Tuesday, May 29, 2007

VAIRIVARAVIRA VIMARDANA

Dua ekor Narasimha menyambut kedatangan Dimas, Raji dan Pafi. Tampaknya keduanya telah mengenal mereka bertiga. Auman ringan mempersilahkan ketiganya melewati gerbang. Masuk ke dalam gerbang, Dimas, Raji dan Pafi diantarkan penjaga, ketika sudah sampai di depan lorong tujuh lapis si penjaga berhenti dan mempersilahkan ketiganya masuk. Tanpa ragu Dimas, Raji dan Pafi masuk menembus lapis demi lapis ruangan. Setibanya di tengah ruangan, Bapak Narayala telah menunggu di depan meja batu.

“Ah Dimas, Raji, Pafi duduklah, terima kasih kalian sudah datang” Prabu Narayala mempersilahkan ketiganya duduk. Wajah lelah yang bercampur rasa bersalah dan khawatir begitu jelas terbaca oleh Prabu Narayala. Namun Sang Prabu hanya tersenyum.

“Maafkan kami Bapak Narayala, kami terpaksa melakukannya, in bukan salah Dimas” Pafi memulai pembicaraan. Tapi Bapak Narayala tidak menampakan wajah marah kepada ketiganya, beliau justru Sangat lembut dan sabar.

“Tidak, ini salahku kalau aku tidak terjebak, kalian tidak akan mengambil keputusan itu. Sayalah yang salah Bapak Narayala, maafkan saya” Dimas berusaha membela kedua sahabatnya.

“Melakukan apa ? kenapa harus meminta maaf ? kalian kan melakukan apa yang harus kalian lakukan” Bapak Narayala tetap tersenyum sabar, guratan di dahinya turun naik tertarik oleh alisnya yang memberikan cahaya ramah dari senyumnya yang terus mengembang. Matanya tampak sekali menyorotkan rasa sayang yang besar kepada ketiga anak di depannya.

Mata Dimas walaupun begitu betah memandang sorot matanya yang teduh, tapi tetap saja hatinya merasa bersalah karena telah bertindak bodoh. Lain halnya ketika situasi sedang tidak bermasalah seperti sekarang, Dimas paling suka memandang langsung ke mata Prabu Narayala. Dimas merasa ada begitu banyak kedamaian di sana.

“Apa yang kalian lakukan sudah benar, justru dengan kerusakan yang timbul akibat serangan itu, kita bisa mengetahui kekuatan Pavaratha Pushpaka. Sebelumnya memang aku pernah merasakan kekuatannya, tapi aku belum tahu bagaimana kekuatannya jika Pavaratha Pushpaka di tangan Bangsa Amukhsara. Dan kalian baru saja memberiku pengetahuan itu” Prabu Narayala tetap tersenyum, jawaban itu membuat air muka Dimas, Raji dan Pafi sedikit lega. Tapi mereka masih tak berani kembali buka bicara.

“Selain itu, ternyata serangan kalian Sangat hebat walaupun sebenarnya tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Seandainya Pavaratha Pushpaka itu masih seperti aslinya sebelum jatuh ke tangan Amukhsara, mungkin sudah hancur. Aku yakin sekali Amukhsara juga menyiapkan Pavaratha Pushpaka untuk peperangan kali ini. Paling tidak sebagai pengangkut pasukannya” Prabu Narayala berhenti, mataya memandang ke langit-langit lalu tangannya mengibas ke atas. Dari kepompong emas yang menggantung persis di atas meja pualam itu meluncur cahaya kuning keemasan. Dimas, Raji dan Pafi menegakan badannya. Dari cahaya itu muncul gambar Pavaratha Pushpaka yang sedang diperbaiki.

“Lihatlah baik-baik Pavaratha Pushpaka milik Duta Besar Creatus, nyaris tidak ada bekas akibat serangan kalian tadi. Nah Dimas jelaskan apa yang kau rasakan sewaktu terjebak dengan Pavaratha Pushpaka. Hal ini tidak pernah terjadi pada Pavaratha Pushpaka yang dimiliki bangsa Narapati” Prabu Narayala sekarang menatap Dimas.

“Sewaktu selubung gaib terlepas dan energi saya menyentuh permukaan kulit wahana itu, energi saya seperti tersedot dan saya masuk ke dalam sebuah lubang gelap yang hitam tak berujung, makanya saya berteriak terus karena seperti sedang jatuh dari ketinggian” Dimas berhenti sesaat seperti sedang mengingat sesuatu.

“Apakah ada hal lain yang kau rasakan nak” Prabu Narayala mencoba lebih detail.

“Tidak, sampai saya mencoba menarik kilasan-kilasan apa yang terjadi pada wahana itu. Waktu itu saya berpikir bahwa saya bisa menarik kilasan sejarah wahana itu dan saya mendapatkan hal yang Sangat mengerikan” Dimas terdiam, Pafi dan Raji memandang penasaran tapi tak berani buka mulut. Wajah mereka menunjukan tahu bahwa saat ini Dimas bukanlah obyek pertanyaan mereka.

“Tidak apa nak, jelaskan saja apa yang kau lihat” Prabu Narayala menyakinkan Dimas dengan tenang. Sejenak Dimas ragu, tapi kemudian wajahnya berubah serius.

“Pavaratha Pushpaka itu dilapisi oleh campuran darah, darah dari Garuda Kencana dan Narasimha” Dimas diam tak lagi melanjutkan. Prabu Narayala hanya mengkerutkan dahinya, tetapi Raji dan Pafi langsung melotot dengan mulut menganga terkejut.

“Hmmm ini menjelaskan mengapa banyak Garuda dan Narasimha yang hilang. Beberapa waktu belakangan ini jarang sekali muncul Narasimha dan Garuda Kencana di wilayah barat, padahal jumlah mereka paling banyak berada di sana. Aku sudah mencari tahu dengan penglihatan jarak jauh, tapi tak dapat menangkap apa yang menyerang mereka” Prabu Narayala berhenti sejenak, tangan mengusap-usap janggutnya yang putih keperakan.

“Baiklah anakku, sekarang situasi sudah makin jelas, kekuatan-kekuatan yang mulai dibangun oleh Amukhsara. Narapati perlu melakukan persiapan yang lebih cepat dan aku rasa persiapan itu harus dimulai dari kalian. Setelah lebih dari setahun aku rasa kalian punya cukup bekal untuk melindungi diri kalian, tapi belum cukup untuk menghadapi perang yang sesungguhnya”. Prabu Narayala kemudian bangkit dan menepukan kedua tangannya. Dari arah sudut ruangan yang lain entah dari mana datangnya muncul sebuah pintu. Prabu Narayala mengajak Dimas dan kedua sahabatnya mengikuti menuju pintu itu. Memasuki ruangan bundar berlapis batu hitam yang utuh, lampu kepompong yang berwarna keemasan memendarkan cahaya indah ke seluruh ruangan. Kemudian lantai yang mereka pijak mulai bergerak turun yang makin lama makin cepat. Tak lama kemudian berhenti dimana didepan mereka menganga sebuah lorong bundar, Plat batu yang mereka pijakpun bergerak maju memasuki lorong tersebut dan berjalan dengan kecepatan tinggi.

“Kita akan kemana Bapak Narayala ?” Tanya Dimas. Raji dan Pafi memandangi sekelilingnya dengan decak kagum.

“Sekarang kita berada di lorong bawah tanah yang menembus ke dasar Kuil Cakravartin, Gunung Bromo dan Mahameru hingga ke pantai selatan” Sepanjang perjalanan tangan Prabu Narayala tak henti-hentinya melakukan kibasan-kibasan kecil ke arah dinding-dinding di kiri kanan yang mereka lalui. Setiap kibasan kecil membuat tirai gaib. Melihat tirai-tirai gaib yang begitu berlapis-lapis ditinggalkan oleh Prabu Narayala, Dimas tahu betapa rahasianya tempat yang akan mereka tuju. Pafi dan Raji pun tak berbuat lain selain menutup mulutnya rapat-rapat.
Kecepatan plat makin tinggi, tanpa membutuhkan waktu yang lama mereka akhirnya tiba di ujung lorong yang langsung menghadap ke sebuah ruangan yang Sangat besar berbentuk lingkaran. Menjulang tinggi ke atas dimana di setiap dinding yang bertingkat-tingkat bersandar ribuan Pavaratha Rudra yang sedang dikerjakan oleh ribuan orang. Ratusan Garuda Kencana melayang kesana kemari membawa barang-barang dari satu tempat ke tempat yang lain.

“Ini adalah persiapan Narapati, Creatus Sangat ingin mengetahui dimana kita melakukan persiapan. Tapi semua persiapan ini tak akan ada artinya jika kalian bertiga, terutama kau Dimas tidak siap menghadapinya juga. Oleh karena itu kalian akan tinggal disini untuk mempersiapkan diri kalian”

“Dahulu ini adalah ibukota pertama kerajaan Narapati, sebelum akhirnya pindah ke Medanggana Raya. Naraphala membuat kota di bawah gunung Mahameru karena dia tidak menyukai cahaya”

“Siapa Naraphala, Bapak Narayala ?” Dimas merasakan nama itu begitu Sangat dikenalnya.

“Bukankah Naraphala adalah raja pertama kerajaan Narapati” Pafi mencoba mengkonfirmasi apa yang dia baca dari pustaka sejarah Narapati.

“Hmmmm….sepertinya kau sudah cukup tahu banyak mengenai sejarah Narapati, Pafi” Bapak Narayala memuji. Pafi tersenyum bangga dan masih sempat menebarkan senyum pamernya kepada Raji yang otomatis langsung senyum kecut melihat Pafi tapi tak berani berkomentar seperti biasanya karena ada Prabu Narayala diantara mereka dan itu membuat Pafi makin senang melihatnya.

“Benar, Naraphala adalah raja pertama kerajaan Narapati. Dia adalah kakak kembarku. Tapi dia berubah menjadi jahat dan menjadi Amukhsara dan tidak menyukai cahaya, kerenanya dia membangun kotapraja di bawah gunung Mahameru”

“Tapi tempat kalian untuk mempersiapkan diri tidak disini” Prabu Narayala membawa plat itu bergerak melintasi ruang kubah raksasa itu dan terus menanjak ke atas dan masuk ke dalam lubang bundar yang persis sama besar dengan ukuran bundaran plat, terus bergerak ke atas dan berhenti tepat di sebuah ruangan yang cukup dikenal, Dimas mengenali lengkung relung dan bentuk ruangannya, Catur Bhasa Mandala.

Tepat di ditengah ruangan telah menungggu 7 orang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 3 orang perempuan yang tidak berpakaian prajurit seperti biasanya. Pakaian mereka cenderung Sangat tidak lazim untuk seorang prajurit. Pakaian yang dipakai seperti pakaian rakyat jelata bangsa manusia. Dimas Sangat mengenali jenis pakaian itu. Pakaian yang hanya dipakai oleh para petani atau nelayan. Jenis pakaian rakyat Narapati Sangat berbeda dengan bangsa manusia. Dimas yakin bahwa mereka bukan pula bangsa manusia, tetapi bangsa Narapati. Ketujuh orang itu menghaturkan sembah kepada Prabu Narayala.

“Aku titipkan ketiga anakku ini kepada kalian untuk kalian latih semua yang kalian ketahui dan kalian miliki” Prabu Narayala menatap satu per satu ke tujuh orang tersebut dengan seksama. Ketujuh orang itu serentak memberikan anggukan setuju.

“Baik tuanku Prabu Narayala, kami akan melaksanakan perintah” Ketujuh orang itu kembali berdiri setelah membungkuk hormat secara bergantian kepada Prabu Narayala, Dimas, Raji dan Pafi. Dan satu persatu memperkenalkan nama mereka masing-masing.

“Nama hamba Kriyandita”
“Nama hamba Karyadewi”
“Nama hamba Sukmaratih”
“Nama hamba Jatrapraga”
“Nama hamba Lakunogo”
“Nama hamba Prajamukti”
“Nama hamba Garangjiwo”

“Mereka semua adalah anggota dari pasukan khusus Narapati bernama Varavairivira Vimardana, meraka berada di bawah pimpinan Kerthapati, aku rasa kalian pernah bertemu dengan Kethapati sebelumnya.” Tak lama disebut namanya oleh Prabu Narayala, Kerthapati muncul dari balik dinding memberikan salam. Dimas teringat pertemuan mereka di puncak kuil Cakravartin. Kerthapati termasuk ke dalam kelompok Pahom Narendra – Bathara Sapta Prabhu.

“Mereka yang menjadi inti dari pasukan Narapati. Berlatihlah bersama mereka selama satu purnama. Kerthapati, sekarang Dimas, Raji dan Pafi akan berada di bawah pengawasanmu. Jaga mereka dengan nyawamu” Prabu Narayala memberikan perintah. Kerthapati berlutut dan memberikan sembah kepada Rajanya.

“Terima kasih atas kepercayaan paduka kepada hamba. Hamba akan jaga amanat paduka dengan taruhan nyawa hamba” Kerthapati bangkit dari berlututnya kemudian membungkuk hormat kepada Dimas, Raji dan Pafi yang dibalas serupa oleh ketiganya.

“Aku akan tinggalkan kalian bertiga disini” Prabu Narayala memberikan salam kepada semuanya yang membungkuk hormat.

“Selamat datang ke pasukan khusus Narapati” Kerthapati menyambut

“Terima kasih paman Kerthapati” kata Dimas.

“Apakah kami akan mulai sekarang ?” Tanya Raji dengan semangat dan tak sabar memulai.

“Hari ini kita tidak akan melakukan latihan apapun, hari ini raden bertiga akan saya ajak berkeliling dahulu” Kerthapati memberikan isyarat tangan kepada ke tujuh prajuritnya. Ke tujuh prajuritnya melakukan gerakan mengusap wajah mereka masing-masing. Seketika wajah mereka berubah menjadi berlainan usianya.

“Nah raden bertiga juga harus melakukan malih rupa dan mengganti pakaian dengan pakaian bangsa manusia. Hamba yakin raden bertiga sudah terbiasa dengan pakaian bangsa manusia.” Kerthapati menyodorkan tiga pasang pakaian kepada Dimas, Raji dan Pafi. Wajah sumringah keluar dari wajah Dimas, Raji dan Pafi.

Persiapan telah dilakukan, wajah Dimas telah berubah, begitu juga Raji dan Pafi. Kerthapati menempatkan masing-masing pada kelompok yang berbeda. Dimas dan Raji ditempatkan bersama sebagai kakak beradik dengan Kerthapati sendiri yang telah merubah dirinya menjadi orang tua separuh baya. Pafi bersama Sukmaratih sebagai pengemis nenek dan cucunya. Karyadewi dan Prajamukti berpasangan sebagai sepasang pedagang. Lakunogo dan Garangjiwo sebagai dua pemuda desa pengembara. Sedangkan Jatrapraga dan Kriyandita berperan sebagai sepasang kekasih. Semuanya telah berwajah berbeda.

