Sunday, March 26, 2006

NYAI JANIS

Beberapa purnama berlalu, latihan-latihan yang diterima Dimas, Raji dan Pafi telah semakin membuat matang kemampuan mereka. Setiap waktu petualangan dan pengalaman yang menakutkan dijalani Dimas, Raji dan Pafi. Tetapi dari semua petualangan yang mereka alami bagi Dimas harus kembali berhadapan dengan Nyai Janis dengan semua pertanyaannya adalah yang paling melelahkan. Pagi-pagi setelah sarapan nasi goreng buatan mbok Sinten, Nyai Janis kembali memanggil Dimas ke ruangannya. Dengan langkah gontai dan berat seperti dibebani ribuan ton besi kakinya melangkah menuju ruangan Nyai Janis. Dalam kemalasannya menemui Nyai Janis sebenarnya ada rasa penasaran yang mencuat dipikirannya.

Ketidakmengertian Dimas akan keanehanan Nyai Janis yang belum lama diperlihatkannya membuatnya berpikir penasaran. Selama ini Nyai Janis terlihat wajar dan tidak menunjukan keganjilan apapun dalam sikapnya. Tetapi semenjak mimpi-mimpinya makin sering mengunjunginya sejak sebulan terakhir, Dimas merasa ada perubahan yang sangat jelas dari sikap Nyai Janis. Bukan sikap menyebalkan yang membuatnya merasa aneh, tetapi sikap Nyai Janis yang makin ingin tahu mengenai mimpi-mimpinya. Selain itu sepertinya dia seperti bisa membaca pikiran orang-orang sebelum diungkapkan dalam kata-kata sekalipun. Sejak pemanggilan dirinya yang pertama kali sebulan yang lalu, sudah 9 kali Nyai Janis memanggil dirinya secara pribadi dan menanyakan mimpi-mimpi apa yang dilihatnya dan nyaris setengah memaksa dia meminta Dimas menceritakan semuanya dengan detil.

Hari ini adalah yang ke sepuluh Dimas dipanggil oleh Nyai Janis ke kantornya. Pertanyaannya tetap sama, dan jawaban yang diberikan juga tetap sama. Sejauh ini mimpi-mimpi yang dialami Dimas masih sama, walaupun ada yang lain, Dimas merasa tidak ingin menceritakannya karena hal itu akan membuatnya makin sering menemui orang yang sekarang paling malas ditemuinya. Lega rasanya lepas dari ruangan Nyai Janis. Lepas dari semua pertanyaan nyai Janis sekarang bagi Dimas mulai menjadi sebuah kenikmatan yang luar biasa yang setara dengan rasa lapar yang terpuaskan oleh makanan yang sangat lezat. Rasa bebas dari segala pertanyaan yang paling tidak nyaman untuk dijawabnya membuat Dimas menarik napas panjang begitu memasuki pintu bangsal. Kakinya bergegas ke ruang belajar dimana tiga sahabatnya seperti biasa telah menunggu di ujung pojok ruangan.

Raji dan Pafi mengerti apa yang dirasakan Dimas, karena itu tidak ada satu orang pun yang memulai pertanyaan mengenai apa yang terjadi di ruangan Nyai Janis. Mereka membiarkan Dimas memulai pembicaraan dan tampaknya Dimas pun tidak tega melihat rasa penasaran kedua ahabatnya begitu memuncak di ujung kepala mereka.

“Pertanyaan yang sama, dan jawaban yang sama” Keluh Dimas.

“Kau tidak menceritakan mimpi aneh yang lain yang baru saja kau alami” Raji bertanya dengan suara agak mendesis.

Dimas menggelengkan kepala,

“Tidak, aku tidak ingin menceritakannya, lagi pula tidak ada gunanya bukan”. “Selama ini Nyai Janis selalu berkilah mengenai tujuannya membantu mengurangi beban di kepalaku, tapi nyatanya perbuatannya malah justru membuat kepalaku tambah pusing”

Keluh Dimas terdengar nelangsa.

“Sudahlah, Dimas jangan ditanyai lagi, lebih baik kita kembali ke tempat tidur masing-masing. Sudah terlalu banyak kelelahan hari ini”.

Kata Pafi yang terdengar dewasa dan justru aneh di mata teman-temannya yang lain. Biasanya dia yang paling bersemangat untuk bertanya-tanya tanpa peduli apakah orang yang ditanya bersedia menjawab atau tidak. Tapi akhirnya semua setuju untuk meninggalkan ruangan dan kembali ke tempat tidurnya.

Pagi sebelum fajar mengufuk di timur, hal aneh terjadi dengan tiba-tiba. Kabut yang begitu tebal menyelimuti seluruh kota Jogjakarta dengan cepat, tak jauh berbeda dengan yang terjadi di asrama. Dingin udara yang tidak biasanya terasa menusuk tulang, mengkerutkan kulit yang memaksa setiap orang untuk menambahkan kulit keduanya semakin tebal demi mendapatkan kehangatan. Untungnya hari itu hari minggu, sehingga semua penghuni asrama merasa bisa bermalas-malasan. Tapi tidak demikian yang dirasakan Dimas yang sedang duduk di atas tempat tidurnya. Ada perasaan aneh mengalir dalam hatinya yang membawanya bangkit dari tempat tidur dan melawan rasa kantuk dan dingin yang menusuk-nusuk. Dimas bergerak ke tempat tidur Raji yang masih melingkar seperti seekor kucing yang keletihan bermain.

“Ji….Ji… bangun…..”

Dimas menggoyang-goyang bahu Raji yang susah sekali membuka matanya yang seakan sudah terjahit rapat dengan kelopaknya. Raji dengan malas dan memelas mencoba membuka matanya.

“Ada….apa…” Kata Raji terdengar agak berat.
“Aku merasakan ada yang aneh, ayo kita lihat keluar” Dimas menarik selimut yang menutup kaki Raji. Kontan Raji menggigil dan berusaha menarik kembali selimutnya.

“Ayo… kau akan kehilangan hal yang menarik kalau tidak ikut” Dimas mendesiskan suaranya agar tidak terdengar yang lain yang juga sedang meringkuk melawan dingin.

Dimas berusaha memotivasi Raji agar ikut dengannya. Raji serta merta bangkit dan mengikuti Dimas tanpa peduli lagi rasa dingin yang menusuk-nusuk tulang. Rasa ingin tahu dan tak ingin kehilangan hal yang menarik mendorongnya untuk melawan semua kantuknya. Mereka berdua kemudian berjalan ke bangsal perempuan dimana Pafi sudah berdiri di depan pintu.

“Dimas, kabut ini aneh sekali seperti tidak wajar, apakah kau juga merasakan ada yang aneh ?”

Pafi berbicara agak mendesis. Kepala menengok kesana kemari menyapu seluruh koridor kalau-kalau ada orang.

“Ya…aku kira akan terjadi sesuatu, ayo kita keluar” Dimas menganggukan kepalanya.

Dimas dan Raji bergerak ke arah pintu keluar dekat musholla diikuti Pafi dari belakang. Ketiga remaja itu berjalan menyusuri lorong nyaris tidak terlihat lagi karena tebalnya kabut yang rupanya sudah memasuki seluruh ruangan asrama. Jejak langkah mereka terhenti di pintu asrama yang menghadap kantor Nyai Janis seberang luar asrama.

Kesunyian begitu pekat menyelimuti seluruh asrama, semua penghuninya seperti tersirap pulas. Pandangan nyaris tak sanggup menjangkau lebih dari sepuluh meter. Dimas tetap berdiri di balik pintu kaca dan terus memandang ke arah pintu masuk kantor Nyai Janis. Tangannya memberi isyarat tangan kepada Raji dan Pafi agar berhenti. Seakan sedang menunggu sesuatu yang akan datang. Hatinya berdesir kemudian berdegup kencang ketika tiba-tiba keluar dari tebalnya kabut dua orang laki-laki tinggi, satu orang masih terlihat muda dan yang lainnya sudah terlihat berumur tua. Rambutnya yang putih tertutup sorban warna gading dengan jubah seperti pakaian dari wilayah timur tengah. Dimas terus mengikuti gerak-gerak tamu misterius yang kemudian berdiri di depan pintu kantor Nyai Janis. Tak ada gerakan ketukan atau suara ucapan salam, tapi seperti sudah ditunggu kedatangannya, pintu kantor Nyai Janis terbuka lebar diikuti masuknya kedua orang misterius tadi.

“Siapa orang itu ?” Raji menoleh kepada Dimas.
“Aku tidak tahu, tapi rasanya aku mengenal mereka dari apa yang mereka kenakan” Dimas menjawab Raji dengan tetap menatap tajam ke arah pintu kantor Nyai Janis.

“Kau pernah melihat mereka ?” Pafi menyelak di antara Dimas dan Raji. Raji yang terdorong ke samping karuan saja merasa tidak suka dan menunjukan wajah cemberutnya kepada Pafi.

“Ya, mereka seperti orang yang pernah kita lihat sewaktu pulang sekolah dan yang menyapa kita dipinggir sungai, sewaktu kita sedang makan ikan bakar”

“Ya aku ingat, mereka adalah orang yang sama dengan orang yang tadi masuk ke kantor Nyai Janis” tambah Pafi sambil tetap memperhatikan semua yang terjadi di depan kantor Nyai Janis.

“Lebih baik kita mendekati kantor Nyai Janis, untuk mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan” Pafi memberikan usul.

Sekelebat pikiran Dimas setuju seketika dan mengajaknya bergeraknya untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam ruangan Nyai Janis. Tetapi keraguan menderanya, sebentar keraguan itu ditepisnya dan rasa ingin tahunya mengemuka di seluruh kepalanya yang diikuti gerakan tangan membuka pintu dan bergerak mengendap keluar asrama diikuti yang lainnya yang kelihatannya setuju dengan gerakan yang dilakukan Dimas. Beruntung kabut masih tebal sehingga ketiga remaja itu dapat bergerak dengan leluasa. Mereka bergerak ke belakang kantor Nyai Janis yang memiliki jendela menghadap kebun jagung pak Narso. Jendela yang sering dipandang Dimas setiap kali Nyai Janis memanggilnya. Dimas mengendap-endap seperti setengah merangkak kemudian berjongkok persis di bawah jendela. Diikuti yang lainnya yang bersusah payah setengah merangkak karena Pafi tampaknya kesulitan dengan rambutnya yang panjang yang terus menerus disibakannya menghindari tanah, tetapi perbuatannya justru membuat rambutnya menumpuk di wajah Raji yang kelabakan mengibaskannya sambil merengut. Hampir saja Raji mengeluarkan makian yang terhenti oleh telapak tangan Pafi yang menutup mulutnya. Tangan Pafi yang bekas menyentuh tanah, karuan saja membuat mulut Raji penuh dengan remah-remah tanah humus. Raji menepis tangan Pafi sambil melotot dan membersihkan mulutnya. Dimas yang melihat ulah ketiga sahabatnya hanya dapat mengulum senyum.

“Ah…jendelanya tidak terbuka” kata Dimas dalam hati

Bagaikan perjalanan terpanjang selama hidupnya, akhirnya Raji menarik nafas lega sambil menutup mulutnya bersender disebelah Dimas, diikuti Pafi. Dimas terlihat mengkerutkan dahinya, kekhawatirannya sedari tadi muncul karena dilihatnya jendela yang tertutup sehingga mereka mungkin tidak bisa mencuri dengar apa yang terjadi di dalam. Ketiga remaja itu saling berhimpitan dibawah jendela. Untungnya masih ada ventilasi udara di atas jendela yang bisa menjadi jalan keluar suara-suara di dalam ruangan cukup terdengar. Tapi aneh, tidak ada satu suara pun di dalam yang berbunyi, walaupun keempat remaja itu sudah berusaha seksama mendengarkan dengan menempelkan telinga mereka ke tembok, tetap saja tidak ada suara yang mereka dengar. Dalam kebingungan itu, tiba-tiba Dimas merasa ada sesuatu dalam kepalanya sedang bercakap-cakap, tersamar oleh banyaknya hal yang dipikirkan olehnya. Sadar akan sesuatu yang terjadi dikepalanya, Dimas menghentikan upayanya untuk mendengarkan dengan telinganya, dia mencoba memejamkan matanya dan berkonsentrasi dengan suara-suara yang sedang bercakap-cakap di kepalanya. Melihat keadaan itu Raji dan Pafi memandang heran dengan apa yang dilakukan Dimas, Pafi menarik alisnya mencoba mendapatkan jawaban dari Raji, tapi kemudian mereka tersadar dan segera tahu apa yang telah terjadi. Dimas telah mendengar semuanya melalui pikirannya. Seperti yang selama ini yang diceritakannya.

“Baiklah Nyai, saya rasa cukup sekian dulu, kami mohon pamit” Suara seorang lelaki yang terdengar begitu berat dan mantap.

“Baiklah tuan, selamat jalan” Dibalas suara seorang perempuan yang sudah dikenal dengan baik, Nyai Janis.

Sekejap kemudian semua suara lenyap dan tak ada apapun yang terdengar di dalam kepala Dimas. Bersamaan dengan itu Dimas membuka matanya dan melihat ke kiri dan kanan dimana Raji dan Pafi sedang menatapnya penuh tanya dan menunggu jawabannya. Tetapi Dimas malah bergerak kembali dengan setengah merangkak dan memberi isyarat mengajak kedua sahabatnya meninggalkan tempat itu sambil tetap mengendap-endap. Seperti mengerti isyarat Dimas, Raji dan Pafi mengikutinya dari belakang. Raji berusaha menjaga jarak dengan Pafi yang masih saja tetap sibuk dengan rambutnya. Sesampainya di dalam ruangan bangsal, semua sudah tampak tidak sabar ingin mendengar apa yang diketahui Dimas tadi.

“Apa yang kau dengar tadi, ayo ceritakan pada kami” Pafi bertanya lebih dahulu dengan agak mendesak.

Dimas agak menghela nafas, “Aku hanya mendengar bagian akhir ketika mereka mengucapkan kata perpisahan”

“Jadi mereka saling kenal ?” Pafi mencoba menyimpulkan.

“Ya, kelihatannya begitu” Dimas menjawab pendek.

“Apakah kau tidak sempat mendengar yang lain?” Raji mencoba mengajak Dimas mengingat-ingat yang lain.

“Tidak, pembicaraan sebelumnya terlalu kabur dengan isi pikiranku sendiri. Jadi aku tidak bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Sepertinya ruangan Nyai Janis telah ditutupi oleh sesuatu sehingga mengaburkan apapun yang ada di dalam.”

Dimas menjawabnya dengan tetap berusaha mencoba mengingat kata-kata yang sempat didengarnya diantara banyak pikiran yang berseliweran di kepalanya saat itu. Lelah, Dimas menyenderkan badannya ke tembok dan duduk jongkok di lantai.

“Kau kenapa Dimas ?” Raji ikut berjongkok dan mencoba mendapatkan jawaban.

“Kau sakit, ayo lebih baik kita kembali ke kamar” Pafi segera membantu memapah Dimas dari sebelah kanan dan dibantu pula oleh Raji dari sebelah kiri.

Upaya Dimas berkonsentrasi mendengarkan suara melalui kemampuan pikirannya telah membuatnya terlalu lelah. Mereka bertiga akhirnya kembali ke kamarnya masing-masing. Kelelahan yang dialami Dimas memang berbeda dengan yang terjadi pada kedua sahabatnya. Apa yang dilakukannya untuk mendengarkan tadi menyita energinya. Mencoba kembali tidur, tetapi ragu karena sebentar lagi waktu subuh akan datang. Walaupun lelah, matanya tak bisa diajak untuk tidur, sementara Raji sudah kembali melingkar di kasurnya, akhirnya Dimas memutuskan untuk duduk dekat jendela memandang halaman depan yang berkabut dan sedikit demi sedikit lenyap.

Suara Azan subuh terdengar berkumandang dari Musholla. Udara tidak sedingin sebelumnya, kabut pun sudah lenyap. Di bangsal anak laki-laki dimana Dimas tidur, Nyai Janis masuk dan membangunkan seluruh isi bangsal.

“Kom…kom…wekken…. Het is zonnig, goede morgen Raji…….. hoe gaat het ?”

Nyai Janis yang biasa membangunkan berkata ramah kepada Raji. Raji nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya

“goede morgen nyai Janis, heel goed, dank u”

Raji yang masih sangat mengantuk karena semalam keluar bersama Dimas dan Pafi, terlihat begitu malas untuk segera bergegas membereskan tempat tidurnya. Di sebelahnya Dimas pun membereskan tempat tidurnya dengan mata yang kelihatan masih mengantuk.

“Kau tidak tidur lagi tadi ?”

Dimas diam sejenak tak menjawab pertanyaan Raji dan kemudian menjawabnya dengan gelengan kepala. Pikirannya masih agak kacau mengenai kenyataan yang dilihatnya sebelum subuh tadi. Dahinya berkerut berusaha mengingat dan menyakinkan diri tentang apa yang sudah didengarnya.

“Eh…mmm aku tidak tidur lagi, karena aku pikir waktu subuh sudah dekat”

Dimas terdiam dan tanpa melanjutkan kata-katanya dia segera menyambar handuk yang ada di sampingnya meninggalkan Raji yang dalam kebingungan. Raji bergegas menyambar juga handuknya dan mengejar Dimas.

“Eiiiii…. Tapi apa ? kok belum selesai gitu sudah ditinggal”

Wajah Raji agak merengut menunjukan cemberut kesal penasaran.

“Nanti saja ceritanya, hari ini kita akan jalan-jalan kemana ?” Dimas mengalihkan pembicaraan.

“Hari ini Nyai Janis akan mengajak kita semua main ke parang tritis, katanya hari ini ada larung di sana.” Kata Raji.

Dimas hanya menggangguk dan berjalan terus menuju kamar mandi.

Hari ini adalah hari yang selalu ditunggu-tunggu anak-anak yang tinggal di asrama. Mereka begitu tidak sabar mengunjungi tempat-tempat lain selain asrama dan sekolah. Nyai Janis akan membawa semua anak-anak asrama untuk berjalan-jalan. Dimas dan Raji sudah siap dengan semua bekalnya.
“Kau bawa uang berapa ?”

kata Raji sambil menghitung-hitung uang di tangannya.

“Sepuluh goelden”

Jawab Dimas sambil membetulkan tas punggungnya yang telah penuh dengan beberapa peralatan untuk perjalanan mereka.

“Wah…. Kau masih punya banyak, aku Cuma 80 sen, itu pun setelah ditambah 50 sen pemberian Nyai Janis. Aku tidak pandai menabung seperti kau” Raji agak nyengir kuda.

“Makanya, jangan jajan melulu, Tabungkan uangmu di celengan, bukannya diperut”

Pafi mengomeli Raji yang hanya tersenyum getir mendengarnya.

“Ayo kita harus berangkat cepat, atau kalian ingin menunggu Nyai Janis teriak dulu !”

Seru Pafi melotot dengan wajah galak sambil menggendong bekalnya.

Sebuah angkutan sudah siap di halaman asrama, sudah banyak anak-anak menaiki kendaraan seperti sebuah truk pengangkut tentara itu. Perjalanan dimulai dengan melalui jalan-jalan di dalam kota yogyakarta yang menuju arah kota Bantul di selatan. Perlu waktu satu setengah jam perjalanan untuk sampai ke pantai yang sering digunakan masyarakat jawa untuk kegiatan ritual.

Sepanjang perjalanan di atas truk, Dimas cenderung lebih diam dari biasanya. Pemandangan sawah disepanjang perjalanan mereka makin membantunya untuk menerawangkan lamunannya. Semua mimpi-mimpinya yang aneh dan tidak dia mengerti, bahasa yang tidak dia pahami.

