Thursday, December 21, 2006

MEDANGGANA RAYA

Puncak Cakravartin tampak terlihat jelas dari lereng Semeru. Kepulan asap yang keluar dari kawah Bromo di sebelahnya memberikan kesan mistis. Bangunan-bangunan megah mengelilingi kuil diantara saluran-saluran air dan pohon-pohon jati yang meranggas. Benteng megah setinggi seratus meter mengelilingi kota. Kemegahan tiada tara yang bagi Dimas hanya bangunan-bangunan piramida di Mesir kuno yang mampu menandingi kehebatannya.

Rombongan terus bergerak menuju kota. Bagi Dimas kembali berada di atas Davanti Sighram menjadi hal yang sangat menyenangkan. Pafi dan Raji begitu gembira melayang-layang di atas punggung Garuda Kencana. Perjalanan yang kedua kali menuju kota Medanggana Raya ini menjadi perjalanan yang membawa mereka bertiga ke dalam dunia baru yang penuh petualangan. Sighram terus berlari menembus barisan hutan yang rapat. Tidak berapa lama mereka semua telah tiba di gerbang kota Medanggana Raya.

Pintu gerbang segera terbuka menyambut kedatangan mereka. Suasana kota masih terasa sepi di waktu menjelang fajar menyingsing di ujung Bromo. Kali ini Dimas dan kedua sahabatnya tidak dibawa langsung ke kuil Cakravartin, tetapi ke sebuah kompleks bangunan tempat tinggal yang berada satu lingkungan dengan kuil Cakravartin.

“Sekarang kita akan beristirahat di sini” Prabu Narayala menunjuk bangunan tinggi terbuat dari susunan batu hitam yang sangat megah. Dimas, Pafi dan Raji menatap bangunan di hadapan mereka dengan penuh rasa takjub. Kemegahannya menunjukan kedudukan apa yang dimiliki si empu bangunan itu. Dia menjadi yang termegah dan terluas di antara seluruh bangunan yang ada di kota. Gerbang setinggi limabelas meter menjulang megah di jaga oleh dua ekor Narasimha. Menjelang memasuki gerbang, kedua Narasimha tersebut membungkuk hormat kepada Prabu Narayala. Arghapati dan Wirapati berbalik pamit meninggalkan mereka di depan gerbang. Kemudian mereka terus berjalan menuju ke dalam kompleks. Hamparan taman dengan kolam air membentang sejauh tigapuluh meter dihubungkan oleh jembatan melengkung yang terputus selebar sepuluh meter pada bagian tengah kolam. Tanpa ragu Prabu Narayala terus melangkah menuju jembatan tersebut. Ketika sampai kepada bagian yang terputus, tiba-tiba dari dalam kolam muncul bentangan sepanjang sepuluh meter menyambungkan ujung-ujung jembatan yang terputus.

Akhirnya mereka tiba di depan teras utama dengan atap yang berbentuk segi enam mengerucut pada ujungnya. Pilar-pilar batu hitam dengan relief-relief daun dan pohon dilingkari oleh akar-akar yang mencengkram kuat.

“Mari anak-anak, kita masuk ke dalam” Prabu Narayala membalikan badan dan mengajak Dimas, Pafi dan Raji masuk melalui relung yang sangat gelap yang ketika mereka melangkahkan kaki mereka di dalamnya, seketika lampu-lampu obor menyala sepanjang lorong yang diujungnya terdapat ruangan begitu terang dengan cahaya keemasan. Sepanjang lorong yang dihiasi oleh relief-relief cerita mengenai kehidupan bangsa Narapati suasana begitu terasa dingin. Tujuh lapisan bening seperti air berkali-kali harus ditembus yang memberikan sensasi yang menyenangkan, karena setiap kali menembusnya suhu dirasakan makin hangat dan nyaman.

“Lapisan apakah yang tadi kita tembus itu Bapak Narayala” Dimas bertanya.

“Itu lapisan yang menyaring setiap usaha dari niat jahat untuk memasuki ruangan di depan sana, semakin dalam semakin kuat” Kata Prabu Narayala.

Akhirnya mereka tiba juga di sebuah ruangan yang sangat besar berbentuk segi enam dengan tinggi mencapai tigapuluh meter. Pada langit-langitnya menggantung sebongkah kepompong berwarna keemasan yang menyebarkan cahaya terang ke seluruh ruangan.

“Duduklah” Prabu Narayala menunjuk kursi-kursi batu yang berada di sekeliling meja pualam hitam di tengah ruangan. Dimas, Pafi dan Raji menuruti Prabu Narayala dan segera duduk. Rasa dingin menjalar dari kursi batu yang mereka duduki yang terus merambat ke seluruh tubuh mereka sampai ubun-ubun kepala. Menyenangkan dan damai dirasakan ketika rasa dingin berubah menjadi rasa hangat dan bersahabat.

“Bagaimana ? sudah nyaman sekarang” Prabu Narayala tersenyum dan ikut duduk di hadapan mereka bertiga.

“Eh…iya, rasanya nyaman sekali” Raji menjawab mewakili kedua sahabatnya. Dimas hanya tersenyum melihat tingkah Raji yang cengengesan ketika menjawab pertanyaan Prabu Narayala.

“Apakah yang barusan kami rasakan tadi Bapak Narayala” Pafi memulai rasa ingin tahunya.

“Aliran dingin yang kalian rasakan adalah energi dari batu yang kalian duduki. Bumi ini memiliki berbagai macam energi. Tidak semua kita bisa menyerap dan menggunakannya. Energi yang kalian tahu di dunia manusia hanyalah tenaga yang dapat dirasakan seperti panas, angin, dan air tetapi tidak dapat diserap langsung oleh tubuh kita. Tapi di dunia Narapati, kita memanfaatkan energi yang lebih halus tetapi dapat kita kumpulkan dan serap sehingga dapat kita gunakan untuk keperluan apapun” Prabu Narayala menjelaskan.

“Energi apakah yang Bapak Narayala maksud, Saya masih belum mengerti” Dimas bertanya.

“Baiklah, akan aku beri contoh. Pernahkah kalian merasakan sesuatu yang berbeda dari teman-teman kalian, misalnya kalian mampu membaca pikiran orang lain, atau mampu menggerakan benda-benda, atau mampu menyembuhkan luka dengan cepat ?” Prabu Narayala menatap ketiga remaja dengan seksama. Ketiganya mengangguk menjawab pertanyaan tersebut.

“Baiklah, apakah kalian tahu dari mana datangnya kekuatan tersebut ?” Pertanyaan Prabu Narayala dijawab dengan diam, hati Dimas berdesir karena sebenarnya dia dan kedua sahabatnya sudah mengetahui apa yang dimaksud oleh Prabu Narayala. Hanya saja mereka bertiga sudah terikat janji untuk tidak menceritakan perihal pak Narso kepada siapapun. Tetapi rasa penasaran muncul dan sebuah tanda-tanya besar mengenai siapa sebenarnya pak Narso hadir di benak Dimas, Raji maupun Pafi. Kalau apa yang dijelaskan Prabu Narayala sama persis dengan yang dijelaskan oleh pak Narso, lalu siapakah sebenarnya pak Narso ? apakah pak Narso juga seorang Narapati ?. Sejenak pertanyaan itu melamunkan pikiran Dimas, tetapi hilang segera saat Prabu Narayala mulai menjelaskan semuanya.

“Bangsa Narapati memiliki kelebihan yang sangat berbeda dengan bangsa manusia. Bangsa Narapati telah mengolah kemampuan pikirannya begitu jauh selama puluhan ribuan tahun sehingga mampu menyerap energi halus yang berada di sekitarnya. Kalian juga seperti itu, dalam diri kalian ada sesuatu yang membuat pikiran kalian bisa menyerap dan mengumpulkan energi kemudian mengolahnya menjadi hal apapun yang kalian inginkan, seperti menggerakan benda, memasuki pikiran orang lain atau menyembuhkan luka. Sifat energi yang dapat kalian kumpulkan akan berbeda-beda dari satu yang lainnya. Hal tersebut sangat tergantung dari sifat kalian, bumi, air, api, udara, adalah sumber utama. Sumber mana yang paling sering di ambil akan sangat tergantung pada sifat alami kalian” Prabu Narayala berhenti menjelaskan dan kemudian menatap ketiga remaja itu yang masih bersemangat mendengarkannya tapi tampak sudah sangat lelah.