“Baiklah sekarang tujuan kita adalah Benteng Jagamandala Amangku Bhumi di Merapi. Kita masing-masing akan ke sana dengan cara yang berbeda-beda. Jarak kita tidak boleh lebih dari seratus langkah. Kalian semua harus mengamati semua kejadian dan warta yang kalian lihat dan dengar di sepanjang perjalanan.” Mendengar perintah pimpinannya ke tujuh prajurit itu segera menyebar tanpa banyak bertanya lagi. Dimas melihat kecerdasan semua anggota pasukan khusus Narapati itu dari gerak dan ketangkasan mereka dalam bergerak. Semua berjalan turun menapaki tangga kuil kemudian bergerak ke arah barat. Perjalanan darat di dunia Narapati yang belum pernah dirasakan oleh Dimas sebelumnya walaupun terasa berat namun begitu menyenangkan. Menembus hutan menjumpai hewan-hewan aneh, melewati bukit dan gunung-gunung, desa-desa mandiri yang belum pernah dilihat sebelumnya.

“Paman…” belum Dimas melanjutkan perkataannya Kerthapati sudah memotongnya.

“Ingat Raden, pada saat ini kita sedang menyamar sebagai ayah dan anak, Raji adalah adik Raden. Nama Raden bukanlah Dimas tetapi Banu dan Raji sekarang hanya dipanggil dengan nama Karto. Sedangkan saya adalah ayah dari Banu dan Karto. Raden jangan sampai lupa” Kerthapati menjelaskan sekali lagi apa yang telah diberitahukannya di kuil Caturbhasa Mandala.

“Baiklah pam…ayah, Banu mengerti” Dimas mengangguk tersenyum. Kerthapati pun ikut tersenyum melihat Dimas mengerti maksudnya.

Terik siang matahari Sangat menyengat di puncak musim kemarau. Pohon-pohon jati yang mereka lalui semuanya sudah meranggaskan daunnya untuk bertahan dari kekeringan. Tampaknya musim sekarang benar-benar Sangat panas, ada sesuatu yang lain yang membuat bumi ini terasa lebih panas dari yang biasanya.

Secara bergantian mereka tiba di sebuah desa di kaki gunung Lawu. Rumput-rumput yang menguning diantara pangkal-pangkal pohon jati tanpa daun terlihat begitu indah diterpa matahari sore yang bulat telur. Hamparan sawah yang tidak seberapa luas menunjukan jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak. Terlihat hanya beberapa rumah khas bangsa Narapati yang memiliki atap limas segi enam yang mengerucut ke atas seperti bangunan joglo. Atap yang terbuat dari tanah liat bakar yang dicampur aksen kayu. Keseluruhan badan bangunan terbuat dari kayu dengan pengerjaan yang Sangat halus mencerminkan kemajuan kemampuan dan teknik pengolahan hasil alam. Di depan rumah tertambat burung-burung tunggangan yang memiliki sayap pendek. Kentara sekali dari bentuk tubuhnya yang memiliki kaki yang Sangat tinggi dan tubuh yang kekar pada bagian punggung dan sayap yang pendek. Burung-burung tersebut bukan tunggangan untuk terbang, melainkan tunggangan untuk di darat. Burung Galapaksi demikian nama burung darat tersebut.

Tanpa ragu-ragu Kerthapati memasuki gerbang desa yang terbuat dari bata merah setinggi dua kali orang dewasa. Dalam suasana mentari sore, tampak beberapa orang masih bekerja di depan rumah mereka masing-masing merapikan hasil kebun dan hutan yang telah mereka kerjakan pada pagi dan siang hari. Senyum ramah keluar dari semua wajah yang begitu segera saja akrab dan sumringah melihat kedatangan Kerthapati.

“Kakang Karjo, selamat datang kembali ke desa kami” sambut seorang lelaki yang masih muda menyongsong kedatangan Kerthapati, Dimas dan Raji. Kerthapati tersenyum gembira orang tersebut menyambutnya, sedangkan Dimas dan Raji masih memperhatikan situasi.

“Iya Projo, aku sedang dalam perjalanan menuju barat bersama kedua anakku ini. Ayo lek, kenalkan ini paman Projo yang tempo hari memberikan tempat istirahat buat ayah” Kerthapati mendorong Dimas dan Raji ke depan. Dimas menyodorkan tangannya lalu diciumkan ke keningnya, demikian pula Raji sambil menyebut nama masing-masing.

“Ini kedua anakku yang tempo hari aku ceritakan padamu Projo, mereka tak sabar melakukan perjalanan ini setelah aku menceritakannya. Rupanya mereka memiliki jiwa petualang” kata Kerthapati.

Projo terlihat senang dengan sopan santun yang ditunjukan Dimas dan Raji. Akhirnya lelaki muda itu mengajak Kerthapati, Dimas dan Raji untuk mampir ke rumahnya. Keramahannya terkadang sungguh Sangat membuat jengah baik Dimas maupun Raji. Tetapi Kerthapati terlihat sudah terbiasa dengan keramahan yang kelewat Sangat itu. Di dalam rumahnya istri Projo, Nyai Narsih langsung sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk tamunya.

“Bu…bune, kita kedatangan tamu istimewa, kakang Karjo datang lagi bersama kedua anak-anaknya, tolong siapkan makanan yang enak-enak ya” Projo terlihat seperti Sangat bangga mendapat kunjungan dari Kerthapati. Dimas menangkap hal itu dari nada suara dan keramahan yang ditunjukannya. Dimas merasakan ada yang pernah ditunjukan Kerthapati begitu dikagumi oleh Projo. Hanya saja Dimas belum mendengar cerita mengenai perjalanan Kerthapati sebelumnya ke tempat ini.

“Mari kakang, silahkan duduk” Projo mempersilahkan Kerthapati duduk diikuti Dimas dan Raji. Projo terus sibuk memeriksa persiapan yang sedang dilakukan istrinya di dapur. Tak lama kemudian kembali ikut duduk bersama dengan tamunya.

“Kelihatannya langit di barat agak merah ya” Kerthapati memulai pembicaran yang agak berbeda dan lebih serius dari sekadar basa basi tadi.

“Betul kang Karjo, seperti banyak burung-burung merah di udara” Projo mempertegas apa yang disampaikan oleh Kerthapati. Dimas dan Raji masih tampak bingung dengan apa yang dibicarakan kedua orang itu. Mereka berusaha mereka-reka apa yang sedang mereka bicarakan.

“Dimana burung-burung merah itu bersarang Projo, aku Sangat ingin melihat mereka” Kerthapati bertanya sambil menengok dan tersenyum ke arah Dimas dan Raji.

“Kabarnya setiap gelap mereka bersarang di ujung kulon, kicauannya Sangat khas di malam hari, kakang akan dengan Sangat mudah mengenalinya” Projo menjawab, kemudian matanya bergantian kepada Dimas dan Raji. Seperti mengerti pandangan yang diberikan oleh Projo, Kerthapati tersenyum kepada Projo.

Dimas mengamati isyarat dari bahasa wajah yang dilakukan oleh Kerthapati dan Projo. Dimas menangkap aliran telepati yang sesekali dilakukan keduanya. Walaupun Dimas Sanggup membacanya, tapi Dimas merasa tidak perlu untuk menguping pembicaraan telepati itu. Dirinya sudah cukup tahu siapa Projo sebenarnya.

Tak lama kemudian Nyai Narsih istri Projo datang dari dapur membawa makanan. Sebakul nasi, ikan goreng dan sayuran menantang mata Raji yang sedari tadi sudah mengelus perutnya. Dimas tersenyum melihat sedikit gerakan tangan yang dilakukan sahabatnya, hal sudah biasa dan lumrah baginya. Kerthapati merasakan getaran udara yang mengalir di perut Raji, tangannya segera meraih makanan yang sudah diletakan di dipan kayu. Tindakan Kerthapati tentu saja mengurangi rasa canggung Raji untuk juga ikut mengambil langkah yang sama. Dengan tersenyum dan gaya khas cengengesannya membuat semua orang ikut tertawa.

“Ayo nak, jangan sungkan aku yakin kau sudah Sangat lapar setelah perjalanan jauh” Projo mempersilahkan Dimas yang masih tampak sungkan mengambil makanannya.

Suasana makan yang diselingi dengan banyolan Raji membuat suasana makin meriah. Malam pun tak terasa merasuk ke dalam sela-sela waktu. Tetapi di tempat yang lain, Pafi dan Sukmaratih tengah kedinginan di pinggir perbatasan desa dengan setumpuk kayu yang sudah menjadi bara api. Tak seperti Dimas dan Raji, Pafi harus menjalani penyamaran sebagai pengemis dan semua resikonya. Tetapi tampaknya tidak ada rasa kecewa dengan apa yang dijalaninya. Wajahnya yang telah dirubah tetap membinarkan sinar cerah di matanya. Pafi sibuk membalik-balik daging burung hutan yang tadi sore ditangkapnya dipanggang di atas bara api.

“Katri, waspada” tiba-tiba Sukmaratih melakukan gerakan tangannya agar Pafi waspada.

“Ada apa nek” Pafi bertanya lembut seolah sedang berbicara dengan neneknya

“Ada tamu tak diundang” Sukmaratih menggeser duduknya mendekati Pafi.

“Apa yang akan kita lakukan nek ?” tanya Pafi setengah berbisik.

“Kita tidak akan melakukan apapun, tapi tetap waspada dan siap menerima serangan” Sukmaratih membisikannya lewat telepati. Pafi tidak memiliki kemampuan dalam berbicara secara aktif melalui telepati. Pafi hanya berbicara secara pasif jika ada seorang telepati aktif mengajak berbicara dengannya. Dalam kewaspadaan mereka, dari balik rumpun semak yang sudah mengering muncul Jatrapraga dan Kriyandita.

“Permisi, boleh kami bergabung dengan kalian ?” Kriyandita bertanya seolah mereka tidak saling mengenal.

“Oh….silahkan nak, senang sekali kalau ada teman” Sukmaratih menjawab juga seolah baru mengenal mereka. Pafi yang menyadari siapa yang datang, kembali melanjutkan membakar daging burung yang sudah mengeluarkan aroma Sangat menyenangkan.

“Nek, ini daging bakarnya sudah matang” Pafi menyodorkan satu tangkai kayu yang terikat daging burung bakar ditengahnya.

“Mohon maaf tuan, nona, kami tidak mempunyai cukup daging bakar untuk dibagi bersama kalian. Tadi kami hanya menangkap dua ekor saja” Sukmaratih menggigit daging bakarnya sambil melirik Kriyandita dan Jatrapraga yang sudah kelihatan kelaparan. Sukmaratih hanya tersenyum melihat ekspresi Kriyandita yang agak kesal.

“Kakang Garpo sayang, bisakah kau carikan aku daging burung untukku ?” Kriyandita menyandarkan tubuhnya ke badan Jatrapraga yang sedang asyik duduk di hadapan api unggun menghangatkan badannya. Melihat aksi dan gerakan yang dilakukan oleh Kriyandita, Sukmaratih melotot tajam kepada Kriyandita.

“Oh..kalian ingin berburu burung di malam seperti ini, tadi nenek melihat ada banyak sarang burung di pohon randu itu. Kalau kau beruntung, mungkin selamat dari patukan ular berbisa” Sukmaratih menunjukan arah dimana pohon randu itu berada dengan wajah yang Sangat tidak suka terhadap Kriyandita kemudian membuang mukanya jauh-jauh dari pemandangan mesra itu.

Pafi melihat nada suara yang Sangat berbeda dari Sukmaratih kali ini, ada getar marah yang tertahan di sana. Melihat aksi mesra yang dilakukan oleh Kriyandita dan Jatrapraga, mulailah Pafi mengerti apa yang sedang terjadi dan hanya tersenyum kecil. Pafi mulai meraba-raba perasaannya sendiri, ada getar marah yang juga pernah dia rasakan ketika melihat seseorang sedang berdekatan dengan perempuan lain. Tapi apakah getar marah itu hal sama dengan apa yang dilihatnya sekarang. Pikirannya menerawang jauh mengenai siapa yang menjadi sumber getar marahnya. Tapi segera ditepisnya pikiran itu, hatinya mencoba menasehati dan memberikan alasan-alasan bahwa dirinya masih terlalu hijau untuk mengerti apa yang dipikirkannya sekarang. Lamunannya segera terpecah ketika sebuah suara menegur dari orang di sebelahnya.

“Katri, kalau kau sudah selesai mungkin sisa makananmu bisa kau taruh di tepi api unggun. Siapa tahu ada yang akan menghabiskannya malam ini” Sukmaratih meletakan sisa tulang-tulang makan malamnya di tepi api unggun. Kemudian beranjak sedikit menjauh dari api unggun dan menggelar kainnya untuk tatakan tidur bersama buntalan pakaian yang digunakan untuk alas kepala. Pafi melakukan hal yang sama dengan Sukmaratih, meninggalkan Kriyandita yang tersenyum kecut. Tetapi kelihatan sekali Jatrapraga menjadi kikuk menghadapi situasi ini. Situasi itu membuat Jatrapraga terjaga sepanjang malam, bingung memikirkan keberadaannya di antara dua perempuan yang sekarang berada di hadapannya.

Pagi begitu cerah menghujamkan kehangatannya ke pucuk-pucuk daun berhiaskan dinginnya embun pagi. Burung-burung Galapaksi yang ditambat di depan rumah sudah memekikan suara-suara riang dengan kepakan sayapnya. Menyambut para majikan memberikan makanan kepada mereka. Namun keriangan para Galapaksi ternyata bisa menutupi pekik kesakitan seekor Garuda Kencana yang mengepak-ngepak lemah di tengah sawah yang tengah menguning. Pekik yang Sangat khas itu tentu Sangat dikenal oleh Kerthapati, dengan segera dirinya meninggalkan beranda rumah Projo. Kopi panas yang terhidang tak lagi dipedulikannya. Dimas dan Raji mengikuti Kerthapati dari belakang bersama Projo.

Tergolek lemah dengan sayap yang terluka mengeluarkan darah berwarna biru kehitaman, darah yang telah tercemar racun. Tampak bekas-bekas pertarungan yang hebat dari luka-luka yang tergores di sekujur tubuhnya. Kerthapati mendekati Garuda yang memekik semakin lemah.

Bagi Dimas pekik lemah itu bukan hanya sekadar pekikan tanpa arti, tapi sebuah kalimat yang sedang diucapkan, bahkan Raji yang bisa berbicara dengan Garudanya tidak akan mengerti pekikan Garuda lain. Dimas memang mampu berbicara dengan hampir semua binatang. Pekikan lemah itu dibalas oleh Dimas dengan telepatinya dan Kerthapati merasakan getar telepati yang dilakukan Dimas ketika berbicara dengan hewan itu.

Kerthapati mendekati kepala Garuda yang tergolek lemah itu dan tangannya diletakan di kepala Sang Garuda dan melafalkan sesuatu dengan mata terpejam. Sejenak kepala Kerthapati tersentak ke belakang seakan ada hal yang membuatnya tertarik ke belakang. Tangannya yang menyentuh kepala Garuda itu tetap ditahannya. Tangannya yang semula biasa saja kini mulai menonjolkan urat-urat darah kebiruan yang semakin lama semakin menghitam. Wajah Kerthapati terlihat menahan rasa ngeri yang luar biasa, kemudian berangsur normal seiring dengan menutupnya mata Garuda itu untuk selamanya. Kerthapati membuka matanya, urat-urat darahnya kembali mengempis dan kulitnya kembali cerah.

