulai saling melepaskan mantra penyerang. Gerakan mereka makin cepat dan menimbulkan selubung gaib yang menutupi mereka.

“Raji, cepat tolong Pafi, dia terkena mantra halilintar. Kedua tangannya merah membara.” Dimas memanggil Raji yang tiba tidak lama kemudian. Raji langsung berlutut di depan Dimas yang sedang memangku tubuh Pafi yang pingsan. Kedua tangan Pafi terlihat merah menyala seakan seperti bara api. Raji menyentuh tangan Pafi dengan jarinya, rasa panas hebat menyengat jari Raji. Raji mengaduh kesakitan. Raji mengambil duduk bersila, kemudian dengan tarikan nafas yang dalam Raji menyentuh kembali kedua tangan Pafi dengan kedua tangannya yang berselubung bening kebiruan. Asap putih mengepul dengan suara seperti bara yang tersiram air saat kedua tangan Raji bersentuhan dengan tangan Pafi.

“Mantra ini terlalu kuat, aku tidak bisa menembusnya.” Raji mulai berkeringat deras. Tangan Pafi masih tetap merah membara.

“Tenagaku tidak cukup kuat untuk menyerap panasnya.” Kata Raji yang mulai gemetar.

“Aku akan membantumu, gunakanlah tenagaku.” Dimas kemudian meletakan Pafi di atas tanah dan bersila di belakang Raji. Sesaat menarik nafas dalam-dalam kemudian meletakan kedua telapak tangannya di bahu belakang Raji. Sesaat kemudian Raji mulai kembali stabil dan merasakan aliran tenaga melalui tangannya. Perlahan pula kedua tangan Pafi mulai kembali normal.

“Aku rasa sudah cukup, seluruh mantranya telah hilang. Kita hanya tinggal menunggu tenaganya pulih dan tubuhnya menyembuhkan luka-luka di dalam.” Raji melepaskan kedua tangannya dari tangan Pafi. Wajahnya penuh dengan bulir keringat.

Sementara pertarungan antara Prabu Narayala dengan Purusa makin memuncak. Keduanya sekarang sedang terjebak dalam ikatan energi yang saling mendorong. Dua tangan Prabu Narayala mengeluarkan dua larik besar sinar biru yang berputar-putar terkait dengan dua sinar merah yang keluar dari kedua tangan Purusa. Saat mencapai puncak tenaga, kedua sinar itu melebar dan berdentum keras hingga membuat keduanya terjengkang ke belakang. Saat yang sempit tersebut dimanfaatkan oleh Purusa. Tubuhnya yang kecil melesat pergi meninggalkan halaman kuil Cakravartin dengan cepat. Prabu Narayala tidak mengejar Purusa, perhatian lebih teralih kepada keadaan Pafi, Dimas dan Raji.

“Bagaimana keadaan Pafi.” Tanya Prabu Narayala

“Dia sudah stabil, seluruh mantra yang menyerangnya telah hilang. Sekarang tinggal menunggu tubuhnya sendiri menyembuhkan luka-luka dalamnya.” Raji menjawab dengan lesu.

“Kau sudah melakukannya dengan baik Raji dan melakukannya dengan tepat. Jilan yang asli sudah ditemukan, selama ini anak malang itu dibuat tertidur oleh Purusa di asramanya.” Kata Prabu Narayala. Dimas dan Raji saling pandang, rasa kasihan menyelip diantara hati mereka kepada orang yang selama ini mereka anggap sangat menyebalkan.

Kemudian Prabu Narayala berdiri menghadap kuil Cakravartin yang masih menyala terang sebening kaca. Kedua tangannya dilebarkan ke atas dan dengan mantra yang tidak terucap kedua tangannya melecutkan sembilan bola sinar keemasan yang melayang masuk ke dalam ruangan di dasar kuil. Tak lama kemudian semua sinar yang memancar padam, seluruh permukaan kuil kembali seperti semula. Pilar sinar yang meluncur di ujung kuil pun lenyap. Mereka kemudian meninggalkan halaman kuil menuju kediaman Prabu Narayala. Pafi dibawa dalam gendongan Prabu Narayala. Meninggalkan halaman kuil yang porak poranda akibat pertempuran.






Pagi di Medanggana Raya tampak cerah. Tak ada kesan ada yang tahu bahwa semalam telah terjadi pertempuran hebat. Hanya halaman kuil yang hancur porak-poranda. Para siswa yang baru tiba di halaman kuil keheranan menyaksikan yang terjadi pada seluruh area kuil. Tak ada yang tahu pagi itu ada seorang siswa tingkat dasar yang telah menghilang.

Pafi telah pulih dari lukanya, pagi itu dia tampak segar. Hanya pegal-pegal masih dia rasakan di kedua tangannya. Dimas dan Raji menyambutnya gembira saat keluar dari kamar.

“Pafi, kau sudah sembuh ?” Dimas berlari menghampiri Pafi. Raji turut menghampiri dengan senyum bahagia melihat sahabatnya kembali sehat.

“Aku baik-baik saja, Cuma kedua tanganku masih terasa pegal-pegal. Mungkin dengan sedikit berolah raga akan baikan.” Kata Pafi tersenyum gembira.

“Terima kasih Raji.” Pafi kemudian menoleh kepada Raji.

“Tidak apa-apa, aku yakin kau pun akan melakukan yang sama padaku.” Kata Raji yang tak bisa menutup kegembiraannya.

“Hari ini kita akan menghadiri pembukaan panen raya, bersiaplah” kata Dimas.

Penduduk di seluruh kerajaan Narapati merayakan pesta panen raya. Utusan-utusan dari kota-kota di seluruh kerajaan dengan beraneka macam pakaian yang indah datang dengan membawa upeti-upeti tanda selamat atas berkah yang diberikan oleh Sang Pencipta atas panen raya itu. Ribuan orang sudah berbaris sepanjang jalan menuju kuil menebarkan bunga-bunga tanda penyambutan kepada boyongan dari utusan-utusan kota-kota lain.

Tarian-tarian penyambutan dilakukan ratusan gadis-gadis dan pemuda-pemuda bermahkota emas dengan pakaian berwarna coklat tua di hiasi motif dedaunan berwarna emas. Alunan iringan musik menambah keindahan gerak gemulai para penari yang menandakan kegembiraan akan kedatangan tamu yang diagungkan.

Halaman istana hingga jalan utama yang menembus hingga gerbang timur telah penuh dengan barisan orang-orang yang dipagari pasukan kerajaan. Prabu Narayala duduk di atas panggung bersama para pejabat istana. Banyak sekali penduduk yang ingin tahu melihat kehadiran tiga orang anak-anak remaja yang tak lain adalah Dimas, Raji dan Pafi. Bisik-bisik mulai menjalar di kerumunan orang-orang yang berkumpul menyaksikan pesta panen itu.

“Selamat datang aku ucapkan kepada para utusan, terima kasih atas upeti-upeti kalian kepada Narapati. Hari ini kita merayakan panen raya sebagai tanda terima kasih kita kepada sang pencipta yang telah memberikan kita kelimpahan hasil bumi dan mencukupi kita semua dengan makanan dan pakaian. Hari ini juga menjadi hari yang sangat penting dan membahagiakan. Medanggana Raya kini berhutang terima kasih kepada tiga sahabat kecil ini. Kalian pasti bertanya-tanya siapa mereka bertiga. Mereka adalah Dimas, Raji dan Pafi yang telah dengan gagah berani melawan penyihir hitam hingga mencegahnya mencuri batu bintang satuasra. Berkat keberanian mereka, Medanggana Raya tetap memiliki pelindung kota yang selama ini menjaga kita dari serangan jahat bangsa Amukhsara. Atas jasa mereka bertiga, aku mengucapkan terima kasih dan menganugerahkan mereka tanda anggota kerajaan.”

Prabu Narayala mengalungkan masing-masing sebuah medali kepada Dimas, Raji dan Pafi. Seluruh penduduk memberikan sorakan dan tepuk tangan. Pesta panen raya dimulai, suara tetabuhan, tarian dan arak-arakan datang silih berganti menggambarkan kekayaan budaya seluruh negeri Narapati. Negeri yang baru saja diperkenalkan kepada tiga pahlawan kecil. Sebuah pengenalan yang cerdik oleh Prabu Narayala tanpa harus membuka identitas asli mereka bertiga. Kini Narapati mengenal Dimas, Raji dan Pafi sebagai anak ajaib yang menyelamatkan batu bintang Satuasra, bukan sebagai tiga serangkai sang penjaga buku kehidupan. Identitas yang akan tetap membuat ketiganya hidup sederhana.
MEDANGGANA RAYA

Puncak Cakravartin tampak terlihat jelas dari lereng Semeru. Kepulan asap yang keluar dari kawah Bromo di sebelahnya memberikan kesan mistis. Bangunan-bangunan megah mengelilingi kuil diantara saluran-saluran air dan pohon-pohon jati yang meranggas. Benteng megah setinggi seratus meter mengelilingi kota. Kemegahan tiada tara yang bagi Dimas hanya bangunan-bangunan piramida di Mesir kuno yang mampu menandingi kehebatannya.