“Baiklah, hari ini cukup sampai disini. Kalian beristirahatlah sekarang, besok banyak hal yang harus kalian lihat” Prabu Narayala bangkit dari kursi batu diikuti oleh Dimas, Pafi dan Raji. Kemudian mereka berjalan menuju sebuah pintu yang di baliknya dua orang penjaga segera membukakannya untuk mereka. Kembali berjalan menuju lorong yang berakhir pada sebuah ruangan yang memiliki tangga naik langsung menuju sebuah pintu ruangan. Kemudian menaiki anak tangga yang bergerak naik sendiri ketika dipijak.

“Selamat Istirahat” Prabu Narayala tersenyum kepada ketiganya setelah pintu terbuka lebar. Dimas, Raji dan Pafi segera memasuki ruangan dan melihat ruang tamu yang lengkap dengan semua perabotnya yang terbuat dari kayu jati. Mereka bertiga berpisah menuju kamar tidur masing-masing.

------------ “””””” -----------

Pagi penuh semangat mengisi ruang hati ketiga remaja yang baru semalam merasakan petualangan baru mereka yang menakjubkan di negeri ajaib Narapati. Gumaman nyanyian keluar dari mulut Pafi yang sangat tidak sabar melihat keajaiban-keajaiban lain di dunia Narapati. Raji melakukan gerakan-gerakan beladiri dengan gerakan lambat. Sementara Dimas terlihat begitu cerah dengan sorot mata yang terlihat lebih bersemangat, semua beban gelapnya masa lalu terlihat telah terlepas dari pundaknya.

Pagi di ruangan bersantai semua terlihat sudah siap. Raji sedang asyik dengan gerakan-gerakan bela diri sementara Pafi terlihat berdiri memandang keluar jendela. Mereka sudah berpakaian lengkap dengan pakaian yang sudah disediakan sebelumnya. Pakaian khas bangsa Narapati yang selalu berwarna coklat tanah dengan hiasan dedaunan berwarna emas terlihat sangat anggun dan berwibawa.

“Raji, kau sudah siap ?” Dimas yang telah lengkap dengan pakaian yang telah disediakan keluar dari kamarnya. Raji yang juga telah lengkap dengan pakaiannya masih saja melakukan kuda-kuda sambil menggerakan tangannya dengan gerakan lambat.

“Sudah, sejak tadi aku sudah menunggumu” Kata Raji sambil nyengir di akhir kalimatnya.

“Dia sudah seperti orang gila sejak pagi dengan gerakan seperti itu” Pafi yang juga sudah lengkap berpakaian menunjukan wajah kesalnya.

Tak lama kemudian dari balik pintu muncul Prabu Narayala dengan pakaian putih ditutup jubah berwarna hijau tua dan tongkat kayunya berwarna hitam legam yang diujungnya terdapat sepotong batu mulia berwarna putih. Wajahnya begitu berwibawa dengan mahkota emas bertahta batu-batu mulia. Dimas, Pafi dan Raji begitu kagum melihat kewibawaannya yang tampak bertambah dengan pakaian dan mahkota yang dikenakannya.

“Apakah kalian sudah siap ?” Tanya Prabu Narayala dengan senyum. Dimas, Raji maupun Pafi terpaku kagum melihat pakaian kebesaran yang dikenakan oleh Prabu Narayala.

“Kami sudah siap Bapak Narayala.” Kata Dimas yang tiba-tiba saja kikuk dan baru tersadar bahwa yang di hadapannya sekarang adalah seorang raja dari sebuah bangsa yang sangat kuat.

“Baiklah kalau begitu, mari kita menuju balairung.” Kata Prabu Narayala

Prabu Narayala berjalan di ikuti Dimas yang berjalan disamping kanannya, sementara Raji dan Pafi berjalan disebelah kirinya. Prajurit-prajurit jaga yang berdiri di setiap pintu masuk menuju ruang balairung membungkuk hormat memberikan salam kepada sang Raja. Tiba di balairung, sebuah ruangan yang tinggi dengan enam pilar menyangga langit-langitnya yang melengkung. Di atasnya menggantung sebuah benda berwarna keemasan yang penuh dengan cahaya memperjelas pahatan setiap ukiran di dinding-dinding batu. Dimas merasakan ada getar aneh yang berdesir di dadanya. Tetapi tak dihiraukannya, perhatiannya lebih tertuju kepada orang-orang yang berdiri di kiri kanan menuju singgasana Raja. Prabu Narayala berjalan menuju singgasana yang berada di ujung ruangan, yang letaknya lebih tinggi dari tempat lainnya. Di kiri dan kanan menuju singgasana, para pejabat Narapati telah duduk diatas kursi-kursi batu serentak berdiri memberikan salam kehormatan kepada Raja Narapati itu. Iringan musik gamelan yang begitu halus dan lembut mengiringi langkah sang Prabu diikuti oleh Dimas, Raji dan Pafi yang terasa kikuk dengan suasana itu. Prabu Narayala duduk di kursi paling tinggi terbuat dari emas dan perak. Dimas duduk disebelah kanannya sedangkan Raji dan Pafi di sebelah kirinya.

Ada duabelas orang pejabat yang duduk di kiri dan kanan. Pada bagian kanan duduk seorang Patih, Panglima Perang, Empat orang Penasihat Kerajaan, Di sebelah kiri duduk enam orang menteri yang membantu Raja menjalankan semua urusan kerajaan. Menteri Urusan Lintas Batas, Menteri Urusan Pangan dan Persediaan, Menteri Ilmu Pengetahuan, Menteri Urusan Harta dan Niaga Kerajaan, Menteri Urusan Hukum dan Keadilan, Menteri Urusan Penduduk dan Kesejahteraan.

“Hari ini, adalah hari yang sangat penting bagi seluruh bangsa Narapati. Aku perkenalkan kepada kalian semua. Disebelah kananku adalah Dimas, dan di sebelah kiriku adalah Raji dan Pafi.” Kata Prabu Narayala.

“Sang Pembawa Buku Kehidupan dan Dwitunggal” kata semua yang hadir bersamaan. Serentak mereka bangkit dari duduknya dan memberikan salam selamat datang kemudian berlutut memberikan sembah kepada Dimas, Raji dan Pafi.

“Apakah gerangan yang membawa Sang Pembawa Buku Kehidupan dan Sang Dwitunggal mengunjungi Medanggana Raya.” Tanya Patih Narmada. Lelaki tua itu memberikan hormat dengan tangan di silangkan di depan dada.

“Sang Pembawa Buku Kehidupan mulai sekarang akan tinggal bersama kita. Amukhsara telah mengetahui persembunyiannya. Sekarang ini tidak ada tempat yang lebih aman daripada Medanggana Raya. Aku akan membuat pengamanan berlapis di seluruh kota. Sekarang Medanggana Raya akan menjadi pusat perhatian semua bangsa yang hidup di dunia tengah, termasuk Amukhsara. Keberadaan mereka disini akan tetap dirahasiakan.” Kata Prabu Narayala menjawab pertanyaan sang Patih.

“Titah Sang Prabu kami laksanakan.” Jawab semua yang hadir.

“Panglima Arghapati akan memimpin pembuatan pengamanan berlapis ini.” Kata Prabu Narayala. Panglima Arghapati memberikan salam patuh terhadap perintah rajanya.

“Nah, Dimas, Raji dan Pafi kalian akan belajar di Cakravartin. Kalian harus belajar banyak mengenai Narapati.” Kata Prabu Narayala.

“Baik Gusti Prabu.” Kata ketiganya bersamaan.

“Baiklah, sekarang apakah ada yang ingin kalian laporkan kepadaku.” Tanya Prabu Narayala kepada para pejabatnya.

“Hamba Gusti Prabu.” Menteri Urusan Pangan dan Persediaan meminta ijin berbicara.

“Silahkah Nayaka, berita apa dari pangan dan persediaan.” Prabu Narayala mempersilahkan menterinya.