“Bagaimana kakang Karjo, apa yang terjadi dengan Garuda ini” Projo mendekat ke sisi kiri Kerthapati sambil berusaha memeriksa seluruh tubuh Garuda itu. Dimas tampak berusaha menahan kesedihannya walau matanya tampak mulai berair sambil tangannya berusaha mencoba mengangkat kepala Garuda itu ke atas pangkuannya. Tak ada satu pun yang mengerti arti pekikan lemah yang sedari tadi dikeluarkan oleh Garuda tadi kecuali Dimas.

“Tampaknya Garuda ini habis berkelahi dengan seekor Naga Jalatunda, tapi kali ini rupanya Garuda ini menemui lawan yang lebih kuat” Kerthapati memberikan kesimpulan.

“Aku hampir tidak mendapatkan apapun dari ingatan terakhir Garuda ini. Racun yang bercampur dalam darahnya mengacaukan semua ingatannya. Akupun sempat nyaris terkena racun gaibnya, kalau tidak ada pertolongan tadi” Kerthapati melirik Dimas yang masih berkaca-kaca. Melihat mata Kerthapati beralih kepada Dimas, Projo mengikuti tatapan itu dan tersenyum kepada Dimas. Raji mengikuti semua pembicaraan dan tampak cukup mengerti dengan yang dimaksud oleh Kerthapati.

“Bagaimana, akan kita kuburkan dimana Garuda ini” Projo bertanya kepada Kerthapati.

“Kita harus mengambil sisa darahnya” Dimas berkata singkat. Semua yang berada disitu terkejut mendengar apa yang diucapkan Dimas. Kerthapati yang sempat merasakan getar telepati yang dilakukan Dimas dengan Sang Garuda segera mengerti apa yang tadi Dimas bicarakan dengan Sang Garuda.

“Betul, kita harus mengambil sisa darah Garuda ini agar tidak ada yang mempergunakannya untuk tujuan tidak baik. Sekalian darah ini untuk kita teliti kandungan racunnya” Kerthapati menguatkan pernyataan Dimas.

Segera saja Projo mengambil kantung-kantung ember kulit dari rumahnya. Kerthapati kemudian mengibaskan tangannya, tubuh Garuda itu terangkat ke udara dengan menggantung terbalik. Pada bagian bawah kepalanya Projo meletakan kantung-kantung ember kayu yang dilapisi kulit menampung darah yang mengalir. Kerthapati melakukan gerakan kecil mengarah pada bagian leher Sang Garuda, sebuah luka cukup besar menganga dari leher Garuda itu. Darah segarpun mengalir dengan deras memenuhi satu ember kulit. Setelah tetes terakhir kemudian Dimas tanpa ragu memindahkan isinya ke dalam kantung kulit besar.

Kemudian mereka melakukan upacara penguburan buat jasad Sang Garuda seperti layaknya penguburan bangsa Narapati. Garuda Kencana dan Narasimha memang tidak dianggap lagi sebagai binatang semata oleh bangsa Narapati, tetapi sudah dianggap memiliki kedudukan yang sama. Dari kejauhan Pafi dan Sukmaratih mengawasi dari kejauhan. Jatrapraga dan Kriyandita tak tampak bersama mereka. Pafi terlihat sekali ingin menghampiri Dimas dan Raji. Tapi urung niatnya karena ingat akan penyamaran yang sedang dilakukannya bersama Sukmaratih.

“Mereka sedang apa nek” Pafi bertanya.

“Oh…mereka sedang melakukan upacara penguburan, tampaknya ada seekor Garuda Kencana yang mati” Kata Sukmaratih.

“Dari mana nenek tahu kalau yang sedang mereka kubur itu seekor Garuda Kencana” Pafi bertanya lagi.

Sukmaratih hanya tersenyum, “Makam seekor Garuda Kencana selalu berbentuk segitiga, lihat saja. Kau tidak mendapatkan pelajaran ini di kuil ?” Sukmaratih menunjuk ke arah makam yang sedang diatur rapi dan ditaburi kembang hutan oleh Projo.

“Tidak, mungkin belum. Aku baru mendapatkan pelajaran mengenai keberadaan hewan-hewan gaib saja. Belum sampai kepada hubungan dan sejarahnya dengan bangsa Narapati” Pafi menjawab yang walaupun dengan wajah yang berbeda sekali, tetapi tetap sinar cerdas dari matanya memancar. Sukmaratih Sangat mengenali aura cerdas itu dan mengingatkan dirinya saat masih belajar di kuil Cakravartin. Sukmaratih tampak Sangat menyukai Pafi.

“Apa yang terjadi dengan Garuda itu ?” Pafi bertanya penuh rasa ingin tahu.

“Tidak tahu, Garuda Kencana tidak pernah mati dengan penuh luka seperti itu kecuali saat perang. Garuda binatang yang Sangat pandai bertempur. Satu-satunya musuh alami Garuda adalah Naga Jalatunda dan biasanya Garuda selalu unggul dalam setiap perkelahian dengan Naga Jalatunda” Sukmaratih menjelaskan kepada Pafi.

“Naga Jalatunda ? bukankah itu naga tunggangan bangsa Amukhsara” Pafi mengamati wajah Sukmaratih, mencoba meneliti perubahan wajah tua itu. Mata Sukmaratih menyipit, Pafi merasakan ada getaran halus mengalir dari tubuh Sukmaratih meluncur menuju Kerthapati. Pafi menyimpulkan Sukmaratih sedang melakukan komunikasi telepati dengan Kerthapati. Pafi melakukan hal sama dengan tujuannya kepada Dimas.

“Dimas, apakah kau mendengarku” Pafi berkata dalam hati. Mendengar panggilan Pafi, Dimas segera berkonsentrasi dan menundukan kepalanya.

“Ya aku dengar, kau ada dimana sekarang Pafi” Dimas berkata juga dalam hati, wajahnya tetap ditundukan ke tanah untuk menyembunyikan apa yang sedang dilakukannya. Tampaknya tak ada satupun mengetahui apa yang dilakukan Dimas.

“Aku berada tidak jauh darimu, aku masih bisa melihat kalian dari tempatku, tapi aku tidak bisa mendekat, karena penyamaran ini tidak boleh terbongkar” Pafi menjawab Dimas.

“Betul, kalau banyak orang berkumpul dengan perbedaan yang terlalu mencolok akan banyak menimbulkan kecurigaan.” Dimas melirik sejenak ke arah Kerthapati yang masih tepekur di depan makam.

“Apa yang terjadi pada Garuda Kencana itu ?” Tanya Pafi.

“Kau sudah tahu rupanya kalau yang dimakamkan ini Garuda Kencana. Dia mati keracunan setelah bertarung dengan Naga Jalatunda. Dia adalah Garuda yang sempat ditangkap dan melarikan diri dari tahanan Amukhsara” Dimas memejamkan matanya sejenak, memeriksa kalau-kalau ada pencuri dengar.

“Maksudmu Garuda memberitahumu dimana tempat persembunyian Raja Sanaisbin ?” Pafi bertanya dengan mata yang agak terbelalak. Seketika petir menyambar sesaat setelah Pafi menyebutkan nama Raja bangsa Amukhsara itu. Sukmaratih terkejut dengan perubahan cuaca yang mendadak itu, matanya menatap Pafi dengan tajam.

“Ayo lekas kita tinggalkan tempat ini, tempat ini sudah tidak aman” Sukmaratih menarik tangan Pafi yang sudah terputus dari telepatinya dengan Dimas.

Kerthapati segera bangun dari tepekurnya mendengar petir yang tidak wajar di pagi yang cerah. Cuaca yang tiba-tiba mendung membuatnya bangkit.

“Lebih baik kita tinggalkan tempat ini, tampaknya hujan akan segera turun” Kerthapati berkata kepada Projo. Projo hanya mengangguk mengerti dan mereka pun segera meninggalkan tempat kembali menuju rumah Projo.

Kerthapati memutuskan untuk melanjutkan perjalanan lebih awal dari sebelumnya. Tanpa banyak mengundang perhatian banyak penduduk desa tersebut, Kerthapati, Dimas dan Raji segera meninggalkan desa tersebut. Projo tampak cemas dengan keberangakatan mereka. Wajah Dimas tetap menyiratkan luka yang dalam yang tampak jelas bagi Kerthapati. Kerthapati tahu bahwa Dimas menyimpan keterangan yang Sangat penting baginya. Keterangan yang selama ini selalu berusaha dicarinya dan selalu menemui kegagalan. Tapi Kerthapati tahu dia tidak bisa menanyai Dimas hal itu sekarang. Sekarang yang diperlukan adalah bagaimana keluar dari desa itu secepat mungkin.

“Mengapa kita harus meninggalkan desa ini ?” Raji bertanya kepada Kerthapati.

“Kita Sangat dekat dengan perang penentuan dunia Narapati. Kita harus menyimpan semua yang kita tahu tentang perang ini sampai kita sampai ditempat yang aman” Kerthapati menatap kepada Dimas yang mengangguk mengerti dengan apa yang dikatakan Kerthapati.

“Buta setelah melihat, Tuli setelah mendengar” Kerthapati menatap bergantian kepada Dimas dan Raji. Raji menoleh kepada Dimas memberikan isyarat untuk memberitahu apa yang dimaksud Kerthapati. Tetapi Dimas hanya tersenyum dan mengangkat bahunya.

Perjalanan dilanjutkan menembus hutan belantara Gunung Lawu yang Sangat lebat ke arah selatan yang penuh dengan batuan putih dan kapur. Rekahan-rakahan tebing berlipat-lipat seperti sebuah permukaan yang mengkerut dalam luasan yang hanya bisa dilihat sejauh mata memandang. Bukit-bukit putih menjulang tinggi tidak seperti gunung kerucut pada umumnya. Jarang sekali pepohonan tumbuh di atas dataran itu, sekilas kilasan-kilasan cahaya aneh terkadang melenting keluar dari permukaan dataran batuan kapur itu, berbeda warna setiap saat. Terkadang sebentuk petir berwarna biru menyambar permukaan tanpa menimbulkan suara ataupun getaran.

“Kita melewati wilayah gunung kidul, daerah ini adalah tempat tinggal mahluk setengah gaib bernama Sethi. Tubuhnya mengeluarkan cahaya terang yang membuat malam hari di daerah ini akan menjadi Sangat berwarna-warni. Mahluk ini termasuk mahluk cerdas dan memiliki banyak kemampuan yang sering diinginkan oleh banyak bangsa, termasuk Narapati dan Amukhsara” Kerthapati berhenti sejenak di sebuah batuan putih besar yang bersandar pada tebing yang cukup tinggi. Di bawahnya mengalir aliran sungai berwarna hijau terang yang berkilauan diterpa sinar matahari siang.

“Apakah karena kemampuan mereka melihat masa depan, sehingga mereka tidak mau membuka diri dengan bangsa-bangsa lain ?” Dimas bertanya kepada Kerthapati.

“Betul sekali” Kerthapati membenarkan jawaban Dimas. Ekspresi Raji yang kelihatan tidak tahu mengenai hal ini membuat Kerthapati tersenyum.

“Kalau kau membaca Bangsa-bangsa yang hidup di dunia Narapati, kau pasti akan mengetahui semua hal mengenai bangsa Sethi” Kerthapati menepuk bahu Raji yang segera saja menggaruk-garuk kepalanya seolah begitu banyak ketombe yang membuat kulit kepalanya gatal-gatal.

“Waduh, Bangsa-bangsa dunia Narapati, jangannya semua hal mengenai mereka, bentuknya saja aku tidak hafal” Raji hanya ngedumel merutuki pelajaran yang dikatakan Kerthapati. Dimas yang melihat tingkah Raji hanya tersenyum maklum dengan perilaku sahabatnya itu yang sebenarnya termasuk anak yang pandai, hanya saja malas sekali membaca.

“Apakah kita akan menemui mereka sekarang ?” Tanya Dimas

“Tidak, kita tidak akan menemui mereka. Kau tentu sudah tahu dari pelajaranmu bahwa mereka bangsa yang tidak akan bisa ditemukan kecuali mereka menginginkan pertemuan dengan kita” Jawab Kerthapati.

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, apakah penting bagi kita bertemu dengan mereka ?” Tanya Dimas kembali.

“Kita hanya akan melintasi wilayah mereka, kalau mereka tertarik dengan kita, maka mereka akan menampakan diri. Pertemuan mereka selalu menjadi penting, karena berarti mendapatkan kesempatan untuk meneropong kejadian-kejadian di masa depan” Jawab Kerthapati. Dimas mengangguk-angguk sambil menyapu seluruh wilayah putih yang mulai diselimuti kabut putih.

“Ayo lebih baik kita tetap berjalan, jangan sampai mereka mengira kita berniat bertemu mereka” Kerthapati melanjutkan langkahnya diikuti Dimas dan Raji yang mulai kelihatan kelelahan karena suhu udara siang di wilayah itu yang Sangat tinggi akibat pantulan batuan kapur. Tidak ada satu pohon pun yang bisa dijadikan perlindungan dari panas dan teriknya sinar matahari. Kerthapati tampak tetap segar seolah tidak terpengaruh sama sekali oleh keadaan cuaca.

“Lihat tiba-tiba kabut muncul, aneh sekali” Raji menunjuk-nunjuk ke arah kumpulan kabut yang menggumpal diantara letupan-letupan sinar berwarna-warni.

“Tenang Raji, kabut itu adalah tanda dari kemunculan mereka. Satu-satunya orang yang pernah bertemu dengan mereka adalah Raja Prabu Narayala. Itulah sebabnya kita punya pengetahuan mengenai mereka” Kerthapati menjelaskan sambil terus berjalan menghindari gumpalan kabut itu. Perlahan gumpalan kabut itu menipis dan muncul beberapa mahluk kecil berukuran setengah manusia dewasa dengan warna kulit keperakan yang memantulkan sinar berwarna-warna seperti letupan-letupan sinar yang keluar dari batuan kapur. Wajah yang mirip manusia dengan mata yang lebih lebar berwarna biru terang tanpa rambut di kepala. Mereka mengenakan pakaian yang Sangat berbeda dengan bangsa Narapati maupun Manusia. Kesemua mata mereka menatap hanya kepada satu tujuan. Kerthapati berhenti dan menggiring Dimas dan Raji berdiri di belakangnya.

“Ada apa bangsa Narapati bermalih rupa melewati tempat ini di hari yang tidak menyenangkan” Kata seorang bangsa Sethi yang berdiri paling depan.

“Maafkan kami, kami sedang dalam perjalanan menuju Benteng Merapi” kata Kerthapati singkat. Kerthapati yakin bahwa bangsa Sethi yang berdiri paling depan itu adalah pemimpin mereka.