Rombongan terus bergerak menuju kota. Bagi Dimas kembali berada di atas Davanti Sighram menjadi hal yang sangat menyenangkan. Pafi dan Raji begitu gembira melayang-layang di atas punggung Garuda Kencana. Perjalanan yang kedua kali menuju kota Medanggana Raya ini menjadi perjalanan yang membawa mereka bertiga ke dalam dunia baru yang penuh petualangan. Sighram terus berlari menembus barisan hutan yang rapat. Tidak berapa lama mereka semua telah tiba di gerbang kota Medanggana Raya.

Pintu gerbang segera terbuka menyambut kedatangan mereka. Suasana kota masih terasa sepi di waktu menjelang fajar menyingsing di ujung Bromo. Kali ini Dimas dan kedua sahabatnya tidak dibawa langsung ke kuil Cakravartin, tetapi ke sebuah kompleks bangunan tempat tinggal yang berada satu lingkungan dengan kuil Cakravartin.

“Sekarang kita akan beristirahat di sini” Prabu Narayala menunjuk bangunan tinggi terbuat dari susunan batu hitam yang sangat megah. Dimas, Pafi dan Raji menatap bangunan di hadapan mereka dengan penuh rasa takjub. Kemegahannya menunjukan kedudukan apa yang dimiliki si empu bangunan itu. Dia menjadi yang termegah dan terluas di antara seluruh bangunan yang ada di kota. Gerbang setinggi limabelas meter menjulang megah di jaga oleh dua ekor Narasimha. Menjelang memasuki gerbang, kedua Narasimha tersebut membungkuk hormat kepada Prabu Narayala. Arghapati dan Wirapati berbalik pamit meninggalkan mereka di depan gerbang. Kemudian mereka terus berjalan menuju ke dalam kompleks. Hamparan taman dengan kolam air membentang sejauh tigapuluh meter dihubungkan oleh jembatan melengkung yang terputus selebar sepuluh meter pada bagian tengah kolam. Tanpa ragu Prabu Narayala terus melangkah menuju jembatan tersebut. Ketika sampai kepada bagian yang terputus, tiba-tiba dari dalam kolam muncul bentangan sepanjang sepuluh meter menyambungkan ujung-ujung jembatan yang terputus.

Akhirnya mereka tiba di depan teras utama dengan atap yang berbentuk segi enam mengerucut pada ujungnya. Pilar-pilar batu hitam dengan relief-relief daun dan pohon dilingkari oleh akar-akar yang mencengkram kuat.

“Mari anak-anak, kita masuk ke dalam” Prabu Narayala membalikan badan dan mengajak Dimas, Pafi dan Raji masuk melalui relung yang sangat gelap yang ketika mereka melangkahkan kaki mereka di dalamnya, seketika lampu-lampu obor menyala sepanjang lorong yang diujungnya terdapat ruangan begitu terang dengan cahaya keemasan. Sepanjang lorong yang dihiasi oleh relief-relief cerita mengenai kehidupan bangsa Narapati suasana begitu terasa dingin. Tujuh lapisan bening seperti air berkali-kali harus ditembus yang memberikan sensasi yang menyenangkan, karena setiap kali menembusnya suhu dirasakan makin hangat dan nyaman.

“Lapisan apakah yang tadi kita tembus itu Bapak Narayala” Dimas bertanya.

“Itu lapisan yang menyaring setiap usaha dari niat jahat untuk memasuki ruangan di depan sana, semakin dalam semakin kuat” Kata Prabu Narayala.

Akhirnya mereka tiba juga di sebuah ruangan yang sangat besar berbentuk segi enam dengan tinggi mencapai tigapuluh meter. Pada langit-langitnya menggantung sebongkah kepompong berwarna keemasan yang menyebarkan cahaya terang ke seluruh ruangan.

“Duduklah” Prabu Narayala menunjuk kursi-kursi batu yang berada di sekeliling meja pualam hitam di tengah ruangan. Dimas, Pafi dan Raji menuruti Prabu Narayala dan segera duduk. Rasa dingin menjalar dari kursi batu yang mereka duduki yang terus merambat ke seluruh tubuh mereka sampai ubun-ubun kepala. Menyenangkan dan damai dirasakan ketika rasa dingin berubah menjadi rasa hangat dan bersahabat.

“Bagaimana ? sudah nyaman sekarang” Prabu Narayala tersenyum dan ikut duduk di hadapan mereka bertiga.

“Eh…iya, rasanya nyaman sekali” Raji menjawab mewakili kedua sahabatnya. Dimas hanya tersenyum melihat tingkah Raji yang cengengesan ketika menjawab pertanyaan Prabu Narayala.

“Apakah yang barusan kami rasakan tadi Bapak Narayala” Pafi memulai rasa ingin tahunya.

“Aliran dingin yang kalian rasakan adalah energi dari batu yang kalian duduki. Bumi ini memiliki berbagai macam energi. Tidak semua kita bisa menyerap dan menggunakannya. Energi yang kalian tahu di dunia manusia hanyalah tenaga yang dapat dirasakan seperti panas, angin, dan air tetapi tidak dapat diserap langsung oleh tubuh kita. Tapi di dunia Narapati, kita memanfaatkan energi yang lebih halus tetapi dapat kita kumpulkan dan serap sehingga dapat kita gunakan untuk keperluan apapun” Prabu Narayala menjelaskan.

“Energi apakah yang Bapak Narayala maksud, Saya masih belum mengerti” Dimas bertanya.

“Baiklah, akan aku beri contoh. Pernahkah kalian merasakan sesuatu yang berbeda dari teman-teman kalian, misalnya kalian mampu membaca pikiran orang lain, atau mampu menggerakan benda-benda, atau mampu menyembuhkan luka dengan cepat ?” Prabu Narayala menatap ketiga remaja dengan seksama. Ketiganya mengangguk menjawab pertanyaan tersebut.

“Baiklah, apakah kalian tahu dari mana datangnya kekuatan tersebut ?” Pertanyaan Prabu Narayala dijawab dengan diam, hati Dimas berdesir karena sebenarnya dia dan kedua sahabatnya sudah mengetahui apa yang dimaksud oleh Prabu Narayala. Hanya saja mereka bertiga sudah terikat janji untuk tidak menceritakan perihal pak Narso kepada siapapun. Tetapi rasa penasaran muncul dan sebuah tanda-tanya besar mengenai siapa sebenarnya pak Narso hadir di benak Dimas, Raji maupun Pafi. Kalau apa yang dijelaskan Prabu Narayala sama persis dengan yang dijelaskan oleh pak Narso, lalu siapakah sebenarnya pak Narso ? apakah pak Narso juga seorang Narapati ?. Sejenak pertanyaan itu melamunkan pikiran Dimas, tetapi hilang segera saat Prabu Narayala mulai menjelaskan semuanya.

“Bangsa Narapati memiliki kelebihan yang sangat berbeda dengan bangsa manusia. Bangsa Narapati telah mengolah kemampuan pikirannya begitu jauh selama puluhan ribuan tahun sehingga mampu menyerap energi halus yang berada di sekitarnya. Kalian juga seperti itu, dalam diri kalian ada sesuatu yang membuat pikiran kalian bisa menyerap dan mengumpulkan energi kemudian mengolahnya menjadi hal apapun yang kalian inginkan, seperti menggerakan benda, memasuki pikiran orang lain atau menyembuhkan luka. Sifat energi yang dapat kalian kumpulkan akan berbeda-beda dari satu yang lainnya. Hal tersebut sangat tergantung dari sifat kalian, bumi, air, api, udara, adalah sumber utama. Sumber mana yang paling sering di ambil akan sangat tergantung pada sifat alami kalian” Prabu Narayala berhenti menjelaskan dan kemudian menatap ketiga remaja itu yang masih bersemangat mendengarkannya tapi tampak sudah sangat lelah.

“Baiklah, hari ini cukup sampai disini. Kalian beristirahatlah sekarang, besok banyak hal yang harus kalian lihat” Prabu Narayala bangkit dari kursi batu diikuti oleh Dimas, Pafi dan Raji. Kemudian mereka berjalan menuju sebuah pintu yang di baliknya dua orang penjaga segera membukakannya untuk mereka. Kembali berjalan menuju lorong yang berakhir pada sebuah ruangan yang memiliki tangga naik langsung menuju sebuah pintu ruangan. Kemudian menaiki anak tangga yang bergerak naik sendiri ketika dipijak.

“Selamat Istirahat” Prabu Narayala tersenyum kepada ketiganya setelah pintu terbuka lebar. Dimas, Raji dan Pafi segera memasuki ruangan dan melihat ruang tamu yang lengkap dengan semua perabotnya yang terbuat dari kayu jati. Mereka bertiga berpisah menuju kamar tidur masing-masing.

------------ “””””” -----------

Pagi penuh semangat mengisi ruang hati ketiga remaja yang baru semalam merasakan petualangan baru mereka yang menakjubkan di negeri ajaib Narapati. Gumaman nyanyian keluar dari mulut Pafi yang sangat tidak sabar melihat keajaiban-keajaiban lain di dunia Narapati. Raji melakukan gerakan-gerakan beladiri dengan gerakan lambat. Sementara Dimas terlihat begitu cerah dengan sorot mata yang terlihat lebih bersemangat, semua beban gelapnya masa lalu terlihat telah terlepas dari pundaknya.