“Purnama ini adalah perayaan panen raya kita yang berhasil. Para utusan dari kota-kota perbatasan telah mengirimkan upeti mereka dan memberikan semua catatan tentang panen mereka. Seluruh rakyat akan merayakannya dengan tari-tarian dan hiburan lainnya. Akan banyak rakyat yang tinggal jauh mendatangi kota untuk mengikuti perayaan.” Kata Menteri Urusan Pangan dan Persediaan.

“Bagaimana pendapat para Naradyaksa.” Prabu Narayala meminta pendapat kepada para penasehatnya. Keempat lelaki yang sudah terlihat tua itu saling berunding hingga akhirnya seorang diantara mereka menjadi juru bicaranya.

“Menurut kami, perayaan ini sangat penting bagi rakyat, tetapi keamanan kerajaan sekarang sedang menghadapi ancaman besar. Kami pikir perayaan ini harus tetap diselenggarakan agar rakyat senang, tetapi kita harus membuat pengamanan yang lebih baik untuk mencegah penyusup masuk.” Kata Naradyaksa tertua.

“Hmm….bagaimana menurutmu Patih Narmada.” Tanya Prabu Narayala kepada patihnya.

“Hamba sepakat dengan pendapat para Naradyaksa. Pesta panen raya ini penting untuk dilakukan selain untuk menghibur rakyat juga menunjukan kadar kewajaran akan situasi yang sedang kita hadapi, sehingga pihak manapun tidak akan melihat apa yang sedang kita lakukan. Walaupun keberadaan Sang Pembawa Buku Kehidupan dan Dwitunggal tetap dirahasiakan, tetapi kita tidak bisa mengabaikan kemampuan Amukhsara dalam mengendus keberadaan mereka dengan cepat. Pesta panen raya bisa menjadi jalan mereka untuk memasukan telik sandinya ke dalam kota. Karena itu penyaringan berlapis penting dilakukan.” Kata Patih Narmada.

“Baiklah, buka gerbang kota dengan penyaringan berlapis. Patih Narmada akan menjadi pemimpin keamanan selama pesta panen raya ini.” Kata Prabu Narayala.

“Titah Sang Prabu hamba laksanakan.” Kata Patih Narmada memberi hormat kepada Prabu Narayala.

“Panglima Arghapati, aku mempunyai tugas khusus untukmu.” Kata Prabu Narayala.

“Hamba siap melaksanakan titah Sang Prabu.” Kata Panglima Arghapati.

“Apakah ada hal lain yang hendak dilaporkan ?” tanya Prabu Narayala.

“Hamba Gusti Prabu, mohon ijinkan bicara.” Kata menteri Urusan Lintas Batas.

“Silahkan bicara Narabhumi.” Prabu Narayala mempersilahkan menteri urusan Lintas Batas berbicara.

“Kami mencatat pelanggaran lintas batas yang agak kurang wajar di wilayah ujung barat Jawa. Kami sedang menyelidiki penyebabnya tetapi sampai sekarang belum menemukan jawaban apapun, bahkan 9-Nandiswara penjaga di 9 pintu gerbang tidak melihatnya, tetapi mereka mengatakan merasakan ada getaran yang sama dengan persis dengan akibat dari upaya penyebrangan ke dunia manusia.” Kata Menteri Narabhumi.

“Di ujung barat Jawa katamu ? Sejak kapan terjadi ?” tanya Prabu Narayala.

“Belum satu purnama ini, Gusti Prabu.” Kata Menteri Narabhumi.

“Hmmm…suatu kebetulan yang menarik. Baiklah, tetaplah lakukan pengawasan yang lebih ketat. Kau bisa mengerahkan Pasukan Khusus Vairivaravira Vimardana untuk menyelidikinya lebih dalam.” Kata Prabu Narayala.

“Titah Gusti Prabu hamba laksanakan.” Kata Menteri Narabhumi memberi hormat.

Setelah yakin tidak ada lagi yang akan dilaporan oleh para menterinya, Prabu Narayala meninggalkan tempat diiringi Dimas, Raji dan Pafi. Dimas merasakan sebuah getaran yang sangat mengganggunya tak kala melewati barisan para menteri kerajaan. Getaran yang lebih kuat dari yang dia rasakan saat pertama kali memasuki ruang balairung.


Ketiga remaja itu mengangguk sambil tersenyum gembira. Prabu Narayala mengajak ketiganya keluar menuju pendopo utama dimana sudah menunggu seorang lelaki lanjut usia seukuran Prabu Narayala dengan janggut putih menjuntai panjang sedada. Kepala yang disorban kain putin menambah pesona sejuk mata yang begitu sabar dan penuh senyum ramah.

“NOBASATH SORGESPHA”

lelaki tua itu mengucapkan salam dengan kedua telapak tangan bertemu di depan dada ketika melihat Prabu Narayala beserta Dimas dan kedua sahabatnya muncul.

“NABAS NURSATH” Prabu Narayala membalas salam dengan cara yang sama.

Dimas, Pafi dan Raji tidak mengerti dengan bahasa yang diucapkan keduanya. Prabu Narayala menyadari hal itu kemudian meminta mereka untuk duduk di kursi batu hitam dan memejamkan mata mereka. Kemudian Prabu Narayala mengucapkan mantra sambil mengusap kepala ketiga remaja itu satu persatu.

“SIVARABAN, SONHORTIBHAN NARAPATHI” Prabu Narayala mengucapkan keras

Kemudian Prabu Narayala menyuruh ketiganya membuka mata mereka kembali dan Prabu Narayala langsung berbicara kepada lelaki tua itu.

“Guru Naradharma, saya titipkan mereka bertiga kepada anda sekarang, harap mereka dibantu dalam pelajaran mereka” Prabu Narayala berkata

“Terima kasih atas kepercayaan tuanku untuk menitipkan sang terpilih kepada saya. Saya akan mengajarkan kepada mereka apa yang saya ketahui dan saya miliki” Guru Naradharma menjawab.

“Nah, Dimas, Pafi, Raji, sekarang kalian ikutilah Guru Naradharma, turuti semua perintahnya, dan belajarlah sebanyak-banyaknya” Prabu Narayala menasehati ketiga remaja itu.

“Baik Bapak Narayala” Ketiganya serempak berkata dengan anggukan.

“Satu pesanku yang harus kalian patuhi, kalian jangan menceritakan kepada siapapun mengenai dunia manusia tempat kalian dulu pernah tinggal. Kalian harus tutup rapat-rapat siapa jati diri kalian sebelumnya” kata Prabu Narayala

“Mari anak-anak, sekarang ikuti saya” Guru Naradharma bangkit sambil memberikan gerakan salam kepada Prabu Narayala, kemudian berbalik meninggalkan pendopo diikuti oleh Dimas, Pafi dan Raji.

Melalui bagian samping kompleks kediaman Prabu Narayala mereka mengambil jalan tembus langsung menuju kompleks kuil Cakravartin yang dikelilingi oleh pagar tinggi. Tampak dari angkasa berkali-kali mendarat Garuda Kencana di halaman kuil diikuti kemudian para siswa yang turun dari punggungnya.

“Hei lihat…..mereka mengendarai Garuda Kencana” Pafi menunjuk ke angkasa seekor Garuda kencana yang sedang berusaha mendarat. Guru Naradharma hanya tersenyum sedikit. Dimas dan Raji kagum melihat keberanian para siswa tersebut menunggangi binatang raksasa itu. Burung-burung mitos raksasa itu kemudian terbang kembali.

Tak seberapa lama kemudian beberapa ekor Narasimha melompat masuk dari balik pagar mendarat persis di bekas tempat beberapa Garuda Kencana tadi mendarat. Hampir sama seperti tadi, beberapa siswa yang menungganginya kemudian turun dari punggungnya.

“Apakah kami bisa memiliki tunggangan seperti itu Guru Naradharma ?” Dimas bertanya.

“Hemm….tentu saja bisa, kali bisa memiliki binatang tunggangan jika ada seekor yang mau bersahabat dengan kalian. Tidak semua siswa bisa bersahabat dengan binatang-binatang itu” Guru Naradharma menerangkan.

“Bagaimana kami bisa menemukan binatang-binatang tersebut Guru” Raji bertanya dengan gembira.