“Aneh sekali, bukankah akan lebih singkat perjalanan jika kalian melanjutkan ke arah barat. Mengapa harus memilih jalan memutar ke selatan, apakah kalian menginginkan sesuatu dari tempat ini ?” Pemimpin Bangsa Sethi itu kembali bertanya

“Tidak, kami memilih jalur ini karena jalur yang biasa kami lewati tidak lagi bisa kami lewati. Kami berharap mendapatkan perlindungan disini sebelum melanjutkan perjalanan ke Merapi” Kerthapati mencoba menjawab dengan nada suara serendah mungkin. Kerthapati tahu bahwa dia harus menjawab sebaik mungkin setiap pertanyaan untuk meyakinkan bangsa Sethi. Walaupun sebenarnya bangsa Sethi sudah bisa mengetahui tujuan siapapun melintasi daerah mereka karena kemampuan mereka dalam melihat masa depan.

“Waktu telah membenarkan ramalan itu, Sang penjaga telah datang dan memberikan kehormatannya di tempat ini” Pemimpin Bangsa Sethi mengangkat kedua tangannya ke udara. Seketika suasana panas itu berubah menjadi Sangat sejuk. Tiba-tiba saja muncul pohon-pohon sulur raksasa berwarna hijau menjulang tinggi ke angkasa dan bangunan-bangunan berukuran kecil di sekeliling mereka. Perubahan itu dimengerti sebagai penerimaan bangsa Sethi terhadap tamunya. Pemimpin bangsa Sethi itu maju mendekati Kerthapati.

“Namaku Aruung Nam, aku adalah pemimpin ke 9876 dari bangsa kami. Selamat datang di kerajaan Sethi” Pemimpin bangsa Sethi itu menyilangkan tangan kanannya yang berjari empat itu di depan dada lalu menundukkan kepala.

“Namaku Kerthapati, salam hormat kami dan terima kasih atas undangan ini” Kerthapati balas memberikan salam yang sama. Dimas dan Raji yang sedari tadi berada di belakang Kerthapati menggeser tempat berdiri mereka disamping Kerthapati.

“Ini adalah….”

“Tak perlu dijelaskan, aku sudah tahu siapa mereka berdua” Aruung Nam menghentikan kata-kata Kerthapati. Aruung Nam membungkuk dan memberikan isyarat agar Kerthapati mengikutinya sambil tersenyum lebar kepada Dimas. Dimas tampak canggung dengan senyum itu, dirinya bisa melihat ada pandangan tajam dibalik senyum itu, begitu tajam sehingga terasa menusuk ke dalam dada. Tapi Dimas merasakan ada sesuatu yang lain yang mendorong rasa menusuk itu keluar dari dadanya. Pandangannya menjadi lebih tajam dan menembus masuk ke setiap mata para Sethi yang menatapnya. Dimas merasakan ada ruang dingin di dalamnya. Banyak dari para Sethi itu akhirnya menundukan wajahnya tak Sanggup menahan tatapan balik dari Dimas.

Mereka berjalan di atas hamparan rumput hijau yang segera menjulur tinggi membentuk tapak-tapak pijakan untuk diinjak pada setiap langkah. Dimas dan Raji tampak ragu-ragu melangkah. Tapi akhirnya mereka sampai juga di depan sebuah bangunan sederhana berdinding batu putih.

“Silahkan duduk” Aruung Nam duduk di atas sebongkah batu putih berbentuk kubus yang tampak mengkilat karena sering diduduki. Kerthapati duduk berhadap-hadapan dengan Aruung Nam, sedangkan Dimas dan Raji duduk di samping kiri dan kanan.

Aruung Nam menatap Dimas, tetapi kali ini Dimas merasakan tidak ada rasa yang menusuk tajam dari tatapan itu. Kali ini tatapan mata itu begitu teduh bahkan begitu menaruh hormat.

“Sungguh suatu kehormatan akhirnya kami mendapatkan kunjungan Sang pembawa BUKU KEHIDUPAN” Aruung Nam kali ini tersenyum ramah sekali. Jubah putih dengan penutup kepalanya di buka dan diletakan di sampingnya. Kerthapati tetap diam menunggu pertanyaan demi pertanyaan muncul dari Aruung Nam. Kerthapati tahu bahwa di Dunia Sethi, tamu asing dianggap sopan bila dia berkata setelah mendapatkan sebuah pertanyaan dan menjawabnya dengan penjelasan yang cukup. Bertanya hanya bila sudah dipersilahkan untuk bertanya. Bangsa Sethi tidak mengenal keramah-tamahan seperti yang dilakukan bangsa Narapati. Terhadap sesamanya mereka cenderung berbicara menggunakan telepati. Bahasa verbal Sangatlah jarang digunakan sehingga bangsa Sethi tidak mengembangkan bahasa verbal dalam komunikasi sosial dan budaya mereka. Bangsa Sethi juga bangsa yang amat penyendiri, tidak menyukai pertemuan dengan bangsa lain sehingga mereka amat jarang diketahui. Bangsa Narapati umumnya mengenal bangsa Sethi melalui buku-buku dari ruang pustaka.

“Adakah yang diinginkan dari tempat ini ?” Aruung Nam bertanya, tapi kali ini tidak menatap kepada Kerthapati tetapi mata birunya menatap Dimas dengan lekat. Kerthapati mengerti bahwa saat ini bukan dirinya yang diinginkan oleh bangsa Sethi ini. Dimas lah yang membuat mereka akhirnya bisa bertemu dengan bangsa penyendiri ini.

“Tidak, kami hanya ingin melintas dan mendapatkan perlindungan sebelum melanjutkan perjalanan menuju Merapi” Dimas berusaha tenang dan mengulang jawaban Kerthapati yang diingatnya. Kerthapati dan Raji tampak diam seperti patung. Dimas melihat kedua orang itu sepeti sedang dalam tatapan yang kosong.

Aruung Nam tersenyum melihat Dimas menyadari suatu perubahan yang telah dilakukannya.
“Mereka tidak apa-apa, aku hanya mengentikan waktu” Aruung Nam menunjuk ke arah jendela berbentu bundar dimana seekor burung sedang melayang di depan jendela tanpa mengepakan sayapnya.

“Aku hanya ingin berbicara berdua saja denganmu anakku dan melupakan semua tata krama bangsa Sethi” kata Aruung Nam

“Apakah semua bangsa Sethi dapat menghentikan waktu ?” tanya Dimas

“Tidak, hanya dia yang memiliki kemampuan menembus jauh ke masa depan dapat melakukannya, dan kau anakku adalah salah satunya” kata Aruung Nam.

“Salah satunya ? aku bisa menghentikan waktu, tidak mungkin. Aku tidak mempunyai kemampuan setinggi itu” Dimas tidak percaya dengan apa yang di dengarnya dari Aruung Nam.

“Kau tentu sudah tahu sumber kekuatan terbesar yang bersemayam di tubuh mu. Kau hanya perlu melatih diri untuk menggunakannya. Bahkan kekuatanku pun bagaikan bulir padi dibandingkan yang kau miliki anakku” Mendengar pujian Aruung Nam, Dimas merasakan aliran aneh yang membuat denyut jantungnya berdegup makin kencang. Antara bangga dan takut Dimas merasakan hal itu bercampur aduk. Aruung Nam tersenyum dengan mata birunya tetap lekat ke arah mata Dimas. Tak sedikitpun pandangannya lepas dari gerakan mata Dimas. Terkadang Dimas merasa kikuk mendapatkan tatapan yang begitu terus menerus. Sesekali tatapannya dibuang ke arah lain dan kemudian kembali lagi untuk membuang rasa jengah yang mulai menggumpal.

“Melatihnya ? bagaimana caranya ?” Dimas bertanya

“Aku akan membantumu untuk melatihnya” Aruung Nam menatap Dimas seakan sedang menunggu jawaban yang akan diberikan Dimas. Sementara Dimas seakan sedang bingung diantara jawaban yang akan diberikannya. Dimas merasakan ada keraguan dalam hatinya untuk menerima tawaran yang diterimanya dari Aruung Nam. Aruung Nam merasakan ada keraguan yang muncul di hati Dimas.

“Berapa lama waktu diperlukan untuk melatihnya, karena kami harus berangkat ke Merapi segera” kata Dimas agak cemas

“Hmmm….” Aruung Nam tersenyum mendengar alasan keraguan Dimas.

“Apakah kau begitu cepat lupa anakku, kau akan melatih kemampuanmu untuk menghentikan waktu. Jadi waktu bukanlah masalah buat kita disini” kata Aruung Nam sambil mengerakan jari-jari tangan kanannya yang hanya berjumlah empat di depan matanya. Gemercik cahaya menari-nari di hadapan Dimas lalu mengumpul dan membentuk sebuah lempengan bening yang berputar seperti sebuah pusaran air. Kemudian Aruung Nam berdiri dan menghampiri jendela dimana terdapat seekor burung penghisap madu sedang melayang lambat di depan sebuah bunga. Aruung Nam mengambil burung tersebut dengan mudah lalu membawanya ke hadapan Dimas dimana lempeng pusaran air tadi masih melayang di hadapan Dimas. Aruung Nam meletakannya di atas lempeng pusaran air tadi. Bagaikan tersedot kedalam pusaran air, burung tersebut lenyap. Aruung Nam menunjukan jarinya ke arah jendela dimana tadi dia mengambil burung tersebut. Burung penghisap madu itu sedang bergerak normal dengan kepakan sayap dengan kecepatan tinggi berusaha menghisap madu dari sekuntum bunga.

Aruung Nam mengulurkan tangan kanannya ke arah Dimas. Dengan sedikit ragu yang masih tersisa dalam hati Dimas, tetapi nalurinya berkata untuk menyambut uluran tangan itu dengan tangan kirinya.

“Bagaimana dengan Kerthapati dan Raji?” tanya Dimas

“Mereka tidak akan kehilangan waktu sedikit pun, bagi mereka berdua tidak ada yang berubah kecuali melihat kita sejenak saling bertatapan seperti hanya sekejapan mata” Aruung Nam membimbing Dimas berjalan keluar dari rumah. Suasana langit tidak lagi biru, tetapi menjadi merah seperti darah. Dimas merasakan tubuhnya begitu ringan dan tak berbobot.

“Dimana kita berada ?” Dimas sedikit cemas melihat langit merah di atasnya.

“Kita berada di tingkatan waktu paling atas dimana sekedipan mata di dunia Narapati sama dengan satu setengah hari disini” kata Aruung Nam

“Tingkatan paling atas ? memangnya waktu bisa bermacam-macam ?” tanya Dimas keheranan.

“Waktu menurut urutannya terbagi tiga bagian, masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Tetapi waktu juga terbagi menjadi tujuh tingkatan menurut jenis ruang. Tingkatan waktu dalam Dunia Manusia dan Dunia Narapati adalah sama atau disebut tingkat satu putaran bumi. Pada tingkatan dua waktu berkali lipat menjadi 7 putaran bumi, artinya tujuh hari pada tingkatan kedua setara dengan satu hari pada tingkatan pertama. Demikian pula pada tingkatan tiga berkali 7 dari tingkatan dua, begitu seterusnya sampai tingkat yang paling atas yaitu tingkatan ketujuh.” Aruung Nam berhenti, senyumnya melebar melihat Dimas yang mulai manggut-manggut mengerti apa yang sedang diterangkannya.

“Pada tingkatan ke berapa ruang Dunia Sethi ?” Dimas mulai tampak lebih tertarik dan lebih santai dari sebelumnya.

“Ruang yang diisi oleh bangsa Sethi termasuk ke dalam tingkatan ke dua” kata Aruung Nam, Dimas tampak mengangguk.

“Apakah saya bisa menjelajah ke waktu yang lampau ?” Pertanyaan Dimas mulai makin berkembang. Dimas mulai mengerti arti kemampuan dalam menguasai waktu. Aruung Nam tampak mengerti dengan arah pertanyaan Dimas. Dengan hati-hati sekali Aruung Nam menjelaskan kepada Dimas.

“Pada waktu lampau kau hanya akan bisa melihat apa yang sudah terjadi tetapi tidak akan pernah bisa menghapus atau mengubahnya. Waktu selalu tercatat dalam setiap benda, oleh karena itu kita bisa melihat apa yang pernah terjadi dengan menarik ingatan yang tersimpan dalam benda-benda itu. Tetapi ingatan itu mempunyai masa habis tergantung seberapa banyak sumber tenaga yang tersimpan dalam benda tersebut. Waktu lampau masih bisa kita kunjungi tetapi kita tidak dapat mengubahnya.” Aruung Nam berhenti sejenak sambil terus memandangi Dimas yang mulai menyimak apa yang sedang diterangkan olehnya. Tampak sinar mata yang Sangat bergairah mulai terpancar dari sorot matanya.

“Pada waktu sekarang kita bisa melakukan perubahan apapun yang akan berpengaruh terhadap waktu yang akan datang. Waktu yang akan datang hanya bisa kita lihat tetapi tidak bisa kita kunjungi. Waktu yang akan datang memiliki banyak cabang yang terkadang butuh keahlian dan ketelitian untuk mengetahui cabang yang benar. Akan banyak tipuan dalam setiap cabang waktu di masa yang akan datang. Hanya ada satu orang yang bisa melihat secara jelas cabang mana yang bukan tipuan. Banyak peramal baik dari dunia Manusia maupun Narapati menemukan cabang waktu yang salah, kalaupun benar itu karena kebetulan semata. Tidak ada satu pun manusia yang bisa melihat waktu yang akan datang dengan tepat. Bahkan bangsa Sethi pun sesungguhnya hanya melihat cabang-cabang itu, tetapi tidak bisa menentukan cabang mana yang akan merupakan masa depan yang sesungguhnya” Aruung Nam diam. Dimas melihat ada hal yang sedang dipikirkan oleh Aruung Nam.

“Mengapa anda mau berkenan melatih saya menguasai waktu ?” tanya Dimas penuh rasa penasaran.

“Bangsa Sethi memiliki penginderaan yang Sangat peka terhadap perubahan alam dan tanda-tanda gaib yang diberikan alam semesta. Setiap kali kami menemukan sebuah pertanda yang Sangat nyata dan jelas tapi tidak mengenali artinya, kami akan selalu melakukan semadi untuk bertanya dengan para leluhur kami” Aruung Nam berhenti karena Dimas kemudian memotongnya dengan sebuah pertanyaan.

“Pertanda apa yang telah dilihat, lalu apa hubungannya dengan pertanyaan saya tadi ?” tanya Dimas

“Sebuah pertanda telah ditunjukan oleh langit bahwa akan datang badai gelap yang Sangat mengerikan dari arah utara. Dua bintang saling bertubrukan hingga hancur, Dunia Sethi terguncang hebat nyaris runtuh sebelum akhirnya datang bintang yang lebih bersinar datang meniup semua kegelapan dan mengembalikan semuanya.” kata Aruung Nam sambil berhenti sejenak mengambil nafas cukup dalam. Seakan cerita ini banyak menyerap energinya.