Pagi di ruangan bersantai semua terlihat sudah siap. Raji sedang asyik dengan gerakan-gerakan bela diri sementara Pafi terlihat berdiri memandang keluar jendela. Mereka sudah berpakaian lengkap dengan pakaian yang sudah disediakan sebelumnya. Pakaian khas bangsa Narapati yang selalu berwarna coklat tanah dengan hiasan dedaunan berwarna emas terlihat sangat anggun dan berwibawa.

“Raji, kau sudah siap ?” Dimas yang telah lengkap dengan pakaian yang telah disediakan keluar dari kamarnya. Raji yang juga telah lengkap dengan pakaiannya masih saja melakukan kuda-kuda sambil menggerakan tangannya dengan gerakan lambat.

“Sudah, sejak tadi aku sudah menunggumu” Kata Raji sambil nyengir di akhir kalimatnya.

“Dia sudah seperti orang gila sejak pagi dengan gerakan seperti itu” Pafi yang juga sudah lengkap berpakaian menunjukan wajah kesalnya.

Tak lama kemudian dari balik pintu muncul Prabu Narayala dengan pakaian putih ditutup jubah berwarna hijau tua dan tongkat kayunya berwarna hitam legam yang diujungnya terdapat sepotong batu mulia berwarna putih. Wajahnya begitu berwibawa dengan mahkota emas bertahta batu-batu mulia. Dimas, Pafi dan Raji begitu kagum melihat kewibawaannya yang tampak bertambah dengan pakaian dan mahkota yang dikenakannya.

“Apakah kalian sudah siap ?” Tanya Prabu Narayala dengan senyum. Dimas, Raji maupun Pafi terpaku kagum melihat pakaian kebesaran yang dikenakan oleh Prabu Narayala.

“Kami sudah siap Bapak Narayala.” Kata Dimas yang tiba-tiba saja kikuk dan baru tersadar bahwa yang di hadapannya sekarang adalah seorang raja dari sebuah bangsa yang sangat kuat.

“Baiklah kalau begitu, mari kita menuju balairung.” Kata Prabu Narayala

Prabu Narayala berjalan di ikuti Dimas yang berjalan disamping kanannya, sementara Raji dan Pafi berjalan disebelah kirinya. Prajurit-prajurit jaga yang berdiri di setiap pintu masuk menuju ruang balairung membungkuk hormat memberikan salam kepada sang Raja. Tiba di balairung, sebuah ruangan yang tinggi dengan enam pilar menyangga langit-langitnya yang melengkung. Di atasnya menggantung sebuah benda berwarna keemasan yang penuh dengan cahaya memperjelas pahatan setiap ukiran di dinding-dinding batu. Dimas merasakan ada getar aneh yang berdesir di dadanya. Tetapi tak dihiraukannya, perhatiannya lebih tertuju kepada orang-orang yang berdiri di kiri kanan menuju singgasana Raja. Prabu Narayala berjalan menuju singgasana yang berada di ujung ruangan, yang letaknya lebih tinggi dari tempat lainnya. Di kiri dan kanan menuju singgasana, para pejabat Narapati telah duduk diatas kursi-kursi batu serentak berdiri memberikan salam kehormatan kepada Raja Narapati itu. Iringan musik gamelan yang begitu halus dan lembut mengiringi langkah sang Prabu diikuti oleh Dimas, Raji dan Pafi yang terasa kikuk dengan suasana itu. Prabu Narayala duduk di kursi paling tinggi terbuat dari emas dan perak. Dimas duduk disebelah kanannya sedangkan Raji dan Pafi di sebelah kirinya.

Ada duabelas orang pejabat yang duduk di kiri dan kanan. Pada bagian kanan duduk seorang Patih, Panglima Perang, Empat orang Penasihat Kerajaan, Di sebelah kiri duduk enam orang menteri yang membantu Raja menjalankan semua urusan kerajaan. Menteri Urusan Lintas Batas, Menteri Urusan Pangan dan Persediaan, Menteri Ilmu Pengetahuan, Menteri Urusan Harta dan Niaga Kerajaan, Menteri Urusan Hukum dan Keadilan, Menteri Urusan Penduduk dan Kesejahteraan.

“Hari ini, adalah hari yang sangat penting bagi seluruh bangsa Narapati. Aku perkenalkan kepada kalian semua. Disebelah kananku adalah Dimas, dan di sebelah kiriku adalah Raji dan Pafi.” Kata Prabu Narayala.

“Sang Pembawa Buku Kehidupan dan Dwitunggal” kata semua yang hadir bersamaan. Serentak mereka bangkit dari duduknya dan memberikan salam selamat datang kemudian berlutut memberikan sembah kepada Dimas, Raji dan Pafi.

“Apakah gerangan yang membawa Sang Pembawa Buku Kehidupan dan Sang Dwitunggal mengunjungi Medanggana Raya.” Tanya Patih Narmada. Lelaki tua itu memberikan hormat dengan tangan di silangkan di depan dada.

“Sang Pembawa Buku Kehidupan mulai sekarang akan tinggal bersama kita. Amukhsara telah mengetahui persembunyiannya. Sekarang ini tidak ada tempat yang lebih aman daripada Medanggana Raya. Aku akan membuat pengamanan berlapis di seluruh kota. Sekarang Medanggana Raya akan menjadi pusat perhatian semua bangsa yang hidup di dunia tengah, termasuk Amukhsara. Keberadaan mereka disini akan tetap dirahasiakan.” Kata Prabu Narayala menjawab pertanyaan sang Patih.

“Titah Sang Prabu kami laksanakan.” Jawab semua yang hadir.

“Panglima Arghapati akan memimpin pembuatan pengamanan berlapis ini.” Kata Prabu Narayala. Panglima Arghapati memberikan salam patuh terhadap perintah rajanya.

“Nah, Dimas, Raji dan Pafi kalian akan belajar di Cakravartin. Kalian harus belajar banyak mengenai Narapati.” Kata Prabu Narayala.

“Baik Gusti Prabu.” Kata ketiganya bersamaan.

“Baiklah, sekarang apakah ada yang ingin kalian laporkan kepadaku.” Tanya Prabu Narayala kepada para pejabatnya.

“Hamba Gusti Prabu.” Menteri Urusan Pangan dan Persediaan meminta ijin berbicara.

“Silahkah Nayaka, berita apa dari pangan dan persediaan.” Prabu Narayala mempersilahkan menterinya.

“Purnama ini adalah perayaan panen raya kita yang berhasil. Para utusan dari kota-kota perbatasan telah mengirimkan upeti mereka dan memberikan semua catatan tentang panen mereka. Seluruh rakyat akan merayakannya dengan tari-tarian dan hiburan lainnya. Akan banyak rakyat yang tinggal jauh mendatangi kota untuk mengikuti perayaan.” Kata Menteri Urusan Pangan dan Persediaan.

“Bagaimana pendapat para Naradyaksa.” Prabu Narayala meminta pendapat kepada para penasehatnya. Keempat lelaki yang sudah terlihat tua itu saling berunding hingga akhirnya seorang diantara mereka menjadi juru bicaranya.

“Menurut kami, perayaan ini sangat penting bagi rakyat, tetapi keamanan kerajaan sekarang sedang menghadapi ancaman besar. Kami pikir perayaan ini harus tetap diselenggarakan agar rakyat senang, tetapi kita harus membuat pengamanan yang lebih baik untuk mencegah penyusup masuk.” Kata Naradyaksa tertua.

“Hmm….bagaimana menurutmu Patih Narmada.” Tanya Prabu Narayala kepada patihnya.

“Hamba sepakat dengan pendapat para Naradyaksa. Pesta panen raya ini penting untuk dilakukan selain untuk menghibur rakyat juga menunjukan kadar kewajaran akan situasi yang sedang kita hadapi, sehingga pihak manapun tidak akan melihat apa yang sedang kita lakukan. Walaupun keberadaan Sang Pembawa Buku Kehidupan dan Dwitunggal tetap dirahasiakan, tetapi kita tidak bisa mengabaikan kemampuan Amukhsara dalam mengendus keberadaan mereka dengan cepat. Pesta panen raya bisa menjadi jalan mereka untuk memasukan telik sandinya ke dalam kota. Karena itu penyaringan berlapis penting dilakukan.” Kata Patih Narmada.

“Baiklah, buka gerbang kota dengan penyaringan berlapis. Patih Narmada akan menjadi pemimpin keamanan selama pesta panen raya ini.” Kata Prabu Narayala.

“Titah Sang Prabu hamba laksanakan.” Kata Patih Narmada memberi hormat kepada Prabu Narayala.

“Panglima Arghapati, aku mempunyai tugas khusus untukmu.” Kata Prabu Narayala.

“Hamba siap melaksanakan titah Sang Prabu.” Kata Panglima Arghapati.

“Apakah ada hal lain yang hendak dilaporkan ?” tanya Prabu Narayala.

“Hamba Gusti Prabu, mohon ijinkan bicara.” Kata menteri Urusan Lintas Batas.

“Silahkan bicara Narabhumi.” Prabu Narayala mempersilahkan menteri urusan Lintas Batas berbicara.