Sementara Raji begitu asyik duduk di samping seorang gadis kecil. Wajahnya mesam-mesem mengumbar senyum kepada gadis kecil itu. Melihat tingkah Raji, Pafi merengut keras. Pandangannya dialihkan kepada Dimas yang sedang melamun memandang persawahan yang sudah matang.

“Gophanh Nekhan Sonmoran Dhitha Nekhan Sosan”

Tiba-tiba Dimas berbisik pelan, Pafi yang sedang asyik memandangi hamparan permadani keemasan sawah-sawah yang siap panen sempat mendengar bisikan Dimas.

“Kalimat apa yang barusan kau ucapkan, Dimas?”

Pafi mengalihkan tatapannya ke arah Dimas yang matanya terlihat kosong dan menerawang, seakan Pafi tidak tampak di hadapannya. Pafi mendorong bahunya ke belakang, Dimas tampak kaget dan memandang Pafi bingung.

“eh…ya… ada apa” Dimas terlihat sadar dan terpecah dari lamunannya.

“Aku bertanya padamu, kalimat apa yang baru saja kau ucapkan tadi” Pafi mengulang kembali pertanyaannya.

“eh… apa ya….” Dimas kelihatan bingung dan menggaruk-garuk kepalanya.

“Aku sendiri tidak tahu artinya, aku mendengarnya dari mimpi yang paling sering diucapkan, jadinya aku hafal” Dimas masih menggaruk-garuk kepalanya, rasanya seperti ribuan kutu rambut telah bersarang di ubun-ubunnya.

“Apakah kau ceritakan hal ini kepada nyai Janis?” Pafi kembali bertanya

“Tidak…tidak, aku tidak menceritakannya, aku pikir dia juga tidak akan mengerti artinya” Jawab Dimas yang alasan sebenarnya karena dia tidak mau ditanya lebih jauh lagi oleh Nyai Janis.

“Aku sudah coba mencari referensi mengenai bahasa itu, tapi tidak pernah aku temukan. Kedengarannya seperti bahasa India atau sansekerta” Sambung Dimas, Pafi kelihatan makin tertarik dengan yang diceritakan Dimas.

“Kau sudah menanyakannya kepada pak Kusumo?” Pafi memberikan saran.

“Sudah, aku malah sudah meminta pak Kusumo untuk mendengarkan, tapi beliau bilang dia tidak mengerti maksudnya. Tapi katanya lafalnya mirip dengan sansekerta, karena banyak penggunaan konsonan H di banyak kata”

Dimas kemudian menjelaskan panjang lebar perihal diskusinya dengan pak Kusumo membahas bahasa asing itu. Dia tidak menceritakan sumber bahasa itu kepada pak Kusumo untuk menghindari timbulnya pertanyaan lain yang akan membuatnya gerah seperti yang selalu di alaminya di kantor nyai Janis.

Sepanjang perjalanan dinikmati dengan mengobrol dan tingkah polah Raji yang lucu yang kadang-kadang disahuti garang oleh Pafi. Tak terasa akhirnya mereka sampai di parang tritis saat kerumunan besar sedang mengarak sesuatu ke arah pantai. Rupanya hari itu ada upacara larung persembahan untuk laut selatan. Semua anak-anak turun dari angkutan diiringi teriakan-teriakan Nyai Janis memberikan perintah kepada seluruh anak-anak. Dimas, Raji dan Pafi segera berlari menuju pantai yang masih lumayan jauh tanpa mempedulikan teriakan-teriakan Nyai Janis. Rasa khawatir ketinggalan acara larung lebih mendorong untuk ikut-ikutan berkerumun dengan penduduk yang sedang melakukan upacara itu.

“Upacara apa ini pak namanya”

Pafi bertanya kepada seorang lelaki tua di sebelahnya yang sedang mengamati seluruh prosesi upacara. Dimas dan Raji menengok ke arah lelaki tua itu menunggu jawaban dari pertanyaan Pafi yang juga menyentil rasa ingin tahu mereka.

“Ini namanya upacara larung persembahan buat Nyai Roro Kidul” Lelaki tua itu menjawab singkat.

Semuanya manggut-manggut tetapi bagi Dimas setelah lelaki tua itu menyebut nama Nyai Roro Kidul, ada sesuatu yang berdesir di dadanya. Dalam pandangannya yang jauh ke arah sesajen yang sedang dilarung, terlihat pemuda-pemuda berbadan tegap dengan pakaian prajurit mataram berwarna hijau seperti mengawal para pelarung.

“Yang memakai pakaian hijau-hijau itu siapa pak?”

Dimas menunjuk ke arah kerumunan pelarung. Lelaki tua itu mencoba mengikuti arah telunjuk Dimas yang menuju ke arah kerumunan pelarung. Matanya menyipit mencoba meyakinkan pandangannya dan menyamakan dengan pertanyaan yang diajukan Dimas. Tapi kemudian dahinya mengkerut bingung, karena tak ada orang yang dimaksud Dimas. Tidak ada yang berbaju hijau-hijau. Hatinya sejak awal sudah menyangkal akan ada pelarung yang berani berpakaian hijau, karena warna tersebut sangat keramat dan tidak ada yang berani memakainya. Apalagi saat larung persembahan untuk Nyai Roro Kidul yang identik dengan warna hijau.

“Siapa yang anak mas maksud ? tidak mungkin di saat seperti ini ada yang berani berpakaian dengan warna hijau” Lelaki tua itu kembali menatap Dimas setelah yakin dengan jawabannya.

Raji dan Pafi juga merasakan keheranan yang dirasakan oleh lelaki tua itu, tetapi mereka berdua segera mengerti dan maklum dengan apa yang sedang dilihat oleh Dimas. Mereka sangat biasa melihat kemampuan Dimas dalam melihat yang gaib. Raji segera mencoba mengalihkan perhatian lelaki tua itu agar tidak bertambah keheranan.

“Ah….kamu selalu salah menyebutkan warna, itu warna biru bukan hijau. He..he… maafkan teman saya ini pak, kadang-kadang sering salah membedakan antara biru dan hijau”.

Raji berusaha tertawa dan matanya dikedipkan ketika menatap Dimas, diikuti Pafi yang ikut-ikutan tertawa bingung. Dimas paham dengan apa yang dimaksud Raji. Daripada diperpanjang akan malah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru, habislah liburan mereka hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

“Iya pak… saya salah lihat” Dimas nyengir masam yang diikuti dengan gerakan menarik tangan Raji.

“Terima kasih pak atas penjelasannya, kami permisi dulu”

Pafi yang menyadari keadaan segera melenggang menyusul Dimas dan Raji. Ketiga remaja itu segera saja saling berbisik-bisik membahas apa yang barusan dilihat Dimas.

“Benar, aku melihat mereka berpakaian hijau-hijau dengan celana pendek selutut ditutupi kain, persis seperti seorang senopati lengkap dengan blangkonnya” Dimas menjelaskan kembali apa yang sampai sekarang masih dilihatnya.

“Seperti apa mereka ?”

Pafi bersemangat sekali mendapatkan detil penjelasan. Belum sempat Dimas menjawab pertanyaan Pafi, tiba-tiba beberapa lelaki berbaju hijau-hijau yang dilihat Dimas menoleh dan menatapnya. Kesemuanya bergerak ke arah Dimas dan teman-temannya meninggalkan kerumunan para pelarung. Hati Dimas langsung saja menclos. Raji dan Pafi melihat ekspresi Dimas yang tiba-tiba tegang menjadi cemas.

“Dimas kenapa, apa yang mereka lakukan ?”

Raji yang sedari tadi mencoba berpikir apa yang tadi dibicarakan Dimas menggoyang-goyang pundak Dimas. Raji dan Pafi sangat cemas, mereka tahu bahwa ada yang sedang dilihat Dimas dan membuatnya ketakutan. Lelaki-lelaki yang berpakaian hijau-hijau itu serempak berhenti hanya dua meter dari hadapan Dimas. Mereka semua menghaturkan sembah dengan menyatukan telapak tangan mereka di depan dada dan menundukkan kepala dengan bahu dibungkukan.

“Saavdhan Dhasi Dharona Thikhadh Sonhonabi Phakhedha” Kata seorang dari mereka.

Dimas yang mendapatkan haturan sembah seperti itu menjadi bingung, ketakutan yang tadi dirasakannya berubah menjadi rasa heran.

“Bahasa apa yang tadi dikatakannya ?”Pengucapannya mirip dengan orang-orang dalam mimpi-mimpiku”

dalam hati Dimas bertanya-tanya. Belum sempat menjawab haturan sembah tersebut Dimas melihat mata lelaki tersebut melihat ke arah belakangnya dan tersenyum lalu bergerak mundur. Tanpa berkata-kata lagi kesemua lelaki berpakaian hijau-hijau itu menjauh dari Dimas yang mencoba menoleh ke belakangnya mencari tahu siapa yang baru saja dilihat lelaki tersebut.

“Kenapa kau menoleh ke belakang, ada apa ?” Raji ikut menoleh ke belakang, mencari apa yang coba dilihat Dimas.

“Dimas…Dimas….apakah orang yang berbaju hijau itu masih ada ?”

Pafi mengguncang-guncang bahu Dimas yang seperti sedang mengumpulkan semua nyawanya yang tercerai berai di ubun-ubunnya.

“Ah….eh.. tidak…tidak…. Mereka sudah pergi, entah kenapa mereka pergi. Aku tadi sempat melihat dari sudut matanya memandang ke arah belakangku. Itulah mengapa aku menoleh ke belakang, karena aku pikir pasti ada sesuatu yang dia lihat dan membuatnya pergi.” Dimas menunjuk-nujuk bagian belakang sembari menjelaskan kepada ketiga temannya.

“Tapi aku lihat dari tadi, tidak ada apapun di belakang kita” Pafi menolehkan kepalanya ke belakang

“Lelaki yang berpakai hijau-hijau tadi menyapaku, mereka mengucapkan kalimat yang terdengar sama dengan yang aku dengan dalam mimpi-mimpiku” Dimas menjelaskan sambil memegang punduknya.

“Benarkah ! Berarti orang-orang yang ada dalam mimpimu itu adalah mahluk halus” Raji menarik kesimpulan dengan wajah ketakutan.

“Tapi kau bilang dalam mimpimu anak kecil itu bernama sama denganmu, yang berarti itu adalah kau, dan ….” Pafi menghentikan kalimatnya dengan telunjuk yang mengarah malas ke Dimas.

“Tapi anak kecil itu mengucapkan bahasa yang sama dengan lelaki yang berpakaian hijau tadi, berarti anak kecil itu juga mahluk halus. Jadi tidak mungkin anak kecil itu adalah kau Dimas”

Raji mencoba menghilangkan rasa merindingnya dengan ikut memberikan kesimpulan untuk menutup rasa takutnya yang lain akan kenyataan bahwa mungkin Dimas sahabatnya juga seorang mahluk halus.

“Tumben kau sekarang memakai otakmu” Pafi mengejek Raji dengan wajah cemberut.

“Lebih baik kita mengikuti rombongan larung itu lagi, kita bahas hal ini di asrama saja”

Dimas mengalihkan perhatian kedua sahabatnya untuk segera bersenang-senang. Pembahasan mereka akan yang baru saja terjadi akan menghabiskan waktu liburan mereka yang sudah sangat sempit karena habis waktu di jalan. Pukul tiga sore memutuskan meminta semua anak-anak untuk kembali, setelah berleha-leha di warung pinggir pantai yang menyediakan jajanan dan minuman. Sebelum magrib akhirnya mereka tiba kembali di asrama.

Bulan tidak tampak malam ini, Dimas sedang asyik duduk di beranda asrama memandang halaman yang lumayan terang oleh jejeran lampu minyak yang sengaja ditempatkan di tengah halaman yang disanggah oleh sebatang bambu. Pikiran terus melayang berputar-putar menarik-narik kejadian demi kejadian yang dialaminya belakangan ini. Pertemuannya dengan orang-orang misterius dan keanehan yang ditunjukan oleh Nyai Janis membuat hatinya penasaran. Dari arah pintu Raji datang menghampiri sambil membawa dua gelas wedang jahe dan pisang rebus dari kebun pak Narso.

“Ini, aku bawakan makanan, tadi aku ke dapur merayu mbok Sinem mengeluarkan harta karunnya, dan yang aku dapat ya ini….pisang rebus”

Raji menyodorkan sepiring pisang rebus dan meletakannya di atas meja bersamaan dengan dua wedang jahenya. Raji mengambil gelasnya dan menyeruput air jahe yang sudah hangat-hangat kuku. Nikmat rasa wedang itu tergambar jelas dari ekspresi Raji yang matanya terpejam merasakan aliran air jahe hangat melalui kerongkongannya. Seketika rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya mendorong udara dingin yang sedari tadi berusaha mendesak masuk ke pori-porinya.

Melihat ekspresi kenikmatan Raji yang seperti setengah terbang, Dimas juga segera menyambar gelasnya dan meminum wedangnya. Dia mengerti kenapa Raji sampai seperti itu, karena wedang buatan Mbok Sinem memang luar biasa enak. Aroma serai, kayu manis dan sedikit cengkeh membuat wedang itu betul-betul minuman ajaib pengusir dingin. Selesai dengan wedangnya Raji menatap Dimas, tatapannya seperti kosong sedang menerawang ke arah yang lain. Tiba-tiba…

“Aku pikir, Nyai Janis….menyimpan suatu rahasia yang sangat besar”

Dimas dengan mata masih menerawang ke langit berbicara kepada Raji yang sudah kembali asyik dengan pisang rebusnya yang kedua.

“mmm….mmm… fyaa… memang kelihatannya demikian” Raji menimpali dengan mulut penuh mengunyah pisang rebus.

“Dan aku yakin itu ada hubungannya dengan mimpi-mimpiku, karena dia begitu ingin tahu apa saja yang terjadi di dalam mimpi-mimpiku itu”

Suara Dimas mulai terdengar bersemangat, matanya tidak lagi kosong menerawang ke langit. Bersamaan dengan itu dari arah dalam pintu sesosok bayangan muncul dengan kain menutupi kepalanya. Raji yang melihat arah kedatangannya tercekat dan memuncratkan semua pisang rebus yang dikunyahnya dan melongo ketakutan. Dimas yang belum sempat menyadari kehadiran bayangan itu segera mendengar suara yang sudah dikenalnya.

“Aku sudah menduga, pasti kalian belum tidur dan berada di sini. Sedari tadi aku gelisah sekali tidak bisa tidur” Pafi muncul dari belakang dan membuka kain yang menutupi kepalanya.

“Raji kau kenapa ?” Dimas keheranan melihat mulut Raji yang berantakan penuh dengan kunyahan pisang rebusnya.

“Tidak, tidak apa-apa… aku hanya tersedak tadi” Jawab Raji menutupi kekagetannya tadi.

“Kau pikir aku hantu ya…. He..he.. makanya jangan selalu berpikir hantu” Kata Pafi meledek.

Raji cemberut marah menatap Pafi yang masih tersenyum sinis menatapnya dari ujung matanya.

“Aku sedang berpikir mengenai kejadian-kejadian aneh yang selama ini kita alami”

Dimas segera melerai kedua sahabatnya dengan apa yang sedang dipikirkannya. Belum sempat Dimas melanjutkan kata-katanya, dengan tiba-tiba kabut menebal ke seluruh halaman sampai masuk ke dalam bangunan asrama. Suhu udara turun dengan sangat drastis hingga ketiganya segera saja menggigil menahan rasa dingin yang menusuk tulang. Wedang yang mereka minum tak terasa lagi pengaruhnya. Dimas, Raji dan Pafi saling pandang. Mereka teringat fenomena yang sama pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Tanpa banyak berkata-kata mereka tampak sudah saling mengerti untuk bergerak menuju kantor Nyai Janis.

“Ssssst… janga berisik….jalan pelan-pelan” kata Dimas setengah berbisik kepada Raji dan Pafi.

Mereka bertiga mengendap-endap dipinggir bangsal kemudian berhenti tepat di dekat pintu bangsal yang bisa memandang langsung ke arah pintu kantor Nyai Janis. Dimas bergerak merayap menuju bawah jendela diikuti Pafi dan Raji. Ketiganya menyender di dinding persis di bawah jendela yang terbuka. Kali ini mereka bertiga dapat mendengar suara dari dalam. Dimas menutupkan jari telunjuknya di depan bibirnya sebagai isyarat untuk tidak bersuara kepada kedua temannya. Raji dan Pafi mengangguk mengerti. Mereka memandang ke arah kebun jagung Pak Narso sambil terus berkonsentrasi mendengarkan suara-suara dari dalam kantor nyai Janis.

Tiba-tiba Raji melotot dengan mulut menganga dan suara yang tertahan di leher sambil menunjuk ke arah kebun jagung pak Narso. Pafi dan Dimas mengikuti arah yang ditunjuk Raji. Keduanya berteriak histeris, dua sosok tinggi hitam dengan bulu di seluruh tubuhnya, rambut panjang acak-acakan dengan sorot mata merah menyala di hiasi 4 taring yang keluar dari sisi bibirnya. Kedua mahluk itu bergerak ke arah ketiga remaja itu. Tetapi tiba-tiba terdengar suara yang diiringi kilat merah menerjang kedua mahluk itu.

“VADHARNAHA”

Kedua mahluk itu terjengkang beberapa meter ke belakang sehingga merusak kebun jagung pak Narso. Keduanya bangkit dan bergerak kembali ke arah Dimas, Raji dan Pafi yang sudah saling berangkulan ketakutan.

“PHOBOSERRAHA”

Sebuah suara kembali terdengar dari dalam kantor Nyai Janis diikut dengan 2 larik sinar kuning terang menghantam kedua mahluk itu dan kali ini keduanya tidak terjengkang tetapi langsung terbakar. Kedua mahluk itu menjerit-jerit kesakitan dan kemudian hilang.

Dimas, Raji dan Pafi langsung melarikan diri dari tempat itu tanpa menoleh lagi ke belakang.

“Kau lihat tadi mahluk yang menyerang kita, hah…hah…hah.” Kata Pafi

“Mataku tak berhenti melihatnya, hiiyyyy…….” Kata Raji yang masih terlihat terkejut.

“Aku tidak terlalu memperhatikan dua larik sinar merah dan kuning yang menerjang mahluk itu.” Kata Dimas

“Kenapa kau tadi tidak menyerang saja mahluk itu.” Kata Raji.

“Memang kau pikir tadi kau bisa apa saat melihat mahluk itu.” Pafi menggerutu dengan mata melotot.

“Sudah, kita memang belum siap menghadapi mahluk seperti itu karena kita memang tidak dipersiapkan untuk menghadapi yang sejenis itu.” Kata Dimas menenangkan kedua sahabatnya.

“Yang sekarang harus kita pikirkan adalah bagaimana menghadapi besok, karena pasti Nyai Janis akan memanggil kita besok.” Kata-kata Dimas membuat Raji dan Pafi langsung terdiam. Dimas kemudian mengajak kedua sahabatnya untuk kembali ke bangsal tidur dan tanpa banyak kata-kata mereka semua kembali ke bangsal asrama.

Makan pagi sebelum berangkat sekolah, seperti biasa Pafi sudah berada di ruang makan duduk sendirian sebelum akhirnya Dimas dan Raji menyusul beberapa saat kemudian. Setelah mengambil sarapan pagi yang sudah disiapkan secara perasmanan oleh para pembantu asrama. Dimas dan Raji segera melangkah bergabung dengan Pafi yang sedang asyik menikmati sarapannya. Tak biasanya pagi ini mereka bertiga tidak saling bicara, dalam menikmati sarapan mereka sesekali saling melirik seperti menunggu ada yang memulai bicara lebih dulu.