“Setiap purnama binatang-binatang tersebut akan datang ke kuil ini untuk melakukan ritual menemukan tuan mereka. Mereka akan memilih siapa yang akan menjadi tuan mereka. Ritual itu akan sangat berbahaya bagi para siswa, jika ada yang ditolak maka binatang itu biasanya akan menyerang. Tetapi jika mereka sudah memilih maka dia akan menunduk untuk ditunggangi” Kata Guru Naradharma.

Raji nyengir ngeri mendengar cara mendapatkan Garuda Kencana dan Narasimha. Dimas dan Pafi mengangguk-angguk.

“Mengapa Cuma dua jenis Garuda Kencana dan Narasimha yang ditunggangi para siswa disini” Pafi bertanya

“Karena hanya kedua binatang itu yang memiliki kemampuan mengangkut sekaligus bertempur, binatang lainnya hanya sebagai pengangkut saja” Guru Naradharma menjelaskan.

“Bertempur bagaimana Guru?” Dimas mulai makin bersemangat, seolah ada darah prajurit yang selama ini terpendam mulai bergelora memompa semangat ke seluruh urat nadinya.

“Garuda Kencana dan Narasimha memiliki musuh alami yang sering digunakan oleh bangsa Amukhsara untuk berperang, yaitu Naga terbang dan Srigala Cakracakra” Guru Naradharma menjawab.

“Amukhsara ?” Dimas menyebut nama itu dengan pelan, tetapi sebelum menjadi sebuah pertanyaan, mereka sudah tiba di depan pintu utama.

Memasuki sebuah bangunan piramida batu hitam persegi enam yang dikelilingi oleh enam pilar raksasa. Pintu menuju ruang pertama berbentuk segi enam terasa megah, ruangan yang pernah mereka masuki sebelumnya. Hanya saja sekarang mereka melihatnya pada pagi hari, dimana seluruh aktifitas intelektual bangsa Narapati mulai berdenyut kembali dengan banyak siswa yang hilir mudik berseragam persis seperti yang mereka kenakan. Tidak ada tas atau buku seperti yang biasanya Dimas dan kedua sahabatnya lakukan di sekolah Hindia Belanda.

Hampir semua siswa terlihat memandangi mereka kemudian mengangguk memberi salam kepada Guru Naradharma yang dibalas dengan senyum ramah Guru tersebut. Akhirnya mereka sampai juga di sebuah ruangan yang cukup besar dimana terdapat relief-relief wajah-wajah laki-laki di dinding-dinding. Dimas memandangi wajah-wajah itu dengan seksama.

“Ah…. Itu wajah Guru-guru besar yang dulu memimpin kuil ini sebelum aku” Guru Naradharma menyadari keingintahuan Dimas menjelaskan tentang relief-relief itu.

“Duduklah” Guru Naradharma mempersilahkan ketiga remaja itu duduk di atas kursi batu hitam yang melingkari meja yang sangat besar seperti sebuah meja pertemuan di tengah-tengah ruangan yang diterangi obor-obor di sekeliling dinding memberikan cahaya keemasan yang dipantulkan kembali oleh dinding-dinding batu hitam yang mengkilat.

Kemudian Guru Naradharma ikut duduk bersama, tangannya dikembangkan ke arah tengah meja sambi melafalkan sesuatu dimulutnya. Bagian tengah meja tersebut terbuka kemudian muncul bangunan berbentuk piramida persegi enam persis seperti bentuk bangunan kuil Cakravartin. Kemudian Guru Naradharma menjentikan jarinya dan miniatur kuil Cakravartin itu pun terbelah menjadi dua bagian sama besar. Terlihat struktur ruangan di dalam bangunan kuil yang seperti bangunan sarang lebah, bertingkat-tingkat dan berlorong-lorong. Di dalamnya terdapat orang-orang kecil yang sedang melakukan sesuatu di dalam ruangan-ruangan.

“Ini adalah miniatur kuil Cakravartin. Yang kalian lihat di dalamnya adalah kegiatan siswa-siswa bersama para guru di dalamnya saat ini juga. Jadi aku bisa melihat apa saja yang terjadi di dalam setiap sudut kuil ini” Kata Guru Naradharma. Dimas, Pafi dan Raji mengamati dengan seksama setiap tingkatan dalam ruangan sarang lebah kuil itu.

“Siswa disini dibagi menjadi 5 tingkatan, tingkatan dasar, tingkatan madya, tingkatan lanjut, tingkatan utama, dan tingkatan ahli. Makin tinggi tingkatannya makin tinggi ruangannya, tapi tidak semua siswa akan berhasil memasuki sampai tingkatan tertinggi. Sekarang kalian akan memasuki tingakatan dasar. Dalam enam purnama kalian harus menyelesaikan tingkatan dasar. Ini yang kalian perlukan dan dipelajari pada tingkatan dasar” Guru Naradharma menyerahkan masing-masing dua lembar gulungan kertas yang segera dibuka oleh ketiganya.

Guru Naradharma secara bersamaan mendekati Dimas kemudian melafalkan mantra dan mengusap kepala Dimas, Pafi dan Raji secara bergantian.

“SOSSAVABAN SONHORTIBHAN NARAPATHI” kata Guru Naradharma.

Secara ajaib, tulisan dengan huruf-huruf yang tadi terlihat asing tiba-tiba saja seperti berubah menjadi huruf-huruf romawi yang bisa terbaca dan dimengerti oleh ketiganya.

Dari arah pintu terdengar suara ketukan kemudian muncul seorang pemuda yang lebih tua usianya memasuki ruangan dengan pakaian lengkap.

“Guru memanggil saya ?” Pemuda itu bertanya kepada Guru Naradharma

“Ah Nusapati, terima kasih kau telah datang tepat waktu. Aku mau meminta tolong padamu. Kau kenalkan dulu ini Dimas, Pafi dan Raji, mereka siswa baru disini. Tolong kau antar mereka ke ruang kelas Guru Wirabhumi. Tolong juga katakan kepada Guru Wirabhumi agar menerima mereka” Kata Guru Naradharma

“Baiklah Guru, mari ikuti aku” Nusapati mengajak Dimas, Pafi dan Raji mengikutinya.

Keempatnya kemudian keluar dari ruangan Guru Naradharma.

“Oh ya… namaku Nusapati” Pemuda itu memperkenalkan diri kepada Dimas, Pafi dan Raji. Ketika bersalaman dengan Pafi, pemuda itu tampak canggung. Melihat situasi salah tingkah itu Raji tak mampu menahan wajah kesalnya. Nusapati memang memiliki wajah yang sangat menarik, senyumnya membuat wajah Pafi bersemu merah dan hal itu sangat jelas dilihat Raji.

“Kau tidak usah kemayu seperti itu” Raji menyindir Pafi

“Kau ini, apakah tidak ada hal lain selain mengurusi urusan orang lain” Pafi cemberut dengan sinar mata yang galak.

Mereka terus berjalan kembali ke ruang utama pintu masuk kuil kemudian menaiki tangga. Akhirnya tiba di sebuah pintu sebuah ruangan yang sangat tinggi. Nusapati mengetuk pintu itu dan mendorongnya. Seorang lelaki muda terlihat di bagian depan ketika keempatnya memasuki ruangan.

“Maafkan saya Guru Wirabhumi, saya membawa pesan dari Guru Naradharma” Nusapati menyatukan kedua telapak tanganya di depan dada.

“Pesan apa yang kau bawa Nusapati” Guru Wirabhumi menatap Nusapati kemudian bergantian menatap Dimas, Pafi dan Raji.

“Saya membawa tiga orang siswa baru agar diterima oleh Guru di kelas ini” Nusapati menjelaskan.

“Baiklah, masuklah kalian bertiga. Kau bisa tinggalkan mereka disini Nusapati” kata Guru Wirabhumi. Nusapati mengangguk pamit dan meninggalkan ruangan.