“Leluhur kami memberikan jawaban yang sama dengan apa yang telah terjadi tadi sewaktu kalian melewati wilayah batuan kapur” kata Aruung Nam

“Jawaban ? maksud anda mengenai kedatangan kami ke tempat ini ?” tanya Dimas

“Tidak Cuma itu, tetapi juga mengenai kedatangan seorang anak yang mampu menatap tatapan bangsa Sethi dan membuat bangsa Sethi tertunduk oleh tatapannya” kta Aruung Nam. Dimas teringat mengenai tatapan yang beradu dengan beberapa bangsa Sethi yang sempat membuatnya merasa sesuatu yang aneh tetapi kemudian muncul sesuatu dalam dirinya yang mendorong perasaan tersebut sehingga berbalik menyerang para Sethi tersebut.

“Tidak seorang pun tamu kami atau bangsa manapun yang Sanggup menahan tatapan dari bangsa Sethi. Tatapan tersebut tidak sekadar sebuah adu pandang saja, tetapi pembacaan semua ruang pikiran yang ada di dalamnya. Sehingga kami bisa tahu semua mengenai isi maksudnya” Aruung Nam kemudian menatap tajam ke arah pandangan mata Dimas. Dimas terpaku dengan tatapan tersebut, sesuatu yang aneh terasa mengalir melalui matanya ke dalam rongga kepalanya, dadanya seperti ditusuk-tusuk. Tetapi sebuah aliran hangat menenangkan dadanya dan mendorong aliran asing itu keluar melalui matanya dan terus mendorong hingga masuk ke dalam mata Aruung Nam. Aruung Nam tampak berusaha mendorong balik dengan sekuat tenaganya, tetapi usahanya sia-sia karena dorongan balik yang dilakukan Dimas terlalu kuat, akhirnya Aruung Nam hanya bisa menunduk menghentikan tatapannya.

“Nah, sekarang kau sudah mengerti apa yang aku maksud anakku” Aruung Nam tampak tenang dan mengangkat wajahnya kembali menatap Dimas. Tapi kali ini dia tidak melancarkan serangan seperti sebelumnya.

“Mengapa anda melakukan hal tadi ?” tanya Dimas

“Aku hanya memancing kekuatan yang bersemayam dalam tubuhmu, tanpa kau menyadarinya kekuatan itu sebenarnya telah melakukan pertahanan sendiri. Tapi pertahanan itu sifatnya masih pasif, belum bisa digunakan untuk menyerang. Kekuatan menyerang yang selama ini kau pergunakan datang dari intisari tenagamu sendiri. Dan aku akan membantumu melatih untuk mengaktifkan kekuatan itu.” Aruung Nam dan Dimas segera terlibat dalam sebuah gerakan-gerakan latihan yang Sangat cepat dan ketat. Dunia yang semula hanya berspektrum warna merah, kini berubah dengan warna-warni yang lain yang dipancarkan keluar oleh kilatan-kilatan yang melesat dari tubuh Dimas seperti halnya kilatan-kilatan cahaya yang muncul di daerah gunung kapur.

------- “” --------

Dimas tampak seperti melamun matanya hanya menatap kepada Aruung Nam yang juga sama-sama menatapnya. Raji menyikut pinggangnya, seperti tersadar dari mimpi Dimas mengedipkan matanya dan menengok ke arah Raji dan tersenyum.

“Kau kenapa ?” tanya Raji
“Tidak apa-apa, aku hanya sedikit ngantuk saja” kata Dimas sambil menguap, tetapi matanya melirik kepada Aruung Nam. Tetapi tak ada yang menyadari bahkan Dimas sendiri pun akan perubahan warna matanya. Setiap kedipan matanya sekilatan warna biru yang serupa dengan warna mata Aruung Nam, biru laut sebelum akhirnya kembali ke warna aslinya.

“Kami akan berikan perlindungan dan tempat yang istirahat yang kalian perlukan” kata Aruung Nam singkat.

“Kami ucapkan terima kasih atas kemurahan hati tuan Aruung Nam kepada kami” Kerthapati terlihat senang dengan sambutan yang diberikan oleh Aruung Nam. Dia yakin semua ini karena dia bersama Sang pembawa BUKU KEHIDUPAN.

Kerthapati, Dimas dan Raji tinggal beberapa jam saja di kerajaan Sethi. Tak sedikitpun Dimas menceritakan apa yang telah dilaluinya bersama Aruung Nam di tingkatan waktu ke tujuh. Mereka bergerak menyusuri batas pasir terus ke barat hingga di daerah dataran pasir yang luas bernama parang tritis. Dengan kembali kepada penyamaran mereka terus berjalan dihamparan pasir hitam yang tebal.

“Sepertinya aku Sangat mengenal daerah ini” kata Raji.

Dimas menerawang jauh ke arah selatan yang penuh dengan lautan pasir. Hamparan lembah pasir dengan gugusan bukit-bukit batu membentuk tebing yang mengapit sebuah bentuk bekas aliran sungai yang Sangat besar.

“Bukankan ini laut selatan ?” tanya Dimas kepada Kerthapati.

“Betul jika kalian pergi ke dunia manusia, maka hamparan lembah di bawah sana adalah sebuah lautan.” Kata Kerthapati singkat. Dimas dan Raji manggut-manggut. Sebuah gapura dua tiang yang berbentuk piramida persegi empat bersusun tujuh menjulang setinggi pohon kelapa.

“Itu gerbang perbatasan antara kerajaan Narapati dengan kerajaan Selatan. Kita akan menuju utara dimana Benteng Gunung Merapai berada.” Kata Kerthapati.

“Apa peran penting yang diberikan oleh Benteng Merapi paman ?” tanya Dimas.

“Benteng Merapi adalah benteng pertahanan terakhir Narapati sebelum menembus Medanggana Raya. Jika Benteng Merapi jatuh ke tangan Amukhsara, maka sasaran berikutnya adalah Medanggana Raya.” Kata Kerthapati.

“Lalu bagaimana kalau Medanggana Raya juga jatuh paman ?” tanya Raji dengan wajah yang mulai was was.

“Aku sendiri tidak tahu, hanya Gusti Prabu Narayala yang bisa memutuskan kemana kita akan bergerak” kata Kerthapati yang segera menyudahi pembicaraan itu. Dia merasa pertanyaan kedua anak itu mulai lebih kritis dan kalau salah menjawab maka akan membuka semua strategi Narapati.

Perjalanan dilanjutkan menuju Selatan bukannya ke utara, Dimas dan Raji merasa heran. Berjalan dengan biasa Kerthapati menuju depan gapura perbatasan dan berhenti tetap di antara dua tiang gapura. Seperti sedang menunggu sesuatu, Dimas dan Raji berdiri di samping Kerthapati. Tanpa disadari oleh Kerthapati dan Raji, mata Dimas berubah menjadi biru. Dimas merapalkan suatu mantra di depan gapura itu. Dimas bisa melihat bahwa hamparan lembah dengan tebing-tebing batunya bukanlah sekadar batun yang menjulang tinggi. Tetapi merupakan sebuah kota yang Sangat besar dengan segala kemegahannya. Kendaraan terbang yang melintas lalu lalang di antara bangunan-bangunan tinggi kota itu. Bangunan kota dengan gaya yang Sangat unik dan Sangat berbeda dengan kota Medanggana Raya. Peradaban di kerajaan Selatan tampak lebih maju dari kerajaan Narapati.

“Kita menunggu apa paman ?” tanya Dimas yang sebenarnya berkat latihan yang diberikan oleh Aruung Nam telah dapat melihat apa yang sedang mereka tunggu di gapura itu. Dimas berusaha tidak menunjukan kemampuan itu seperti pesan yang diberikan oleh Aruung Nam.

“Kita menunggu penjaga gerbang untuk membukakan pintu buat kita” kata Kerthapati.

“Pintu ? pintu apa paman ?” tanya Raji yang berusaha menengok sana sini mencari pintu yang dimaksud. Dimas tersenyum kecil dengan tingkah Raji sedang Kerthapati tetap berusaha konsentrasi memandang hamparan lembah di hadapannya.

“Lembah yang di depan kita adalah kota kerajaan Selatan, atau orang jawa bilang Segoro Kidul. Kita tidak akan mampu melihatnya jika tidak dibukakan pintunya oleh penjaga gerbang ini” kata Kerthapati menunjuk jauh ke arah lembah.

“Seperti apa mereka ?” tanya Raji lagi. Dimas tetap diam memandang jauh ke depan.

“Bentuk mereka hampir sama dengan kita, hanya mereka memiliki tanda yang berbeda, telinga mereka meruncing ke atas” kata Kerthapati.

Di hadapan mereka muncul begitu saja dua orang berpakaian hijau-hijau dengan senjata tombak berujung keris. Keduanya memberikan salam kepada Kerthapati yang dibalas Kerthapati dengan salam yang sama.

“Selamat datang di kerajaan Selatan tuan Kerthapati, anda telah ditunggu” kata salah satu prajurit itu.

“Terima kasih prajurit” Kerthapati melangkah diantara kedua prajurit itu diikuti Dimas dan Raji. Begitu mereka melewati gerbang, barulah terlihat semua pemandangan kota kerajaan Selatan yang sejak tadi sudah dilihat oleh Dimas. Warna mata Dimas kembali seperti semula, sementara Raji begitu terkagum-kagum dengan seluruh keindahan kota.

“Wah…bagus sekali kota kerajaan Selatan, sepertinya kota ini lebih maju dari Medanggana Raya” kada Raji bergumam sendiri.

“Betul Raji, kerajaan Selatan memang lebih maju dari Narapati, keberadaan mereka di dunia tengah telah lebih dulu, karena mereka sebenarnya bukan penduduk asli planet ini. Mereka telah datang jutaan tahun sebelum Narapati berkembang menjadi peradaban maju. Bahkan Narapati membangun seluruh peradabannya karena ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh penduduk kerajaan Selatan. Oleh karena itu kita memiliki ikatan yang Sangat kuat dengan kerajaan Selatan. Mereka menempati ruang tingkat ke empat sehingga tidak sama dengan kerajaan Narapati, dimana satu hari di dunia Narapati sama dengan tujuh hari di kerajaan Selatan.” kata Kerthapati. Belum lagi rasa penasaran Raji terucap lewat pertanyaan berikutnya, mereka telah disambut oleh sebuah kendaraan yang berbentuk seperti ikan hiu dengan tempat berdiri di bagian punggungnya. Bahannya seperti terbuat dari batu yang begitu halus diukir dengan bagian mata di kiri kanan yang menyala merah. Seorang prajurit dari kerajaan Selatan bertugas mengendalikan kendaraan tersebut memegang tuas kristal yang erat dipegangnya.

Dimas mulai mengerti dengan perjalanan yang ditugaskan Prabu Narayala bersama para Vairivaravira Vimardana. Bukan hanya mengenal kerajaan-kerajaan lain, tetapi untuk memberikan semangat bahwa Narapati tidak sendirian dalam menghadapi perang ini. Dan hal ini melegakan hati Dimas, bahwa dirinya tidaklah sendirian, tetapi banyak yang mendukungnya dan berusaha melindunginya dari kejahatan Raja Sanaisbin.

Kendaraan itu melesat menembus langit kota berbelok-belok diantara gedung-gedung tinggi dengan kecepatan yang luar biasa. Raji merasakan degupnya makin kencang teringat manuver-manuver yang dilakukannya bersama Jethoraksa.

“Asyik sekali wahana ini, geraknya sama lincahnya dengan Jethoraksa” kata Raji.

“Apa nama wahana ini paman ?” tanya Raji

“Namanya Gandewa, artinya busur panah. Bergerak secepat angin” kata Kerthapati

“Mengapa kita tidak membuat kendaraan seperti ini, tapi malah menggunakan hewan-hewan sebagai kendaraan seperti ini paman ?” tanya Raji penuh semangat.

“Dulu sebelum pindah ke dunia tengah, kita memiliki kendaraan seperti ini, tapi tidak bisa kita bawa ke dunia tengah, karena kristal yang menjadi sumber tenaga wahana ini malah menyedot tenaga dari batu bintang Satuasra yang menyangga dunia Narapati” Kata Kerthapati.

“Batu bintang ?” tanya Raji tidak mengerti.

“Batu bintang yang menjadi sumber tenaga bagi dunia Narapati yang tersimpan di dasar kuil Cakravartin” Dimas menerangkan kepada Raji.

“Oh…eh..hehehe kenapa aku tidak tahu ya ?” Raji cengengesan. Dimas hanya tersenyum melihat ekspresi wajah Raji, dia makin tersenyum ketika ingat jika saja sekarang ada Pafi juga disini.

Tak lama kemudian mereka tiba di tengah kota dan mendarat di depan sebuah bangunan semacam kuil piramida segi lima dengan dua tiang bundar besar yang menjulang setinggi puncak kuil. Di kaki kuil terdapat sebuah bangunan terbuat dari batu marmer putih yang cukup besar. Gaya ukiran dan bentuk bangunan terlihat Sangat indah dan megah yang menjadi kraton kerajaan Selatan. Sebuah kolam segi lima berada di depan kraton dengan pancaran air mancur yang keluar dari patung-patung orang setinggi 2 kali orang dewasa yang sedang mengangkat piramida kecil persegi empat. Pada bagian ujung-ujungnya meluncur dengan kuat air mancur ke tengah kolam. Di bagian tengah kolam terdapat sebuah patung perempuan yang Sangat cantik seperti sedang melayang di atas air.

“Selamat datang Kerthapati ? Salam, selamat datang di tempat kami Gusti, Raji” Niepethin Sonar dan Heritha Radhnana memberi salam. Sebutan gusti membuat Dimas merasa jengah.

“Panggil saja saya Dimas, jangan menggunakan embel-embel lain” pinta Dimas kepada Niepethin Sonar dan Heritha Radhnana. Keduanya mengangguk memberikan hormat.

Dari arah lain rombongan Pafi dan keenam Vairivaravira Vimardana muncul. Senyum mengembang dari wajah Pafi melihat Dimas dan Raji. Tampak sekali kerinduan yang begitu besar dari ketiga sahabat itu ketika bertemu. Dimas tersenyum lebar melihat Pafi yang berlari menghampirinya.

“Dimas, Raji !” Pafi setengah berteriak memanggil Dimas. Tak peduli lagi orang-orang di sekitarnya Pafi berlari.

“Pafi, kau sudah disini. Senang sekali akhirnya bisa berkumpul lagi” kata Dimas.

“Bagaimana perjalananmu ?” tanya Raji

“Menyenangkan sekali, nanti aku akan ceritakan semuanya” Pafi menjawab singkat. Kemudian Pafi kembali beralih kepada Dimas. Raji langsung cemberut melihat Pafi tidak terlalu peduli dengannya. Matanya dialihkan ke arah yang lain, tetapi sesekali melirik ke arah Pafi yang semakin cantik dengan perubahan warna kulitnya yang agak coklat akibat terpaan sinar matahari sepanjang perjalanan.

“Sejak kapan kau tiba disini ?” tanya Dimas.

“Kami sudah tiba kemarin. Kemana saja kalian, kenapa kalian terlambat ?” tanya Pafi balik.