“aaku…” “kemarin…..” “kenapa…” Pafi, Dimas, Raji secara bersamaan mencoba memulai pembicaraan, sesaat ketiganya diam.

“Kau dulu” kata Pafi
“Tidak kau duluan saja” Kata Raji
“Aku duluan, nanti tidak ada yang mulai” Kata Dimas
“Tidak, aku duluan” kata Pafi menyela
“Baiklah…kau duluan” kata Dimas dan Raji bersamaan.

“Aaku ….. “ Pafi agak ragu meneruskannya
“Aku bingung”

Pafi meneruskan tetapi pada kata terakhir suaranya seperti ban yang sedang kempis, mengecil dan mengilang. Dimas dan Raji mengkerutkan alisnya tak mendengar kata terakhir yang diucapkan Pafi.

“Kau kenapa…tadi” Raji meminta Pafi mengulanginya lagi. Pafi langsung cemberut dengan mulut terkatup.

“Aku bingung dengan kejadian semalam” kata Pafi agak ketus.
“Aku juga tidak mengerti, bagaimana kita sudah tidur di tempat tidur kita masing-masing” Kata Raji.

Pafi mendenguskan hidung dalam kebingungannya. Tetapi belum sempat mereka bertiga membahasnya tiba-tiba datang seorang lelaki tua menghampiri.

“Kalian ditunggu Nyai Janis setelah sarapan selesai”

kata lelaki tua tersebut dan kembali pergi meninggalkan Dimas, Raji dan Pafi dalam keadaan saling melongo dan memandang dengan penuh tanda tanya.

“Sepertinya kita akan kena hukuman kali ini”

Kata Pafi pelan sambil menengok ke sekeliling ruangan makan yang telah memandangi mereka bertiga.

Selesai sarapan pagi Dimas, Raji dan Pafi segera beranjak menghadap ke ruangan Nyai Janis dengan membawa serta tas sekolah mereka. Sesampainya di dalam ruangan kantor, Nyai Janis telah menunggu duduk manis di belakang mejanya.

“Duduklah kalian”

Nyai Janis mempersilahkan ketiganya yang sebelumnya saling memandang akhirnya duduk di depan meja.

“Well, langsung kepada pokok masalah. Semalam bukanlah tindakan yang bertanggung jawab. Andaikan tamu-tamu nyai tidak bertindak cepat, kalian pasti sudah jadi santapan mahluk-mahluk itu”

Nyai Janis berdiri dari kursinya dan menyilangkan tangannya di depan dada. Dimas, Raji dan Pafi hanya tertunduk diam. “Siapakah tamu-tamu nyai Janis” kata Dimas dalam hati tapi urung ditanyakan karena khawatir nyai Janis bertambah marah.

“Sebagai hukumannya, sejak hari ini kalian tidak lagi saya ijinkan keluar asrama pada hari libur kecuali pada hari sekolah, harus sudah kembali pulang dari sekolah sebelum jam 4 sore dan seluruh asrama tidak boleh keluar dari bangunan asrama jika jam sudah menunjukan pukul sembilan malam, mengerti”

Nyai Janis menatap ketiganya. Dimas, Raji dan Pafi terperanjat kaget mendengar keputusan itu, tetapi urung menyampaikan protesnya dan menarik nafas lesu dan tertunduk.

“Nyai harap kalian berjanji tidak menceritakan kejadian semalam kepada siapapun. Baiklah, saya kira kalian cukup mengerti hal ini untuk keselamatan kalian juga. Nah sekarang berangkatlah ke sekolah”
Dimas, Raji dan Pafi dengan langkah lesu meninggalkan kantor Nyai Janis. Beban tas mereka hari ini rasanya seperti sekarung beras yang sangat berat.
Saat mereka keluar dari halaman asrama, terlihat pak Narso dan para pembantu asrama sedang menaburkan sesuatu ke sekeliling pagar asrama. Bubuk berwarna putih dan hitam.

“Apa yang sedang mereka taburkan ?” Raji bertanya kepada kedua sahabatnya.

“Sepertinya garam dan merica” Kata Pafi pelan. Suaranya masih terdengar melas setelah mendengar hukuman yang mereka terima.

“Dari mana kau bisa menduga itu garam dan merica”

Raji kembali bertanya, sedangkan Dimas tetap diam mengamati. Hatinya sedang malas untuk berbicara memikirkan hukuman yang bakal memangkas semua kesenangannya bertualang.

“Mbok Sinem pernah bilang kepadaku, kalau kedua bumbu dapur ini berguna untuk menjadi pagar gaib dari serangan mahluk halus, seperti yang kita lihat tadi malam. Dan sepertinya hal ini akibat yang terjadi semalam” Sambung Pafi.

Ketiganya akhirnya keluar dari pagar asrama dan berangkat menuju sekolah dan sepakat untuk menyimpan semua kejadian semalam menjadi rahasia mereka bertiga. Walaupun rasa penasaran tentang tamu-tamu Nyai Janis tetap menggunung di dada mereka dan menimbulkan pertanyaan baru mengenai siapa sebenarnya Nyai Janis.

Monday, March 20, 2006

ORANG MISTERIUS

Suasana ruang belajar cukup sibuk dengan banyak anak-anak asrama yang sedang serius mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Dimas termasuk salah satu di antaranya. Dari arah pintu ruang belajar yang selalu tertutup datang orang yang tidak asing bagi Dimas yang langsung menghampiri.

“Mas, kamu dipanggil Nyai Janis, disuruh menghadap ke kantornya”

Raji yang baru saja masuk ke ruang belajar menghampiri Dimas yang sedang duduk mengerjakan tugas-tugasnya.

Dimas mengkerutkan dahinya, tidak pernah ada anak-anak asrama yang dipanggil secara khusus ke kantor nyai Janis, kecuali akan dihukum. Pikirannya terus berusaha mengingat kesalahan apa yang dibuatnya.

“Ada apa dia memanggilku ? aku salah apa ya….” Dimas bertanya kepada Raji.

“Entahlah, tadi dia hanya berpesan seperti itu” Raji hanya mengangkat bahunya.

“Apakah dia mengetahui kalau kita keluar malam” Dimas setengah berbisik kepada Raji.

“Rasanya tidak, kalau dia tahu tentu aku sudah dipanggil juga saat ini bersamamu” tegas Raji. Dimas menganggukan kepala setuju.

Dimas masih terus bingung saat dia berjalan meninggalkan Raji di ruang belajar dan terus pergi menyusuri lorong bangsal menuju kantor asrama yang letaknya di ujung dekat musholla. Dimas melihat sebuah pintu kayu jati yang tertutup, sejenak dia agak ragu untuk mengetuk pintu itu. Tapi keberaniannya segera dikumpulkan dan mengetuk pintu tiga kali. Dari dalam ruangan terdengar suara lembut menyuruhnya masuk.

“Masuklah…”.

Dimas mendorong pintu itu dan dilihatnya Nyai Janis sedang duduk dengan kacamatanya yang bundar kecil agak menggantung di hidungnya yang mancung. Di tangannya sebuah buku yang terbuka setengah, nampaknya sedang dibacanya ketika Dimas mengetuk pintu.

“Goede Morgen, Nyai” Dimas memberi salam agak ragu.

“Kemari nak, duduklah” Nyai Janis melambaikan tangannya kepada Dimas.

Kemudian menunjuk bangku yang berada di depan mejanya. Dimas duduk dengan wajah yang agak tertunduk.

“Apakah saya melakukan kesalahan Nyai ?”

Dimas mulai membuka kebingungannya dengan pertanyaan yang paling mungkin untuk mendapatkan kejelasan mengenai alasan pemanggilannya. Mendengar pertanyaan Dimas yang memang menurutnya paling logis, Nyai Janis tersenyum.

“Tidak nak, jangan khawatir, kau tidak melakukan kesalahan apapun”

Nyai Janis berdiri dari duduknya berjalan menghampiri meja lain di sebelah kanan mejanya, merapat ke jendela yang langsung mengarah ke kebun jagung pak Narso. Tangan meraih kendi air dari tanah liat berwarna coklat gelap yang sudah kelihatan agak lembab. Air putih di dalamnya kemudian dituangkan ke dalam cangkir kaleng yang terletak di samping kendi. Setelah tiga perempat cangkir kaleng itu terisi, dia membawanya kembali ke mejanya semua dan menyorongkan cangkirnya ke hadapan Dimas yang kepalanya mengikuti setiap gerakan Nyai Janis.

“Minumlah dulu agar rasa khawatirmu hilang”.

Dimas menunduk dan meraih cangkir yang disodorkan Nyai Janis kepadanya lalu meminumnya. Segar rasanya air itu masuk membasahi kerongkongannya. Dimas heran dengan kesegaran air yang diminumnya, padahal setiap hari dia juga meminum air dari wadah yang serupa, kendi, tapi air yang sekarang diminumnya sungguh berbeda, membuat matanya seketika seperti berbinar cerah, badannya terasa ringan dan …….segar!

“Aku ingin mengetahui sesuatu darimu”

Nyai Janis mulai menampakan raut muka agak serius, tapi kemudian disamarkan dengan senyumannya. Dimas tertegun dan mencoba mendengarkan apa yang akan ditanyakan oleh Nyai Janis.

“Apakah kau masih sering bermimpi mengenai kedua orang tuamu ?”

Nyai Janis menatap tajam. Dimas sontak menaikan kepalanya yang agak menunduk, dan ketika matanya beradu pandang dengan Nyai Janis, segera ditundukan kembali kepalanya lebih dalam dari sebelumnya.

“Hah… dari mana dia tahu mengenai hal itu, apakah Raji yang menceritakannya. Aduuuuh… kenapa dia tanya mengenai hal itu” katanya dalam hati.

Hatinya tergetar marah bingung kepada siapa dia akan menuduh diantara kedua sahabatnya yang membocorkan cerita mengenai mimpi-mimpinya, dia yakin kalau salah satu atau kedua sahabatnya telah menceritakan semuanya kepada Nyai Janis.

“Hmm…. Kamu tak usah marah kepada Raji atau Pafi, dia tidak menceritakan apapun mengenai mimpi-mimpimu.” Nyai Janis tetap tersenyum.

Nyai Janis seperti tahu apa yang bergejolak di kepala Dimas dan berusaha menenangkannya. Kontan Dimas agak terkejut sekaligus heran, rasa marah yang tadi menggumpal di dadanya berubah menjadi keheranan, bagaimana Nyai Janis bisa tahu apa yang sedang dipikirkannya. Dalam keraguan antara ingin berterus terang, tak ingin orang lain kasihan kepadanya dan rasa malas harus menceritakan kembali apa yang selama ini selalu muncul dalam mimpi-mimpinya, Dimas mulai bicara agak terbata-bata.

“Eh… ya, itu…. Mimpi…. Emmm….semakin sering sejak sebulan terakhir ini” Dimas menjawab agak gagap.

“Baiklah, kelihatannya kamu belum siap untuk bercerita, tapi yakinlah saya hanya berniat membantu mengurangi beban pikiranmu”

Nyai Janis berkata dengan lembut walaupun ada getar kecewa terasa.

“Sekarang kamu boleh kembali melanjutkan aktivitas kamu”

Nyai Janis memberikan isyarat kepada Dimas untuk meninggalkan ruangan, segera saja Dimas bangkit.

“Terima kasih Nyai”

Dimas segera bergegas meninggalkan kantor Nyai Janis dan kembali ke ruang belajar melanjutkan PR sekolahnya. Di ruang belajar Dimas bertemu Raji dan Pafi yang sudah bersama Raji juga sedang mengerjakan PR nya. Raji yang melihat Dimas masuk ke ruangan mengerutkan dahi dan memberikan isyarat anggukan pertanyaan. Setelah duduk berhadapan Dimas memberitahukan apa yang terjadi di ruangan Nyai Janis dengan berbisik-bisik.

“Kalian tidak memberitahu apapun mengenai mimpi-mimpiku kepada Nyai Janis kan ?”.

Raji mendengar pertanyaan itu berjengit kaget seraya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

“Bagaimana dia bisa tahu ? aku tidak pernah memberitahukan mengenai mimpi-mimpimu kepada siapapun. Aku berani bersumpah” Raji menegaskan kembali jawabannya.

“Aku juga, berani bersumpah” Pafi mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan.

“Aku juga tidak tahu, tapi seperti dia bisa membaca pikiran orang lain, seperti yang sering terjadi kepadaku. Kau masih ingat ketika aku tiba-tiba bisa mendengar semua isi pikiran orang yang sedang mereka gumamkan di hatinya”

Raji mengangguk, “Mungkinkah dia memiliki kemampuan yang sama” pertanyaan yang juga terlintas di benak Dimas.

“Mungkin” Dimas mendesis hampir tak terdengar.

“ah… itu mungkin alasan mengapa dia selalu menatapku setiap aku mencelanya dalam hati, aduh….. gawat” Pafi meremas wajahnya yang ditundukan dengan telapak tangan kanannya.

Tak lama mereka berdua berusaha memahami apa yang sedang mereka hadapi, sesaat kemudian sudah terlarut dengan setumpuk PR yang belum sempat dikerjakannya kemarin-kemarin.

------ ***** ------

Hari minggu yang cerah, menyenangkan sekali hari ini setelah selesai semua PR kemarin kini saatnya untuk bersantai. Dimas dan Raji sudah bersiap dengan segala rencananya hari ini. Dengan semangat mereka berjalan keluar bangsal menuju kebun belakang pak Narso. Sesampai di huma di tengah kebun jagung, sudah tampak Pafi menunggu di bawah huma.

“Pafi, kamu sudah lama menunggu ?” Raji menyapa gadis tersebut yang terlihat cemberut menatap mereka.

“Pernah kah kau datang tepat waktu ?” Sergah Pafi kepada Dimas dan Raji. Raji yang sudah sering mendengar sergahan seperti itu hanya cengengesan.

“Maafkan kami, kami agak terlambat karena aku tadi harus ke ruangan Nyai Janis”

Dimas berusaha menjelaskan. Wajah berkerut dan agak heran membentuk di wajah Pafi.

“Apakah kau melakukan suatu kesalahan, sampai harus dipanggil segala”

Tanya Pafi sambil mengambil posisi duduk. Tampaknya Pafi sudah mengira akan ada cerita panjang yang akan didengarnya dari Dimas. Wajah galak Pafi segera saja berubah menjadi rasa ingin tahu dan berusaha mengambil posisi nyaman untuk mendengarkan apa yang akan diceritakan Dimas.

“Ehm…. Ya… dia bilang aku tidak boleh lagi belajar terlalu malam, Dia menghawatirkan kesehatanku” Kata Dimas berbohong.

Mendapat jawaban yang tidak menarik itu, air muka Pafi segera berubah kembali galak, harapan mendengarkan berita yang fantastik lebur begitu saja dengan jawaban singkat Dimas. Mereka bertiga memang bersahabat, tapi untuk urusan yang satu ini, terkadang Dimas hanya bisa bercerita kepada Raji saja. Raji diam saja mendengar kebohongan yang diutarakan Dimas. Dia mengerti mengapa Dimas tidak mau menceritakan masalah itu kepada sahabatnya yang satu itu. Ini masalah anak laki-laki, katanya dalam hati

“Ayo kita berangkat”

Pafi segera beranjak dari tempatnya sambil menggendong bekalnya. Ketiga sahabat itu akhirnya tidak lagi melanjutkan pembicaraan mengenai pemanggilan Dimas oleh Nyai Janis. Mereka mulai sibuk dengan pembicaraan mengenai hal-hal yang akan mereka lakukan di hari libur ini. Minggu ini rencana mereka akan bermain ke sungai code.

Segar sekali wajah-wajah Dimas, Raji, dan Pafi setelah beberapa waktu bermain air di sungai. Tangan Raji menenteng beberapa ekor ikan hasil pancingan mereka di sungai. Dimas sedang menyiapkan api unggun untuk membakar ikan hasil pancingan mereka. Dimas berusaha membuat api dari tumpukan kayu kering seperti yang pernah dipelajarinya pada kegiatan kepanduan di bangku sekolah dasar.

“Ini ikannya”

Raji menyorongkan seikat ikan yang sudah dibersihkannya di sungai. Dimas meraihnya dan kemudian menggantungnya di tiang kayu setinggi empatpuluh senti yang sudah ditancapkan di sisi api unggun. Kemudian mengambil satu persatu ikan-ikan itu dipasangkan pada sebuah tusuk satai dari bambu yang diletakan menggantung melintang di atas perapian. Seketika bunyi meretas dari arang yang tersiram tetesan air diikuti asap putih yang mengepul dari tengah-tengah tumpukan perapian. Kulit ikan yang melepuh dan mengkerut menebarkan aroma daging bakar membuat ketiga remaja itu begitu tak sabar ingin menyantapnya. Begitu matang segera saja ketiganya segera menyantap dengan lahap sambil meniup-niup mengurangi panas. Sungguh lezat sampai-sampai mereka tak saling bicara karena keasyikan menikmatinya. Dalam keasyikan yang luar biasa itu tak sadar bila ada dua orang dari kejauhan berjalan tepat ke arah mereka.

“Permisi nak, boleh kami sedikit bertanya ?” Seorang yang sudah tua mengajukan pertanyaan.

Ketiga remaja yang sedari tadi tidak sadar akan kehadiran kedua orang itu, serentak kaget dan menoleh. Orang tua yang bertanya itu hanya tersenyum.

“Kalau kami mau ke Desa Code, kami harus melalui jalan yang mana ya ?” Orang tua tadi melanjutkan pertanyaannya.

Dalam kaget itu Dimas menjawab seadanya “Oh…ke arah selatan pak, susuri saja sungai ini ke selatan, Desa pertama itu namanya Desa Code”

“Oh…terima kasih, kalau begitu kami permisi” Kedua orang itu kemudian pergi meninggalkan tempat ke arah selatan.

Ketiga remaja itu saling pandang dan tiba-tiba saja bulu kuduk mereka merinding berdiri. Seperti sudah saling tahu apa yang harus dilakukan, semuanya segera membereskan semua barang bawaan mereka dan menghempaskan sisa ikan bakar yang belum habis mereka makan dan berlari sekencangnya.

“Dimas…tunggu!”

suara Pafi yang sedikit tertinggal di belakang oleh gerak langkah Dimas dan Raji yang bergerak makin cepat meninggalkan api unggun.

Setelah sampai pada sebuah jalan beraspal, ketiganya berhenti mencoba mengatur nafas mereka yang terburu-buru tak beraturan.

“Ah..hah..hah…kenapa kalian tiba-tiba larih ….hah…hah….” suara Pafi yang terengah-engah.

“Hufffhhhh…hah…hah… kamu kenapa juga ikut berlari hah…hah….” Raji balik bertanya.

“Ya….ahhh akhu….mengikuti kalian berlarih…..hah…hah….memangnya aku harus ngapain!”

Pafi menyergah dengan wajah galak yang merah padam dengan penuh keringat.

“Sudah…sudah…hah…hah…kalian ada yang lihat dari manah…hah…hah… datangnya kedua orang tadih…hah…hah..”

Dimas mencoba melerai di tengah kelelahannya juga. Tapi semua menggeleng memastikan tidak ada yang tahu dari mana kedua orang tadi datang.

“Apakah hah…kalian pernah melihat orang-orang itu sebelumnyah…hah….”

Dimas mencoba memastikan kembali. Semua terdiam tak ada yang sanggup mengingatnya dengan kepala yang berdenyut karena degup kerja jantung yang terpompa adrenalin ketakutan.

“Kalau tidak salah, orang itu pernah kita lihat sewaktu kita pulang sekolah minggu lalu, kita berpapasan dengan mereka di jalan menuju asrama”

Yang lain mencoba menarik ingatan seminggu lalu dari kepala mereka.

“Ya, betul! Kita juga sempat kaget karena tiba-tiba saja mereka muncul” seru Pafi sambil memandang yang lain.