“Kami mencatat pelanggaran lintas batas yang agak kurang wajar di wilayah ujung barat Jawa. Kami sedang menyelidiki penyebabnya tetapi sampai sekarang belum menemukan jawaban apapun, bahkan 9-Nandiswara penjaga di 9 pintu gerbang tidak melihatnya, tetapi mereka mengatakan merasakan ada getaran yang sama dengan persis dengan akibat dari upaya penyebrangan ke dunia manusia.” Kata Menteri Narabhumi.

“Di ujung barat Jawa katamu ? Sejak kapan terjadi ?” tanya Prabu Narayala.

“Belum satu purnama ini, Gusti Prabu.” Kata Menteri Narabhumi.

“Hmmm…suatu kebetulan yang menarik. Baiklah, tetaplah lakukan pengawasan yang lebih ketat. Kau bisa mengerahkan Pasukan Khusus Vairivaravira Vimardana untuk menyelidikinya lebih dalam.” Kata Prabu Narayala.

“Titah Gusti Prabu hamba laksanakan.” Kata Menteri Narabhumi memberi hormat.

Setelah yakin tidak ada lagi yang akan dilaporan oleh para menterinya, Prabu Narayala meninggalkan tempat diiringi Dimas, Raji dan Pafi. Dimas merasakan sebuah getaran yang sangat mengganggunya tak kala melewati barisan para menteri kerajaan. Getaran yang lebih kuat dari yang dia rasakan saat pertama kali memasuki ruang balairung.


Ketiga remaja itu mengangguk sambil tersenyum gembira. Prabu Narayala mengajak ketiganya keluar menuju pendopo utama dimana sudah menunggu seorang lelaki lanjut usia seukuran Prabu Narayala dengan janggut putih menjuntai panjang sedada. Kepala yang disorban kain putin menambah pesona sejuk mata yang begitu sabar dan penuh senyum ramah.

“NOBASATH SORGESPHA”

lelaki tua itu mengucapkan salam dengan kedua telapak tangan bertemu di depan dada ketika melihat Prabu Narayala beserta Dimas dan kedua sahabatnya muncul.

“NABAS NURSATH” Prabu Narayala membalas salam dengan cara yang sama.

Dimas, Pafi dan Raji tidak mengerti dengan bahasa yang diucapkan keduanya. Prabu Narayala menyadari hal itu kemudian meminta mereka untuk duduk di kursi batu hitam dan memejamkan mata mereka. Kemudian Prabu Narayala mengucapkan mantra sambil mengusap kepala ketiga remaja itu satu persatu.

“SIVARABAN, SONHORTIBHAN NARAPATHI” Prabu Narayala mengucapkan keras

Kemudian Prabu Narayala menyuruh ketiganya membuka mata mereka kembali dan Prabu Narayala langsung berbicara kepada lelaki tua itu.

“Guru Naradharma, saya titipkan mereka bertiga kepada anda sekarang, harap mereka dibantu dalam pelajaran mereka” Prabu Narayala berkata

“Terima kasih atas kepercayaan tuanku untuk menitipkan sang terpilih kepada saya. Saya akan mengajarkan kepada mereka apa yang saya ketahui dan saya miliki” Guru Naradharma menjawab.

“Nah, Dimas, Pafi, Raji, sekarang kalian ikutilah Guru Naradharma, turuti semua perintahnya, dan belajarlah sebanyak-banyaknya” Prabu Narayala menasehati ketiga remaja itu.

“Baik Bapak Narayala” Ketiganya serempak berkata dengan anggukan.

“Satu pesanku yang harus kalian patuhi, kalian jangan menceritakan kepada siapapun mengenai dunia manusia tempat kalian dulu pernah tinggal. Kalian harus tutup rapat-rapat siapa jati diri kalian sebelumnya” kata Prabu Narayala

“Mari anak-anak, sekarang ikuti saya” Guru Naradharma bangkit sambil memberikan gerakan salam kepada Prabu Narayala, kemudian berbalik meninggalkan pendopo diikuti oleh Dimas, Pafi dan Raji.

Melalui bagian samping kompleks kediaman Prabu Narayala mereka mengambil jalan tembus langsung menuju kompleks kuil Cakravartin yang dikelilingi oleh pagar tinggi. Tampak dari angkasa berkali-kali mendarat Garuda Kencana di halaman kuil diikuti kemudian para siswa yang turun dari punggungnya.

“Hei lihat…..mereka mengendarai Garuda Kencana” Pafi menunjuk ke angkasa seekor Garuda kencana yang sedang berusaha mendarat. Guru Naradharma hanya tersenyum sedikit. Dimas dan Raji kagum melihat keberanian para siswa tersebut menunggangi binatang raksasa itu. Burung-burung mitos raksasa itu kemudian terbang kembali.

Tak seberapa lama kemudian beberapa ekor Narasimha melompat masuk dari balik pagar mendarat persis di bekas tempat beberapa Garuda Kencana tadi mendarat. Hampir sama seperti tadi, beberapa siswa yang menungganginya kemudian turun dari punggungnya.

“Apakah kami bisa memiliki tunggangan seperti itu Guru Naradharma ?” Dimas bertanya.

“Hemm….tentu saja bisa, kali bisa memiliki binatang tunggangan jika ada seekor yang mau bersahabat dengan kalian. Tidak semua siswa bisa bersahabat dengan binatang-binatang itu” Guru Naradharma menerangkan.

“Bagaimana kami bisa menemukan binatang-binatang tersebut Guru” Raji bertanya dengan gembira.

“Setiap purnama binatang-binatang tersebut akan datang ke kuil ini untuk melakukan ritual menemukan tuan mereka. Mereka akan memilih siapa yang akan menjadi tuan mereka. Ritual itu akan sangat berbahaya bagi para siswa, jika ada yang ditolak maka binatang itu biasanya akan menyerang. Tetapi jika mereka sudah memilih maka dia akan menunduk untuk ditunggangi” Kata Guru Naradharma.

Raji nyengir ngeri mendengar cara mendapatkan Garuda Kencana dan Narasimha. Dimas dan Pafi mengangguk-angguk.

“Mengapa Cuma dua jenis Garuda Kencana dan Narasimha yang ditunggangi para siswa disini” Pafi bertanya

“Karena hanya kedua binatang itu yang memiliki kemampuan mengangkut sekaligus bertempur, binatang lainnya hanya sebagai pengangkut saja” Guru Naradharma menjelaskan.

“Bertempur bagaimana Guru?” Dimas mulai makin bersemangat, seolah ada darah prajurit yang selama ini terpendam mulai bergelora memompa semangat ke seluruh urat nadinya.

“Garuda Kencana dan Narasimha memiliki musuh alami yang sering digunakan oleh bangsa Amukhsara untuk berperang, yaitu Naga terbang dan Srigala Cakracakra” Guru Naradharma menjawab.

“Amukhsara ?” Dimas menyebut nama itu dengan pelan, tetapi sebelum menjadi sebuah pertanyaan, mereka sudah tiba di depan pintu utama.

Memasuki sebuah bangunan piramida batu hitam persegi enam yang dikelilingi oleh enam pilar raksasa. Pintu menuju ruang pertama berbentuk segi enam terasa megah, ruangan yang pernah mereka masuki sebelumnya. Hanya saja sekarang mereka melihatnya pada pagi hari, dimana seluruh aktifitas intelektual bangsa Narapati mulai berdenyut kembali dengan banyak siswa yang hilir mudik berseragam persis seperti yang mereka kenakan. Tidak ada tas atau buku seperti yang biasanya Dimas dan kedua sahabatnya lakukan di sekolah Hindia Belanda.

Hampir semua siswa terlihat memandangi mereka kemudian mengangguk memberi salam kepada Guru Naradharma yang dibalas dengan senyum ramah Guru tersebut. Akhirnya mereka sampai juga di sebuah ruangan yang cukup besar dimana terdapat relief-relief wajah-wajah laki-laki di dinding-dinding. Dimas memandangi wajah-wajah itu dengan seksama.

“Ah…. Itu wajah Guru-guru besar yang dulu memimpin kuil ini sebelum aku” Guru Naradharma menyadari keingintahuan Dimas menjelaskan tentang relief-relief itu.

“Duduklah” Guru Naradharma mempersilahkan ketiga remaja itu duduk di atas kursi batu hitam yang melingkari meja yang sangat besar seperti sebuah meja pertemuan di tengah-tengah ruangan yang diterangi obor-obor di sekeliling dinding memberikan cahaya keemasan yang dipantulkan kembali oleh dinding-dinding batu hitam yang mengkilat.

Kemudian Guru Naradharma ikut duduk bersama, tangannya dikembangkan ke arah tengah meja sambi melafalkan sesuatu dimulutnya. Bagian tengah meja tersebut terbuka kemudian muncul bangunan berbentuk piramida persegi enam persis seperti bentuk bangunan kuil Cakravartin. Kemudian Guru Naradharma menjentikan jarinya dan miniatur kuil Cakravartin itu pun terbelah menjadi dua bagian sama besar. Terlihat struktur ruangan di dalam bangunan kuil yang seperti bangunan sarang lebah, bertingkat-tingkat dan berlorong-lorong. Di dalamnya terdapat orang-orang kecil yang sedang melakukan sesuatu di dalam ruangan-ruangan.