“Mari anak-anak, silahkan ambil tempat duduk” Guru Wirabhumi mempersilahkan Dimas, Pafi dan Raji untuk mengambil tempat duduk. Tanpa Ragu Dimas, Pafi dan Raji mengambil tempat duduk di bagian belakang yang masih kosong. Suasana kelas dirasakan berbeda dengan yang mereka bertiga rasakan di sekolah Hindia Belanda. Dinding batu hitam dan mengkilat yang dikelilingi obor di seluruh sudut ruangan yang dibantu dengan cahaya matahari yang tembus melalui jendela tak mampu menghangatkan suasana dingin dan lembab yang telah tercipta.

“Baiklah anak-anak, kita lanjutkan pelajaran. Bumi ini memiliki empat unsur energi utama, yaitu unsur bumi, api, udara dan air. Masing-masing unsur memiliki sifat yang berbeda-beda. Nah pelajaran kita hari ini adalah mengenal unsur kekuatan yang berasal dari bumi” Guru Wirabhumi menjelaskan.

“Siapa yang tahu apa saja yang bisa menjadi bagian dari unsur energi bumi” Tanya Guru Wirabhumi. Seorang siswa lelaki menunjukan jarinya.

“Ya Jilan, kau tahu jawabannya” Tanya Guru Wirabhumi.

“Batu, tanah, pasir, pohon” Jilan menjawab dengan lantang sambil menengok ke belakang dengan wajah sombong.

“Bagus Jilan. Walaupun kau baru satu pekan disini ternyata kau bisa mengejar ketertinggalanmu. Jadi, batu, tanah, pasir, pohon itulah unsur yang membentuk energi bumi. Setiap unsur tersebut memberikan kekuatan yang berbeda-beda” kata Guru Wirabhumi.

“Untuk mendapatkan kekuatan dari unsur-unsur tanah tadi, kalian harus menyatu dengan sumbernya. Kalian tidak akan dapat mengambil kekuatan bumi jika sedang berada di atas air atau di udara. Karena itu kelemahan utama dari pemilik kekuatan yang bersumber dari unsur bumi, dia tidak bisa meninggalkan daratan. Tetapi sekali saja dia menyentuh daratan, maka kekuatannya akan lebih besar dari unsur yang lainnya”.

“Ada yang tahu kenapa kekuatan unsur bumi lebih kuat dari pada unsur yang lainnya.” Guru Wirabhumi bertanya.

Jilan dengan semangat mengacungkan jarinya, tetapi kelihatannya Guru Wirabhumi ingin memberikan kesempatan kepada siswa lainnya. Kemudian pandangannya mengarah kepada Dimas. Mendapatkan tatapan seperti itu Dimas menundukan kepalanya berusaha berharap agar dirinya tidak diminta menjawab pertanyaan itu.

“Ah siswa yang baru datang, Dimas, mungkin bisa menjawabnya” Guru Wirabhumi berkata.

“Eh….eng… iya….karena bumi adalah tempat hidup dimana unsur-unsur lainnya bergerak dan mendapatkan tempat di atasnya” kata Dimas

“Hmmm…ternyata murid baru kita ini juga cukup pandai rupanya. Benar yang dikatakan Dimas, karena bumi adalah tempat hidup dimana unsur-unsur lainnya bergerak dan mendapatkan tempat di atasnya, tanpa bumi, maka tak akan ada unsur-unsur lainnya” kata Guru Wirabhumi

“Oleh karena itu menguasai kekuatan unsur bumi adalah hal pertama yang harus kalian pelajari. Baiklah pelajaran hari ini sampai disini dulu.” Guru Wirabhumi membubarkan kelasnya, semua siswa berhamburan keluar kelas. Tetapi sebelum Dimas, Pafi dan Raji keluar dari ruangan, Guru Wirabhumi mencegah mereka.

“Dimas, Pafi dan Raji, kalian tinggal dulu di kelas” kata Guru Wirabhumi. Mendengar panggilan itu Dimas, Pafi dan Raji saling pandang, mereka kembali duduk di atas kursi batu.

“Hmmm, karena kalian tertinggal pelajaran ini, maka ada pekerjaan rumah yang harus kalian selesaikan agar kalian bisa mengimbangi teman-teman sekelas kalian. Ambilah buku ini, kalian baca sampai bagian ke 7, ikuti setiap perintah latihan yang diminta di dalam buku ini. Jika ada kesulitan kalian cari aku di ruanganku” Kata Guru Wirabhumi sambil menyerahkan tiga buku kepada masing-masing kemudian membalikan badannya.

“Sekarang kalian boleh meninggalkan ruangan” kata Guru Wirabhumi.

“Terima kasih Guru” Kata ketiganya yang kemudian segera berjalan keluar dari kelas.

“Aduuhhh kenapa harus ada pekerjaan rumah juga di sini.” Raji mengeluh

“Tenanglah Raji, kita kerjakan bersama-sama, aku juga sama tidak mengertinya soal ini” kata Dimas

“Kau lihat tadi gayanya, idiiiihhhh menyebalkan sekali” Kata Raji

“Iya, seperti guru matematika kita di sekolah Hindia Belanda, Madame Van Boer.” Dimas nyengir membayangkannya

“Itu masih tidak seberapa, kau lihat tadi waktu Jilan menjawab pertanyaan, gayanya sombong sekali seolah dia yang paling pintar di kelas. Tapi aku senang melihat ekspresinya sewaktu melihat Guru Wirabhumi memuji jawabanmu Dimas” kata Pafi dengan wajah yang berubah-ubah.

“Sepertinya kita bertemu saudara seperguruannya Aryo” kata Raji sambil tertawa yang diikuti oleh gerai tawa Dimas dan Pafi.

“Kita harus segera ke kelas Sejarah Narapati, ayo aku sudah tidak sabar mengikutinya” kata Dimas dengan semangat.

“Sepertinya pelajaran ini sekarang akan menjadi pelajaran favorit kita, padahal di sekolah Hindia Belanda sejarah adalah yang paling membosankan, apalagi kalau sudah mendengar kesombongan-kesombongan penjajah itu.” Kata Raji.

“Semua pelajaran bagimu terasa membosankan, karena kau memang tidak mau belajar. Tapi syukurlah kalau kali ini kau punya semangat” Kata Pafi agak sinis. Raji hanya menunjukan ekspresi masam mendengar komentar Pafi.

“Ayo, kelas kita ada di ujung lorong sebelah sana” Dimas mengajak kedua sahabatnya untuk bergegas. Setibanya di depan kelas mereka melihat para siswa baru saja masuk ke dalam kelas. Seorang lelaki tua berpakaian berbeda dari Guru Wirabhumi berjalan ke arah pintu yang sama tetapi Dimas, Pafi dan Raji tak menyadarinya. Ketiganya segera saja memasuki ruangan.

“Selamat Pagi anak-anak” Salam Guru tersebut kepada seluruh kelas. Matanya sebentar menyapu seluruh kelas dan menemukan hal yang baru bagi kelasnya, tiga siswa baru.

“Ah, ada siswa baru rupanya. Aku sudah mendapatkan kabarnya tapi tidak menyangka kalau hari ini aku mendapatkan mereka di kelasku. Perkenalkan diri kalian” Guru tua itu meminta Dimas, Pafi dan Raji memperkenalkan diri mereka ke seluruh kelas.

“Mereka anak kesayangan pimpinan kuil ini Guru Kusumo” Jilan menyela pembicaraan dengan raut muka yang tidak suka.

“Aku tidak bertanya kepada kamu Jilan.” Jawab Guru Kusumo

“Pak Kusumo” Desis Dimas pelan. Pafi dan Raji terbelalak kaget melihat siapa yang menjadi guru sejarah mereka. Tetapi Guru tua yang sedang berdiri di depan itu hanya tersenyum melihat mereka.

“Ayo Dimas, Pafi, Raji kalian perkenalkan diri kalian kepada kelas ini” Kata Guru Kusumo. Dimas, Pafi dan Raji berdiri secara bergantian menyebutkan nama masing-masing.

Pelajaran hari itu menjadi sangat menyenangkan bagi Dimas, Pafi dan Raji, karena ada orang yang mereka kenal di dunia manusia ternyata juga seorang Narapati. Selesai pelajaran sejarah, Dimas, Pafi dan Raji tinggal di kelas sebentar atas permintaan Guru Kusumo. Setelah semua siswa pergi dari ruangan, Guru Kusumo menutup pintu kelas rapat-rapat.