“Tapi siapa mereka ?” Raji mulai garuk-garuk kepala kebingungan.

“Apakah mereka orang yang sama dengan yang kau lihat di pintu gerbang sekolah dulu” Tanya Pafi kepada Dimas.

“Tidak, mereka orang yang berbeda. Yang aku lihat di gerbang sekolah keduanya masih tampak muda dengan pakaian jawa, sedangkan yang kita lihat tadi itu berpakaian dengan jubah” Tegas Dimas.

“Lebih baik kita kembali ke asrama” Dimas mengajak kedua sahabatnya untuk meninggalkan tempat yang diiringi anggukan Raji dan Pafi yang juga mengikuti.

Dengan tenaga yang tersisa ketiganya melangkah gontai di jalanan beraspal yang sudah mulai teduh oleh bayangan pohon-pohon. Matahari sudah begitu jingga dan akhirnya lenyap di balik awan kelabu yang menjamur di wilayah barat. Akhirnya mereka pun tiba di depan halaman asrama yang sudah terang oleh lampu-lampu teplok.

Suasana sore telah berubah menjadi malam, gelap yang menyelimuti asrama terasa begitu kental dengan bunyi serangga malam yang berterbangan tertarik cahaya-cahaya lampu dari dalam asrama. Ruang makan telah penuh dengan anak-anak asrama yang sedang bergiliran mengambil makanan perasmanan yang dijaga oleh pembantu-pembantu asrama. Dimas, Pafi dan Raji sedang dalam antrian dengan piring dan gelas mereka. Belum sempat sendokan nasi dari Mbok Sinem masuk ke piring Raji, tiba-tiba saja dari arah belakang Aryo dan kedua temannya datang menyerobot dan mendorong Raji ke samping, yang menyebabkan antrian di sebelah Raji ikut terdorong. Pafi tampak geram melihat yang dilakukan oleh Aryo dengan kedua temannya. Pafi dengan gerakan refleks menebaskan tangannya ke udara kosong, tetapi pada saat yang bersamaan Anip yang berada dibelakang Aryo terdorong ke depan yang tanpa sengaja mendorong tangan Aryo yang sedang memegang piring yang penuh dengan nasi sehingga jatuh ke lantai, sementara tangan Mbok Sinten yang telah siap menuangkan satu sendok kuah sayur panas tak ayal lagi tumpah di dada Aryo. Seketika aryo menjerit kepanasan dengan sayur yang penuh berantakan di atas dadanya dan sepiring nasi yang tumpah berantakan di atas kakinya.

“Aduh….aduh…..” Aryo berteriak kesakitan. Aryo dan ketiga temannya menjadi pusat perhatian di seluruh ruangan. Sementara Dimas, Raji dan Pafi tersenyum tipis.

“Kurang ajar kau Anip, aku hajar kau, aduh…panas…panas” Aryo memaki maki Anip sambil memegang dadanya yang basah dengan kuah sayur.

“Maafkan aku Yo, aku tidak sengaja. Tiba-tiba saja seperti ada yang mendorongku dari belakang” Anip memegang tangan aryo yang sudah menarik kerah bajunya.

“Kau melakukannya lagi Pafi” Dimas berbisik kepada Pafi.

“Rasain dia, biar tahu rasa” Raji tampak senang melihatnya.

“Iya, aku tidak sengaja melakukannya lagi” kata Pafi juga berbisik.

Dari kejauhan Nyai Janis bergegas menghampiri Aryo dan kedua temannya. Wajahnya tampak marah melihat lantai yang berantakan. Aryo masih saja mengeluh mengelus-elus dadanya yang masih terasa panas.

“Ada apa ini” mata Nyai Janis menatap Aryo yang sudah tertunduk dan melepaskan cengkramannya pada kerah Anip, lalu bergantian menatap Anip dan Amik yang sudah sejak tadi menunduk ketakutan. Namun tak lama kemudian Nyai Janis menatap Dimas, kemudian berganti ke pada Raji dan terakhir kepada Pafi. Cukup lama Nyai Janis menatap Pafi, sehingga membuat Pafi kikuk dan tidak nyaman. Seolah Nyai Janis tahu penyebab kejadian itu.

“Mbok Sirah, tolong dibersihkan” ayo lanjutkan makan kalian. Tanpa banyak menunggu lagi semua kembali pada makanan masing-masing. Dimas, Pafi dan Raji juga secara bergilir mengambil makanan ke dalam piring masing-masing.

“Tadi Nyai Janis menatapku lama sekali, seakan dia tahu” Pafi berbisik kepada Dimas sambil berjalan membawa piringnya ke meja.

“Sepertinya dia tadi mencoba memasuki pikiranku, tapi aku berhasil menahannya” kata Dimas dengan pelan.

“Apa yang kita rasakan kalau pikiran kita sedang dimasuki oleh pikiran orang lain ?” Raji bertanya.

“Kau akan merasakan rasa dingin di dalam kepalamu menjalar keseluruh bagian kepala, lalu kau akan merasa beku dan ketika sudah menjalar ke leher dan punggungmu, maka kau sudah dalam keadaan beku tidak lagi tahu apa yang sedang terjadi” Dimas menjelaskan.

“Darimana kau tahu semua itu ?” Tanya Raji penasaran

“Kami pernah mencobanya berdua” Pafi menjawab pertanyaan Raji.

“Kalian pernah mencobanya tapi aku tidak diajak, keterlaluan” Raji menggerutu marah.

“Kau sudah aku ajak, tapi kau malah memilih tidur” Dimas menjelaskan.

“Makanya kalau tidur jangan seperti bangkai, sudah merem tidak pernah bisa bangun lagi” Pafi mencela Raji.

“Lalu apakah kau tadi merasakan Nyai Janis membaca pikiranmu” Tanya Raji mencoba berusaha menerima.

“Iya, tadi aku merasakan rasa dingin persis dengan yang aku rasakan sewaktu latihan bersama Dimas, tapi hanya sebentar, aku bisa cepat menguasai diri. Aku tidak tahu kenapa” Pafi menjelaskan

“Itu karena aku masuk juga ke dalam pikiranmu menyelubungi pikiranmu sehingga tidak bisa ditembus Nyai Janis. Itu mengapa Nyai Janis menatapmu agak lama, karena dia berusaha terus masuk ke dalam pikiranmu tapi tidak juga bisa masuk” Dimas menjelaskan apa yang telah dilakukannya.

“Kau bisa melakukan itu ? sejak kapan kau bisa melakukannya” Tanya Raji bersemangat sambil memakan makan malamnya.

“Sejak setelah aku dipanggil oleh Nyai Janis tempo hari. Dia berusaha memasuki pikiranku dan aku menolaknya dengan menutup pikiranku. Untungnya aku banyak berlatih dengan sering mencoba memasuki banyak pikiran anak-anak asrama, aku makin banyak tahu apa yang bisa aku lakukan dengan pikiran mereka dan pikiranku sendiri” Dimas membisikan kedua temannya ketika ada seorang anak melintasi meja mereka.

“Oh..aku mengerti sekarang, itu sebabnya aku sering melihat tiba-tiba ada anak berjalan seperti melamun atau tiba-tiba terdiam saat sedang melakukan PR di ruang belajar. Jadi mereka itu sedang kau baca pikirannya” Pafi menaikan alisnya.

“Iya, tapi aku tidak membaca semua pikiran dan mengubah apapun dari mereka, aku hanya bermain-main untuk mencoba-coba apa saja yang bisa aku lakukan dengan pikiran orang lain. Aku itu tidak baik, tapi aku tidak akan tahu sampai dimana kemampuanku ini tanpa mencobanya, makanya aku tidak bilang-bilang ke kalian.” Dimas menjelaskan untuk mencegah kedua sahabatnya salah paham atas apa yang telah dilakukannya.

“Apakah kau bisa membuat orang lain melakukan apa yang kau inginkan ?” Raji tambah bersemangat sehingga suaranya agak keras. Pafi langsung memberi isyarat dan melotot kepada Raji.

“Lebih baik kita lanjutkan pembicaraan kita di tempat lain yang lebih aman, bagaimana ?” Pafi mengusulkan idenya.

“Hmmmmm aku setuju” Raji mengangguk setuju dengan mulut yang masih penuh dengan makanan.

“Baiklah, kita harus saling menceritakan apa yang telah kita lakukan dengan kemampuan yang kita miliki. Sekarang kita segera selesaikan makan malam ini” Dimas menyetujui dan segera menyantap makanannya tanpa banyak bicara lagi.

Sementara dari kejauhan tampak Nyai Janis terus memperhatikan mereka bertiga dengan seksama. Mata Nyai Janis tampak menyipit memandang sesuatu dengan penuh rasa ingin tahu. Sayang dia tidak bisa mengetahui apa yang sedang dibicarakan oleh Dimas dan kedua sahabatnya. Seperti ada sesuatu yang membuat mereka seperti tidak mengeluarkan suara sama sekali.
PINTU GAIB

Pagi begitu cerah, kutilang di puncak pohon mangga begitu bahagia mengembangkan sayapnya. Sepertinya baru hari ini dia merasakan hangatnya siraman sinar matahari pagi tanpa terganggu oleh dentuman-dentuman meriam. Hampir setengah bulu di kepalanya rontok karena terlalu stres akibat bunyi keras bom yang setiap hari mengganggu acara makannya. Sisa-sisa pertempuran telah habis diguyur hujan semalaman, embun pagi berkilauan menyembul di ujung-ujung tajam rumput liar yang tumbuh di sepanjang pematang sawah.

Gerilya yang dilakukan Tentara Nasional Hindia Belanda semalam telah mengguncang pusat kota. Sejak kemarin bungker-bungker Jepang telah di bombardier oleh pesawat-pesawat sekutu. Serangan malam itu begitu hebatnya baik di darat, laut dan udara. Burung-burung besi berseliweran di atas kota menjatuhkan bom bom yang menghantam pusat-pusat logistik dan barak-barak prajurit Jepang. Hari ini dari yang terdengar di radio, Jepang telah menyerah. Hiroshima dan Nagasaki telah dibom atom. Kabarnya seluruh kota luluh lantak hanya dengan sebuah bom saja. Tetapi perang masih saja berkecamuk walau sifatnya sudah mulai sporadis, rupanya para prajurit Jepang belum mendengar berita pengakuan kekalahan negaranya atas sekutu.

Di sebuah tempat diujung timur kota Yogyakarta, di sebuah desa dekat kota Magelang, di antara tiga bukit barisan Menoreh menjulang bernama Borobudur. Sebuah rumah kayu berdiri kokoh dengan atap genteng tanah liat khas jawa. Warna kayunya menunjukan usianya yang sudah sangat tua tapi tetap kokoh dengan pondasi batu kali berdiri dipinggir sebuah sungai yang tidak begitu besar tetapi sangat jernih airnya. Jendela kayu berventilasi kecil memancarkan sinar lampu minyak jarak yang menggantung ditengah ruang utamanya yang berukuran empat kali enam meter. Rasanya kedamaian didalamnya begitu jauh dari hiruk pikuk perang dunia kedua yang sedang ikut membawa negeri ini ambil bagian di dalamnya. Meja kayu sederhana terbuat dari jati tua dikelilingi empat kursi berukir berbentuk daun-daunan menghiasi ruangan itu. Lantai batu kali yang disusun begitu rapi dan tampak mengkilat hanya pada bagian yang sering dipijak. Dinding kayu ruangan utama dihiasi koleksi berbagai jenis tombak dan keris membuat wibawa pada ruangan yang memang terasa megah.

Ruangan lain dalam rumah itu terdiri dari 2 kamar tidur dan ruang makan sekaligus dapur yang dilengkapi dipan tempat lesehan. Aroma arang kayu begitu kental mengitari seluruh udara di ruang makan. Bagian langit-langit dapur yang bersemu menghitam tampak jelas bekas-bekas kegiatan khas dapur dengan berbagai macam perlengkapan terbuat dari bambu dan logam yang menggantung di dindingnya.

Dari arah dapur, seorang laki-laki menggunakan blangkon, baju kerah jawa bergaris coklat dan kain batik bergambar daun coklat tua. Usianya baru 40 an, wajahnya yang segar tampak sangat berwibawa terlihat melalui pancaran matanya yang tajam. Lelaki itu duduk bersila di atas bale-bale yang persis menghadap ruangan utama. Sambil menghisap cengkok tambakaunya dia memanggil lembut seorang anak laki-laki yang baru saja keluar dari ruang lain.

“Dhosari Anadhdhe Sonkhodhath Aman”

sambil melambaikan tangannya. Anak yang kira-kira berumur tiga tahun itu tersenyum dan segera berlari kecil menghampiri lelaki tersebut.

“Onhdhae Sorsisphi Aphadhan Nosabas Anadhdhe ?”

katanya sambil meraih anak kecil tersebut ke pangkuannya.

“Gophanh Nekhan Sonmoran Dhitha Nekhan Sosan”

Dengan lidah yang masih kelu dan belum lancar mengucap, kata-kata itu terlontar dari mulut anak kecil itu begitu saja tanpa mengerti maksudnya.

“Ohh..hooo..hoo….Nekhan Sosan Khari Sanhna Gophanh”

Kata lelaki itu dengan nada suara yang begitu tenang. Dia membetulkan posisi duduk anaknya di atas pangkuannya, sambil mengembangkan telapak tangannya ke arah sebuah baki bambu yang penuh dengan singkong rebus yang kemudian bergerak melayang sendiri ke arahnya. Anak kecil itu berteriak gembira melihat ayahnya melakukan hal itu. Dia bisa menggerakan benda-benda dengan tangannya.

“Aman Agari Nama Sobadhedhannma” pinta si anak.

“Oh.ho..ho…Dimas sae sobagar ?”

katanya sambil mengelus kepala anaknya penuh kasih sayang. Si anak tersenyum gembira sambil mengambil sepotong singkong rebus dari baki bambu.

“Dimas…dimas….. bangun”

seketika saja seorang pemuda yang sedang tidur gelisah dalam mimpi bangkit dari tempat tidurnya.

“Ah………dimana aku….”

napasnya tersengal-sengal, keringatnya mengucur deras, matanya memandang sekeliling ruangan.

“Dimas ini aku Raji, kelihatannya kau mimpi buruk lagi”.

Disebelahnya raji telah duduk berusaha mengajak Dimas berbicara. Mata Dimas masih memandangi seluruh ruangan dan tempat tidur berjejer orang-orang berbaring di kasur-kasur di dalam ruangan bangsal. Dimas mulai teringat kembali dimana dirinya berada. Bangsal ini adalah ruang tidur bersama yang sudah tujuh tahun ditinggalinya bersama teman-teman senasibnya, tanpa ayah tanpa ibu, dan sekarang sahabat baiknya Raji sedang duduk dipinggir tempat tidurnya. Nelangsa terlihat dari guratan wajah ketika Dimas berusaha mencoba mengingat mimpinya tadi mimpi yang mulai menghantuinya sejak ulang tahunnya yang ke tigabelas, kebahagiaan bersama ayah ibunya yang hanya bisa dia rasakan lewat mimpi-mimpi. Setiap kali Dimas berusaha menghitung usianya yang sekarang 13 tahun, Dia benar-benar tidak bisa mengingat tahun yang dia jalani bersama kedua orang tuanya sejak terakhir ayahnya berkata akan mengajarinya dan menunjukan sesuatu.

Tiba-tiba saja bunyi bel berdering keras membangunkan seisi kamar, pagi itu masih pukul 5 dini hari, seorang perempuan berambut pirang masuk, dengan teriakan yang keras berkata dalam bahasa Belanda.

“vlug… vlug……vlug…goede morgen. Ei…. rrRaji kowe nggawe opo” Nyai Janis dengan campuran Jawa menunjukan jarinya ke arah Raji yang sedang di samping Dimas.

Seluruh penghuni ruangan yang semuanya laki-laki berumur antara 12 - 15 tahun segera mengambil handuk yang tergantung rapi di tepi tempat tidur masing-masing dan bergegas keluar ruangan berjalan melalui koridor yang cukup lebar. Nyai Janis mengawasi mereka dari belakang dan kemudian menutup pintu bangsal.

Sepanjang koridor menuju ruang mandi umum, Raji terus berusaha mengorek keterangan mengenai mimpi Dimas yang baru saja terjadi.

“Apakah kau mimpi hal yang sama kali ini?”

Raji setengah berbisik kepada Dimas dengan ekspresi wajah yang penuh ingin tahu. Dimas mengiyakan dengan mengganggukan kepalanya tanpa berkata apapun, kepalanya masih dipenuhi tanda tanya besar mengenai arti dari mimpi-mimpinya yang seakan tidak ada kaitannya dengan kehidupannya. Dimas merasakan ada kejanggalan dalam mimpi-mimpinya. Dimas merasakan ada ketidak cocokan waktu yang selama ini dicobanya untuk disingkap lewat mimpi-mimpinya. Tetapi kecurigaannya hanya disimpannya sendiri saja, Raji memang selalu diberitahu mengenai semua mimpi-mimpinya, tetapi Dimas tak pernah memberitahu Raji mengenai penafsirannya terhadap mimpinya sendiri.

Menurut yang didengarnya dari ibu asrama yang merawatnya, Dimas dititipkan karena kedua orang tuanya sudah meninggal dunia ketika dia berumur 2 tahun dan tidak ada saudara lain yang diketahuinya. Dari hal terakhir yang dia ingat adalah dia masih berusia 2 tahun sedang asyik bercengkrama dengan ayahnya. Ibu asrama kurang memberinya kepuasan dalam mengetahui asal-usulnya. Seakan dia merasa dirinya terlempar saja dari sebuah dunia lain ke tempatnya sekarang berada. Tak ada yang memberitahunya, bahkan Ibu asrama pun selalu menolak menceritakannya setiap Dimas berusaha mengetahui asal-usul keberadaannya. Rasa frustasi dan nelangsa terus menggandrungi hatinya, Dimas merasa ada bagian dari dirinya yang tidak dikenalnya sama sekali seringkali muncul dan dirasakannya.

Kembali setelah mandi, Dimas dan Raji sedang berusaha menyiapkan semua perlengkapan sholat menuju mushalla asrama. Azan subuh sudah berkumandang ketika mereka berdua memasuki ruangan masjid. Selesai sholat semua anak-anak biasanya melanjutkan untuk bersiap-siap melanjutkan aktifitas berikutnya. Jam tujuh semua anak laki-laki sudah bersiap-siap berangkat menuju sekolah rakyat yang dibiayai pemerintah diperuntukan khusus untuk orang-orang tidak mampu.

Berjalan keluar asrama, hampir seluruh anak-anak yang tinggal di asrama itu berangkat ke sekolah. Dimas dan Raji bergegas berjalan di antara puluhan anak-anak yang lain. Sebelum sampai gerbang pagar, mereka bergabung dengan Pafi yang sudah menunggu di depan gerbang.

“Pafi, apakah kau sudah mengerjakan PR sejarah ?”

Raji menyapa Pafi dengan wajah yang agak ramah kali ini.

“Hmmmm…tentu saja sudah dan kali ini kau tidak akan aku biarkan mencontek lagi”

Pafi menjawab dengan wajah yang bangga dan sedikit mengejek. Wajah Raji berubah cemberut, lalu pandangannya diarahkan kepada Dimas dengan senyum penuh harap. Dimas yang melihat wajah Raji segera menjawab pelan.

“Maafkan aku Raji, sudah waktunya kau berusaha dengan kemampuanmu sendiri”

Mendengar jawaban itu Raji menunduk murung. Setelah semalam dia gagal berusaha untuk membuat PR nya sendiri, kali ini usahanya yang terakhir tidak berhasil membujuk Pafi dan Dimas meminjamkan PR mereka kepadanya.