“Ini adalah miniatur kuil Cakravartin. Yang kalian lihat di dalamnya adalah kegiatan siswa-siswa bersama para guru di dalamnya saat ini juga. Jadi aku bisa melihat apa saja yang terjadi di dalam setiap sudut kuil ini” Kata Guru Naradharma. Dimas, Pafi dan Raji mengamati dengan seksama setiap tingkatan dalam ruangan sarang lebah kuil itu.

“Siswa disini dibagi menjadi 5 tingkatan, tingkatan dasar, tingkatan madya, tingkatan lanjut, tingkatan utama, dan tingkatan ahli. Makin tinggi tingkatannya makin tinggi ruangannya, tapi tidak semua siswa akan berhasil memasuki sampai tingkatan tertinggi. Sekarang kalian akan memasuki tingakatan dasar. Dalam enam purnama kalian harus menyelesaikan tingkatan dasar. Ini yang kalian perlukan dan dipelajari pada tingkatan dasar” Guru Naradharma menyerahkan masing-masing dua lembar gulungan kertas yang segera dibuka oleh ketiganya.

Guru Naradharma secara bersamaan mendekati Dimas kemudian melafalkan mantra dan mengusap kepala Dimas, Pafi dan Raji secara bergantian.

“SOSSAVABAN SONHORTIBHAN NARAPATHI” kata Guru Naradharma.

Secara ajaib, tulisan dengan huruf-huruf yang tadi terlihat asing tiba-tiba saja seperti berubah menjadi huruf-huruf romawi yang bisa terbaca dan dimengerti oleh ketiganya.

Dari arah pintu terdengar suara ketukan kemudian muncul seorang pemuda yang lebih tua usianya memasuki ruangan dengan pakaian lengkap.

“Guru memanggil saya ?” Pemuda itu bertanya kepada Guru Naradharma

“Ah Nusapati, terima kasih kau telah datang tepat waktu. Aku mau meminta tolong padamu. Kau kenalkan dulu ini Dimas, Pafi dan Raji, mereka siswa baru disini. Tolong kau antar mereka ke ruang kelas Guru Wirabhumi. Tolong juga katakan kepada Guru Wirabhumi agar menerima mereka” Kata Guru Naradharma

“Baiklah Guru, mari ikuti aku” Nusapati mengajak Dimas, Pafi dan Raji mengikutinya.

Keempatnya kemudian keluar dari ruangan Guru Naradharma.

“Oh ya… namaku Nusapati” Pemuda itu memperkenalkan diri kepada Dimas, Pafi dan Raji. Ketika bersalaman dengan Pafi, pemuda itu tampak canggung. Melihat situasi salah tingkah itu Raji tak mampu menahan wajah kesalnya. Nusapati memang memiliki wajah yang sangat menarik, senyumnya membuat wajah Pafi bersemu merah dan hal itu sangat jelas dilihat Raji.

“Kau tidak usah kemayu seperti itu” Raji menyindir Pafi

“Kau ini, apakah tidak ada hal lain selain mengurusi urusan orang lain” Pafi cemberut dengan sinar mata yang galak.

Mereka terus berjalan kembali ke ruang utama pintu masuk kuil kemudian menaiki tangga. Akhirnya tiba di sebuah pintu sebuah ruangan yang sangat tinggi. Nusapati mengetuk pintu itu dan mendorongnya. Seorang lelaki muda terlihat di bagian depan ketika keempatnya memasuki ruangan.

“Maafkan saya Guru Wirabhumi, saya membawa pesan dari Guru Naradharma” Nusapati menyatukan kedua telapak tanganya di depan dada.

“Pesan apa yang kau bawa Nusapati” Guru Wirabhumi menatap Nusapati kemudian bergantian menatap Dimas, Pafi dan Raji.

“Saya membawa tiga orang siswa baru agar diterima oleh Guru di kelas ini” Nusapati menjelaskan.

“Baiklah, masuklah kalian bertiga. Kau bisa tinggalkan mereka disini Nusapati” kata Guru Wirabhumi. Nusapati mengangguk pamit dan meninggalkan ruangan.

“Mari anak-anak, silahkan ambil tempat duduk” Guru Wirabhumi mempersilahkan Dimas, Pafi dan Raji untuk mengambil tempat duduk. Tanpa Ragu Dimas, Pafi dan Raji mengambil tempat duduk di bagian belakang yang masih kosong. Suasana kelas dirasakan berbeda dengan yang mereka bertiga rasakan di sekolah Hindia Belanda. Dinding batu hitam dan mengkilat yang dikelilingi obor di seluruh sudut ruangan yang dibantu dengan cahaya matahari yang tembus melalui jendela tak mampu menghangatkan suasana dingin dan lembab yang telah tercipta.

“Baiklah anak-anak, kita lanjutkan pelajaran. Bumi ini memiliki empat unsur energi utama, yaitu unsur bumi, api, udara dan air. Masing-masing unsur memiliki sifat yang berbeda-beda. Nah pelajaran kita hari ini adalah mengenal unsur kekuatan yang berasal dari bumi” Guru Wirabhumi menjelaskan.

“Siapa yang tahu apa saja yang bisa menjadi bagian dari unsur energi bumi” Tanya Guru Wirabhumi. Seorang siswa lelaki menunjukan jarinya.

“Ya Jilan, kau tahu jawabannya” Tanya Guru Wirabhumi.

“Batu, tanah, pasir, pohon” Jilan menjawab dengan lantang sambil menengok ke belakang dengan wajah sombong.

“Bagus Jilan. Walaupun kau baru satu pekan disini ternyata kau bisa mengejar ketertinggalanmu. Jadi, batu, tanah, pasir, pohon itulah unsur yang membentuk energi bumi. Setiap unsur tersebut memberikan kekuatan yang berbeda-beda” kata Guru Wirabhumi.

“Untuk mendapatkan kekuatan dari unsur-unsur tanah tadi, kalian harus menyatu dengan sumbernya. Kalian tidak akan dapat mengambil kekuatan bumi jika sedang berada di atas air atau di udara. Karena itu kelemahan utama dari pemilik kekuatan yang bersumber dari unsur bumi, dia tidak bisa meninggalkan daratan. Tetapi sekali saja dia menyentuh daratan, maka kekuatannya akan lebih besar dari unsur yang lainnya”.

“Ada yang tahu kenapa kekuatan unsur bumi lebih kuat dari pada unsur yang lainnya.” Guru Wirabhumi bertanya.

Jilan dengan semangat mengacungkan jarinya, tetapi kelihatannya Guru Wirabhumi ingin memberikan kesempatan kepada siswa lainnya. Kemudian pandangannya mengarah kepada Dimas. Mendapatkan tatapan seperti itu Dimas menundukan kepalanya berusaha berharap agar dirinya tidak diminta menjawab pertanyaan itu.

“Ah siswa yang baru datang, Dimas, mungkin bisa menjawabnya” Guru Wirabhumi berkata.

“Eh….eng… iya….karena bumi adalah tempat hidup dimana unsur-unsur lainnya bergerak dan mendapatkan tempat di atasnya” kata Dimas

“Hmmm…ternyata murid baru kita ini juga cukup pandai rupanya. Benar yang dikatakan Dimas, karena bumi adalah tempat hidup dimana unsur-unsur lainnya bergerak dan mendapatkan tempat di atasnya, tanpa bumi, maka tak akan ada unsur-unsur lainnya” kata Guru Wirabhumi

“Oleh karena itu menguasai kekuatan unsur bumi adalah hal pertama yang harus kalian pelajari. Baiklah pelajaran hari ini sampai disini dulu.” Guru Wirabhumi membubarkan kelasnya, semua siswa berhamburan keluar kelas. Tetapi sebelum Dimas, Pafi dan Raji keluar dari ruangan, Guru Wirabhumi mencegah mereka.

“Dimas, Pafi dan Raji, kalian tinggal dulu di kelas” kata Guru Wirabhumi. Mendengar panggilan itu Dimas, Pafi dan Raji saling pandang, mereka kembali duduk di atas kursi batu.

“Hmmm, karena kalian tertinggal pelajaran ini, maka ada pekerjaan rumah yang harus kalian selesaikan agar kalian bisa mengimbangi teman-teman sekelas kalian. Ambilah buku ini, kalian baca sampai bagian ke 7, ikuti setiap perintah latihan yang diminta di dalam buku ini. Jika ada kesulitan kalian cari aku di ruanganku” Kata Guru Wirabhumi sambil menyerahkan tiga buku kepada masing-masing kemudian membalikan badannya.

“Sekarang kalian boleh meninggalkan ruangan” kata Guru Wirabhumi.

“Terima kasih Guru” Kata ketiganya yang kemudian segera berjalan keluar dari kelas.

“Aduuhhh kenapa harus ada pekerjaan rumah juga di sini.” Raji mengeluh

“Tenanglah Raji, kita kerjakan bersama-sama, aku juga sama tidak mengertinya soal ini” kata Dimas

“Kau lihat tadi gayanya, idiiiihhhh menyebalkan sekali” Kata Raji

“Iya, seperti guru matematika kita di sekolah Hindia Belanda, Madame Van Boer.” Dimas nyengir membayangkannya

“Itu masih tidak seberapa, kau lihat tadi waktu Jilan menjawab pertanyaan, gayanya sombong sekali seolah dia yang paling pintar di kelas. Tapi aku senang melihat ekspresinya sewaktu melihat Guru Wirabhumi memuji jawabanmu Dimas” kata Pafi dengan wajah yang berubah-ubah.

“Sepertinya kita bertemu saudara seperguruannya Aryo” kata Raji sambil tertawa yang diikuti oleh gerai tawa Dimas dan Pafi.

“Kita harus segera ke kelas Sejarah Narapati, ayo aku sudah tidak sabar mengikutinya” kata Dimas dengan semangat.

“Sepertinya pelajaran ini sekarang akan menjadi pelajaran favorit kita, padahal di sekolah Hindia Belanda sejarah adalah yang paling membosankan, apalagi kalau sudah mendengar kesombongan-kesombongan penjajah itu.” Kata Raji.

“Semua pelajaran bagimu terasa membosankan, karena kau memang tidak mau belajar. Tapi syukurlah kalau kali ini kau punya semangat” Kata Pafi agak sinis. Raji hanya menunjukan ekspresi masam mendengar komentar Pafi.

“Ayo, kelas kita ada di ujung lorong sebelah sana” Dimas mengajak kedua sahabatnya untuk bergegas. Setibanya di depan kelas mereka melihat para siswa baru saja masuk ke dalam kelas. Seorang lelaki tua berpakaian berbeda dari Guru Wirabhumi berjalan ke arah pintu yang sama tetapi Dimas, Pafi dan Raji tak menyadarinya. Ketiganya segera saja memasuki ruangan.

“Selamat Pagi anak-anak” Salam Guru tersebut kepada seluruh kelas. Matanya sebentar menyapu seluruh kelas dan menemukan hal yang baru bagi kelasnya, tiga siswa baru.

“Ah, ada siswa baru rupanya. Aku sudah mendapatkan kabarnya tapi tidak menyangka kalau hari ini aku mendapatkan mereka di kelasku. Perkenalkan diri kalian” Guru tua itu meminta Dimas, Pafi dan Raji memperkenalkan diri mereka ke seluruh kelas.

“Mereka anak kesayangan pimpinan kuil ini Guru Kusumo” Jilan menyela pembicaraan dengan raut muka yang tidak suka.

“Aku tidak bertanya kepada kamu Jilan.” Jawab Guru Kusumo

“Pak Kusumo” Desis Dimas pelan. Pafi dan Raji terbelalak kaget melihat siapa yang menjadi guru sejarah mereka. Tetapi Guru tua yang sedang berdiri di depan itu hanya tersenyum melihat mereka.

“Ayo Dimas, Pafi, Raji kalian perkenalkan diri kalian kepada kelas ini” Kata Guru Kusumo. Dimas, Pafi dan Raji berdiri secara bergantian menyebutkan nama masing-masing.

Pelajaran hari itu menjadi sangat menyenangkan bagi Dimas, Pafi dan Raji, karena ada orang yang mereka kenal di dunia manusia ternyata juga seorang Narapati. Selesai pelajaran sejarah, Dimas, Pafi dan Raji tinggal di kelas sebentar atas permintaan Guru Kusumo. Setelah semua siswa pergi dari ruangan, Guru Kusumo menutup pintu kelas rapat-rapat.

“Akhirnya kita bertemu lagi nak.” Kata Guru Kusumo

“Jadi Bapak adalah Narapati juga” Kata Dimas

“Betul, aku ditugaskan Raja Prabu Narayala untuk membantu dan menjagamu di sekolah” Kata Guru Kusumo.

“Lalu siapa lagi yang juga seorang Narapati selain Bapak dan Nyai Janis” Tanya Pafi

“Aku tidak bisa menjawabnya, karena hal itu harus dirahasiakan. Banyak yang masih ditempatkan di dunia manusia untuk mengawasi keadaan” Kata Guru Kusumo.

“Keadaan ? apa maksud Bapak ?” Tanya Dimas

“Nak, Dunia Manusia dan Narapati tidak sepenuhnya terpisah. Apa yang terjadi di dunia Manusia bisa menjadi pertanda untuk sebuah kejadian di dunia Narapati” Kata Guru Kusumo.

“Kami tidak mengerti” Kata Pafi.

“Hmmm…baiklah akan aku ceritakan, tapi pelajaran apa selanjutnya setelah kelas ini” Tanya Guru Kusumo.

“Menurut daftar yang diberikan Guru Naradharma, kebetulan hari ini hanya sampai disini.” Kata Pafi.

“Sebenarnya yang akan aku ceritakan adalah pelajaran sejarah untuk kelas tingkat utama. Tapi tidak ada salahnya kalian mengetahuinya lebih awal. Toh kalian termasuk sedikit orang yang pernah tinggal di dunia manusia” Kata Guru Kusumo.

“Di dalam dunia Narapati tidak ada kejadian yang terjadi secara terpisah dari apa yang terjadi di dunia manusia. Semua berkaitan karena sebenarnya Bangsa Narapati dahulunya juga tinggal di dunia manusia. Dunia Narapati pula memiliki wilayah yang sama persis saat seluruh bangsa Narapati berpindah ke dunia baru yang sekarang. Ada Gunung Bromo, Gunung Semeru dan gunung-gunung lainnya, hanya saja semua aktifitas alam dan perubahan bentuk bumi yang terjadi setelah perpindahan bangsa Narapati kurang lebih duabelas ribu tahun lalu tidak langsung terjadi di dunia Narapati. Kejadian besar seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir besar, perang atau bencana lainnya di dunia manusia akan berdampak kepada dunia Narapati dalam bentuk yang lain. Dunia Narapati sekarang menghadapi bahaya yang sangat besar karena sedang dalam masa perang dengan bangsa Amukhsara. Bangsa Amukhsara adalah bangsa Narapati yang memilih jalan sesat sehingga mengalami transformasi bentuk. Peperangan ini terjadi sejak terjadinya perebutan BUKU KEHIDUPAN.” Guru Kusumo diam sesaat.

Dimas, Pafi dan Raji sudah mengerti dengan perang yang dimaksud Guru Kusumo. Prabu Narayala pernah menjelaskan tentang keberadaan BUKU KEHIDUPAN yang bersemayam di tubuh Dimas, dan peran Pafi dan Raji di dalam perebutan ini.

“Kalian perhatikan tanda-tanda apa yang pernah terjadi di dunia manusia, kejadian besar yang terjadi atau pernah terjadi, maka juga telah terjadi sesuatu di dunia Narapati” Kata Guru Kusumo

“Baiklah, sekarang kalian kembali ke ruangan Guru Naradharma, dia akan memberikan petunjukan berikutnya untuk kalian, aku sudah terlalu banyak bicara kepada kalian.” kata Guru kusumo.

Dimas, Pafi dan Raji tidak membantah walaupun rasa penasaran masih tetap bersemayam di hati mereka akhirnya mereka putuskan untuk berjalan keluar dari kelas meninggalkan Guru Kusumo sendirian di dalam kelas.

“Kejadian besar, kau ingat apa yang dikatakan pak Kusumo tadi, apa maksudnya” Kata Dimas.

“Mungkin tabrakan tebu” Kata Raji santai

“Bukan kejadian seperti itu, yang dimaksud pak Kusumo itu kejadian besar seperti perang atau bencana alam, seperti letusan gunung krakatau pada tahun 1883” Kata Pafi

“Kau ingat pernah ada berita mengenai munculnya gunung baru di bekas letusan gunung krakatau” Kata Pafi. Dimas dan Raji manggut-manggut.

“Tapi kejadian apa yang berhubungan dengan dunia Narapati ?” Tanya Raji

“Kita baru beberapa hari disini tentu kita tidak tahu apapun yang terjadi sebelum kita disini. Lebih baik kita cari tahu apa yang pernah terjadi disini sebelumnya.” Kata Dimas

“Kita ke Perpustakaan saja, pasti di sana banyak cerita sejarah dan legenda tentang negeri Narapati ini.” Kata Pafi mengusulkan.

“Tapi sebaiknya kita kembali ke ruangan Guru Naradharma untuk mencari tahu apa yang harus kita lakukan selanjutnya” Kata Dimas.

Akhirnya mereka bertiga bergegas berjalan menuju ruangan Guru Naradharma yang sudah menunggu mereka di dalam ruangannya.

“Ah…anak-anak aku sudah menunggu kalian sejak kalian berbicara dengan Guru Kusumo” Kata Guru Naradharma. Dimas, Pafi, Raji saling menatap, tapi kemudian mereka teringat dengan miniature kuil Cakravartin yang berada di ruangan Guru Naradharma.

“Maafkan kami, agak terlambat Guru” Dimas mewakili kedua sahabatnya kepada Guru Naradharma.

“Sesuai petunjuk Gusti Prabu Narayala, kalian akan tetap mengikuti peraturan yang berlaku bagi semua siswa di Cakravartin. Kalian harus tinggal di asrama bersama siswa-siswi lainnya.” Kata Guru Naradharma. Raji langsung berkerut, harapannya untuk tinggal di ruang tinggal semegah kerajaan harus terhapus oleh perkataan Guru Naradharma tadi.