“Kami mengunjungi Kerajaan Sethi dulu sebelum kemari” kata Dimas.

“Bangsa Sethi, wah hebat sekali, bukankah bangsa Sethi Sangat penyendiri dan tidak mau bergaul dengan bangsa-bangsa lain ?” kata Pafi penasaran.

“Kau harus ceritakan semuanya nanti, janji !” pinta Pafi. Dimas mengangguk kemudian melirik Raji yang tampak cemberut melihat perhatian Pafi hanya tertuju kepadanya.

“Mari kita masuk, Kanjeng Ratu telah menunggu di dalam” Heritha Radhnana mempersilahkan semua tamunya untuk masuk. Menanjak menapaki tangga yang Sangat tinggi mereka semua masuk ke dalam ruangan kraton. Di dalam ruangan kraton duduk di singgasana seorang wanita yang Sangat cantik. Dimas melihat wanita itu begitu mempesona, dalam hatinya menebak usianya belum lagi mencapai empat puluhan usia manusia. Wanita cantik itu tersenyum, mata lekat menatap Dimas, seakan tahu apa yang dipikirannya. Wajah Dimas bersemu merah dan menundukan kepalanya. Di depan kiri kanan singgasana para pejabat kerajaan duduk tegak. Ruangan itu begitu besar dan tinggi sehingga terasa kosong sekali. Cahaya kuning teduh memancar memenuhi ruangan dari kristal-kristal yang tergantung di langit-langit ruangan. Cahayanya semakin indah dipantulkan dinding berwarna keemasan yang penuh dengan lukisan. Sampai 20 langkah di depan Sang Ratu, Niepethin Sonar dan Heritha Radhnana berlutut memberikan hormat. Gerakannya diikuti Kerthapati, Dimas, Raji dan Pafi, dan
keenam prajurit Vairivaravira Vimardana.

“Bangkitlah Arya Narapati, kau tidak perlu menyembahku. Kehormatanku atas kedatanganmu wahai pembawa BUKU KEHIDUPAN” Sang Ratu melambaikan tangannya kepada Dimas untuk mendekat. Ragu dengan lambaian itu Dimas menengok ke arah Kerthapati. Kerthapati menganggukan kepalanya meyakinkan bahwa lambaian itu benar hanya untuknya. Niepethin Sonar dan Heritha Radhnana memberi jalan kepada Dimas yang masih ragu-ragu melangkah. Sang Ratu meminta Dimas duduk di samping kanannya, tangan kirinya mempersilahkan Kerthapati, Raji dan Pafi untuk duduk di atas kursi yang berada di kiri depan Sang Ratu sementara keenam prajurit Vairivaravira Vimardana duduk bersila di tempatnya.

“Bagaimana kabar Prabu Narayala, Kerthapati ?” tanya Sang Ratu.

“Gusti Prabu Narayala dalam keadaan baik, beliau menitipkan salam hangatnya untuk Gusti Ratu dan meminta maaf belum bisa mengunjungi kerajaan Selatan” Kerthapati menjawab sambil memberikan hormat kepada Sang Ratu.

“Ah, orang tua itu masih saja suka berbasa-basi” Sang Ratu tersenyum kecil. Raji begitu terpana dengan kecantikan Ratu Selatan, matanya seperti melekat dengan kecantikan Sang Ratu. Sang Ratu tersenyum lembut dan merasakan pandangan yang lekat Raji, kemudian mengarahkan pandangannya kepada Raji.

“Beruntung bagi Sang pembawa BUKU KEHIDUPAN yang mempunyai penjaga yang rela melapaskan nyawa demi keselamatannya.” Sang Ratu mengarahkan kata-katanya kepada Raji.

Pafi menyikut pinggang Raji yang sejak tadi begitu terpesona dan tersentak kaget, wajahnya ditundukan untuk menutup rona merah yang menghiasi wajahnya.

“Jangan menunduk wahai Dwitunggal Janardana yang gagah berani, engkau tidak lebih rendah dari aku. Kemarilah, duduk di sampingku.” Sang Ratu melambaikan tangannya meminta Raji dan Pafi duduk si sebelah kirinya. Raji ragu sejenak, Pafi kembali menyikutnya kemudian bangkit dan pindah dari duduknya setelah anggukan Sang Ratu mengarah kepadanya membuatnya yakin. Raji mengikuti apa yang dilakukan Pafi. Kini Sang Ratu duduk diapit oleh Dimas, Raji dan Pafi.

“Perang Besar akan segera berkobar seperti ramalan bangsa Sethi. Narapati akan menjadi penentu nasib keseimbangan dunia tengah. Kerajaan Selatan tidak bisa hanya berpangku tangan. Pembawa BUKU KEHIDUPAN harus dilindungi bahkan dengan taruhan nyawa sekalipun. Mengantar Sang Pembawa BUKU KEHIDUPAN untuk menemui takdirnya. Hanya Dwitunggal Janardana yang mampu membuatnya bertahan dari tugas berat ini.” Sang Ratu bangkit dari singgasananya.

“Sebarkan ke seluruh rakyat Kerajaan Selatan, kita akan berdiri bersama Narapati dalam perang besar ini.” Kata Sang Ratu dengan suara yang menggema ke seluruh ruangan. Para pejabat dan penasehat yang duduk di kiri dan kanan ikut bangkit.

“Perintah Sang Ratu Kami Laksanakan” kata mereka secara serempak.

“Tinggallah disini selama tujuh hari. Aku sendiri akan memberikan pembekalan untuk Sang pembawa BUKU KEHIDUPAN dan Dwitunggal Janardana” kata Sang Ratu kepada Kerthapati.

“Hamba tunduk kepada perintah Sang Ratu” kata Kerthapati

“Sekarang kalian istirahatlah” Sang Ratu tersenyum. Kerthapati memberi hormat pamit. Dimas, Pafi dan Raji juga bangkit memberikan salam pamit. Mereka diantar oleh Niepethin Sonar dan Heritha Radhnana menuju wisma. Sesampainya di luar kraton, rombongan dibagi dua arah yang berlainan. Kerthapati diantar oleh Niepethin Sonar menuju wisma yang masih dalam lingkungan kraton.

“Dimas, Raji, Pafi mari ikuti saya, kalian akan tinggal di kediaman Sang Ratu.” Kata Heritha Radhnana menunjukan arah kediaman Sang Ratu. Dimas saling pandang dengan Raji dan Pafi tak percaya dengan yang mereka dengar. Kediaman Sang Ratu berada di sisi lain kuil piramida. Hanya dengan berjalan kaki mereka sudah sampai.

“Baiklah, aku tinggal kalian disini. Abdi dalem akan mengantarkan kalian ke tempat istirahat masing-masing. Selamat beristirahat” Hertiha Radhnana memberikan salam hormat kemudian pergi meninggalkan tempat. Kediaman Sang Ratu tampak begitu terbuka tanpa pagar. Seorang abdi dalam perempuan keluar dari menyambut mereka dan mengantar Dimas, Raji dan Pafi ke sebuah ruangan seperti ruang tengah. Abdi dalem itu menunjukan kamar masing-masing kemudian meninggalkannya setelah semua cukup dijelaskan. Raji langsung melompat ke atas kursi panjang empuk yang terletak di tengah ruang tengah. Lampu-lampu yang terbuat dari kristal menempel di dinding ruangan.

“Kira-kira apa yang akan berikan Sang Ratu kepada kita ya ?” Raji tiduran di atas kursi panjang menerawangkan pandangannya ke langit-langit ruangan mencoba membayangkan.

“Dasar penghayal, apapun yang nanti akan diberikan oleh Sang Ratu, tentunya untuk kepentingan kita pada saat perang besar nanti” Kata Pafi. Suasana mulai panas lagi. Dimas begitu merindukan suasana ini, pertengkaran kecil antara Raji dan Pafi. Raji bangkit dari kursi panjang dan duduk menghadap dinding kaca tetap di hadapan kursi yang didudukinya. Hatinya ingin sekali bertanya kepada Pafi tentang perjalanannya, tetapi gengsinya terlalu besar untuk bertanya langsung.

“Bagaiamana perjalananmu, ayo kau sudah janji akan menceritakannya kepadaku” Pafi mendekati Dimas yang ikut duduk di sebelah Raji. Pafi berdiri dengan antusias di hadapan Dimas sambil melihat tangannya di dada. Raji memanyunkan bibirnya meniru gerakan bibir Pafi.

“Aku tidak bertanya kepadamu, kau ceritapun aku tidak akan mendengarkannya” Kata Pafi ketus, tapi hatinya menclos. Ada rasa menyesal, ingin sekali menarik kata-katanya kembali. Tapi gengsinya terlalu besar. Perhatiannya kembali di arahkan kepada Dimas.

“Kalau kau bertanya pun aku tidak akan ceritakan” kata Raji santai.

“Baiklah, tapi sebelum aku ceritakan kau harus ceritakan dulu perjalananmu. Kalau aku yang cerita duluan, maka Cuma kau yang belum tahu. Sedangkan kalau kau yang cerita duluan, kan ada dua orang yang mendengarkan” Kata Dimas sambil melirik Raji yang pura-pura tidak peduli dengan apa yang dikatakan Dimas.

“Baiklah” kata Pafi. Kemudian Pafi menceritakan semua perjalanannya termasuk pergolakan cinta segitiga antara Sukmaratih, Kriyandita dan Jatrapraga.

“Jadi kau sempat melihat ada seekor Naga Jalatunda ?” tanya Dimas. Raji hanya mendengarkan saja, hatinya sebenarnya begitu penasaran yang cerita Pafi tapi gengsinya menahan mulutnya untuk bertanya.

“Bukan hanya bertemu, bahkan kami sempat bertempur dengannya. Naga Jalatunda itu adalah naga yang membunuh Garuda Kencana yang kau temukan waktu itu. Menurut Sukmaratih, Naga Jalatunda itu tidak seperti yang biasanya. Kulitnya begitu kuat dan tahan terhadap serangan kami. Hampir saja kami kewalahan dengan serangannya, akhirnya kami dapat meloloskan diri setelah aku ciptakan badai putting beliung yang melemparnya cukup jauh sehingga cukup waktu bagi kami untuk melarikan diri.” Pafi menceritakan dengan penuh ekspresi ketegangan. Sesekali Raji tampak ikut tegang tetapi cepat ditutupi dengan wajah tidak peduli.

“Bagaimana kalian bisa bertempur dengan naga Jalatunda ?” tanya Dimas

“Kami menyongsong arah yang salah, kami pikir sudah menjauhi ternyata justru menghampiri. Suara naga Jalatunda kali ini sangat kuat sehingga mampu membuat kami tidak mampu bergerak. Untungnya Jatrapraga dan Kriyandita datang tepat waktu membebaskan pengaruh suara naga Jalatunda. Naga Jalatunda menyerang dengan cara melumpuhkan sasaran dengan suaranya, setelah sasaran menjadi kaku tak bergerak serangan langsung baru dilakukan. Sepertinya Garuda Kencana yang mati itu mengalami kesulitan gerak sehingga gerakannya lambat dan mudah diserang. Kalau dengan seorang penunggang mungkin masih dihalangi dengan perisai gaib.” Pafi menyelesaikan ceritanya.

“Perjalananmu ternyata lebih menarik dari yang kami alami” kata Dimas singkat.

“Ayo ceritakan aku ingin mendengarnya, kau kan sudah janji” kata Pafi agak manja kepada Dimas. Raji menatap tingkah Pafi dengan sorot mata yang tajam. Ada rasa tidak suka dengan tindakan Pafi yang begitu manja kepada Dimas. Dimas merasakan aura yang bergejolak tak beraturan dan meledak-ledak keluar dari tubuh Raji tetapi tidak mengerti apa artinya. Tapi Dimas tahu bahwa penyebabnya adalah sikap manja Pafi yang ditunjukan untuknya. Dimas menceritakan semua perjalanannya kepada Pafi tidak termasuk perjalanannya bersama Aruung Nam berlatih di ruang waktu tingkat ke tujuh. Pafi kelihatan begitu antusias mendengarkannya berbagai pertanyaan meluncur dari bibirnya. Raji mengikuti semua pertanyaan-pertanyaan Pafi ada rasa ingin ikut menjelaskan, tetapi gengsi teringat apa yang diucapkan sebelumnya. Matanya hanya memandangi bibir Pafi yang menari-nari bersamaan keluarnya pertanyaan-pertanyaan kritis kepada Dimas. Matanya makin betah saja ditambah kecantikan Pafi dalam warna kulitnya yang merona coklat. Sesekali pandangannya dialihkan ke arah lain jika kepergok mata dengan Pafi. Pafi pun merasakan bahwa Raji sedang menatapnya, tapi tak dihiraukannya. Dimas tahu ada rasa rindu diantara mereka, hanya mereka berdua terlalu gengsi untuk saling mengungkapkan perasaan mereka.

Dalam keasyikan mereka, akhirnya waktu mencairkan kekakuan antara Raji dan Pafi. Mereka terlihat kembali akrab dengan sesekali meluncur kata-kata meledek satu sama lain. Dimas melihat suasana kembali normal, dia ikut menikmati setiap banyolan yang dikeluarkan Raji mengenai semua tokoh yang pernah ditemuinya. Saking asyiknya mereka tidak menyadari kehadiran seseorang dari arah pintu. Sang Ratu muncul dengan pakaian yang lebih sederhana dan ringkas dibandingkan di ruang kraton tadi. Rambut diikat kuda menunjukan lehernya yang jenjang dan daun telinganya yang runcing lentik.

“Selamat malam anak-anak” Sang Ratu menyapa. Seketika mereka berhenti dan berdiri memberi hormat.

“Salam hormat kami Gusti Ratu” kata Dimas. Pafi dan Raji hanya mengikuti dengan gerakan memberi hormat.

“Tinggalkan semua itu, panggil aku Ibu. Aku pikir usiaku pantas dipanggil ibu dan aku anggap kalian adalah anak-anakku.” Kata Sang Ratu.

“Baiklah…i…ibu….ibunda Ratu” kata Dimas agak gugup yang akhirnya menemukan kata yang paling nyaman untuk memanggilnya.

“Sekarang kalian istirahatlah, karena tengah malam nanti kalian harus bangun” Kata Sang Ratu.

“Baik Ibunda Ratu !” Dimas, Raji dan Pafi serentak. Sang Ratu pergi meninggalkan ketiganya yang keheranan. Tidak pernah terbayangkan seorang Ratu pemimpin Kerajaan Selatan yang sangat maju peradabannya bisa begitu santai dan sangat tidak formal.

Waktu istirahat tidak terlalu sulit dilalui oleh Dimas sendiri di dalam kamar yang besar dan penuh cahaya keemasan yang keluar dari lampu-lampu kristal di langit-langit ruangan. Seluruh ruangan seakan memberinya kenyamanan yang dibutuhkannya untuk beristirahat. Kasur yang empuk dan lebar. Dalam nyamannya tidur-tidur ayam, tiba-tiba ada suara ketukan dari pintu.