“Aku sudah semalaman berusaha membuat PR nya, tapi tetap aku tidak bisa menyelesaikannya. Ayolah, kalian kan sahabatku, masak untuk kali ini saja tidak mau membantu”

Raji merajuk yang diakhiri dengan senyum menunjukan gigi-giginya yang berbaris rapi dan alis yang diturun-naikan.

Karuan Pafi makin sebal melihatnya, dengan wajah yang cemberut dia membuang muka.

“Ini bukan kali pertama kau tidak menyelesaikan PR mu, kami sudah terlalu sering meminjamkan PR kepadamu, karena aku sahabatmu aku tidak mau meminjamkannya lagi, karena nanti kau akan jadi orang bodoh dan aku tidak mau mempunyai sahabat bodoh”

Pafi menyudahi omelannya dengan menjulurkan lidahnya.

“Benar yang Pafi bilang Raji, kau harus membuat PR mu sendiri”.

Kata Dimas pelan yang diikuti ekspresi Raji yang tampak kecewa.

Mereka duduk di kelas yang sama, sekolah mereka tidak jauh dari asrama, kurang lebih 15 menit dengan berjalan kaki menyusuri jalan utama menuju pusat kota Yogyakarta. Sekolah mereka tidak jauh dari jalan dekat kraton kesultanan Yogyakarta, setiap sore pulang sekolah mereka biasanya sempatkan berjalan melewati alun-alun dalam kraton sampai tembus jalan malioboro.

Hari itu pelajaran sejarah nasional Hindia Belanda, setelah kemarin-kemarin mereka begitu bosan memperlajari sejarah eropa dan kerajaan Netherland, sekarang mereka cukup gembira dengan pelajaran sejarah tanah tempat mereka tinggal sekarang.

Dalam ruangan kelas yang berbau debu, didepan terdapat papan tulis kapur berwarna hitam yang sudah sulit sekali dibersihkan bekas goresan tangan sebelumnya. Di atas papan tulis tergantung gambar Ratu Beatrice yang begitu anggun mengenakan baju warna ungu yang hampir semua orang diruangan itu berpikir aneh karena tidak seperti kebanyakan orang disini berpakaian. Kursi guru yang masih kosong menjulang tinggi dengan ukiran flora seperti kursi kebesaran. Tiba-tiba dari arah pintu masuk seorang lelaki tua berjenggot putih dengan mengenakan kopiah, berbaju jas pegawai negeri warna krem. Seketika seisi ruangan kelas bangkit dan mengucapkan salam.

“Goede morgen”.

Sang guru mengangguk dan tersenyum. Nama guru tersebut adalah Pak Kusumo, dia seorang ahli sejarah yang bekerja untuk pemerintah. Pada waktu luangnya dia mengajar sejarah di sekolah rakyat. Dia sempat ditawari pemerintah Hindia Belanda untuk mengajar di sekolah pemerintah khusus untuk priyayi, tetapi dia menolaknya.

“ Bagaimana kabar kalian hari ini ?”

sapanya ramah kepada semua murid kelas di dalam ruangan. Seluruh siswa menjawab.

“Baik pak guru”.
“Baiklah, hari ini kita akan mempelajari sejarah Hindia Belanda, silahkan mengeluarkan buku catatan dan dengarkan baik-baik”.

Pak Kusumo terus menjelaskan secara ringkas masing-masing episode sejarah diikuti gerakan semua siswa yang sibuk mencatat dengan tergesa-gesa mengikuti kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Pak Kusumo. Gerakan kepala menengok ke kiri dan ke kanan para siswa memastikan tulisan yang sempat tertinggal keteteran. Setiap titik yang ditandai dengan diam sejenaknya Pak Kusumo dimanfaatkan semua siswa untuk mengoyang-goyangkan tangannya yang pegal dan belepotan dengan tinta. Setiap sebuah kalimat dimulai kembali oleh Pak Kusumo kelihatan Raji begitu sibuk dengan ekspresi yang penuh penderitaan terus mencatat dengan kesal. Sejarah yang ditulisnya bukan seperti yang diharapkan sebelumnya. Isinya Cuma tentang penaklukan Belanda terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara. Rasanya seperti terdengar menjadi sebuah penjajahan dari pada kebanggaan.

Waktu terus bergulir sampai akhir pelajaran sejarah selesai. Raji sudah setengah mati pegalnya mencatat, sementara Dimas tidak pernah mencatat sejak awal, dia asyik mendengarkan apa yang diceritakan oleh guru. Kebiasaanya sudah dimaklumi seluruh isi kelas dan guru-guru yang mengajar di sekolah itu, karena sebagai timbal baliknya, Dimas dapat mengulang kembali semua yang diuraikan oleh guru seperti sebuah rekaman. Daya ingat Dimas sangat kuat, jadi dia sering dijadikan tempat bertanya bagi para siswa yang ketinggalan catatan disekolahnya. Dimas sendiri tidak mengerti kenapa dia memiliki ingatan yang sangat kuat seperti itu, tapi kalau mencoba mengingat 6 tahun waktu yang hilang, dia sama sekali tidak sanggup melakukannya.

Pelajaran terakhir telah selesai, Dimas, Raji, dan Pafi segera bergegas meninggalkan ruang kelas. Hari sudah siang tepat pukul satu, matahari yang sudah sangat tinggi diubun-ubun mulai sedikit condong ke arah barat. Hari yang amat tidak menyenangkan untuk berjalan kaki selama 15 menit di jalan yang panas berdebu. Dimas, Raji dan Pafi berjalan beriringan, di antara banyak siswa yang juga pulang bersamaan.

“Lihat, Shinta terus-menerus memandangku, dia pasti naksir padaku” Raji cengengesan.

“Huh…sok kegantengan” Pafi membuang mukanya.

“Memang aku ganteng kok, sebenarnya kamu juga suka kan?” Raji mengelus dagunya menyorongkan wajahnya ke Pafi yang persis disebelah kirinya.

Ekspresi wajah Pafi merah padam, wajahnya ditundukan sambil berpura-pura menutup kupingnya untuk menutupi rona mukanya yang berubah. Dasar lelaki, katanya dalam hati. Sepanjang jalan, Raji terus mengoceh yang sesekali ditimpali oleh Dimas yang terus menerus tertawa melihat tingkah Raji yang dibalas sewot oleh Pafi. Dimas amat paham dengan tingkah polah kedua sahabatnya ini yang selalu bertengkar.

Sepanjang jalan pulang kembali ke asrama Dimas, Raji dan Pafi melalui jalan tadi pagi yang mereka lalui. Mereka telah menghabiskan langkah mereka di atas jalan utama dan berbelok menuju jalan desa tepat lurus menuju asrama. Sepintasan Dimas melihat kemunculan dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar yang sangat tiba-tiba muncul di depan mereka. Keasyikan mengobrol menyebabkan mereka tidak menyadari darimana arah datangnya kedua orang tersebut. Ketika keduanya berpapasan mereka tersenyum kepada Dimas dan dibalas senyum juga. Raji yang melihat senyum Dimas kepada dua orang yang baru saja melewati mereka mengkerutkan alisnya.

“Kau mengenal mereka ?” katanya sambil menatap wajah Dimas.

“ Eh… tidak, mereka tersenyum ya… aku balas senyum” Dimas menjawab seadanya.

“Tapi sepertinya jalanan ini kosong, tidak ada siapapun di depan kita”

Pafi menambahkan sambil mengacungkan jari menunjuk jauh jalan desa yang sedang mereka lewati.

“Hiii… jangan-jangan hantu ya…” Raji bergidik merinding.

“Sudah…sudah jangan dilanjutkan” sergah Pafi yang mulai merasakan bulu romanya berdiri tegak dan tengkuknya menebal.

Selama seminggu terakhir ini mereka bertiga sering menemukan hal-hal aneh yang hanya mereka sendiri bisa melihat dan merasakannya. Banyak hal lain yang tidak mereka bertiga mengerti dan kadang-kadang disimpan sendiri dan hanya dibicarakan bertiga saja, bahkan pak Narso pun tidak diberitahu mengenai kemunculan hal aneh ini. Bagi Dimas misteri yang mereka alami tidak cuka sekadar pemunculan orang-orang ataupun hal-hal aneh, tetapi juga mimpi-mimpinya yang hanya dialami olehnya. Keanehan-keanehan itu mendorong ketiganya menyelidiki secara diam-diam. Bahkan akhirnya mereka sering keluar malam setelah jam tidur untuk menghindari kecurigaan dari orang lain, terutama Nyai Janis.

Sampai di halaman asrama, Dimas tidak langsung menuju bangsal, tetapi terus berjalan menuju kebun di belakang asrama. Tempat yang ditujunya adalah huma tempat berkumpul waktu panen jagung minggu lalu. Pafi dan Raji kelihatan tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Dimas. Kebun pertanian yang diurus oleh pak Narso benar-benar tumbuh subur. Kebun inilah yang menjadi kesukaan Dimas menghabiskan waktunya kala hari libur. Membantu pak Narso mencangkul dan merawat semua tanaman sangatlah menyenangkan bagi Dimas, sementara anak-anak yang lain lebih suka melakukan kegiatan lain. Sedangkan saat-saat setelah sekolah, Dimas lebih suka menghabiskan waktunya di ruang belajar mengerjakan PR nya atau sekadar membaca sebuah buku.

“Apa yang akan kita lakukan disini ?” tanya Raji.

“Kita harus menyelidiki pintu gaib itu nanti malam.” Kata Dimas

“Mengapa harus nanti malam ?” tanya Pafi

“Karena nanti malam adalah tepat malam purnama, kalian ingat kemunculan pintu gaib itu dimulai sejak malam purnama lalu tepat saat tengah malam.” Kata Dimas.

“Jadi maksudmu kita harus bangun nanti malam ?” tanya Raji yang tampak enggan sekali tidur nyenyaknya terganggu. Dia membayangkan harus berjalan tertatih-tatih dengan mata yang masih sangat mengantuk.

“Iya, kalau kau mau, kau bisa menggotong tempat tidurmu sekalian” kata Pafi sinis. Dia sudah paham benar soal tabiat Raji yang sangat tidak mau mengorbankan tidurnya.

“Kalau kau mau kehilangan kesempatan dapat melihat dunia di balik pintu gaib itu, ya tidak apa-apa.” Kata Dimas. Dimas tahu dimana letak kelemahan Raji agar mau mengorbankan waktu tidurnya.

“Baiklah, baiklah, aku ikut. Tapi nanti malam aku dibangunkan.” Kata Raji

“Baiklah, sekarang kita kembali ke asrama. Kita bertemu di dekat tangga turun ke lantai dasar.” Kata Dimas.

Malam begitu indah dengan rembulan bulat yang begitu cerah menerangi pelataran halaman. Dimas sejak sore tidak beranjak tidur, tetapi lebih memilih memandang langit yang berserakan cahaya bintang yang mengedipkan cahaya lemah di antara sinar bulan yang bulat telur. Semua anak-anak dalam bangsal telah terlelap. Dimas bangkit dari tempat duduknya dekat jendela dan berusaha tidak mengeluarkan suara. Bantal di atas kasurnya di tata di atas tempat tidurnya kemudian ditutupi dengan kain. Dengan perlahan Dimas berjalan tanpa alas kaki menuju tempat tidur Raji. Tangannya menepuk pundak Raji dengan pelan. Raji yang masih meringkuk seperti seekor kucing. Tepukan halus Dimas rupanya tak mampu membuatnya terbangun. Dimas mengusap kepala Raji, dengan segera Raji terbangun dan bangkit dari tempat tidurnya.

“Sssssstttt, pelan-pelan” Dimas menutup mulutnya yang berdesis dengan telunjuk kirinya. Raji nyengir kuda sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. Dengan perlahan Raji turun dari tempat tidurnya dan menata bantalnya seperti yang dilakukan Dimas. Dengan mengendap-endap mereka keluar dari bangsal menuju koridor. Di depan pintu bangsal mereka jongkok sebentar mengamati keadaan. Setelah yakin tidak ada orang di koridor tersebut, Dimas dengan berjalan bungkuk bergerak menuju tangga. Raji mengikuti dari belakang dengan tangan yang terus memegang tangan kiri Dimas.

“Mas, kau yakin kita harus melakukannya malam hari” Raji berbisik dengan suara yang agak ketakutan. Dimas berhenti dan memandang Raji yang begitu memelas ketakutan.

“Ya, hanya malam hari waktu yang paling aman dan terhindar dari kecurigaan orang lain. Kau kenapa Ji, takut ?” Dimas setengah berbisik.

“Aku tidak takut, Cuma hhhhmmmmm….” Raji agak ragu meneruskan kalimatnya.

“Ayo cepat, kita jangan terlalu lama disini” Dimas membetot tangan Raji dan menariknya menuju tangga. Kemudian mereka menuruni tangga setelah yakin tidak ada orang lain di bawah.

Pada arah yang berlawanan sesosok orang berjalan mengendap menuju arah yang sama dengan Dimas dan Raji. Dimas dan Raji berhenti dan bersembunyi di bawah tangga.

“Dimas….Raji…..”Suara seorang perempuan memanggil setengah berbisik.

Dimas mengenali suara yang memanggilnya kemudian muncul dari balik tangga dan melambaikan tangan kepada si Pemanggil.

“Pafi……” Dimas memanggil pelan orang yang ternyata adalah Pafi.

“Tidak ada orang yang melihatmu kan “ Tanya Dimas

“Tidak, semua penghuni asrama sudah tertidur” Pafi menjawab dengan pelan.

“Ayo, kita segera ke ruang belajar” Dimas mengajak Pafi dengan terus menarik tangan Raji yang masih memegang erat dengan kedua tangannya.

Sesampainya di depan pintu, ternyata pintu terkunci rapat.

“Sial, pintunya terkunci, bagaimana membukanya” Dimas merutuk. Pafi segera menghampiri gagang pintu dan berusaha memutar-mutar untuk membuka.

“Uh….kenapa tadi kita tidak mengambil kunci dulu di tempat pak Narso. Aku belum diajari mantra membuka pintu.” Pafi juga ikut merutuk.

“Lebih baik kita kembali saja ke kamar” Raji yang sedari tadi tidak merasa nyaman dengan aksi mereka berusaha membujuk kedua temannya untuk kembali.

“Tidak, kita harus masuk menyelediki pintu gaib rahasia itu malam ini juga, bagaimanapun caranya, kenapa kau jadi penakut malam ini Raji. Biasanya kau seperti jagoan” Tegas Pafi.

“Aku tidak takut, aku hanya tidak mau kita terkena hukuman dari Nyai Janis” Raji dengan emosi dan wajah yang merah padam. Untungnya dalam suasana gelap sehingga tidak terlihat, hanya nada suaranya saja yang menaik.

“Tapi bagaimana caranya masuk” Dimas mulai bingung dan berpikir mencari jalan.

“Pintu itu harus bisa di BUKA dulu…..” kata Pafi melanjutkan sambil menujukan telunjuk kanannya kearah gagang pintu dan secara otomatis terdengar suara berkeletak dan pintu terbuka dengan sendirinya.

Dimas, Pafi dan Raji saling pandang tersenyum dengan yang baru saja terjadi.

“Pintunya …….terbuka sendiri” Raji dengan suara tertahan menutup mulutnya.

“Bukan, bukan terbuka sendiri, tapi Pafi yang telah membukanya” Dimas mengangkat tangannya dan menunjuk jari Pafi yang masih menunjuk ke arah gagang pintu. Karena kemampuan Pafi menggerakan benda pernah di bahas sebelumnya akhirnya ketiga sahabat itu tak lagi mempersoalkan bagaimana pintu itu dapat terbuka. Mereka akhirnya memasuki ruang belajar gelap gulita. Pafi berusaha merangkak menyisir dinding dimana sebuah lampu minyak jarak tergantung. Dengan korek api yang sudah disiapkannya sejak tadi Pafi menyalakan lampu.

“Wah, bagus kau telah bawa korek api rupaya” Raji memuji Pafi dengan nada yang sedikit meledek.

“Memangnya kau pikir kau bisa diandalkan untuk mengingat apa yang diperlukan, hah” Pafi menyergah kata-kata Raji yang langsung terdiam.

“Sudah…sudah… lebih baik kita pusatkan perhatian kita ke lukisan di dinding itu” Dimas menengahi kedua sahabatnya yang memang selalu ada saja pertengkaran kecil diantara mereka berdua.

Dimas mengambil lampu yang sudah dinyalakan oleh Pafi kemudian memimpin di depan menuju lorong di dalam ruang belajar dimana pada dindingnya terdapat sebuah lukisan gunung kembar Bromo dan Semeru.

“Bagaimana caranya membuat pintu gaib itu muncul kembali” Pafi bergerak maju memeriksa lukisan di dinding itu. Dimas berdiri tepat didepan lukisan memandangi lukisan itu, sementara Raji hanya berdiri tepat di belakang Dimas.

“Aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya, pintu gaib itu muncul hanya dua kali di hadapanku” Dimas meraba-raba lukisan itu dengan penuh seksama.

“Coba kau ingat-ingat ada hal khusus apa yang terjadi saat itu, saat kau melihat pintu gaib itu muncul. Mungkin kau mengucapkan sesuatu, atau menggerakan sesuatu” Pafi berusaha membangkitkan ingatan Dimas yang sebenarnya dia sangat paham, bahwa hal itu bukan hal sulit buat Dimas.

“Aku tidak tahu, tidak ada yang lain pada kedua kejadian itu” Dimas berpikir keras sambil tetap memandang lukisan di dinding.

Tiba-tiba bunyi suara langkah seseorang makin dekat terdengar dari koridor di luar ruang belajar. Dimas, Pafi dan Raji segera saja menjadi panic.

“Matikan lampunya cepat” Pafi meminta Dimas mematikan lampu jarak yang sedang dipegangnya. Dimas dengan reflek segera meniupnya hingga padam. Suasana menjadi hening, hanya suara langkah kaki yang terdengar makin mendekat. “plak…plak….plak….plak…..”

Dalam keadaan gelap gulita Dimas dengan merangkak di lantai bergerak menjauhi dinding menuju bawah meja belajar diikuti Pafi dan Raji. Mereka bertiga bertahan di kolong meja sambil menahan nafas menunggu suara langkah itu makin mendekat.

Tidak berapa lama tiba-tiba pintu ruang belajar terbuka dengan suara keletak yang khas. Sesosok bayangan tinggi yang tidak jelas memasuki ruangan dan bergerak menuju lukisan di dinding. Setelah di hadapan lukisan itu sosok itu seperti membuka sesuatu di hadapannya. Sinar lembut menyeruak masuk dengan terbukanya sebuah pintu di hadapan sosok itu. Kemudian sosok itu memasuki pintu itu dan menghilang bersamaan dengan lenyapnya pintu itu dari tempat lukisan dinding itu berada dan kembali menjadi lukisan.

Dimas, Pafi dan Raji memandang dengan seksama mencoba mengenali siapa yang baru saja masuk. Tapi suasana terlalu gelap dan hanya bentuk pakaiannya saja yang mereka kenali.

“Siapa dia ? sepertinya bentuk sosoknya kita tidak pernah lihat sebelumnya” Dimas bertanya pelan kepada kedua sahabatnya.

“Siapapun dia, yang penting dia juga manusia, karena dia memakai pakaian” Raji berusaha menenangkan diri.

“Kau tadi memperhatikan gerakan yang dia lakukan ?” Pafi bertanya khusus kepada Dimas

“Tidak..tidak…. terlalu gelap, satu-satunya yang sempat kita lihat adalah saat cahaya lemah itu masuk melalui pintu gaib yang terbuka, itu pun Cuma bagian punggung saja” Dimas menjawab dengan menggelengkan kepalanya.