“Sudah didunia manusia kita tinggal di asrama, kenapa sekarang disini kita harus mengalami nasib yang sama. Huh nasib…nasib.” Kata Raji menggerutu. Guru Naradharma hanya tersenyum-senyum mendengar gerutuan Raji.

“Sekarang kalian akan diantarkan ke asrama dimana kalian nanti akan tinggal” Guru Naradharma menepukan tangannya. Nusapati yang berada di balik ruangan muncul di balik pintu besar.

“Nusapati, tolong antarkan mereka ke ruang asrama mereka. Nah anak-anak selamat bersenang-senang.” Nusapati hanya mengangguk mengerti perintah yang diberikan Guru Naradharma kemudian berbalik meninggalkan ruangan. Dimas, Raji dan Pafi mengikuti Nusapati dari belakang.

“Kalian akan tinggal bersama 3 orang siswa tingkat menengah, 3 orang siswa tingkat lanjut, dan 3 orang tingkat utama. Nah ini ruangan kalian” Kata Nusapati menunjuk sebuah pintu kemudian mengetuknya. Tak lama kemudian pintu terbuka dan muncul seorang lelaki berumur enambelas tahun.

“Ah, Nusapati ada apa ?” Tanya pemuda itu.

“Aku membawa pesan dari Guru Naradharma, ketiga siswa baru ini akan tinggal bersama kalian” Nusapati memperkenalkan Dimas, Raji dan Pafi.

“Baiklah tugasku sudah selesai, aku tinggalkan kalian disini” Nusapati berbalik meninggalkan Dimas, Pafi dan Raji.

“Mari masuklah, namaku Kiranaryo” Pemuda itu menyodorkan tangannya bergantian kepada Dimas, Pafi dan Raji.

“Aku Dimas” “Raji” “Pafi” masing-masing menyambut sodoran tangan Kiranaryo.

“Baiklah sebelum aku tunjukan dimana kamar kalian, kalian harus mengerti tentang aturan yang berlaku di asrama kita. Kalian bisa membacanya di pahatan di dinding itu.” Kiranaryo menunjuk sebuah ukiran tulisan-tulisan yang terpahat di dinding. Raji menilik-nilik mencoba membacanya tetapi rupanya huruf-hurufnya bukanlah huruf romawi yang selama ini dia kenal.

“Kau bisa membacakannya untuk kami ?” tanya Raji nyengir kuda.

“Biarlah nanti aku akan salinkan ke dalam huruf Romawi untukmu Raji.” Kata Dimas kepada sahabatnya. Kiranaryo hanya tersenyum kecil melihat air muka Raji.

“Nah, Dimas dan Raji kalian gunakan ruangan nomor 3, Pafi kau akan satu kamar dengan Sita” Seorang gadis cantik mendekati Pafi tersenyum dan menyodorkan tangannya.

“Namaku Sita”

“Pafi”

“Mari, aku tunjukan kamar kita” Pafi mengikuti Sita menuju ruangan nomor 5 sementara Dimas dan Raji memasuki kamar mereka.

Begitu melihat sebongkah buntalan berisi kapuk yang sangat empuk, Dimas tak bisa menahan kantuknya. Lelah yang dirasakan seharian mencoba mencerna sebuah dunia yang sangat baru baginya. Sementara Raji sudah tidak lagi sadar di atas kasurnya. Tetapi walaupun lelah dan kantuk begitu kuat menyerang, Dimas merasakan pikirannya terus menerawang jauh. Ada hal yang terus terpikir olehnya sejak pertemuan di balairung. Dimas merasakan ada yang tidak biasa dia rasakan yang sangat berbeda dengan tempat-tempat lain yang sudah dikunjunginya.

----- **** -----

Tanpa terasa malam sudah merambat naik. Dimas sudah terlelap tidur entah sejak kapan rasa kantuknya akhirnya mengalahkan semua beban pikiran yang menggantunginya. Tapi tak berlangsung lama, matanya kembali terbuka. Getaran-getaran di dadanya kembali terasa, kali ini seakan seperti sebuah panggilan. Langkahnya tertuntun begitu saja menuju keluar kamar. Dimas hanya mengikuti saja kemana langkah kakinya membawa. Dimas terus melangkah hingga keluar dari pintu asrama siswa yang masih dalam satu kompleks dengan Cakravartin dan Kraton. Langkahnya terhenti oleh pandangan sinar putih terang yang meluncur dari puncak Cakravartin menembus langit yang cerah oleh cahaya bulan dan sebaran bintang.

Dimas terus melanjutkan langkahnya, tapi kali ini dia lebih berhati-hati terhadap lingkungan sekitarnya. Kuil Cakravartin adalah kuil yang sangat tinggi. Halaman kuil sangat terang oleh cahaya bulan. Dimas sedikit ragu untuk mengambil jalan memotong halaman kuil. Dimas mengambil jalan menyusuri tembok pagar yang mengelilingi halaman kuil kemudian mengambil jarak terdekat dengan pintu gerbang masuk kuil.

Lantai kuil terkena cahaya bulan yang hampir genap purnama, memantulkan kembali sebagian cahaya seolah sebuah cermin raksasa. Langit malam yang cerah tidak mampu menyembunyikan sosok Dimas yang berada di atas pelataran kuil. Rasa penasarannya terus membawanya masuk makin ke dalam menembus ruang demi ruang yang tadi siang dia lewati bersama Raji dan Pafi. Tetapi malam ini ada yang berbeda dari tadi pagi. Sebuah lubang besar menganga di lantai ruang utama dimana ratusan anak tangga menurun ke bagian bawah kuil yang gelap dan tak berdasar. Dimas agak ragu sejenak, tapi kakinya tanpa sadar turun menapaki satu demi satu anak tangga itu.

“SEBAN TEJA SORDHESPHEBAN”

Dimas merapalkan mantra dengan telapak tangan kiri menengadah ke atas. Dari pintu masuk kuil puluhan larik sinar bulan tertarik masuk dan berkumpul di atas telapak kiri Dimas. Sinar terang itu menggumpal membentuk bola dan menerangi ruangan. Kali ini dasar anak tangga bisa dilihat dengan jelas, Dimas kembali meneruskan langkahnya. Langkahnya berhenti pada sebuah ruangan segi enam yang buntu tanpa pintu. Pada lima bagian dinding terdapat ukiran-ukiran. Dimas memandangi tiap dinding dengan seksama. Ukiran-ukiran itu tampak seperti sebuah tulisan-tulisan dengan huruf-huruf yang sama sekali tidak dikenalnya. Semakin berusaha dia mencoba mengerti, semakin pusing kepalanya. Tapi tiba-tiba bola sinar yang berada di tangan kirinya mulai meredup. Dimas bergegas menaiki kembali tangga dan bersamaan dengan keluarnya perlahan anak-anak tangga itu naik ke atas dan menutup semua ruangan dibawahnya. Dengan Langkah cepat Dimas meninggalkan kuil menuju asrama. Sinar putih yang menjulang tinggi di atas kuil tadi sudah tidak terlihat lagi.

----- **** -----

Malam beranjak sangat cepat berganti dengan fajar muda yang merona merah di langit timur. Ujung langit Semeru begitu indah. Udara sangat dingin di Medanggana Raya. Kuil agung Cakravartin mulai kembali disibukan oleh kegiatan siswa. Dimas kembali menjalani belajarnya di kuil itu bersama dua sahabatnya. Berjalan beriringan Dimas mengajak dua sahabatnya mengambil tempat di bawah pohon beringin besar tepat di tengah halaman Cakravartin.

“Aku ingin menceritakan sesuatu kepada kalian.” Kata Dimas pelan. Tak biasanya Dimas punya cerita yang langsung ingin di baginya bersama, biasanya Raji atau Pafi yang meminta dirinya bercerita terlebih dahulu. Tentu saja Raji dan Pafi langsung tertarik dengan ajakan Dimas duduk di bawah pohon beringin. Apapun yang diceritakan Dimas pastilah sangat menarik buat keduanya, apalagi sampai Dimas sendiri yang meminta untuk mendengarkan. Setelah cukup yakin tidak ada orang lain di sekitar mereka Dimas mulai menceritakan apa yang dia lihat semalam.

“Semalam aku melihat sinar terang keluar dari puncak Cakravartin. Sinar itu seperti sebuah pilar hingga menembus awan selama beberapa saat. Aku penasaran ingin tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Lalu aku masuk ke dalam kuil untuk menyelidikinya. Di dalam kuil aku menemukan sebuah tangga menuju dasar kuil yang letaknya persis di lantai ruang pintu masuk utama. Lantai yang selama ini dilewati oleh semua orang. Aku masuk ke dalam ruang di bawah yang gelap itu. Disana aku menemukan sebuah ruangan berbentuk segi enam. Di lima bagian dindingnya terdapat pahatan-pahatan yang aku tidak mengerti. Aku sempat keluar sebelum ruangan itu tertutup lagi.” Dimas menyudahi ceritanya. Matanya memandang kedua sahabatnya menunggu reaksi.

“Apakah ruangan itu memang terbuka dengan sendirinya atau dibuka oleh sesuatu ?” tanya Pafi.

“Aku sendiri tidak tahu, aku sudah menemukannya dalam keadaan terbuka dan sebelumnya aku tidak melihat siapapun keluar dari kuil.” Kata Dimas.