“Dimas, boleh aku masuk ?” suara Raji dari arah balik pintu

“Masuklah” kata Dimas. Seperti mengikuti perintah pintu terbuka sendiri tanda Raji menyentuh gagangnya. Raji muncul dari balik pintu yang terbuka dengan wajah khasnya yang cengesesan.

“Ayo ikut ke kamarku, kau lapar tidak ?” tanya Raji kepada Dimas yang masih berbaring di atas kasurnya.

“Aku pikir tidak, tapi perutku tidak bisa bohong. Aku memang lapar sekali” Dimas bangkit dari pembaringannya mengikuti Raji kembali menuju kamarnya. Di depan pembaringan kamar Raji telah berjejer meja-meja bundar yang telah berisi makanan. Dimas kaget sekaligus senang dengan semua makanan yang terhidang.

“Bagaimana kau melakukannya ?” tanya Dimas

“Tadi aku secara tidak sengaja melakukannya, habisnya perutku lapar sekali. Paman Kerthapati sama sekali tidak memberikan waktu kita beristirahat. Lalu aku memejamkan mataku sambil memikirkan enaknya makan daging rusa bakar, eh tiba-tiba di atas lantai di pojok sana muncul meja bundar lengkap dengan daging rusa bakar. Hah….Aji mumpung, aku sekalian saja minta makanan yang selama ini aku inginkan. Coba saja pikirkan makanan yang kau inginkan” Kata Raji. Dimas memejamkan matanya memikirkan semangkuk buah anggur. Tiba-tiba di sebelah deretan meja bundar itu muncul lagi sebuah meja lengkap dengan semangkuk besar anggur.

“Kita harus ajak Pafi sekalian makan bersama” kata Dimas bersemangat.

“Kau saja yang memanggilnya” kata Raji agak canggung.

“Baiklah, aku akan memanggilnya dengan telepati saja” Dimas memejamkan matanya sejenak mulutnya berkomat-kamit tidak jelas. Tak lama kemudian Pafi datang ikut bergabung makan besar di kamar Raji.

Tepat tengah malam kabut tebal turun tiba-tiba, udara dingin begitu kencang diluar. Dimas terbangun seakan ada yang menepuk pundak kanannya. Kemudian bergegas keluar kamar menuju ruang tengah. Tak lama Pafi keluar dari kamarnya begitu pula Raji. Kali ini Raji tidak seperti biasanya susah untuk bangun tengah malam, dia terlihat bersemangat.

“Kalian sudah siap ?” tanya Dimas. Pafi dan Raji mengangguk. Mereka bertiga keluar dari ruang tengah menuju ruang utama. Seorang prajurit yang sudah siap di depan pintu memberikan hormat. Dimas dan Pafi terlihat biasa dengan bentuk sang prajurit, tetapi Raji berjengit melihat bentuknya yang berbeda, lagi-lagi karena kemalasan Raji membaca pustaka sejarah. Kulit bersisiknya yang seperti ikan dengan warna hijau ditambah banyak selaput tambahan di antara jari-jarinya membuatnya lebih seperti kadal daripada orang.

“Tuan-tuan ditunggu Gusti Ratu, harap mengikuti saya” kata prajurit itu.

Tanpa banyak tanya Dimas melangkah mengikuti prajurit itu, Pafi dan Raji hanya mengikuti dari belakang. Sebuah wahana Gandewa menunggu di luar kediaman Sang Ratu. Mereka semua menaiki wahana tersebut dan melesat menembus lapisan kabut yang tebal dan dingin. Tiba di sebuah pelataran yang sempit yang juga masih tertutup kabut tebal. Mereka semua turun dengan pandangan yang tertutup kabut. Gandewa yang mengantar mereka pergi melesat begitu saja meninggalkan tempat.Dimas yakin tempatnya sekarang berdiri adalah puncak sebuah bangunan. Dugaannya didasarkan gerakan Gandewa yang terus meninggi, udara yang makin tipis dan suhu yang makin dingin.

Tiba-tiba sebuah serangan datang bersiutan dari segala arah. Bunyinya seperti anak panah yang bergerak cepat ke arah mereka. Pafi dengan sigap memutar kedua tangannya diudara sambil merapalkan mantra. Seketika angin putting beliung berputar-putar melindungi mereka.

“Pafi anginmu tidak cukup kuat untuk menahan kecepatan panah-panah itu” kata Raji.

“Paling tidak aku bisa menghambat dan mengurangi kecepatannya menerjang kita. Kau bantu buat perisai gaib” Kata Pafi.

“Baiklah” Raji menepukan kedua telapaknya di atas kepala lalu menurukan tangannya dengan tegak ke kiri dan ke kanan. Dari telapak tangannya yang terbuka keluar tenaga yang menggumpal lalu menyebar membentuk perisai bola yang melindungi mereka semua.

“Aku akan menyerang balik penyerang-penyerang itu” kata Dimas geram.

Ratusan anak panah melesat, seperti dugaan Raji panah itu bisa menembus perisai angin putting beliung yang diciptakan Pafi, tetapi kecepatannya berkurang dan terpantul oleh perisai gaib Raji. Dimas merapalkan mantranya, tiba-tiba angin yang berputar cepat itu melambat, bahkan anak panah yang melesat kencang itu pun seperti berhenti di udara. Pafi dan Raji terlihat berdiri kaku tak bergerak. Dimas kemudian berputar mengelilingi Pafi dan Raji sambil melontarkan serangan-serangan balik yang tidak mematikan. Matanya sudah berubah menjadi biru terang seperti mata bangsa Sethi yang mampu menembus kabut sehingga dapat melihat jelas letak penyerangnya. Kemudian kembali ke posisi semula berdiri dan menangkap sebuah anak panah yang sedang melayang berhasil menembus perisai gaib Raji dan nyaris menghujam ke dada Pafi. Dimas mengedipkan matanya, kemudian warna matanya kembali normal dan angin kembali berputar cepat dan panah yang hampir menembus Pafi ditangkapnya. Raji dan Pafi terlihat kaget melihat anak panah yang berhasil ditangkap Dimas. Sisa anak panah yang melesat berguguran di udara.

“Pafi, coba kau usir semua kabut ini” kata Dimas.

Dengan sekali gerakan Pafi mengibaskan kedua tangannya sambil merapal mantra. Angin badai berhembus kencang menyapu semua kabut. Perlahan-lahan kabut mulai menipis sehingga terlihat para penyerang yang berada di atap-atap bangunan tinggi yang mengelilingi kuil. Mereka semua dalam keadaan kaku tak bergerak dengan busur panah yang masih terkembang, bahkan ada yang sudah siap melepaskan panah.

“Kau serang mereka dengan apa Dimas ?” tanya Pafi.

“Aku serang mereka dengan mantra pembeku, sehingga mereka berhenti melakukan serangan” kata Dimas.

“Tapi kapan kau melakukannya ?” Tanya Pafi

“Sebelum sebuah anak panah nyaris menyentuhmu” kata Dimas singkat.

“Hmm…gerakanmu cepat sekali sampai aku tidak sempat melihat lontaran cahaya biru yang menjadi ciri khas mantra pembeku” kata Pafi kritis. Dimas mulai kehilangan jawaban. Dia tidak ingin menceritakan tentang kemampuan barunya menghentikan waktu kepada kedua sahabatnya. Dimas teringat terus pesan Aruung Nam mengenai hal itu.

“Iya aku juga tidak melihat kau melakukan serangan” kata Raji menguatkan pendapat Pafi. Sebelum sempat memberikan alasan lain, tiba-tiba muncul suara yang mereka kenal.

“Bersahabat harus dilandasi rasa percaya, hanya itu yang akan membuat kalian mampu melewati semua rintangan.” Suara Sang Ratu terdengar menggema ke seluruh penjuru kota. Bulan yang sedang purnama memberikan cahaya indahnya menyoroti munculnya sosok cantik dengan pakaian hijau muda sederhana polos tanpa lukisan wajah.

Sang Ratu muncul di depan Dimas yang menjadi serba salah. Sang Ratu sadar betul dengan yang ditakuti Dimas tentang kemampuannya.

“Dwitunggal Janardana tidak akan mampu melindungimu kalau masih ada rasa tidak percaya di hatimu” Kata Sang Ratu.

“Maafkan aku ibunda Ratu, aku tidak mengerti maksudnya” kata Dimas berpura-pura.

“Ibunda yakin kau sudah mengerti maksudnya, cepat atau lambat semua akan terungkap baik diceritakan maupun tidak. Tetapi hati akan menjadi lebih kasih ketika semua diceritakan tanpa ada yang ditutupi” kata Sang Ratu. Dimas terdiam sejenak, Pafi dan Raji memandangi Dimas menunggu jawaban Dimas.

“Baiklah, tadi aku menggunakan kemampuan baru yang aku dapat dari Aruung Nam yaitu menghentikan waktu. Saat menggunakan kemampuan itu mataku akan berubah menjadi biru seperti mata para bangsa Sethi sehingga penglihatanku bisa menembus kabut dan melakukan serangan dengan mantra pembeku dengan mudah. Itu sebabnya kalian tidak melihat sama sekali serangan yang akan lakukan. Maafkan aku karena tidak menceritakannya kepada kalian” kata Dimas. Pafi dan Raji termangu tidak percaya dengan apa yang diceritakan Dimas. Pafi langsung cemberut dan Raji terlihat lesu.

“Menghentikan waktu bukanlah ilmu sembarangan, jangan pernah menggunakannya jika tidak dibutuhkan, apa yang kau khawatirkan terjadi seperti pesan Aruung Nam hanya jika kau menggunakannya secara sembarangan.” Kata Sang Ratu dengan senyum. Pafi dan Raji mulai mengerti apa yang dikhawatirkan Dimas mengenai kemampuan barunya.

“Kau masih banyak yang harus dibagi bersama kedua sahabatmu anakku. Dwitunggal Janardana telah ditakdirkan akan selalu bersamamu yang akan membantumu menemui takdirmu, jangan kau tolak itu.” Kata Sang Ratu

“Aku tidak ingin mereka menjadi korban, karena sebenarnya beban ini adalah takdirku” kata Dimas.

“Dimas, kami sudah ditakdirkan menjadi nyawa lapisan pertama dan kedua untukmu sejak kami dilahirkan, mengapa kau masih berpikir seperti itu” kata Raji

“Beban itu sudah ada bersama kami sejak dilahirkan, kau tidak bisa memisahkannya dari kami dan menganggap ini hanya bebanmu.” Kata Pafi setengah emosi. Dimas tersentak dengan kenyataan yang disebutkan Raji dan Pafi. Dirinya tidak pernah berpikir sekeras apapun dia berusaha menjauhkan bahaya dari kedua sahabatnya, bahaya itu tidak akan pernah lepas dari mereka, karena mereka sudah menjadi Tritunggal. Jiwa mereka telah terkait satu sama lain dan tak terpisahkan.

“Maafkan aku yang telah berpikir egois dan hanya memikirkan perasaanku saja. Malam ini aku berjanji akan selalu berbagi apapun dengan kalian, karena kalian adalah bagian jiwaku yang satu” Kata Dimas. Pafi terharu mendengar kata-katanya Dimas. Dirinya tak tahan lagi selain memeluk Dimas. Kikuk itu yang dirasakan Dimas, tangannya ragu membalas pelukan Pafi, matanya sempat melihat Raji. Keraguan itu dirasakan Raji, dan akhirnya Raji memeluk Dimas dari samping. Mereka berpelukan bertiga .

“Nah pembekalan untuk malam ini telah selesai, masih banyak yang harus kalian bagi setelah ini. Sekarang kembalilah ke kamar kalian.” Kata Sang Ratu melambaikan tangan kirinya ke samping, senyumnya begitu puas melihat hasil pembekalan malam ini, sekali matanya mengarah pada sebuah ruang kosong dan tersenyum seakan ada seseorang disana. Dimas merasakan keganjilan itu, karena dirinya merasa tidak ada orang lain selain mereka berempat. Sebelum sempat melanjutkan pikirannya sebuah wahana Gendewa meluncur mendekati mereka. Dimas, Raji dan Pafi menaiki wahana itu dan meluncur kembali ke kediaman Sang Ratu dan melanjutkan semuanya di ruang tengah.

Tujuh hari berlalu waktu yang diminta Sang Ratu untuk memberikan pembekalan. Begitu banyak perubahan yang terjadi pada Dimas dan hubungan persahabatannya dengan Pafi dan Raji. Dua wahana Gendewa telah siap di depan kraton. Sang Ratu beserta semua pejabatnya berdiri di halaman kraton. Dua wahana Gendewa itu melesat menuju gerbang perbatasan.

“Kami mengantar sampai disini” Kata Niepethin Sonar.

“Semoga kalian selamat sampai tujuan” kata Heritha Radhnana.

Kali ini mereka semua berjalan bersama, tidak secara terpisah. Gunung Merapi menjulang tinggi di utara. Asapnya tampak membumbung ke udara.

“Mengapa tidak kita pinjam saja Gendewanya, kan lebih cepat kita sampai” kata Raji ngedumel.

“Kau tidak ingat kenapa Gendewa itu tidak bisa berada di dunia Narapati ?” Dimas mengingatkan Raji. Raji cuman cengesesan.

“Lagipun apa enaknya petualangan jika harus cepat-cepat sampai di tujuan” kata Pafi.

Mereka meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Jalan yang meninggi karena tebing yang menjulang membatasi cukup memperlambat mereka.

“Kita akan menyusuri kali Opak. Tetap waspada karena banyak bangsa Gendrawa tinggal di hutan-hutan sepanjang kali Opak dan mereka bukan sekutu kita” kata Kerthapati.

“Bukan sekutu ? berarti musuh ?” tanya Dimas

“Belum tentu, karena mereka belum menunjukan niat mereka akan berpihak kemana. Bangsa Gendrawa adalah bangsa yang tidak bermasyarakat, setelah mempunyai keluarga mereka hanya akan bersama keluarganya. Anak-anak yang sudah dewasa akan meninggalkan orang tua mereka membentuk keluarga sendiri dan tinggal di tempat lain. Setiap tahun para Gendrawa berkumpul di sekitaran Gajah Mungkur untuk ritual mencari pasangan. Bagi mereka tidak ada kata berbagi dengan saudara, walaupun itu orang tua kandung sendiri mereka akan membunuhnya jika sudah menyangkut soal perebutan makanan dan wilayah. Bersikaplah hati-hati jika ada yang melihat Gendrawa berkelompok karena itu bukan budaya mereka” Kata Kerthapati.

Kali opak tidak terlalu besar namun airnya cukup deras, hutan lebat mengelilingi sepanjang daerah aliran. Mereka berjalan dengan kelompok yang tidak terpecah. Garangjiwo prajurit Vairivaravira Vimardana yang paling ahli dalam membuka jalan berada di depan mengawasi setiap daerah yang akan dilalui.

“Berhenti, kita akan beristirahat disini sebentar. Siapkan api unggun, kita akan berburu untuk makan kita. Garang Jiwo, Sukmaratih, Lakunogo, kalian berjaga seratus langkah di utara, selatan dan barat. Kriyandita, Prajamukti kalian berdua berburu untuk makan kita, Karyadewi, Jatrapraja siapkan api unggun.” Kata Kerthapati kepada ketujuh anak buahnya. Dengan cekatan ketujuh prajurit khusus itu bergerak sesuai dengan tugas masing-masing.