“Ayo kita harus segera kembali ke kamar” Raji berusaha bangkit dan keluar dari kolong meja.

“Jangan dulu, kita harus selidiki dulu apa yang tadi dilakukan orang itu” Pafi mencegah.

“Tidak, Raji benar Pafi, sebaiknya kita sudahi saja dulu malam ini. Sudah cukup apa yang kita lihat tadi. Kita bisa melanjutkannya besok setelah pulang sekolah.” Dimas bergerak keluar dari kolong meja. Pafi hanya mengangguk setuju walaupun hatinya masih begitu penasaran dengan yang baru saja dilihatnya.

Dengan perlahan mereka bertiga kembali mengendap-endap keluar ruangan belajar dan kemudian berpisah di tangga. Dimas dan Raji kembali ke bangsal putra sedangkan Pafi ke bangsal putri.


------ “” ------

Pagi hari saat menuju sekolah Dimas, Pafi dan Raji sudah kembali terlibat dalam pembicaraan mengenai aksi yang mereka lakukan semalam.

“Tidak ada yang khusus saat itu, hanya saja saat itu aku selalu pada saat hatiku sedang memikirkan asal usulku sebenarnya” Dimas menjelaskan.

“Mungkin itu sebabnya pintu gaib itu tidak muncul karena kau tidak sedang dalam perasaan ingin mengetahui asal-usulmu tetapi sedang ingin menyelidiki keberadaan pintu gaib itu” kata Raji penuh semangat, kontras sekali dengan sikapnya semalam. Sejenak mereka bertiga berpikir kebenaran yang disampaikan Raji.

“Mungkin nanti malam kita bisa coba lagi, tapi kita ubah niat kita. Tidak berusaha mencari tahu bagaimana membukanya, tetapi untuk mengetahui asal usul kita” Pafi berkata tak kalah penuh semangat dengan Raji.

Mendengar usulan Pafi untuk kembali lagi nanti malam, Raji mengkerutkan alisnya. Sepertinya apa yang dirasakannya semalam muncul kembali dengan usulan Pafi tadi.

“Baiklah, nanti malam kita akan ke ruang belajar lagi pada jam yang sama” Dimas menyetujui usulan Pafi.

“Kau yakin Dimas ? nanti malam kan malam Jum’at” Raji sedikit enggan.

“Kau ini penakut seperti ayam betina saja” Pafi menyergah Raji. Pafi sangat paham sifat Raji yang tidak mau disebut penakut. Kalau dia sudah dikatakan penakut, pastilah dia akan menyanggupinya. Benar saja, Raji balas menyergah Pafi.

“Aku tidak takut, aku hanya berhati-hati. Kita lihat nanti malam, siapa yang lebih berani” Raji menyorongkan kepalanya ke arah Pafi.

“Baiklah, kalau begitu tidak ada masalah” Pafi melipatkan kedua tangannya dan mendongakan wajahnya ke angkasa. Wajah Raji terlihat begitu gemas melihat tingkahnya, sementara Dimas hanya tersenyum-senyum melihat tingkah kedua sahabatnya.

Waktu terus berjalan, akhirnya mereka tiba juga di sekolah, sesaat sebelum memasuki gerbang sekolah Dimas memandang dua orang lelaki yang berdiri di pinggir gerbang. Keduanya mengangguk dan tersenyum kepada Dimas yang dibalas dengan anggukan dan senyuman pula oleh Dimas. Melihat perilaku tersebut Pafi dan Raji terheran-heran.

“Kau tersenyum kepada siapa Dimas” Pafi bertanya heran dan mengarahkan pandangannya ke arah yang sama dimana Dimas memberikan anggukannya.

“Kedua orang itu di pinggir gerbang” kata Dimas santai.

“Orang yang mana ?”Raji menoleh mencari 2 orang yang dikatakan Dimas berdiri di pinggir gerbang.

“Itu, kedua lelaki itu, aku masih melihat mereka sekarang” Kata Dimas sambil menunjuk ke arah pinggir gerbang sekolah.

“Tidak ada siapa-siapa di pinggir gerbang itu, aku tidak melihat siapapun kecuali gapura” Pafi menegaskan apa yang dilihatnya.

“Iya, aku juga tidak lihat siapapun” Raji menguatkan apa yang dikatakan Pafi.

“Masa kalian tidak melihat mereka ? dua orang lelaki berpakaian jawa dan mengenakan blankon” Dimas masih saja menunjuk ke arah yang menurut Pafi dan Raji adalah kosong. Pafi dan Raji tetap menggeleng-gelengkan kepala mereka. Dimas mulai bingung dan mulai tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sendiri.

“Jadi…. Kalau aku dapat melihatnya sedangkan kalian tidak, lalu dinamakan apa mereka ?” Dimas mulai melempar sebuah pertanyaan yang bagi Raji membuat bulu romanya berdiri sejadi-jadinya.


“Hantu…hiiiiiiiiiiiii” Raji langsung nyeletuk dan merapatkan jalannya dengan Dimas.

Dimas dan Pafi tetap diam berpikir, tak ada jawaban lain selain yang diberikan Raji untuk dapat menjelaskan keberadaan orang-orang gaib. Selama pendidikan yang mereka terima, mahluk gaib yang mereka kenal hanyalah berjenis malaikat, iblis, setan, jin, kuntil anak dan semua turunannya.

“Lalu apakah berarti orang yang tadi malam masuk ke dalam pintu gaib adalah juga hantu ?” Dimas tiba-tiba menyentak semua keheningan diantara mereka bertiga.

“Bukankah kalian juga melihat sosok itu semalam” Dimas bertanya memastikan kepada kedua sahabatnya. Pafi dan Raji terdiam bingung.

“Tidak, aku rasa yang kita lihat semalam itu bukanlah hantu, karena sosoknya begitu nyata. Kita merasakan ketukan langkah kakinya” Pafi mencoba menepis pendapat Dimas. Raji hanya mengangguk-angguk sementara Dimas masih berpikir keras.

“Lalu apa hubungan sosok yang sama-sama kita bertiga bisa lihat dengan dua orang lelaki tadi yang hanya aku bisa melihatnya” Dimas kembali melemparkan pertanyaan kepada kedua sahabatnya. Tetapi sebelum mendapatkan tanggapan bunyi besi yang dikentongkan keras tanda masuk sekolah sudah dimulai. Ketiganya segera bergegas menuju kelas dimana pak Suryo guru hanacaraka sudah berdiri di depan pintu menunggu para siswa memasuki kelas.

Ini satu-satunya kelas dimana Dimas menulis, karena pada pelajaran ini harus melakukan banyak latihan menulis.

“Selamat pagi anak-anak” Pak Suryo mengucapkan salam

“Selamat pagi pak guru” jawab seluruh anak-anak di kelas yang hanya berjumlah 40 orang. Semua anak-anak mulai mengeluarkan kertas dan alat tulis.

“Aku heran, kenapa kita harus belajar huruf-huruf yang sangat jarang kita gunakan dalam kehidupan kita sehari-hari” Raji menggerutu.

“Supaya kau mengerti kejayaan bangsamu jaman dulu, bahwa bangsa ini adalah bangsa yang pandai, dan tidak seharusnya dijajah seperti sekarang.”

Dimas menjawab gerutuan Raji dengan santai. Raji sangat terkejut dengan jawaban Dimas yang kali ini dirasakanya agak berbeda. Biasanya Dimas sangat berhati-hati dalam memberikan pendapat mengenai penjajahan.

“Tumben kau berkata agak lain mengenai bangsa ini, apakah karena pelajaran sejarah nasional Hindia Belanda pak Kusumo ?” Raji melirik Dimas dengan tersenyum.

“Sssssttt….jangan berisik, pelajaran sudah akan dimulai”

Pafi yang berada di meja di sebelah Raji memelototkan matanya ke arah Raji. Raji langsung merengut dan menarik kertas dan alat tulisnya, Dimas hanya tersenyum geli melihat tingkah kedua sahabatnya. Pelajaran pun dimulai, Pafi dan Dimas terlihat begitu menikmati menulis hanacaraka, sementara Raji terlihat begitu sengsara dengan banyak melakukan kesalahan goresan.



ASRAMA DAN PERSAHABATAN


Siang yang terik di sebuah bangunan asrama anak-anak yatim piatu berarstiektur gaya eropa tiga lantai. Denah bangunan berbentuk huruf U dengan dinding-dinding semen bercat putih yang dicampur dengan batu kali berwarna hitam pada bagian pilar-pilarnya. Siapapun yang melihatnya tidak akan percaya kalau bangunan semegah itu adalah sebuah panti asuhan. Terlalu mewah untuk tempat tinggal anak-anak yatim piatu pada masa itu. Atap genteng tanah liat berwarna merah yang sudah kecoklatan menjulang tinggi di atas bangunan yang membentuk piramida melengkung seperti arsitektur bangunan Jawa.

Gedung asrama berdiri di atas tanah seluas 1 hektar, ditengah bangunan terdapat bangunan musholla berarsitektur joglo. Setiap kompleks terdiri dari bangunan berbentuk huruf U dengan genteng tanah liat, terbagi menjadi 3 bangsal. Bangsal kanan untuk anak-anak perempuan, bangsal tengah untuk anak-anak laki-laki, bangsal kiri yang berdekatan dengan mushollah dan gereja untuk ruang belajar. Pada bagian tengah diantara 2 bangunan utama terdapat Musholla, Gereja, Kantor Pengurus Asrama, dan Ruang Dapur umum yang sekaligus bangsal tempat makan bersama. Tidak jauh dari bangunan utama terdapat bangunan rumah tempat tinggal para pengurus asrama yang dikelilingi kebun sayuran.

Dikelilingi pagar batu kali yang telah dipahat kotak-kotak seperti bangunan candi-candi jaman kuno yang hanya dihalangi oleh hamparan tanaman bunga-bunga herbras berwarna-warni. Pada pintu gerbang terdapat dua gapura gaya Majapahit selebar empat meter menjulang tinggi satu garis lurus dengan pintu utama bangunan asrama. Tampak kosong tanpa ada tanda-tanda kegiatan penghuni asrama.

Dari arah jalan di depan pagar asrama tiga orang anak sedang berlari adu cepat menuju gerbang. Satu orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki berusia tigabelasan lebih dahulu masuk melewati gerbang asrama, kemudian di susul satu orang anak laki-laki yang lain. Dari kejauhan tampak gerombolan anak-anak yang lain sedang berjalan santai menuju arah yang sama. Dengan seragam celana pendek berwarna krem dan baju berwarna yang sama jelas menunjukan bahwa semuanya adalah siswa sekolah.

“Ah..ah…aku mengalahkanmu lagi Raji” seru anak perempuan yang ikut berlari tadi dengan wajah mengejek kepada anak laki-laki yang larinya tiba belakangan. Wajahnya merah kepanasan dengan aliran darah yang terus berdenyut kencang dari degupan jantung yang terpompa cepat. Rambutnya yang dikuncir kuda dikibas-kibaskan berusaha mendapatkan angin segar yang silir menyentuh seluruh permukaan tengkuknya. Hidungnya yang mancung, kulit yang putih, dengan rambut berwarna coklat terlihat kontras dengan kedua teman laki-lakinya yang berwarna kulit coklat.

Si anak laki-laki bernama Raji yang diejek tadi tidak menyahutinya, dirinya terlalu lelah untuk melayani ejekan teman perempuannya. Mulutnya terus terbuka lebar menghirup sebanyak mungkin udara untuk mendinginkan isi dadanya yang panas terbakar oleh denyutan jantungnya yang memanas. Kulitnya yang berwarna coklat muda kemerahan tersengat sinar matahari.

“Kau berlaku curang Pafi, mencuri waktu mulai lebih awal. Hitungan Dimas belum selesai kau sudah lari duluan” matanya yang bulat menatap tajam menjawab ejekan Pafi setelah yakin dadanya sudah mulai teratur oleh hembusan udara segar mendinginkan seluruh rongga.

“Tidak ada larangan mulai lebih awal kan ?, kau saja yang terlalu lamban untuk bereaksi, betul kan Dimas ?” dengus Pafi yang tidak terima kemenangannya dianggap sebuah kecurangan, sambil kemudian memandang anak laki-laki yang bernama Dimas yang sedang melemaskan kaki-kakinya. Matanya yang berwarna biru laut menatap Dimas dengan lekat seakan menunggu jawaban. Raji pun menatap Dimas sambil menggaruk garuk kepalanya yang mulai terasa gatal akibat ketombenya menggeliat kepanasan. Seakan Dimas adalah pusat semua hal dari keberadaan mereka, terlihat jelas sekali bahwa anak laki-laki yang bernama Dimas itu benar-benar memimpin kedua temannya. Setiap percakapan seakan selalu diarahkan dan menunggu jawaban serta persetujuan Dimas.

Dimas nyengir mendengar keributan dua rekannya, giginya yang berbaris rapi dengan lesung pipit di sebelah kanan membuatnya tampak sangat menarik walaupun dalam cucuran bulir-bulir keringat yang deras mengalir meluncur di kedua keningnya. Seperti sudah terbiasa dengan keributan kecil itu dan terbiasa bahwa dialah yang harus menjadi penengah bagi keduanya, Dimas memandang gantian kepada kedua temannya. Wajahnya terlihat kental dengan wajah orang Jawa, berbeda dengan kedua temannya yang memiliki wajah tidak sama dengan kebanyakan penghuni asrama.

“Kau memang mencuri waktu mulai lebih awal Pafi, tapi kau juga memang masih terlalu lambat Raji, sebenarnya kau tidak tertinggal jauh pada saat awal, tapi kau sempat berhenti tadi, dan itu yang membuat Pafi bisa mengalahkanmu” Dimas seperti tahu cara membuat dirinya tidak berpihak kepada siapapun diantara kedua temannya. Matanya kembali menatap kedua temannya yang sudah siap kembali saling menyerang. Tetapi aksi mereka tiba-tiba saja terhenti oleh langkah tiga orang anak laki-laki yang lebih besar dan lebih tinggi dari mereka. Satu anak laki-laki berjalan paling depan diikuti dua lainnya. Wajah mereka terlihat angkuh dan menatap merendahkan. Langkah mereka berhenti persis di hadapan Dimas yang sedang duduk bersebelahan dengan Raji dan Pafi yang berdiri di sampingnya. Tangannya yang bertolak pinggang dengan tatapan yang seakan menjijikan, tersenyum sinis kepada kedua temannya yang berdiri di belakangnya.

“Ah…kumpulan Belanda kampung rupanya.” Kata seorang yang paling besar menyapu pandangannya bergantian kepada Dimas, Raji dan Pafi.

“Bagaimana kau menambah hidungmu biar kau lebih mirip Belanda, Dimas, atau ganti saja namamu dulu menjadi Van Der Boer ha..ha..ha..” Ketiga anak-laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. Dimas tetap tenang, tetapi Pafi sudah mulai mengerutkan alisnya. Matanya mulai melotot seakan sudah siap mencerna tiga orang di depannya yang dua kali lebih besar darinya. Raji sendiri menunjukan ekspresi wajah yang sangat membenci ketiga anak laki-laki di depannya. Kertakan rahangnya sudah begitu mengeras menahan amarah yang amat sangat.

“Dan kau Raji, kau tinggal mewarnai rambutmu saja dengan tahi burung dan membaluri kulitmu dengan sagu, ha..ha..ha…” Kata anak lelaki yang bertubuh paling besar. Raji yang sejak tadi sudah begitu merah padam tak mampu lagi menahan ledakan amarahnya, tak lagi dipikirkan badan lawannya yang lebih besar dari dirinya. Berusaha bangkit tetapi Dimas yang menyadari keadaan segera menariknya kembali duduk dan Raji menoleh ke Dimas dengan wajah kesal.

“Jangan Raji, tidak ada gunanya dan kita punya hal yang lebih penting daripada berkelahi dengan mereka” Dimas berbisik kepada Raji mencoba meredam amarah Raji yang tampak sudah berasap di kepalanya.

“Ayo..Raji, kau ingin berkelahi, kenapa Raji…kau takut ? ha..ha.ha. Lihat Mik, Nip, Raji ketakutan ha..ha…”

“Raji…petok…petok…petok…Dia tidak berani kepadamu Aryo, ha…ha..ha..” Sahut kedua temannya

“Kami tidak ingin membuat keributan Aryo” Dimas mencoba menyudahi acara ejekan itu.

“Kami tidak ingin membuat keributan Aryo” Anak lelaki yang dipanggil Aryo menirukan kalimat Dimas dengan nada mengejek.

“Saatnya nanti, giliranmu Dimas, Ayo kita tinggalkan Belanda kampung ini” Aryo menunjukan telunjuknya kemudian terus berlalu yang diikuti oleh kedua temannya.

Berjarak lima meter setelah ketiga anak laki-laki itu berlalu, sebelum mereka memasuki pintu gedung asrama, tangan Pafi bergerak membuat sebuah lambaian ke arah mereka dengan wajah mengejek. Tiba-tiba anak laki-laki yang berada di belakang Aryo menggerakan tangannya dan menepak kepala belakang Aryo.

“PLAAAKKK”

Aryo membalikan wajahnya dengan wajah merah padam, “Kau sengaja memukulku Nip, kau ingin aku hajar” Anip yang tidak sadar akan gerakan tangannya sendiri menggigil ketakutan.

“Ah..a..aku tidak sengaja Yo, aku tidak tidak sengaja, maafkan aku” Tangan Aryo mencengkram kerah baju Anip yang berusaha menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya agar tidak terkena bogem mentah Aryo. Sesaat kemudian Aryo melepaskan cengkramannya dan balas menepak kepala Anip yang merengkut ketakutan. Aryo menatap balik ke arah Dimas, Pafi dan Raji yang tertawa cekikikan dan kemudian tiba-tiba berhenti saat melihat tatapan Aryo yang penuh marah.

Aryo dan kedua temannya berlalu, sementara Raji tak kuasa menahan tawa mereka langsung meledak terbahak-bahak.

“Bagaimana kau melakukannya Pafi ?” Raji bertanya apakah yang dilihatnya hanya sebuah kebetulan atau karena ulah Pafi. Dimas menatap Pafi menegaskan pertanyaan yang sama yang ditanyakan Raji kepadanya. Pafi hanya mengangkat bahunya mendapatkan tatapan seperti itu dari Dimas dan Raji.

“Entahlah, tadi aku hanya bermaksud mengejek, mungkin gerakan si Anip itu hanya kebetulan saja” Jawab Pafi. Dimas sedikit mengernyitkan dahinya. Dirinya yakin sekali bahwa gerakan yang dilakukan Pafi tadi mengakibatkan tangan Budi memukul kepala belakang Aryo.

“Bisakah kau melakukannya lagi ?” Tanya Raji dengan senyum yang terlihat puas setelah melihat kejadian tadi.

“Sudahlah, aku yakin Pafi pun tidak tahu jawabannya, lebih baik jangan kita persoalkan lagi masalah tadi” Kata Dimas berusaha menyudahi pembicaraan yang membuat Pafi bingung. Dimas tahu apa yang dirasakan Pafi seperti ketika dia merasa seperti mengetahui sesuatu tetapi tidak ada yang bisa diingatnya. Walaupun banyak pertanyaan yang mungkin sama dengan yang dipikirkan oleh Raji tetapi akhirnya pertanyaan yang bermunculan dikepalanya tidak dilanjutkannya. Dimas kembali larut ke dalam suasana keakraban yang kembali tercipta setelah sejak tadi Raji dan Pafi hanya bertengkar mengenai perlombaan lari mereka. Kejadian tadi membawa hikmah juga rupanya kepada persahabatan mereka, kalau dalam urusan berhadapan dengan gengnya Aryo, mereka berdua menjadi kompak.