“Mungkin ruang itu sudah terbuka dengan sendirinya.” Kata Raji.

“Ya, mungkin saja. Tapi mengapa tertutup lagi ? Mungkin sebenarnya ruangan itu tidak seharusnya terbuka sendiri. Ada orang yang membukanya, tetapi hanya menemukan ruang kosong.” Kata Dimas.

“Lalu apa yang dicari oleh orang itu ?” tanya Raji

“Entahlah, tapi aku yakin ada kaitannya dengan pilar sinar yang meluncur dari puncak Cakravartin semalam.” Kata Dimas.

“Lebih baik kita mencari tahu dari perpustakaan. Kita lakukan nanti setelah pelajaran terakhir.” Kata Pafi.

“Baiklah, ayo kita segera ke kelas. Aku pikir hari ini kita akan belajar mengenai pengobatan and perbintangan. Kita akan ke perpustakaan setelah pelajaran terakhir selesai.” Kata Dimas. Mereka segera menuju kelas dan mengikuti pelajaran. Semua berjalan sangat lancar pelajaran hari ini. Raji menjadi begitu sangat tertarik terhadap pelajaran pengobatan. Kemampuannya berkembang lebih maju dari pada Dimas maupun Pafi. Seakan sekarang Raji menjadi yang paling pandai diantara mereka.

“Wah hari ini kau tampak hebat sekali Raji.” Kata Pafi memuji

“Hehehe…kebetulan kali ya, mungkin aku merasa ada yang begitu cocok denganku saja.” Kata Raji

“Tampaknya bakat Raji di bidang pengobatan dan ramuan.” Kata Dimas

“Mungkin juga, tapi pelajaran perbintangan tadi begitu membosankan. Aku sampai tertidur melihat bintik-bintik putih di langit-langit kelas.” Kata Raji

“Guru Wariga Wadwan kelihatannya orang baik. Tidak seperti guru Wirabhumi di pelajaran tenaga dalam, dia sangat sombong.” Kata Pafi.

“Mungkin karena dia berpikir pelajaran yang dia berikan adalah pelajaran paling dasar dari semua kemampuan olah raga dan olah jiwa.” Kata Dimas.

Begitu asyik mereka membahas semua hal baru yang mereka temui di kelas tadi. Seperti janji yang sudah disepakati tadi pagi, mereka bertiga berkumpul dan menghabiskan waktu sore mereka di perpustakaan. Ruang perpustakaan terlihat penuh dengan beberapa siswa yang lebih tinggi tingkatannya. Beberapa mata menatap kedatangan Dimas, Raji dan Pafi. Berkali-kali Pafi mengibaskan tangannya dengan lembut. Getaran-getaran perubahan gerak udara di dalam ruang perpustakaan yang dirasakannya mendorong instingnya untuk membuat pertahanan.

“Kita sedang diserang” kata Pafi berbisik.

“Jangan membalas, kita bertahan saja dengan membuat perisai gaib.” Kata Dimas

“Tidak membalas ? kita harus tunjukan kalau kita bisa menyerang balik.” Kata Raji dengan nada agak kesal.

“Kita harus tetap fokus pada tujuan kita kesini.” Kata Pafi agak kesal. Raji langsung diam mendengar dengusan Pafi. Mereka bertiga pun mengambil tempat duduk yang tidak banyak orang. Beberapa pasang mata anak-anak yang lebih besar tubuhnya menatap mereka bertiga. Dimas merasakan ada upaya membaca pikiran dan segera saja menyelubungi dirinya, Raji dan Pafi dengan selimut gaib.

“Sepertinya ini tidak hanya sebuah perpustakaan, tetapi tempat latihan. Semua serangan yang dilakukan begitu halus.” Kata Dimas

“Betul, mereka menyerang pada bagian titik totok penting, sehingga walaupun serangan tidak keras, tapi cukup membuat kita kehilangan kendali tubuh kita sendiri.” Kata Pafi yang tadi sempat melakukan tangkisan-tangkisan terhadap serangan-serangan halus tadi.

“Sepertinya tujuan mereka hanya untuk mempermalukan kita saja.” Kata Dimas.

“Aku akan balas menyerang mereka, aku sudah gerah dengan kesombongan mereka.” Kata Raji yang sudah gatal tangannya sejak tadi. Dengan gerakan yang halus Raji melakukan serangan ke arah para penyerang yang sedang berusaha masuk dan menembus perisai gaib Dimas. Pafi tak mau ketinggalan, dia juga ikut melakukan serangan. Sekelompok anak remaja yang tubuhnya lebih besar tiba-tiba terkulai lemas.

“Aku menyerang pusat gerak mereka. Mereka tidak sempat menahan seranganku.” Kata Raji.

“Aku menahan ikatan pikiran mereka denganku sehingga gerak refleks mereka melambat.” Kata Dimas sambil nyengir. Raji dan Pafi tersenyum senang. Paling tidak anak-anak itu akan terbebas dari gangguan sampai ada yang membentuk kelompok remaja itu lepas dari totokan serangan Raji dan Pafi.

“Ayo sekarang kita mencari sejarah Cakravartin.” Kata Pafi.

Ruang perpustakaan yang luas dikelilingi oleh lemari-lemari kayu di sepanjang dinding ruangan. Di langit-langit menggantung kepompong-kepompong berwarna keemasan yang terang menyala. Cahayanya menyorot ke setiap meja dan seperti sebuah hologram memproyeksikan kelompok-kelompok pustaka. Seperti membalik-balikan sebuah buku, kelompok pustaka yang dipilih langsung bereaksi dan proyeksi berubah memberikan rincian dari kelompok pustaka yang dipilih. Sebuah benda berbentuk piramida dengan dasar bersegi enam sama sisi muncul setelah Pafi memilih kelompok pustaka. Di sekeliling bentuk piramida itu melayang-layang kelompok yang lebih detil dalam huruf-huruf narapati. Huruf-huruf itu menunjukan dimana pustaka yang diinginkan diletakkan di antara rak-rak. Pafi kemudian menggerakan jari telunjuknya ke arah dimana pustaka mengenai Cakravartin diletakan. Sebuah buku besar keluar dari sebuah rak dan melayang menghampiri meja mereka.

“Buku Cakravartin” bisik Dimas.

“Ayo kita buka” kata Pafi tak sabar.

Pafi dengan sabar membuka satu per satu setiap halaman buku yang tebalnya satu telapak orang dewasa. Buku berlapis warna emas itu berisi semua keterangan mengenai sejarah Cakravartin yang dimulai saat pembangunan hingga selesai. Semua cerita dalam buku itu sudah seperti sebuah legenda karena usia buku itu hampir sama tuanya dengan usia Cakravartin itu sendiri. Telah hampir 15.000 tahun Cakravartin berdiri menjadi pilar bagi dunia tengah.

“Sepertinya akan perlu satu purnama untuk membacanya.” Kata Raji terlihat agak malas melihat tebalnya buku itu.

“Itu kalau kau yang membacanya, aku Cuma perlu satu malam untuk membaca seluruhnya.” Kata Pafi dengan air muka cemberut.

“Apakah kita bisa meminjamnya ?” tanya Dimas

“Dengan ini pasti bisa” kata Pafi mengeluarkan sebuah lempeng batu bening berbentuk bundar dengan senyum lebar.

“Memangnya apa yang kau pegang itu ?” tanya Raji.

“Ini tanda keanggotaan yang memberikan aku kebebasan untuk meminjam pustaka dari ruangan ini.” Kata Pafi dengan bangga.

“Sejak kapan kau mendaftar, kenapa tidak mengajak kami ?” kata Dimas

“Huh, karena aku yakin membaca bukan hal yang menjadi kesenangan kalian.” Kata Pafi agak ketus. Dimas dan Raji nyengir kuda mendengar ocehan Pafi. Akhirnya mereka memutuskan untuk meninggalkan ruang perpustakaan dan meminjam buku Cakravartin. Tanpa banyak kesulitan Pafi berhasil mendapatkan pinjaman buku itu dan membawanya serta ke asrama.

Bayangan Cakravartin merambat perlahan bersamaan dengan merendahnya mentari sore yang menebarkan jingga di awan-awan yang menggantung di langit Bromo. Kepulan asap putih yang keluar dari kawah Bromo meliuk ditiup angin bagaikan lidah api yang kemerahan di bawah sinaran senja. Mahameru yang gagah menjulang tinggi seakan sedang merayu para dewa untuk berpesta di puncaknya. Langit megah Medanggana Raya menjelang purnama yang belum genap yang sudah tergantung bersama bintang timur. Cahayanya yang walau belum seterang saat malam, tapi bulan telah memberikan keindahan yang lengkap di langit Cakravartin. Perahu-perahu nelayan di sepanjang Nadisara kota mulai pulang ke rumah setelah sepanjang pagi hingga siang mengangkut hasil bumi ke pasar-pasar mengejar sore yang akan segera berganti malam.

Malam tak lama kemudian bertahta di puncak Cakravartin. Obor-obor menerangi seluruh penjuru kota memberikan warna keemasan ke seluruh bangunan. Sesekali tertiup angin semilir yang membuai penduduk Medanggana Raya. Kesenyapan menyelimuti kota di bawah bayang-bayang awan.