“Apa yang harus kami lakukan ?” tanya Dimas

“Bantulah mencari ranting-ranting kering atau kalian bisa membantuku mencari ikan di sungai.” Kata Kerthapati sambil mengeluarkan sebilah pisau dari saku pinggang kemudian mengikatkannya pada sebatang kayu sepanjang tangan orang dewasa.

“Mengapa paman menggunakan tombak untuk mencari ikan ? bukankan lebih cepat jika kita menggunakan mantra penarik ?” tanya Pafi

“Kau akan kehilangan rasa asyiknya berburu. Karena Cuma itu satu-satunya hiburan selama perjalanan panjang ini” kata Raji menyela jawaban.

“Kau benar Raji, dan aku tidak akan menukar kesenangan itu dengan apapun” kata Kerthapati.

“Hmmhh…aku masing tidak mengerti kesenangan para pria.” kata Pafi menghela nafasnya.

Dimas dan Raji mengikuti Kerthapati menuju sungai, sedangkan Pafi membantu Karyadewi mencari ranting-ranting kering. Selang beberapa waktu semua sudah kembali dengan beberapa hasil buruan dan tiga api unggun kecil telah siap. Semua sigap membersihkan buruan yang hanya terdiri dari burung hutan dan ikan kemudian memanggangnya. Aroma daging bakar menyebar menelusuk ke seluruh rongga hutan menarik beberapa kucing untuk mendekat.

“Paman aroma daging bakar yang menyebar ini akan membuat Gendrawa tahu keberadaan kita, bukankah kita menghindari pertemuan dengan mereka?” tanya Dimas.

“Memang betul, tapi Gendrawa tidak akan langsung menyerang jika ada Narapati melewati wilayahnya. Dia akan mengawasi dari kejauhan menunggu. Mereka akan menyerang kepada para pendatang yang berniat mengambil wilayahnya. Karena itu kita tidak akan terlalu lama beristirahat disini.” Kata Kerthapati.

Setelah merasakan cukup istirahat, perjalanan dilanjutkan. Sisa api unggun dipadamkan dengan air sedangkan sisa-sisa makanan dibiarkan menumpuk untuk kucing-kucing hutan yang sudah menunggu giliran. Beberapa pasang mata berwarna merah terus mengawasi kepergian rombongan itu. Kehadiran para pengintai itu sudah disadari oleh Raji dan Pafi. Naluri mereka semakin tajam akan kehadiran mahluk lain semenjak pembekalan yang diberikan oleh Sang Ratu Selatan.

“Paman, ada beberapa Gendrawa yang mengawasi sejak kepergian kita dari tempat istirahat tadi” kata Pafi kepada Kerthapati.

“Iya, sejak aroma daging bakar ini menyebar ke seluruh hutan, mereka sudah mengintai kita.” Kata Kerthapati.

“lalu kenapa paman diam saja dan bersikap seolah mereka tidak ada ?” tanya Raji.

“Lebih baik membiarkan mereka melihat kita tidak menyadari kehadiran mereka karena mereka akan menganggap kita hanya melintas saja. Karena kalau mereka tahu kita menyadari kehadiran mereka, maka mereka akan semakin menampakan diri dan mulai menyerang untuk mengusir kita. Jika kita melawan maka mereka tidak segan-segan membunuh.” Kata Kerthapati.

Mereka terus bergerak secara cepat menembus hutan di pinggir kali Opak. Garangjiwo tetap selalu berada paling depan membuka jalan bagi rombongan untuk lewat. Dimas merasakan nalurinya menangkap gerakan yang sangat halus di sekeliling mereka. Dengan sekali mengedipkan matanya dan merapalkan mantra sambil terus bergerak ke utara, Dimas mengerahkan kemampuannya menembus pandang. Matanya berubah menjadi biru seperti mata para bangsa Sethi. Kemudian dia memandang ke sekelilingnya dan jauh ke depan menembus lebatnya hutan. Puluhan Gendrawa bergerak melingkar dengan cepat berusaha memotong jalan mereka di sisi barat kali Opak.

“Paman, sekelompok Gendrawa telah menghadang jalan kita di depan.” Dimas mengingatkan Kerthapati. Kerthapati agak terkejut dengan yang disampaikan Dimas. Dirinya memang merasakan adanya gerakan yang lebih cepat dari gerakan mereka disisi barat mereka, tetapi tidak melihat adanya penghadangan di depan. Sebelum sempat lepas dari keterkejutannya dari arah depan Garangjiwo kembali dengan cepat.

“Sekelompok Genderewo menghadang di depan, apa yang harus kita lakukan kakang Kerthapati” tanya Garangjiwo.

“Seperti dugaan Gusti Prabu Narayala, kita berhasil memancing sikap mereka dalam perang besar ini. Mereka bersekutu dengan Amukhsara. Kita lumpuhkan mereka secepat mungkin, karena kita berada di wilayah pemukiman mereka. Pertempuran kita dengan mereka akan cepat terdengar oleh yang lain. Walaupun mereka bukan bangsa yang saling membela, tapi perubahan perilaku yang sekarang kita lihat menunjukan adanya kemungkinan hal itu juga sudah merubah juga cara hidup mereka yang lain.” Kata Kerthapati.

“Ada berapa jumlah mereka ?” tanya Kerthapati.

“Kurang lebih duapuluhan” kata Garangjiwo

“Sekarang sudah menjadi tigapuluh lebih, karena ada sepuluhan lagi sedang bergerak dari sisi timur kali Opak.” kata Dimas menambahkan. Semua langsung menengok kepada Dimas dengan wajah heran, kecuali Pafi dan Raji. Kerthapati sempat kilatan biru dari mata Dimas ketika berubah kembali menjadi warna aslinya yang coklat. Barulah Kerthapati mengerti mengapa Dimas bisa mengatakan semua itu kepadanya, dia teringat kemampuan para bangsa Sethi yang bisa menembus semua hal di balik benda dengan mata biru mereka.

“Baiklah, kita akan menghadapi tigapuluhan bangsa Gendrawa. Kalian harus melumpuhkan paling sedikit 3 Gendrawa.” Kata Kerthapati mengalihkan keheranan anggota pasukannya yang tidak pernah salah sebelumnya dalam memperkirakan jumlah para pengintai. Mereka kemudian bergerak maju dimana sekelompok Gendrawa telah berjejer berdiri menunggu.

“Mereka tidak melakukan penyerangan menjebak, padahal mereka memiliki keuntungan dari posisi mereka yang menunggu.” Kata Raji.

“Itu karena mereka sebenarnya bukanlah mahluk berkelompok, jadi tidak mengerti artinya koordinasi dan taktik dalam perang yang membutuhkan kerjasama. Yang mereka bisa hanya bertarung satu lawan satu tak beraturan.” Kata Kerthapati.

Pertempuran tak terhindarkan, sekitar tigapuluh Gendrawa menghadang jalan. Para Gendrawa itu secara bersamaan mulai bergerak dan menyerang membabi buta dengan batang-batang kayu yang mereka pegang. Tubuh mereka yang dua kali tinggi orang dewasa dengan bulu hitam membuat para Vairivaravira Vimardana terlalu kecil. Dengan gerakan lincah pasukan khusus Narapati itu bergerak berputar mengelak memanfaatkan sempitnya medan yang dipenuhi dengan pohon-pohon besar dan tubuh-tubuh besar para Gendrawa. Akibatnya para Gendrawa sering salah sasaran menghantam batang pohon atau sesamanya.

Pafi bergerak lincah seperti angin melancarkan serangan mantra pembeku berkali-kali ke sekeliling tubuh lawannya. Gendrawa itu menjadi beku dan tumbang tak bergerak. Pafi tersenyum puas setelah mengalahkan lawannya.

Sementara Raji masih sibuk menghadapi seorang Gendrawa sedang mengincarnya, kemudian melancarkan mantra pembeku untuk menyerangnya. Selarik sinar biru meluncur dari telapak tangan kanan Raji menghantam Gendrawa itu. Tetapi serangan itu hanya membuat Gendrawa itu terjengkang saja, dia tetap bangkit dan kembali menyerang. Raji kewalahan menghindari serangan-serangan lawannya. Berkali-kali dirinya terjengkang ketika perisai gaibnya dipukul sejadinya oleh lawannya. Raji menepukan tangannya ke udara dan menariknya ke depan dada, kemudian menyerang bagian tanah tepat yang dipijak lawannya. Sekumpulan air berkubang mengelilingi kaki lawannya. Gendrawa itu langsung terperosok ke dalam kubangan air. Sebelum sempat Gendrawa itu berenang, Raji memutar air dalam kubangan yang telah menjadi sumur yang dalam itu sehingga membuat lawannya terhisap ke dalam air dan tertahan di dasarnya.

Pada saat yang bersamaan Dimas sendiri sedang sibuk menghindari serangan-serangan dari dua Gendrawa sekaligus. Kakinya berkali-kali menjejakan tanah. Setiap kali menjejakan tanah sambil merapal mantra tanah yang dipijaknya bergetar hebat membuat sebuah rekahan yang semakin besar ke arah lawannya. Sejumput akar-akaran keluar dari dalam rekahan dan menarik lawannya ke dalam. Sementara sejumlah dahan pohon melengkung menangkap Gendrawa yang lain dan menahannya di batang pohon.

Para Vairivaravira vimardana yang sudah terlatih terlihat sangat lihai dan ahli dalam menghadapi para Gendrawa. Dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka sudah mampu melumpuhkan lawan-lawannya dengan cepat.

“Mantra pembeku ku tidak mampu melumpuhkannya” kata Raji kepada Pafi yang menghampirinya.

“Tentu saja, dari pustaka yang aku baca bangsa Gendrawa memiliki tujuh titik kelemahan yang harus diserang secara berurutan. Kalau urutannya salah maka serangan tidak akan menghasilkan apapun” kata Pafi bangga. Mendengar kata pustaka Raji mencibirkan bibirnya.

“Gendrawa memiliki kulit yang sangat tebal, sehingga kebal terhadap banyak serangan mantra tingkat menengah, kecuali pada tujuh titik kelemahannya.” Kata Dimas yang baru saja menyelesaikan lawannya dari.

“Ayo cepat kita segera kembali bergerak, matahari sudah makin condong ke barat, kita harus segera sampai di benteng Merapi sebelum gelap tiba” Kerthapati memimpin di depan rombongan yang terus berlari. Garangjiwo seperti biasa menjadi pembuka jalan berada seratus langkah di depan rombongan. Rombongan berlari dengan membentuk formasi panah >>> dimana Dimas, Pafi dan Raji di apit oleh 3 orang Vairivaravira Vimardana dari depan dan belakang.

“Hebat, kau sanggup melumpuhkan dua sekaligus.” Kata Raji memuji sambil mengimbangi lari Dimas.

“Tidak, aku tidak melumpuhkannya, aku hanya menahannya. Kau lihat yang satu aku kubur setengah badan di dalam tanah, yang satu lagi aku ikat di batang pohon.” kata Dimas terus berlari berusaha mengimbangi kecepatan para Vairivaravira Vimardana yang sudah terbiasa melakukan perjalanan darat. Bagi Dimas, Raji maupun Pafi berlari bukanlah latihan yang sering mereka lakukan sehingga mereka cukup kesulitan apalagi bergerak diantara semak belukar dan lebatnya pohon-pohon.

“Walaupun sudah sering berlatih, tetapi tetap saja pertempuran pertama membuatku gugup, kau mungkin sudah lebih baik Pafi, karena ini pertempuranmu yang kedua.” kata Dimas memuji Pafi.

“Aku pun masih merasakan gugup, karena aku menghadapi lawan yang berbeda yang hanya aku mengerti dari pustaka.” Kata Pafi

“Tetapi paling tidak kau sudah pernah membacanya, dari pada aku yang sama sekali tidak tahu bagaimana dan apa kelemahan mahluk ini” Kata Raji yang kini agak merendah. Pafi tersenyum senang mendengar pujian yang sangat jarang diberikan Raji. Hatinya begitu gembira entah mengapa berbeda sekali mendapatkan pujian dari Raji lebih menyenangkan dari pada pujian dari Dimas. Perasaannya berbunga-bunga sehingga rona merah merebak ke seluruh wajahnya yang bersemu coklat diterpa angin. Dimas melihat perubahan itu, hatinya agak menclos mencoba menerka isi hati Pafi. Pafi memang terlihat begitu cantik dengan warna kulit baru dan sangat menyenangkan memandangnya terus. Raji tersenyum merasakan aura berbunga yang dipancarkan Pafi, hatinya merasa ada suatu kelegaan walau tanpa kata-kata dia merasakan sesuatu yang berbeda dari perasaan sebelumnya.

Tepat sebelum matahari tenggelam rombongan itu telah tiba disisi barat benteng. Kerthapati mengeluarkan siutan keras ke udara yang menggema ke seluruh benteng. Dari balik awan yang menutup puncak gunung Merapi dua ekor Garuda Kencana menukik tajam dan mendarat di hadapan rombongan.

“Selamat datang Gusti Kerthapati, Nankhidhaba Soraphi” kata seorang prajurit itu tanpa turun dari Garudanya.

“Teja Satuasra” kata Kerthapati.

“Silahkan Gusti” kata prajurit itu diikuti oleh sekelompok Garuda Kencana terbang merendah menuju tempat mereka berada. Kemudian Kerthapati dan rombongan menaiki Garuda-Garuda Kencana itu terbang memasuki benteng yang hanya bisa dimasuki lewat udara. Benteng yang sangat panjang mengelilingi gunung Merapi, Dimas merasakan udara dingin menerpanya sejenak tetapi kemudian berubah hangat ketika para Garuda telah sampai mendarat di atas teras benteng. Matahari masih lagi tersisa separuh di garis barat, warnanya yang kuning telur memberikan suasana yang begiu tenang. Awan yang berarak ke timur tampak berubah warna menjadi jingga dan kemerahan.

“Aku mulai mengerti apa yang dimaksud Bapak Narayala bahwa persiapan Narapati harus dimulai dari kita. Karena perang yang sesungguhnya terjadi dalam diri kita bukan dari luar. Kesiapan yang dimaksud adalah kesiapan diri kita untuk bisa saling percaya sepenuhnya tanpa ada keraguan.” Kata Pafi sambil memandang ke arah yang sama di samping Dimas.

“Betul, aku juga merasakan hal yang sama, sekarang aku merasakan bebanku jauh berkurang karena aku memiliki kalian berdua sebagai saudaraku” kata Dimas menghadapkan badannya ke arah Pafi dan Raji.

Tak banyak kata lagi yang terucap, tatapan mata ketiganya sudah menyiarkan semua perasaan dalam hati mereka masing-masing. Mereka bertiga saling berpelukan seakan mengukuhkan kembali persahabatan mereka menjadi lebih berarti lagi dari sebelumnya.

--------------- “”” --------------