Memasuki ruang tengah asrama suasana disambut oleh langit-langit yang menjulang tinggi yang ditopang enam pilar batu segi empat yang penuh dengan ukiran dengan kubah di atasnya. Dikelilingi dinding-dinding batu-batu hitam dengan relief-relief dan ukiran seni. Pada langit-langit yang melengkung setengah bulat tampak barisan bintang-bintang berwarna keemasan berjajar seperti lengkung busur. Di kedua sisi ruangan terdapat dua tangga batu menuju lantai dua yang dibawahnya terdapat koridor ke ruangan-ruangan lain. Mulai lantai dua sampai lantai empat merupakan bangsal tempat tidur para penghuni asrama. Sebelah kiri adalah bangsal khusus putra sedangkan di sebelah kanan adalah bangsal putri. Lantai dua diperuntukan penghuni asrama yang berusia di bawah 10 tahun, Lantai tiga untuk yang berusia 11 – 15 tahun, lantai empat untuk yang di atas 15 tahun.

Puluhan anak-anak tiba dan dalam sekejap memenuhi ruangan. Semua berjalan menuju kamar masing-masing. Dimas, Raji dan Pafi pun ikut bersama-sama menuju kamar mereka. Dimas dan Raji berbelok ke kiri ke bangsal putra berpisah dengan Pafi yang mengambil arah ke kanan di bagian bangsal putri. Kemudian Dimas dan Raji menaiki tangga menuju lantai dua dan tiga dimana letak bangsal mereka berada pada lantai tiga.



Kamar menjadi tempat favorit bagi Dimas. Bagi Dimas kamar menjadi tempat yang begitu nyaman untuk membebaskan diri dari semuanya. Berbeda dengan Raji yang langsung tergeletak setiap melihat kasur dan bantal, Dimas lebih suka memilih memandang hamparan ladang di belakang asrama.

“Aku senang sekali sewaktu tadi melihat Anip menepuk kepala Aryo, hahaha…apalagi saat Anip begitu ketakutan kena bogemnya Aryo. Jarang-jarang kita dapat kesenangan seperti itu.” Kata Raji dengan wajah yang begitu gembira di atas tempat tidurnya. Dimas diam saja tak menyahut, sementara anak-anak yang lain satu per satu keluar dari bangsal. Setiap siang setelah pulang sekolah, semua anak-anak asrama makan siang bersama.

Setelah yakin semua anak-anak lain telah meninggalkan bangsal, Dimas baru bergerak pindah dari pinggir jendela. Raji sangat paham dengan kebiasaan sahabatnya ini kalau dia merasa ada hal yang tidak ingin orang lain mendengarnya selain mereka berdua.

“Aku melihat yang terjadi terhadap Aryo tadi menambah deretan keanehan yang mulai kita temui dan rasakan sejak bulan purnama seminggu yang lalu.” Kata Dimas.

“Dan purnama kemarin itu bertepatan dengan hari kelahiran kita menurut kalender bulan.” Kata Raji.

“Kita tidak boleh menceritakan kejadian aneh yang kita alami belakangan ini sampai kita bisa memahami apa yang sedang terjadi.” Kata Dimas. Tiba-tiba suara aneh keluar dari perut Raji.

“Wah, weker ku sudah bunyi nih, ayo kita makan.” Kata Raji yang segera bangkit dari tempat tidurnya. Dimas juga sudah merasakan perutnya begitu keroncongan mengangguk setuju.

Ruang makan telah penuh dengan anak-anak asrama saat Dimas dan Raji berjalan masuk menuju meja perasmanan yang sebagian besar sudah nyaris kosong. Raji dengan sigap mengambil semua sekenanya, tetapi gerakannya melambat setelah melihat tatapan mata Ibu Asrama yang melotot melihat gerakan sapu jagatnya Raji. Dimas hanya tersenyum ringan melihat kelakukan sahabatnya. Setelah cukup mengambil makanan ke dalam piring, mereka berdua pun bergerak menuju sebuah deretan meja panjang sambil mencari-cari tempat yang masih kosong. Sebuah tangan melambai memberi arah kepada mereka berdua, ternyata Pafi telah menyiapkan dua tempat kosong untuk mereka.

“Kalian terlambat, kemana saja kalian ?” tanya Pafi sambil terus mengunyah makanannya. Dimas segera duduk di samping Pafi diikuti oleh Raji.

“Kami tadinya mau langsung ke ruang makan, tetapi ada sesuatu yang menahan kami” kata Dimas setengah berbisik sementara Raji langsung menyantap makananannya dengan lahap. Pafi segera berhenti mengunyah dan mengernyitkan wajahnya. Tetapi sebelum sempat bertanya lagi, Dimas sudah melanjutkan ceritanya.

“Kau tahu pintu yang tiba-tiba muncul di dinding di dalam ruang belajar, tadi kami mencoba melewatinya lagi. Herannya tidak ada satu tanda pun menunjukan adanya sebuah pintu tambahan. Kami berusaha mencari tahu bagaimana caranya agar pintu itu bisa muncul kembali, karena itu kami agak terlambat kesini.” Kata Dimas sambil tetap berbisik.

Mereka berusaha agar pembicaraan tidak terdengar oleh yang lain. Tetapi pembicaraan segera berhenti jika ibu asrama sudah mulai memperhatikan gerak gerik mereka. Nyai Janis kepala asrama tampak sangat penuh curiga melihat pembicaraan mereka bertiga yang begitu tertutup. Nyai Janis adalah seorang berkebangsaan Belanda. Nama aslinya adalah Madame Janice tetapi dia lebih suka dipanggil Nyai Janis, seorang perawan tua berumur 45 tahun. Nyai Janis sangat baik terhadap semua anak-anak tapi sangat tegas terhadap pelanggaran peraturan asrama. Selain kepala asrama ada pegawai lain yang tinggal bersama mereka yaitu pengurus kebun pak Narso, juru masak mbok Sirah, mbok Sinem, mbok Sinten, dan mbok Sirem. Selain urusan masak dan kebun, semua kegiatan perawatan asrama dilakukan sendiri oleh seluruh penghuni asrama.

Akhirnya Dimas menghentikan pembicaraannya dengan segera menyantap makan siang mereka yang sudah mulai kelihatan kering. Segera setelah menghabiskan makanan segera meninggalkan ruangan makan. Berusaha menyelinap agar keluarnya tidak diawasi oleh Nyai Janis. Dimas, Raji dan Pafi berjalan menyelinap ke koridor di lantai satu dimana letak ruang belajar berada. Ruangan tersebut dihubungkan oleh lorong yang langsung menuju bangunan kantor yang terpisah dari bangunan utama. Pada ruang belajar terdapat dinding yang satu-satunya tidak memiliki jendela.

Ketiganya bergerak menuju ruang belajar dengan menampakan tingkah yang wajar agar tidak dicurigai oleh orang lain. Sesampainya di dalam ruang belajar yang juga termasuk ruang perpustakaan terdapat sebuah dinding. Pada dinding tersebut hanya terdapat lukisan setinggi pintu bergambarkan sebuah pemandangan gunung kembar Bromo dan Semeru. Dimas dan kedua sahabatnya terus memandangi dinding.

“Kenapa pintu itu tidak muncul ya….” Dimas berpikir keras mencari perbedaan yang mungkin terlewat antara situasi saat dirinya bisa melihat pintu tersebut muncul dengan keadaan sekarang.

“Ada orang menuju kemari, ayo segera pergi dari tempat ini” Pafi segera bergerak menuju rak buku berpura-pura mencari buku. Dari arah pintu muncul beberapa anak perempuan yang segera menyapa Dimas begitu melihat. Dimas hanya tersenyum dan segera mengalihkan perhatiannya kepada buku-buku yang tersusun rapi di raknya. Ruang perpustakaan segera saja ramai dengan anak-anak asrama yang akan mengerjakan tugas sekolah mereka. Dimas, Raji dan Pafi segera meninggalkan tempat. Tetapi ketika baru beranjak keluar dari ruangan, Raji yang lebih awal bergegas keluar menabrak sesuatu yang lebih besar di depannya. Raji terpental balik ke belakang hingga terduduk di lantai, sementara yang di tabraknya tetap tegak berdiri. Dimas dan Pafi segera berhenti menyadari apa yang terjadi.

“Kau ingin berkelahi denganku Raji ?” Aryo maju satu langkah di hadapan Raji yang sedang terduduk di lantai meringis.

“Dia tidak sengaja menabrakmu Aryo,” Dimas berusaha menjelaskan sambil menghalangi Aryo dari Raji. Tetapi Aryo yang sejak lama menanti kesempatan untuk mendapat alasan untuk berkelahi tidak mau mendengar alasan yang diberikan oleh Dimas. Sementara Pafi membantu Raji bangkit.

“Kau ingin mengantikan dia untuk berkelahi denganku Dimas ?” Aryo menarik kerah baju Dimas yang berukuran lebih kecil dari Aryo. Dengan reflek Dimas mencengkram tangan Aryo berusaha menahan badannya yang ikut terangkat oleh tarikan tangan Aryo.

Aryo tidak melanjutkan gerakannya, tubuhnya diam tak bergerak seperti patung. Dimas dengan leluasa melepaskan diri. Anip dan Amik yang berada di belakang Aryo langsung petantang-petenteng tanpa sadar dengan apa yang terjadi dengan Aryo.

“Mampus kau sekarang, mau lari kemana lagi ?” Anip berkacak pinggang sambil tersenyum penuh kemenangan menatap Dimas. Tetapi dia menjadi heran ketika menoleh ke wajah Aryo yang terdiam kaku dengan tatapan mata yang kosong.

“Yo….yo…” Anip mengguncang-guncang pundak Aryo. Tetapi Aryo tetap diam tak bergerak. Amik dan Anip terlihat panic, mata mereka segera saja beralih kepada Dimas yang sudah mundur satu langkah dari tempatnya. Tiba-tiba Aryo seperti ketakutan, ekspresi wajahnya begitu tegang.

“Ah…. Jangan…jangan…” Aryo tersadar dengan sebelumnya mengigau, tangannya menepis-nepis udara kosong di atas kepalanya seakan sedang menghalau sesuatu.

Cengkraman Aryo pada kerah baju Dimas terlepas dan Dimas melepaskan pegangannya pada tangan Aryo. Tanpa banyak bicara lagi Dimas pergi diikuti Raji dan Pafi yang masih penuh tanda tanya dengan yang terjadi pada Aryo. Sepanjang mereka berjalan mereka bertiga membicarakan yang baru saja terjadi pada Aryo.

“Apa yang telah terjadi padanya tadi ?” Pafi bertanya tanpa mengarahkan kepada siapa dia mengajukannya.

“Aku sendiri tidak tahu, dia tiba-tiba saja dia terdiam membeku setelah aku berusaha melepaskan cengkramannya” Dimas juga tampak bingung.

“Hal tadi mirip dengan yang terjadi tadi siang sewaktu kita baru pulang sekolah” kata Raji yang cukup mengamati.

“Maksudmu mirip ?” Tanya Pafi agak bingung

“Iya, Pafi menggerakan tangan yang secara otomatis juga menggerakan tangan Anip, tapi Pafi sendiri tidak merasa melakukan apapun yang membuat Anip menggerakan tangannya. Begitu pula dengan Dimas, tidak merasa melakukan apapun sehingga Aryo begitu ketakutan.” Raji menjelaskan cukup panjang.

Ketiganya kembali terdiam merenungkan apa yang baru saja terjadi kepada mereka. Semua kejadian aneh ini mulai terjadi sejak hari ulang tahun mereka yang ke 13 kemarin termasuk pintu misterius yang tiba-tiba muncul di dalam dinding ruang belajar.

“Lebih baik kita kembali melanjutkan rencana kita hari ini untuk memanen jagung bersama pak Narso” kata Dimas memecah kehening mereka. Kedua sahabatnya segera saja menyetujui dan bergegas menuju kebun di belakang asrama. Hamparan ladang yang sering dipandangi Dimas dari balik jendela bangsal. Barisan tanaman jagung yang masih muda tapi siap panen untuk jadi jagung bakar sangat menggoda siapapun. Dimas berjalan santai di antara tanaman-tanaman sayur yang mengelilingi huma di pinggir ladang.

“Selamat sore pak Narso” Pafi menyapa seorang lelaki tua yang sedang duduk di tengah huma sedang asyik menghisap cangklong tembakaunya yang langsung tersenyum melihat kehadiran tiga anak yang sudah sangat dikenalnya.

“Selamat sore anak-anak, ayo duduk dulu disini” Pak Narso menggeser duduknya dengan tangan yang tetap memegang cangklongnya. Dimas, Pafi dan Raji segera mengambil duduk di sebelah pak Narso. Tak lama kemudian datang beberapa anak-anak asrama lainnya yang ikut serta panen itu.

“Wah nak Inung bawa pasukan rupanya ya” Pak Narso menyapa seorang gadis kecil berkulit coklat dengan mata yang agak besar dan rambut yang dikepang kuda.

“Iya nih pak, siapa yang bisa menolak undangan panen jagung dari pak Narso.” Kata Inung. Satu per satu anak-anak yang datang bersma Inung menyapa pak Narso.

“Baiklah langit sore tampaknya sudah mulai sejuk, kita bisa mulai panen hari ini” Pak Narso bangkit dan mengambil beberapa ani-ani dan bakul.

“Kita harus berbagi tugas, yang laki-laki memotong bongkol jagung dengan ani-ani, sedangkan anak perempuan mengumpulkan jagung yang telah terjatuh ke dalam bakul-bakul ini, dan perlu dua orang untuk menjadi pengumpul jagung di huma” Pak Narso kemudian menjelaskan bagaimana cara kerja panen dan tanpa banyak kesulitan semuanya sudah mulai bekerja memanen jagung.

Suasana begitu ceria, anak-anak begitu menikmati pekerjaan panen jagung itu sehingga tak terasa keringat telah membasahi tubuh mereka. Raji begitu bersemangat memotong bongkol jagung sehingga kurang berhati-hati dalam mengayunkan ani-ani nya. Tangannya tanpa sengaja tergores daun jagung yang cukup tajam sehingga memberikan luka yang cukup dalam di telapak tangan kirinya.

“Aduh, tanganku berdarah” Raji mengeluh, Dimas dan Pafi yang berada di sebelahnya segera menghampiri.

“Kenapa kau Ji, waduh tanganmu berdarah”

Dimas sibuk mencari sesuatu untuk menutup luka pada tangan raji. Pafi dengan cekatan merobek pinggir kain dari rok yang sedang dipakainya. Tapi sebelum sempat mengikatkannya pada tangan Raji, tiba-tiba saja darah yang mengucur deras dari telapak tangan Raji berhenti dan kembali terhisap ke dalam lukanya. Dimas dan Pafi terbengong melihat telapak tangan Raji kembali bersih dan lukanya kembali merapat tanpa bekas. Raji sendiri tidak percaya dengan terjadi dengannya.

Sebelum sempat bertanya-tanya dengan keanehan yang terjadi pada Raji, seorang anak datang memberitahu mereka bertiga kalau waktu panen telah habis. Dimas, Raji dan Pafi segera saja meninggalkan tempat dengan membawa jagung yang sempat mereka petik. Di dalam huma pak Narso sudah menunggu dengan beberapa anak-anak lainnya sedang menimbang jagung dan memasukannya ke dalam karung-karung.

“Ini sisa panen yang terakhir kami ambil pak Narso” Kata Pafi menyerahkan bakul yang berisi penuh dengan jagung. Bersamaan dengan timbangan terakhir datang mbok Sinem dengan mbok Sinten membawa bakul makanan. Anak-anak bersorak sorai dan tanpa dikomando segera menyantap makanan sebelum menyentuh meja. Semua bergembira, pak Narso hanya tersenyum melihat tingkah anak-anak yang saling berebutan makanan di dalam bakul, membuat mbo Sinem dan mbok Sinten nyaris jatuh terdorong ke sana kemari.

“Eihh…eih…pelan-pelan nak…..jangan berebut” Mbok Sinem berusaha memegang bakulnya dengan erat. Dimas, Pafi dan Raji tak kalah gesit menyerbu makanan yang dipegang mbok Sinem.

“Mmmmhhh, memang pisang goreng buatan mbok Sinem paling enak” Raji memuji sambil mengunyah pisang goreng yang berada di genggaman tangan kanan dan kiri.

Suasana canda tawa mengiringi setiap kelakar yang dikeluarkan oleh Raji. Pak Narso membuka beberapa bongkol jagung muda dan memanggangnya di atas bara api yang sudah dinyalakan sebelumnya. Tak perlu memakan waktu lama jagung-jagung bakar tersebut habis dilalap anak-anak yang begitu gambira. Langit senja sudah mengembang jingga keunguan. Pak Narso meminta semua anak-anak untuk kembali ke asrama.

“Ayo kita kembali ke asrama” Dimas berjalan menuju bangsal utama diikuti oleh Pafi dan Raji di belakangnya. Sementara anak-anak yang lain juga akhirnya membubarkan diri setelah meninggalkan huma pak Narso hanya dengan sisa bakul kosong Mbok Sinem dan Mbok Sinten.

Suasana asrama amat lengang, sebagian besar anak-anak sudah berada di bangsal masing-masing. Dimas kembali ke kamarnya dan menemui beberapa anak sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Dimas merasa serba salah, pikirannya terus teringat dengan hal-hal aneh yang terjadi belakangan ini. Merasa tidak betah dengan situasi kamar yang terlalu ramai, Dimas mengajak Raji untuk keluar dari bangsal.

Taman halaman depan adalah pilihan yang paling menyenangkan baik untuk Dimas maupun Raji, karena saat malam biasanya tidak ada anak-anak yang mau bermain di halaman depan. Anak-anak asrama yang lainnya cenderung bermain di halaman tengah.

Bulan purnama tinggal separuh tampak begitu indah menggantung di antara dua gerbang masuk. Di bale di tengah taman tempat yang akan dituju oleh Dimas dan Raji ternyata telah duduk seseorang. Sinar bulan yang tidak penuh menyamarkan bayangan orang tersebut. Dimas agak ragu mendekatinya, tangannya menahan gerak Raji yang nyaris melewatinya. Orang tersebut membalikan badannya dan sebelum Dimas dan Raji sempat menilik-nilik wajah yang samar itu, sebuah suara yang mereka kenal memanggil.

“Hai Dimas, Raji, rupanya kalian tidak betah juga di bangsal.” Kata suara itu yang tak lain adalah Pafi.

“Eh, ternyata kau Pafi, kami pikir orang lain.” Kata Dimas.

“Ehehehe iya aku berpikir tadinya itu kuntilanak, ternyata gak terlalu meleset, hikhikhik.” Kata Raji cengengesan. Pafi langsung mendelik mendengar perkataan Raji, wajahnya dalam bayangan sinar bulan yang samar kini malah nampak lebih menyeramkan. Bersamaan itu sekelebat angin mendesir kencang nyaris mendorong jatuh Raji dan Dimas ke belakang.

“Wow, angin apa itu.” Kata Raji.

“Sepertinya kita baru saja menyaksikan hal aneh yang baru lagi. Rasanya hal itu sejak tadi sangat mengganjal pikiranku, makanya aku tak bisa tenang di bangsal.” Kata Dimas sambil mengambil tempat duduk di bale-bale diikuti Raji.

“Aku juga merasakan kegelisahan yang sama, aku merasa ada hal yang sangat besar dan kita sama sekali tidak tahu apa yang sedang kita hadapi.” Kata Pafi yang mulai kelihatan wajah pintarnya. Sangat berbeda dari wajah murka yang tadi ditunjukannya.

“Ya, termasuk yang barusan saja kau tunjukan Pafi. Sepertinya kita harus cari seseorang yang bisa membantu kita untuk menyingkap tabir ini.” Kata Raji yang kali ini agak lebih serius.