“Akhirnya kita bertemu lagi nak.” Kata Guru Kusumo

“Jadi Bapak adalah Narapati juga” Kata Dimas

“Betul, aku ditugaskan Raja Prabu Narayala untuk membantu dan menjagamu di sekolah” Kata Guru Kusumo.

“Lalu siapa lagi yang juga seorang Narapati selain Bapak dan Nyai Janis” Tanya Pafi

“Aku tidak bisa menjawabnya, karena hal itu harus dirahasiakan. Banyak yang masih ditempatkan di dunia manusia untuk mengawasi keadaan” Kata Guru Kusumo.

“Keadaan ? apa maksud Bapak ?” Tanya Dimas

“Nak, Dunia Manusia dan Narapati tidak sepenuhnya terpisah. Apa yang terjadi di dunia Manusia bisa menjadi pertanda untuk sebuah kejadian di dunia Narapati” Kata Guru Kusumo.

“Kami tidak mengerti” Kata Pafi.

“Hmmm…baiklah akan aku ceritakan, tapi pelajaran apa selanjutnya setelah kelas ini” Tanya Guru Kusumo.

“Menurut daftar yang diberikan Guru Naradharma, kebetulan hari ini hanya sampai disini.” Kata Pafi.

“Sebenarnya yang akan aku ceritakan adalah pelajaran sejarah untuk kelas tingkat utama. Tapi tidak ada salahnya kalian mengetahuinya lebih awal. Toh kalian termasuk sedikit orang yang pernah tinggal di dunia manusia” Kata Guru Kusumo.

“Di dalam dunia Narapati tidak ada kejadian yang terjadi secara terpisah dari apa yang terjadi di dunia manusia. Semua berkaitan karena sebenarnya Bangsa Narapati dahulunya juga tinggal di dunia manusia. Dunia Narapati pula memiliki wilayah yang sama persis saat seluruh bangsa Narapati berpindah ke dunia baru yang sekarang. Ada Gunung Bromo, Gunung Semeru dan gunung-gunung lainnya, hanya saja semua aktifitas alam dan perubahan bentuk bumi yang terjadi setelah perpindahan bangsa Narapati kurang lebih duabelas ribu tahun lalu tidak langsung terjadi di dunia Narapati. Kejadian besar seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir besar, perang atau bencana lainnya di dunia manusia akan berdampak kepada dunia Narapati dalam bentuk yang lain. Dunia Narapati sekarang menghadapi bahaya yang sangat besar karena sedang dalam masa perang dengan bangsa Amukhsara. Bangsa Amukhsara adalah bangsa Narapati yang memilih jalan sesat sehingga mengalami transformasi bentuk. Peperangan ini terjadi sejak terjadinya perebutan BUKU KEHIDUPAN.” Guru Kusumo diam sesaat.

Dimas, Pafi dan Raji sudah mengerti dengan perang yang dimaksud Guru Kusumo. Prabu Narayala pernah menjelaskan tentang keberadaan BUKU KEHIDUPAN yang bersemayam di tubuh Dimas, dan peran Pafi dan Raji di dalam perebutan ini.

“Kalian perhatikan tanda-tanda apa yang pernah terjadi di dunia manusia, kejadian besar yang terjadi atau pernah terjadi, maka juga telah terjadi sesuatu di dunia Narapati” Kata Guru Kusumo

“Baiklah, sekarang kalian kembali ke ruangan Guru Naradharma, dia akan memberikan petunjukan berikutnya untuk kalian, aku sudah terlalu banyak bicara kepada kalian.” kata Guru kusumo.

Dimas, Pafi dan Raji tidak membantah walaupun rasa penasaran masih tetap bersemayam di hati mereka akhirnya mereka putuskan untuk berjalan keluar dari kelas meninggalkan Guru Kusumo sendirian di dalam kelas.

“Kejadian besar, kau ingat apa yang dikatakan pak Kusumo tadi, apa maksudnya” Kata Dimas.

“Mungkin tabrakan tebu” Kata Raji santai

“Bukan kejadian seperti itu, yang dimaksud pak Kusumo itu kejadian besar seperti perang atau bencana alam, seperti letusan gunung krakatau pada tahun 1883” Kata Pafi

“Kau ingat pernah ada berita mengenai munculnya gunung baru di bekas letusan gunung krakatau” Kata Pafi. Dimas dan Raji manggut-manggut.

“Tapi kejadian apa yang berhubungan dengan dunia Narapati ?” Tanya Raji

“Kita baru beberapa hari disini tentu kita tidak tahu apapun yang terjadi sebelum kita disini. Lebih baik kita cari tahu apa yang pernah terjadi disini sebelumnya.” Kata Dimas

“Kita ke Perpustakaan saja, pasti di sana banyak cerita sejarah dan legenda tentang negeri Narapati ini.” Kata Pafi mengusulkan.

“Tapi sebaiknya kita kembali ke ruangan Guru Naradharma untuk mencari tahu apa yang harus kita lakukan selanjutnya” Kata Dimas.

Akhirnya mereka bertiga bergegas berjalan menuju ruangan Guru Naradharma yang sudah menunggu mereka di dalam ruangannya.

“Ah…anak-anak aku sudah menunggu kalian sejak kalian berbicara dengan Guru Kusumo” Kata Guru Naradharma. Dimas, Pafi, Raji saling menatap, tapi kemudian mereka teringat dengan miniature kuil Cakravartin yang berada di ruangan Guru Naradharma.

“Maafkan kami, agak terlambat Guru” Dimas mewakili kedua sahabatnya kepada Guru Naradharma.

“Sesuai petunjuk Gusti Prabu Narayala, kalian akan tetap mengikuti peraturan yang berlaku bagi semua siswa di Cakravartin. Kalian harus tinggal di asrama bersama siswa-siswi lainnya.” Kata Guru Naradharma. Raji langsung berkerut, harapannya untuk tinggal di ruang tinggal semegah kerajaan harus terhapus oleh perkataan Guru Naradharma tadi.

“Sudah didunia manusia kita tinggal di asrama, kenapa sekarang disini kita harus mengalami nasib yang sama. Huh nasib…nasib.” Kata Raji menggerutu. Guru Naradharma hanya tersenyum-senyum mendengar gerutuan Raji.

“Sekarang kalian akan diantarkan ke asrama dimana kalian nanti akan tinggal” Guru Naradharma menepukan tangannya. Nusapati yang berada di balik ruangan muncul di balik pintu besar.

“Nusapati, tolong antarkan mereka ke ruang asrama mereka. Nah anak-anak selamat bersenang-senang.” Nusapati hanya mengangguk mengerti perintah yang diberikan Guru Naradharma kemudian berbalik meninggalkan ruangan. Dimas, Raji dan Pafi mengikuti Nusapati dari belakang.

“Kalian akan tinggal bersama 3 orang siswa tingkat menengah, 3 orang siswa tingkat lanjut, dan 3 orang tingkat utama. Nah ini ruangan kalian” Kata Nusapati menunjuk sebuah pintu kemudian mengetuknya. Tak lama kemudian pintu terbuka dan muncul seorang lelaki berumur enambelas tahun.

“Ah, Nusapati ada apa ?” Tanya pemuda itu.

“Aku membawa pesan dari Guru Naradharma, ketiga siswa baru ini akan tinggal bersama kalian” Nusapati memperkenalkan Dimas, Raji dan Pafi.

“Baiklah tugasku sudah selesai, aku tinggalkan kalian disini” Nusapati berbalik meninggalkan Dimas, Pafi dan Raji.

“Mari masuklah, namaku Kiranaryo” Pemuda itu menyodorkan tangannya bergantian kepada Dimas, Pafi dan Raji.

“Aku Dimas” “Raji” “Pafi” masing-masing menyambut sodoran tangan Kiranaryo.

“Baiklah sebelum aku tunjukan dimana kamar kalian, kalian harus mengerti tentang aturan yang berlaku di asrama kita. Kalian bisa membacanya di pahatan di dinding itu.” Kiranaryo menunjuk sebuah ukiran tulisan-tulisan yang terpahat di dinding. Raji menilik-nilik mencoba membacanya tetapi rupanya huruf-hurufnya bukanlah huruf romawi yang selama ini dia kenal.