“Kira-kira siapa yang bisa membantu kita ?” tanya Pafi

“Seseorang yang bisa membantu dan juga bisa merahasiakannya. Orang itu harus orang yang begitu mengenal kita dan kita mengenalnya sangat dekat.” Kata Dimas.

“Siapa ya, Nyai Janis dia terlalu tidak peduli, Guru Kusumo tidak mungkin…” Pafi berpikir keras menyebutkan nama-nama orang yang dikenalnya.

“Pak Narso” kata Raji singkat. Awalnya Raji hanya ingin memulai lagi candaannya, karena menurutnya Pak Narso hanyalah seorang pembantu asrama saja. Tetapi Dimas dan Pafi berpikir sebaliknya.

“Ya betul, pak Narso adalah orang yang tepat yang bisa kita minta bantuan, pengetahuannya mengenai hal gaib. Dia juga orang yang sangat bisa kita percaya untuk bisa merahasiakannya.” Kata Dimas.

“Betul sekali, dan tidak ada seorangpun akan curiga bila kita sering mengunjunginya, karena kita sudah sering mengunjunginya sebelum ini.” Kata Pafi.

“Lho, jadi kalian sungguh-sungguh ? aku pikir tadinya Cuma becanda” kata Raji nyengir kecil. Dimas dan Pafi maklum dengan kelakuan sahabatnya yang satu ini.

“Kapan kita akan menemui pak Narso ?” tanya Raji

“Sebaiknya malam ini juga, semakin cepat kita tahu semakin baik.” Kata Dimas.

“Ayolah kalau begitu!” kata Raji yang langsung bangkit dari bale-bale.

Mereka berjalan mengitari asrama, terkadang mereka menahan suara agar tidak sampai terdengar ke ruangan Nyai Janis. Bila Nyai Janis sampai terbangun, maka akibatnya berakhirlah rencana mereka malam ini. Terus berjalan mengendap-endap menuju sebuah rumah kayu sederhana berbentuk panggung yang terletak di pinggir ladang. Berkas-berkas cahaya tampak keluar dari sela-sela bilik. Samar-samar terdengar suara dua orang sedang bercakap-cakap dari dalam rumah. Dimas, Raji dan Pafi berjalan menaiki tangga dan mengetuk pintu.

“tok..tok..tok…”

“Siapa ya…?” tanya suara seorang perempuan yang terdengar sudah tua. Tak mendengar sahutan dari pengetuk pintu, terdengar suara langkah kaki mendekati pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka dan cahaya lampu teplok menyeruak keluar menyinari wajah Dimas, Raji dan Pafi.

“Selamat malam pak Narso” kata Dimas.

“Selamat malam, oh nak Dimas, nak Raji, nak Pafi silahkan…silahkan masuk.” Pak Narso mempersilahkan masuk ke dalam ruangan yang sangat sederhana. Di dalam ruangan Mbok Sinem istri pak Narso sedang duduk di bale-bale. Wanita tua itu tersenyum dengan sangat ramah dan segera menyambut kedatangan Dimas, Raji dan Pafi.

“Wah malam-malam seperti ini berkunjung, ada keperluan apakah ?” tanya Mbok Sinem. Pak Narso memberi isyarat kepada Mbok Sinem yang dimengerti Mbok Sinem sebagai sebuah permintaan menyiapkan makanan. Mbok Sinem tampak sudah begitu mengerti bahasa tubuh yang dilakukan oleh Pak Narso.

“Silahkan duduk Nak Dimas, Nak Raji, Nak Pafi. Apakah ada sesuatu yang bisa saya bantu ?” tanya Pak Narso. Dimas tampak agak ragu-ragu, sejenak apa yang tadi telah disepakai di bale-bale depan asrama menjadi sebuah keraguan yang begitu besar. Membayangkan sosok lelaki tua yang didepannya yang akan dimintainya pertolongan mengenai hal-hal yang sampai sekarang pun dia belum bisa menyebutkan peristiwanya. Tapi pikirnya kembali mengarahkan matanya kepada pak Narso, toh saat ini memang tujuannya untuk mengetahui hal apa yang sedang mereka alami. Sikutan Raji mendorongnya untuk segera mengambil tempat duduk di sebelah pak Narso. Meja tamu yang sederhana itu Cuma berisi dua kursi sehingga Raji dan Pafi terpaksa mengambil duduk di bale-bale yang tadi diduduki oleh Mbok Sinem.

Pak Narso diam menunggu Dimas menyampaikan maksud kedatangannya. Wajahnya menatap dengan lekat ke arah Dimas yang mulai kebingungan mencari kata untuk memulainya.

“Eh…engg….kami ingin meminta bantuan…. pada Pak Narso.” Kata Dimas dengan susah payah mengeluarkan kata-kata pertamanya.

“Hmm… bantuan apakah yang bisa berikan buat nak Dimas.” Kata Pak Narso dengan pelan dan lembut. Dimas kebingungan lagi mendapatkan kata-kata yang harus diucapkannya. Pikirannya antara ragu dan ingin langsung menceritakannya. Tetapi belum sempat keluar kata-kata dari mulutnya, Mbok Sinem telah datang dengan senampan minuman dan jagung rebus. Rasanya saat itu Dimas merasa terselamatkan sehingga mendapatkan waktu lagi berpikir untuk memulai kalimatnya.

“Silahkan diminum nak tehnya, ayo nak Raji jagung rebusnya diambil ayo.” Kata Pak Narso yang kelihatan sangat mengerti kebiasaan Raji.

“Begini pak Narso, saya, maksudnya kami beberapa hari belakangan ini menemui beberapa keganjilan.” Kata Dimas yang berhenti untuk menunggu reaksi air muka pak Narso tentang kalimat awalnya.

“Keganjilan ? yang seperti apa bentuk keganjilan itu nak Dimas.” Tanya pak Narso. Melihat Dimas yang begitu lambat menyampaikan maksud kedatangannya, Raji menjadi tidak sabar. Mulutnya langsung terbuka dan mengeluarkan kata-kata. Tetapi belum lengkap kata pertamanya keluar dari mulutnya, Pafi membekapnya dengan tangan kirinya. Raji membuka bekapan tangan Pafi yang sudah lebih dulu memberikan gerakan telunjuk di depan bibirnya agar Raji diam. Melihat air muka pak Narso yang begitu tenang dan tidak terlalu kaget memberikan keberanian kepada Dimas untuk meneruskan kata-katanya.

“Keganjilan ini terjadi pada kami pak Narso. Kami tidak tahu bagaimana menyebutnya. Tapi keganjilan antara kami berbeda satu sama lain. Saya tiba-tiba seperti bisa mendengar apa yang sedang dipikirkan oleh orang lain, Pafi seperti bisa menggerakan benda dari jarak jauh, sedangkan Raji tadi sore sewaktu memetik jagung tangannya tergores daun jagung dan berdarah, tetapi luka itu langsung menutup tanpa bekas termasuk darah yang keluar terhisap kembali.” Dimas berhenti memastikan pak Narso memahami apa yang barusan di jelaskannya. Wajah pak Narso tampak berkerut memandang secara bergantian ke arah Dimas, Raji dan Pafi. Seakan sedang menyelami alam pikirannya dan mencoba menembus pandang dengan tatapan mata batinnya.

“Sejak kapan kejadian ini berlangsung nak.” Tanya Pak Narso perlahan.

“Sejak ulang tahun kami yang ke-13 yang menurut hitungan bulan jatuh pada purnama kemarin.” Kata Dimas.

Pak Narso segera menghitung-hitung dengan kedua jari tangannya seakan sedang menghitung suatu angka. Gerakan jari-jarinya yang cepat menutup dan membuka perlahan berhenti diikuti dengan tatapan yang kaget ke arah Dimas kemudian bergantian kepada Raji dan Pafi. Dimas merasakan dadanya berdegup keras. Raji dan Pafi bangkit dari bale-bale mendekati Dimas. Mbok Sinem memegang pundak pak Narso, mulutnya bergetar menganga menatap Dimas.

“Pak…..” katanya Mbok Sinem dengan suara yang bergetar.

“Tenang Mbok.” Kata pak Narso sambil memegang tangan Mbok Sinem yang berada di pundaknya.

“Kenapa pak Narso ?” tanya Pafi. Pak Narso sejenak menatap wajah Dimas dengan tatapan haru, tetapi kemudian matanya ditundukan ke meja. Pak Narso menarik nafas dalam-dalam seakan ada tekanan besar menyesakan dadanya.

“Nak Dimas, Nak Raji dan Nak Pafi telah diberi hadiah istimewa oleh Yang Maha Kuasa. Tidak semua orang mendapatkan berkah seperti yang Anak terima. Menurut ciri-ciri yang Nak Dimas sebutkan, Nak Dimas mempunyai kekuatan yang memberikan kemampuan membaca pikiran dan menguasai pikiran orang lain. Nak Raji mempunyai kemampuan menyembuhkan sedangkan Nak Pafi mempunyai kemampuan menggerakan benda. Semuanya karena sifat anak masing-masing yang menunjukan kesamaan pada empat unsur sumber kekuatan, Bumi, Api, Air dan Angin.” Pak Narso berhenti sejenak.

“Kami masih belum mengerti pak Narso” kata Pafi. Pak Narso tersenyum, matanya kembali menatap Dimas. Tampak sekali tatapan haru yang berusaha disembunyikannya. Dimas bukan saja tidak mengerti apa yang diterangkan oleh pak Narso, tetapi juga makin tidak mengerti dengan tatapan pak Narso.

“Kekuatan manusia tidaklah seberapa, manusia-manusia sakti tidaklah menggunakan kekuatannya sendiri tetapi meminjamnya dari alam. Alam lah sumber kekuatan itu. Bumi, Air, Api, dan Angin adalah empat unsur utama dari wujud kekuatan tersebut. Kemampuan yang dimiliki nak Dimas sesungguhnya mengambil kekuatan yang bersumber dari bumi, sedangkan nak Raji dari Air dan nak Pafi dari Angin. Bagaimana sumber kekuatan tersebut dipilih sangat tergantung dari sifat-sifat alami anak sendiri.” Pak Narso menyudahi penjelasannya.

“Tapi anak semua belum bisa mengendalikannya karena tiap kejadian hanya sebuah kebetulan saja. Belum ada yang benar-benar dilakukan atas kemauan sendiri. Untuk bisa mengendalikannya harus dilatih selayaknya olah kanuragan.” Kata pak Narso. Raji mulai tampak makin tertarik dengan penjelasan pak Narso. Kalau urusan melatih kemampuan berkelahi, Raji sangat tertarik. Apalagi kalau ingat gengnya Aryo dia makin semangat. Matanya sudah berbinar-binar antusias menanggapi pak Narso.

“Tapi tanggung jawabnya sangat besar bila anak sudah mampu mengendalikannya. Hanya boleh dilakukan untuk tindakan kebaikan, bukan untuk menyakiti apalagi untuk membalas dendam.” Kata Pak Narso mengingatkan sambil tersenyum melihat air muka Raji yang merengut.

“Apakah pak Narso bisa mengajari kami untuk mengendalikannya ?” tanya Dimas.

Pak Narso diam sesaat, ada hal yang begitu diperhitungkan olehnya hingga harus berhati-hati benar dalam memberikan jawaban atas pertanyaan Dimas.

“Saya bisa mengajari anak semua, tetapi saya mengajukan syarat yang anak semua penuhi.” Kata pak Narso.

“Syarat apa pak ?” tanya Dimas

“Jika sudah bisa mengendalikannya, anak tidak boleh menggunakannya untuk melukai orang lain dan harus merahasiakannya dari siapapun.” Kata pak Narso. Dimas, Raji dan Pafi saling memandang, seakan harapan mereka persis sama dengan diminta oleh pak Narso. Tentu saja bagi Raji syarat pertama terlalu memberatkan, karena berarti dia tidak bisa mencobanya kepada Aryo.

“Baiklah pak Narso, kami menyanggupinya.” Kata Dimas sambil menengok lagi kepada Raji dan Pafi. Secara bergantian Raji dan Pafi menyanggupi syarat yang diajukan pak Narso.

“Baiklah, sekarang kami akan kembali ke asrama.” Kata Dimas

Malam baru sepertiganya bergulir, langit sangat cerah dengan butiran cahaya bintang yang berserakan bersama bulan separuh. Dimas, Raji dan Pafi meninggalkan rumah Pak Narso. Pak Narso dan Mbok Sinem mengantar hingga halaman depan dan tetap terus berdiri mengawasi sampai ketiganya masuk ke dalam asrama.

------ “””” ------

Hari minggu pagi, Dimas merasa bergairah sekali padahal fajar baru saja menyingsing. Lain dari biasanya Raji pun telah siap dengan beberapa perlengkapannya, hari ini mereka akan memulai latihan pertama bersama pak Narso. Padahal biasanya Raji sangat malas bangun pagi di hari libur seperti hari ini.

“Kau bawa apa saja Ji ?” tanya Dimas keheranan dengan tas Raji yang terisi penuh.

“Hehehe….aku cuman bawa joran, umpan dan singkong bakar yang aku minta dari Mbok Sinten, siapa tahu kita bisa menemukan tempat memancing selesai latihan nanti.” Raji cengengesan. Dimas Cuma menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Apa kau sudah bilang Pafi soal rencana keduamu ini ?” tanya Dimas.

“Untuk apa aku harus tanya dia segala, memangnya dia biro perijinan.” Kata Raji.

“Bukan begitu, kan lebih baik diberitahukan sebelumnya, siapa tahu dia juga punya rencana lain.” Kata Dimas

“Baiklah, nanti aku akan beritahu dia.” Kata Raji yang segera menggendong tasnya. Mereka berdua berangkat meninggalkan bangsal yang masih penuh dengan anak-anak yang terlelap dengan selimutnya. Mereka berdua berpapasan dengan Pafi di tangga menuju lantai dasar. Sesuai pesan Pak Narso bahwa mereka bertiga harus berangkat secara terpisah dengan Pak Narso. Arah yang dituju adalah daerah pinggir hutan yang tidak jauh letaknya dengan dari asrama. Mereka menemukan sebuah bangunan candi yang sudah banyak tertutup oleh tanaman merambat. Burung-burung kutilang berkicauan di cabang-cabang pohon diselingi suara beruk-beruk yang bergerusakan melompati batang pohon. Aliran air terjun kecil dari ujung tebing yang cukup tinggi menumbuk bebatuan yang berserak tak beraturan di kubangan kecil dan mengalirkan airnya ke parit kecil.

“Masuklah ke dalam melalui pintu candi anak-anak.” Suara Pak Narso terdengar keluar dari arah mulut pintu candi. Dimas, Raji dan Pafi mengikuti apa yang diminta oleh Pak Narso. Mereka bertiga menapaki tangga di depan pintu masuk candi. Ruangan candi yang sempit telah diterangi oleh obor yang terpasang didinding ruangan. Pak Narso sedang duduk bersila menghadap pintu masuk.

“Duduklah nak di atas ambalan batu itu, ambilah sikap semadi dan pejamkan mata.” Pinta Pak Narso yang langsung diikuti oleh Dimas, Raji dan Pafi.

“Apa gunanya ambalan ini, mengapa tidak pakai tikar pandan saja, kan dingin kalau duduk di atas batu.” Kata Raji dalam hati.

“Ayo nak Raji, bebaskan pikiran sejenak dari segala pertanyaan.” Kata pak Narso yang seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Raji. Raji mengerutkan alisnya dan mengikuti semua petunjuk.

Duduk di atas ambalan batu terasa aliran dingin mengalir mencengkram seluruh tubuh seakan langsung mengakar ke dalam bumi. Gerakan aliran dingin itu begitu liar seakan membungkus seluruh tubuh yang menjadi gemetaran menahan rasa dingin yang amat sangat. Pak Narso meminta untuk mempertahankan posisi semadi dan membiarkan aliran dingin itu bergerak semaunya sampai muncul rasa hangat yang akan menggantikan rasa dingin.

“Nah sekarang bukalah mata kalian.” Pinta Pak Narso. Dimas, Raji dan Pafi membuka mata mereka. Seakan baru saja mendapatkan siraman air pegunungan yang begitu menyegarkan, Dimas merasakan tubuhnya begitu ringan.

“Anak semua telah melewati tahap awal dari pengendalian kekuatan masing-masing. Sebenarnya kekuatan utama dalam diri kalian telah mulai aktif saat purnama lalu, tetapi belum seluruh pintu terbuka sehingga anak semua tidak bisa mengendalikannya sesuai kemauan, tetapi sifatnya hanya kebetulan saja. Aliran dingin tadi telah membantu untuk membuka sisa pintu yang belum terbuka. Aliran hangat setelah rasa dingin yang dirasakan anak semua merupakan tanda bahwa semua pintu tenaga murni dalam tubuh anak telah terbuka semua.” Kata Pak Narso.

“Apa yang dimaksud dengan pintu-pintu pak ?” tanya Dimas.

“Tubuh manusia mempunyai tujuh titik utama tenaga dalam yang disebut Cakra. Ke tujuh cakra tersebut haruslah terbuka sebelum bisa menyerap maupun melepas energi.” Pak Narso menunjukan bagian-bagian mana yang menjadi titik-titik cakra.

“Jadi apakah dengan sekarang kami dapat mengendalikan kekuatan kami sesuai kehendak kami ?” tanya Raji bersemangat.

“Belum nak Raji, sekarang baru membuka semua hambatan keluar masuknya energi. Untuk mengendalikannya perlu latihan yang cukup, karena menyerap tenaga dari alam yang sangat besar perlu kekuatan diri yang sangat besar pula. Terutama nak Dimas, ada tanggung jawab yang sangat besar yang harus anak mas jalani.” Pak Narso menatap tajam kepada Dimas. Dimas menatap ragu kepada pak Narso.

“Tanggung jawab apa yang pak Narso maksud ? mengapa Cuma saya yang harus menjalaninya ?” tanya Dimas agak gemetaran. Ada getar rasa takut yang menjalar di hati Dimas. Takut karena ketidaktahuan yang begitu besar.

“Saya sendiri tidak tahu apa yang nanti harus nak Dimas jalani, tetapi yang saya tahu nak Raji dan nak Pafi akan menjadi bagian yang sangat penting dalam perjalanan itu.” Kata Pak Narso.

“Hari sudah mulai sore, sebaiknya anak semua kembali ke asrama. Ingatlah janji anak semua agar tetap merahasiakan hal ini dan tidak menggunakannya untuk melukai.” Kata Pak Narso.

“Baiklah pak Narso, terima kasih untuk semua wejangan hari ini. Kami akan patuhi pesan pak Narso.” Kata Dimas seraya bangkit dari duduknya dan mengajak Raji dan Pafi untuk pamit.

Matahari sore sudah diujung puncak pohon, kicauan burung masih menyemarakan sore yang begitu jingga disirami cahaya mentari tua. Bunga-bunga rumput liar masih melambai gembira di tengah silir angin sore yang sejuk. Rencana memancing dibatalkan, rupanya Raji begitu bersemangat untuk segera bertemu dengan Aryo dan gengnya. Ingin rasanya dia membalas Aryo, tapi Dimas terus mengingatkan tentang janji mereka kepada pak Narso. Sedangkan Pafi yang biasanya berlawanan dengan Raji, kali ini dia juga menyimpan keinginan yang sama dengan Raji, menghajar Aryo. Tetapi baik Raji maupun Pafi sangat penurut bila Dimas yang berbicara, seolah ada gema wibawa yang tak bisa diabaikan oleh keduanya. Dimas begitu memimpin kedua sahabatnya, seakan Raji dan Pafi rela mati untuknya. Kesetiaan keduanya seperti sudah mendarah daging, bahkan mereka bertiga seperti sudah terikat sejak lahir.