“Kau bisa membacakannya untuk kami ?” tanya Raji nyengir kuda.

“Biarlah nanti aku akan salinkan ke dalam huruf Romawi untukmu Raji.” Kata Dimas kepada sahabatnya. Kiranaryo hanya tersenyum kecil melihat air muka Raji.

“Nah, Dimas dan Raji kalian gunakan ruangan nomor 3, Pafi kau akan satu kamar dengan Sita” Seorang gadis cantik mendekati Pafi tersenyum dan menyodorkan tangannya.

“Namaku Sita”

“Pafi”

“Mari, aku tunjukan kamar kita” Pafi mengikuti Sita menuju ruangan nomor 5 sementara Dimas dan Raji memasuki kamar mereka.

Begitu melihat sebongkah buntalan berisi kapuk yang sangat empuk, Dimas tak bisa menahan kantuknya. Lelah yang dirasakan seharian mencoba mencerna sebuah dunia yang sangat baru baginya. Sementara Raji sudah tidak lagi sadar di atas kasurnya. Tetapi walaupun lelah dan kantuk begitu kuat menyerang, Dimas merasakan pikirannya terus menerawang jauh. Ada hal yang terus terpikir olehnya sejak pertemuan di balairung. Dimas merasakan ada yang tidak biasa dia rasakan yang sangat berbeda dengan tempat-tempat lain yang sudah dikunjunginya.

----- **** -----

Tanpa terasa malam sudah merambat naik. Dimas sudah terlelap tidur entah sejak kapan rasa kantuknya akhirnya mengalahkan semua beban pikiran yang menggantunginya. Tapi tak berlangsung lama, matanya kembali terbuka. Getaran-getaran di dadanya kembali terasa, kali ini seakan seperti sebuah panggilan. Langkahnya tertuntun begitu saja menuju keluar kamar. Dimas hanya mengikuti saja kemana langkah kakinya membawa. Dimas terus melangkah hingga keluar dari pintu asrama siswa yang masih dalam satu kompleks dengan Cakravartin dan Kraton. Langkahnya terhenti oleh pandangan sinar putih terang yang meluncur dari puncak Cakravartin menembus langit yang cerah oleh cahaya bulan dan sebaran bintang.

Dimas terus melanjutkan langkahnya, tapi kali ini dia lebih berhati-hati terhadap lingkungan sekitarnya. Kuil Cakravartin adalah kuil yang sangat tinggi. Halaman kuil sangat terang oleh cahaya bulan. Dimas sedikit ragu untuk mengambil jalan memotong halaman kuil. Dimas mengambil jalan menyusuri tembok pagar yang mengelilingi halaman kuil kemudian mengambil jarak terdekat dengan pintu gerbang masuk kuil.

Lantai kuil terkena cahaya bulan yang hampir genap purnama, memantulkan kembali sebagian cahaya seolah sebuah cermin raksasa. Langit malam yang cerah tidak mampu menyembunyikan sosok Dimas yang berada di atas pelataran kuil. Rasa penasarannya terus membawanya masuk makin ke dalam menembus ruang demi ruang yang tadi siang dia lewati bersama Raji dan Pafi. Tetapi malam ini ada yang berbeda dari tadi pagi. Sebuah lubang besar menganga di lantai ruang utama dimana ratusan anak tangga menurun ke bagian bawah kuil yang gelap dan tak berdasar. Dimas agak ragu sejenak, tapi kakinya tanpa sadar turun menapaki satu demi satu anak tangga itu.

“SEBAN TEJA SORDHESPHEBAN”

Dimas merapalkan mantra dengan telapak tangan kiri menengadah ke atas. Dari pintu masuk kuil puluhan larik sinar bulan tertarik masuk dan berkumpul di atas telapak kiri Dimas. Sinar terang itu menggumpal membentuk bola dan menerangi ruangan. Kali ini dasar anak tangga bisa dilihat dengan jelas, Dimas kembali meneruskan langkahnya. Langkahnya berhenti pada sebuah ruangan segi enam yang buntu tanpa pintu. Pada lima bagian dinding terdapat ukiran-ukiran. Dimas memandangi tiap dinding dengan seksama. Ukiran-ukiran itu tampak seperti sebuah tulisan-tulisan dengan huruf-huruf yang sama sekali tidak dikenalnya. Semakin berusaha dia mencoba mengerti, semakin pusing kepalanya. Tapi tiba-tiba bola sinar yang berada di tangan kirinya mulai meredup. Dimas bergegas menaiki kembali tangga dan bersamaan dengan keluarnya perlahan anak-anak tangga itu naik ke atas dan menutup semua ruangan dibawahnya. Dengan Langkah cepat Dimas meninggalkan kuil menuju asrama. Sinar putih yang menjulang tinggi di atas kuil tadi sudah tidak terlihat lagi.

----- **** -----

Malam beranjak sangat cepat berganti dengan fajar muda yang merona merah di langit timur. Ujung langit Semeru begitu indah. Udara sangat dingin di Medanggana Raya. Kuil agung Cakravartin mulai kembali disibukan oleh kegiatan siswa. Dimas kembali menjalani belajarnya di kuil itu bersama dua sahabatnya. Berjalan beriringan Dimas mengajak dua sahabatnya mengambil tempat di bawah pohon beringin besar tepat di tengah halaman Cakravartin.

“Aku ingin menceritakan sesuatu kepada kalian.” Kata Dimas pelan. Tak biasanya Dimas punya cerita yang langsung ingin di baginya bersama, biasanya Raji atau Pafi yang meminta dirinya bercerita terlebih dahulu. Tentu saja Raji dan Pafi langsung tertarik dengan ajakan Dimas duduk di bawah pohon beringin. Apapun yang diceritakan Dimas pastilah sangat menarik buat keduanya, apalagi sampai Dimas sendiri yang meminta untuk mendengarkan. Setelah cukup yakin tidak ada orang lain di sekitar mereka Dimas mulai menceritakan apa yang dia lihat semalam.

“Semalam aku melihat sinar terang keluar dari puncak Cakravartin. Sinar itu seperti sebuah pilar hingga menembus awan selama beberapa saat. Aku penasaran ingin tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Lalu aku masuk ke dalam kuil untuk menyelidikinya. Di dalam kuil aku menemukan sebuah tangga menuju dasar kuil yang letaknya persis di lantai ruang pintu masuk utama. Lantai yang selama ini dilewati oleh semua orang. Aku masuk ke dalam ruang di bawah yang gelap itu. Disana aku menemukan sebuah ruangan berbentuk segi enam. Di lima bagian dindingnya terdapat pahatan-pahatan yang aku tidak mengerti. Aku sempat keluar sebelum ruangan itu tertutup lagi.” Dimas menyudahi ceritanya. Matanya memandang kedua sahabatnya menunggu reaksi.

“Apakah ruangan itu memang terbuka dengan sendirinya atau dibuka oleh sesuatu ?” tanya Pafi.

“Aku sendiri tidak tahu, aku sudah menemukannya dalam keadaan terbuka dan sebelumnya aku tidak melihat siapapun keluar dari kuil.” Kata Dimas.

“Mungkin ruang itu sudah terbuka dengan sendirinya.” Kata Raji.

“Ya, mungkin saja. Tapi mengapa tertutup lagi ? Mungkin sebenarnya ruangan itu tidak seharusnya terbuka sendiri. Ada orang yang membukanya, tetapi hanya menemukan ruang kosong.” Kata Dimas.

“Lalu apa yang dicari oleh orang itu ?” tanya Raji

“Entahlah, tapi aku yakin ada kaitannya dengan pilar sinar yang meluncur dari puncak Cakravartin semalam.” Kata Dimas.

“Lebih baik kita mencari tahu dari perpustakaan. Kita lakukan nanti setelah pelajaran terakhir.” Kata Pafi.

“Baiklah, ayo kita segera ke kelas. Aku pikir hari ini kita akan belajar mengenai pengobatan and perbintangan. Kita akan ke perpustakaan setelah pelajaran terakhir selesai.” Kata Dimas. Mereka segera menuju kelas dan mengikuti pelajaran. Semua berjalan sangat lancar pelajaran hari ini. Raji menjadi begitu sangat tertarik terhadap pelajaran pengobatan. Kemampuannya berkembang lebih maju dari pada Dimas maupun Pafi. Seakan sekarang Raji menjadi yang paling pandai diantara mereka.

“Wah hari ini kau tampak hebat sekali Raji.” Kata Pafi memuji

“Hehehe…kebetulan kali ya, mungkin aku merasa ada yang begitu cocok denganku saja.” Kata Raji

“Tampaknya bakat Raji di bidang pengobatan dan ramuan.” Kata Dimas

“Mungkin juga, tapi pelajaran perbintangan tadi begitu membosankan. Aku sampai tertidur melihat bintik-bintik putih di langit-langit kelas.” Kata Raji

“Guru Wariga Wadwan kelihatannya orang baik. Tidak seperti guru Wirabhumi di pelajaran tenaga dalam, dia sangat sombong.” Kata Pafi.

“Mungkin karena dia berpikir pelajaran yang dia berikan adalah pelajaran paling dasar dari semua kemampuan olah raga dan olah jiwa.” Kata Dimas.

Begitu asyik mereka membahas semua hal baru yang mereka temui di kelas tadi. Seperti janji yang sudah disepakati tadi pagi, mereka bertiga berkumpul dan menghabiskan waktu sore mereka di perpustakaan. Ruang perpustakaan terlihat penuh dengan beberapa siswa yang lebih tinggi tingkatannya. Beberapa mata menatap kedatangan Dimas, Raji dan Pafi. Berkali-kali Pafi mengibaskan tangannya dengan lembut. Getaran-getaran perubahan gerak udara di dalam ruang perpustakaan yang dirasakannya mendorong instingnya untuk membuat pertahanan.

“Kita sedang diserang” kata Pafi berbisik.

“Jangan membalas, kita bertahan saja dengan membuat perisai gaib.” Kata Dimas

“Tidak membalas ? kita harus tunjukan kalau kita bisa menyerang balik.” Kata Raji dengan nada agak kesal.

“Kita harus tetap fokus pada tujuan kita kesini.” Kata Pafi agak kesal. Raji langsung diam mendengar dengusan Pafi. Mereka bertiga pun mengambil tempat duduk yang tidak banyak orang. Beberapa pasang mata anak-anak yang lebih besar tubuhnya menatap mereka bertiga. Dimas merasakan ada upaya membaca pikiran dan segera saja menyelubungi dirinya, Raji dan Pafi dengan selimut gaib.

“Sepertinya ini tidak hanya sebuah perpustakaan, tetapi tempat latihan. Semua serangan yang dilakukan begitu halus.” Kata Dimas

“Betul, mereka menyerang pada bagian titik totok penting, sehingga walaupun serangan tidak keras, tapi cukup membuat kita kehilangan kendali tubuh kita sendiri.” Kata Pafi yang tadi sempat melakukan tangkisan-tangkisan terhadap serangan-serangan halus tadi.

“Sepertinya tujuan mereka hanya untuk mempermalukan kita saja.” Kata Dimas.

“Aku akan balas menyerang mereka, aku sudah gerah dengan kesombongan mereka.” Kata Raji yang sudah gatal tangannya sejak tadi. Dengan gerakan yang halus Raji melakukan serangan ke arah para penyerang yang sedang berusaha masuk dan menembus perisai gaib Dimas. Pafi tak mau ketinggalan, dia juga ikut melakukan serangan. Sekelompok anak remaja yang tubuhnya lebih besar tiba-tiba terkulai lemas.

“Aku menyerang pusat gerak mereka. Mereka tidak sempat menahan seranganku.” Kata Raji.

“Aku menahan ikatan pikiran mereka denganku sehingga gerak refleks mereka melambat.” Kata Dimas sambil nyengir. Raji dan Pafi tersenyum senang. Paling tidak anak-anak itu akan terbebas dari gangguan sampai ada yang membentuk kelompok remaja itu lepas dari totokan serangan Raji dan Pafi.

“Ayo sekarang kita mencari sejarah Cakravartin.” Kata Pafi.

Ruang perpustakaan yang luas dikelilingi oleh lemari-lemari kayu di sepanjang dinding ruangan. Di langit-langit menggantung kepompong-kepompong berwarna keemasan yang terang menyala. Cahayanya menyorot ke setiap meja dan seperti sebuah hologram memproyeksikan kelompok-kelompok pustaka. Seperti membalik-balikan sebuah buku, kelompok pustaka yang dipilih langsung bereaksi dan proyeksi berubah memberikan rincian dari kelompok pustaka yang dipilih. Sebuah benda berbentuk piramida dengan dasar bersegi enam sama sisi muncul setelah Pafi memilih kelompok pustaka. Di sekeliling bentuk piramida itu melayang-layang kelompok yang lebih detil dalam huruf-huruf narapati. Huruf-huruf itu menunjukan dimana pustaka yang diinginkan diletakkan di antara rak-rak. Pafi kemudian menggerakan jari telunjuknya ke arah dimana pustaka mengenai Cakravartin diletakan. Sebuah buku besar keluar dari sebuah rak dan melayang menghampiri meja mereka.

“Buku Cakravartin” bisik Dimas.

“Ayo kita buka” kata Pafi tak sabar.

Pafi dengan sabar membuka satu per satu setiap halaman buku yang tebalnya satu telapak orang dewasa. Buku berlapis warna emas itu berisi semua keterangan mengenai sejarah Cakravartin yang dimulai saat pembangunan hingga selesai. Semua cerita dalam buku itu sudah seperti sebuah legenda karena usia buku itu hampir sama tuanya dengan usia Cakravartin itu sendiri. Telah hampir 15.000 tahun Cakravartin berdiri menjadi pilar bagi dunia tengah.

“Sepertinya akan perlu satu purnama untuk membacanya.” Kata Raji terlihat agak malas melihat tebalnya buku itu.

“Itu kalau kau yang membacanya, aku Cuma perlu satu malam untuk membaca seluruhnya.” Kata Pafi dengan air muka cemberut.

“Apakah kita bisa meminjamnya ?” tanya Dimas

“Dengan ini pasti bisa” kata Pafi mengeluarkan sebuah lempeng batu bening berbentuk bundar dengan senyum lebar.

“Memangnya apa yang kau pegang itu ?” tanya Raji.

“Ini tanda keanggotaan yang memberikan aku kebebasan untuk meminjam pustaka dari ruangan ini.” Kata Pafi dengan bangga.

“Sejak kapan kau mendaftar, kenapa tidak mengajak kami ?” kata Dimas

“Huh, karena aku yakin membaca bukan hal yang menjadi kesenangan kalian.” Kata Pafi agak ketus. Dimas dan Raji nyengir kuda mendengar ocehan Pafi. Akhirnya mereka memutuskan untuk meninggalkan ruang perpustakaan dan meminjam buku Cakravartin. Tanpa banyak kesulitan Pafi berhasil mendapatkan pinjaman buku itu dan membawanya serta ke asrama.

Bayangan Cakravartin merambat perlahan bersamaan dengan merendahnya mentari sore yang menebarkan jingga di awan-awan yang menggantung di langit Bromo. Kepulan asap putih yang keluar dari kawah Bromo meliuk ditiup angin bagaikan lidah api yang kemerahan di bawah sinaran senja. Mahameru yang gagah menjulang tinggi seakan sedang merayu para dewa untuk berpesta di puncaknya. Langit megah Medanggana Raya menjelang purnama yang belum genap yang sudah tergantung bersama bintang timur. Cahayanya yang walau belum seterang saat malam, tapi bulan telah memberikan keindahan yang lengkap di langit Cakravartin. Perahu-perahu nelayan di sepanjang Nadisara kota mulai pulang ke rumah setelah sepanjang pagi hingga siang mengangkut hasil bumi ke pasar-pasar mengejar sore yang akan segera berganti malam.

Malam tak lama kemudian bertahta di puncak Cakravartin. Obor-obor menerangi seluruh penjuru kota memberikan warna keemasan ke seluruh bangunan. Sesekali tertiup angin semilir yang membuai penduduk Medanggana Raya. Kesenyapan menyelimuti kota di bawah bayang-bayang awan.







No comments: