Thursday, February 21, 2008

NARAPATI BARU
Hai pembaca Narapati. Narapati mengalami perubahan alur cerita pada chapter awal. Hal ini karena saya ingin mendapatkan gagasan baru mengenai memperkenalkan pembaca pada kisah awal dunia Narapati. Silahkan lihat di www.aryanarapati.blogspot.com.

Monday, January 28, 2008

PERTEMPURAN LEMBAH BADAI

Sehari setelah tiba dari perjalanan di Angkor Wat, Dimas, Raji dan Pafi menghadiri rapat besar di balairung keraton Narapati. Suasana di balairung keraton kerajaan Narapati telah penuh dengan para pejabat dan ahli perang. Pertemuan khusus dilakukan setelah Arghapati memberikan hasil laporan pertempurannya di Angkor Wat.

“Sekarang Angkor Wat sudah dikuasai, tetapi seluruh penduduk telah selamat dipindahkan ke Ayuthaya. Telik sandi melaporkan Pagan, Palembang dan Kutai telah jatuh ke tangan Amukhsara. Mereka sekarang sedang bergerak menuju Jawa.” Panglima Arghapati melaporkan perjalanannya kepada seluruh yang hadir.

“Bagaimana dengan misi menyelidiki kekuatan naga Jalatunda dan Pavaratha milik Amukhsara.” Patih Narmada bertanya.

“Mengenai kekuatan naga Jalatunda, hamba serahkan penjelasannya kepada Dimas, Pafi dan Raji.” Panglima Arghapati mempersilahkan tiga serangkai itu untuk berbicara. Walaupun suasana itu sudah biasa bagi Dimas, tetapi memberikan laporan tetap saja menjadi hal yang membuatnya gugup, terlebih harus dilakukan di hadapan para pejabat dan Naradyaksa. Akan lebih mudah bagi Dimas untuk langsung berbicara kepada Prabu Narayala. Dimas memandang Prabu Narayala seolah meminta ijin. Prabu Narayala memberikan anggukan setuju.

“Sebelum menuju pertempuran di utara Khitai, kami bertiga sempat singgah di tempat tinggal para peri di Hoa-binh. Semuanya berkat bantuan Jagawana. Dia pengasuh hutan di sana yang secara kebetulan memiliki batu bintang satuasra. Berkat batu bintang tersebut kami bisa melunturkan semua sihir-sihir pemagar wilayah para peri dan berhasil masuk ke sana. Disana kami bertemu dengan peri Agung dan mendapatkan petunjuk mengenai Naga Jalatunda. Peri Agung mengatakan air ketuban akan membersihkan semua sihir yang melekat ditubuhnya.” Dimas menceritakan semua kejadian di tempat tinggal para peri Hoa-Binh. Semua yang hadir mengernyit heran dan kagum dengan cerita Dimas. Mereka merasa hampir tidak percaya anak sekecil Dimas bisa memasuki wilayah para peri yang terkenal sangat penyendiri dan tidak mau berhubungan dengan dunia lain.

Dimas tidak menyebutkan dua petunjuk lain yang diberikan oleh Peri Agung. Raji dan Pafi tahu betul bahwa petunjuk itu memang terlalu pribadi dan tidak bisa disampaikan di dalam rapat itu. Semua yang hadir termenung mendengar kalimat yang disampaikan Dimas. Seakan semuanya sedang mencoba menerka apa yang dimaksud petunjuk itu membuat suasana balairung menjadi hening.

“Gusti Prabu, kiranya bisa memberikan petunjuk mengenai apa yang dimaksud dengan air ketuban itu.” Kata Patih Narmada kepada Prabu Narayala memecah keheningan.

“Air ketuban adalah air yang menyertai kelahiran. Hanya ada satu tempat dimana air ketuban jalatunda masih bisa ditemukan. Sumur Jalatunda. Letaknya di gunung Dieng.” Kata Prabu Narayala. Semua seperti terkaget mendengar kata Dieng, seolah Dieng merupakan tempat mengerikan.

“Untuk mengambil air sumur Jalatunda sangat berbahaya, karena sumur itu dijaga oleh para naga. Tugas ini membutuhkan pengendali air, penunggang cepat Garuda, dan pembuka gerbang.” Prabu Narayala memandang lekat pada Dimas, Raji dan Pafi seolah sedang melihat orang yang dimaksud. Tatapan Prabu Narayala terlihat begitu yakin bahwa tiga serangkai itu memang siap untuk tugas itu.

“Dimas, Raji dan Pafi yang akan menjalankan tugas ini di dampingi Vairivaravira Vimardana.” Prabu Narayala berkata setelah bangkit dari kursinya.

“Maafkan hamba tuanku, apakah bijak menugaskan anak-anak ke tempat yang sangat berbahaya seperti itu, sekali lagi maafkan kelancangan hamba tuanku.” Kata seorang Naradyaksa.

“Perjalanan Angkor Wat sudah membuktikan kesiapan mereka, tak ada lagi keraguan di hatiku kalau Dimas, Raji dan Pafi mampu seperti halnya panglima Arghapati dalam menghadapi bahaya. Mereka akan didampingi oleh para Vairivaravira Vimardana dalam perjalanan ini.” Prabu Narayala menjawab keraguan Naradyaksa. Semua pejabat bangkit memberikan sembah setuju kepada keputusan raja mereka. Tak ada seorang pun yang tahu dan mengerti apa yang menjadi perhatian utama Prabu Narayala. Prabu Narayala melihat perang ini bukan diakhiri dengan menghentikan semua pasukan Amukhsara.

“Sekarang bagaimana dengan persiapan kita untuk menghadapi pergerakan sekutu-sekutu Amukhsara dari utara dan barat.” Tanya Panglima Arghapati.

“Sambut mereka di lembah badai, gunakan Bawean sebagai pusat perbekalan. Panglima Arghapati, bawa seperempat kekuatan Narapati ke lembah badai. Hadang mereka dengan pavaratha rudra. Kirim pula seperempat kekuatan ke Merapi Amangkubhumi untuk bergabung dengan pasukan dari Kerajaan Selatan. Kita akan menyambut Amukhsara di Merapi. Kita harus tetap menyiagakan setengah kekuatan kita di Medanggana Raya. Para Janggan Wimana dari Tambora bisa jadi kekuatan yang mengejutkan kalau kita lengah.” Prabu Narayala memberikan perintah.

Panglima Arghapati memberikan sembah hormat, kemudian pamit dari balairung. Semua yang hadir pun bergerak meninggalkan ruangan saat Prabu Narayala meninggalkan kursinya.

Prabu Narayala sengaja mengirim seperempat dari kekuatan Narapati karena sudah menduga pergerakan Raja Sanaisbin di Barat. Mengirim Dimas, Raji dan Pafi ke Dieng bersama para Vairivaravira Vimardana akan menguntungkan, karena Sanaisbin tidak akan menduga bahwa musuh utamanya justru bergerak menyongsongnya. Perhitungan Prabu Narayala Pasukan Amukhsara akan menyapu semua penjagaan di Karang dan Sunda kemudian bergerak ke selatan.

Sementara saat yang bersamaan pasukan Narapati sedang bersiap berangkat ke lembah badai, Dimas, Raji dan Pafi sedang menunggu bersama para Vairivaravira Vimardana di kediaman Prabu Narayala untuk perjalanan mereka ke Dieng. Tak lama mereka menunggu, Wirapati muncul dari ruang keluar dari ruang utama. Seperti yang pernah dilakukan sebelumnya, para Vairivaravira Vimardana itu telah menggunakan berbagai macam pakaian rakyat biasa yang sangat lusuh termasuk Dimas, Raji dan Pafi.

“Dimas, sebelum berangkat Prabu Narayala ingin berbicara sendirian denganmu.” Kata Wirapati singkat.

Dimas bangkit dari tempat duduknya mengikuti Wirapati menuju ruang utama dimana Prabu Narayala menunggu. Raja Narapati itu terlihat duduk dengan santai, tetapi tampak tidak setegap biasanya. Ada rasa lelah yang tergaris di keningnya yang dipertegas dengan warna kulitnya yang mulai agak pucat.

“Dimas, kemarilah anakku. Ada yang harus aku sampaikan kepadamu sebelum berangkat ke Dieng.” Prabu Narayala melambaikan tangannya ke arah Dimas memintanya untuk duduk di sebelahnya. Dimas menurut dan duduk di sebelah Prabu Narayala. Dimas diam tak bertanya apa yang hendak disampaikan oleh Prabu Narayala.

“Singgahlah di Gunung Lawu, di puncaknya ada sebuah padepokan kecil. Sampaikanlah selendang kecil ini kepada pemimpin padepokan. Dia akan mengerti maksudnya.” Prabu Narayala menyerahkan sehelai selendang sutra pendek berwarna keemasan. Dimas menerimanya dengan tanpa banyak bertanya.

“Sampaikan salamku dan permintaan maafku kepada pemilik selendang ini karena telah membuatnya terlalu lama menunggu.” Kata Prabu Narayala.

“Baiklah Bapak Narayala.” Dimas menggangguk.

“Nah sekarang berangkatlah.” Prabu Narayala mengantar Dimas keluar ruangan utama dan kemudian bergabung dengan para Vairivaravira Vimardana. Setelah memberikan hormat semuanya pergi meninggalkan kediaman Prabu Narayala.

Sementara itu ribuan pavaratha rudra dan pavaratha pushpaka tampak sudah mengudara di atas Gunung Mahameru. Sebagian bergerak ke utara melintasi udara Medanggana Raya menuju Lembah badai yang sengaja dipilih sebagai tempat penghadangan karena lembah ini akan memberikan banyak kesulitan dalam bermanuver. Sementara sebagian yang lain bergerak ke barat menuju Merapi.

Di atas panggung di halaman kraton Medanggana Raya yang luas Prabu Narayala berdiri di hadapan ribuan pasukan Narapati telah berbaris rapi. Langit pagi tampak tua kemerahan di utara dan barat, seolah matahari telah tenggelam di siang bolong. Prabu Narayala memandangi langit yang semakin jingga tua.

“Wahai para Narapati, hari ini kita akan kembali berhadap-hadapan dengan Amukhsara, menyelesaikan apa yang belum tuntas di lembah Krakatau. Berangkatlah dengan gagah berani, jadikan lembah badai lautan kemenangan kita. Semoga Sang Isvarah melindungi kita semua.” Prabu Narayala memberikan pidato singkatnya di hadapan seluruh pasukan yang akan berangkat ke lembah badai. Panglima Arghapati memerintahkan semua pasukan mulai bergerak.

Ribuan Wahana terbang tengah melayang beriring-iringan memenuhi angkasa Bromo hingga membuat seluruh kota Medanggana Raya segelap mendung hitam. Kesiapan Narapati dalam menghadapi perang ini begitu tinggi hingga mampu menggerakan ribuan pavaratha dalam waktu singkat. Satu per satu wahana terbang itu mendarat mengambil pasukan yang telah dikelompokan dalam jumlah kecil. Kemudian mengangkasa kembali dengan kecepatan rendah.

Terbang dalam kecepatan rendah ini adalah terbang kehormatan dan pelepasan pasukan. Seluruh warga Medanggana Raya menghentikan semua kegiatannya memandang ke langit memberikan penghormatan kepada pasukan yang akan bertempur di lembah badai yang di dunia manusia berupa perairan yang disebut laut Jawa. Prabu Narayala berdiri di atas panggung tinggi melepaskan pasukannya. Dalam hatinya sangat sedih karena sebenarnya dia tahu bahwa pertempuran di lembah badai nanti adalah sebuah misi tanpa akhir.

Sementara pasukan sekutu Amukhsara telah membakar habis Kutai. Naga-naga Jalatunda melontarkan bola-bola api dari mulutnya, membakar semua yang berdiri di atas tanah. Hutan-hutan sepanjang sungai Mahakam hingga muara Barito hangus terbakar meninggalkan bara api dan tonggak-tonggak pohon yang menghitam. Kebakaran hebat melanda seluruh hutan di pesisir timur hingga ke barat. Sebagian besar penduduk Kutai telah berlayar ke Toraja, sementara yang tetap tinggal tak satu pun yang selamat. Ribuan pavaratha Rudra mengudara meninggalkan jejak asap menghitam di daratan yang memenuhi angkasa bergabung dengan asap hitam yang membakar sepanjang Pagan hingga Sriwijaya.

Panglima Arghapati yakin sekutu Amukhsara telah mencapai muara Barito. Perjalanan pasukan Narapati telah sampai di Madura. Penyebrangan menuju Bawean akan menjadi membahayakan bagi seluruh pasukan. Tetapi Panglima Arghapati tahu maksud Prabu Narayala memintanya untuk memusatkan semuanya di Bawean. Bawean berada tepat di tengah lembah badai yang memisahkan Jawa dengan Kalimantan. Jalan menuju ke sana melalui Madura akan menjadi tempat latihan bermanuver saat nanti berperang dengan sekutu Amukhsara. Bertempur di lembah badai sangat penting menguasai manuver. Pilar-pilar badai segera terbentuk membuat halangan dan berusaha menggulung semua pavaratha yang melintas. Badai-badai ciptaan dari sihir-sihir Kerajaan Selatan sengaja dibuat untuk menjaga lembah kematian tetap menjadi tempat yang suci. Ribuan pavaratha itu bergerak menghindari pilar-pilar badai yang makin lama makin banyak jumlahnya.

Cukup lama pavaratha-pavaratha Narapati mengarungi angkasa lembah badai. Iring-iringan panjang meliuk-liuk menghindari pilar-pilar badai seolah tak putus sambung menyambung bagaikan liukan ular naga. Angkasa di bawah awan lembah badai sangat mendung, seolah matahari tak sedikit pun menembus gumpalan-gumpalan awan hitam yang mengambang di atasnya. Daratan yang tampak hanyalah lekuk lembah yang turun naik sertan garis-garis panjang aliran sungai yang sama sekali tak tampak mengalir.

Akhirnya sebuah daratan hijau yang cukup luas tampak. Sinar matahari bersinar sangat yang mulai berangkat senja. Seluruh pavaratha mengarahkan kemudinya mendarat satu per satu di atas hamparan tanah lapang berumput yang di atasnya terdapat bongkah-bongkah batu yang rata seperti sebuah landasan. Bawean dalam waktu singkat dipenuhi oleh pavaratha. Pulau itu sepertinya memang sudah disiapkan menjadi pangkalan labuh.

Perkemahan dalam waktu singkat memenuhi semua lahan yang tersisa di antara pavaratha-pavaratha yang tertambat di atas landasannya. Tak ada satu api unggun pun menyala. Panglima Arghapati melarang semua prajurit menyalakan api. Dalam kemahnya yang berdiri persis di tengah kemah-kemah yang lain, Panglima Arghapati mengadakan pertemuan tertutup. Di ruangan kemah itu hanya ada lima orang termasuk Panglima Arghapati. Wirapati sang ajudan Prabu Narayala, dua Naradyaksa dan Rogokeling seorang Narasandhi yang memimpin pasukan khusus telik sandi.

“Kita memerlukan pengetahuan mengenai sejauh mana pasukan sekutu Amukhsara sudah bergerak.” Panglima Arghapati membuka pertemuan.

“Lebih baik kita istirahatkan pasukan malam ini, kirimkan telik sandi ke arah selatan Kalimantan. Perhitunganku musuh akan menggunakan aliran Barito sebagai penunjuk arah.” Wirapati memberikan saran.

“Saya sependapat dengan Wirapati. Aliran Barito cukup besar dan merupakan saluran utama yang bermuara di Aliran Sunda Utama hingga ke utara Bali. Aliran itu adalah yang paling aman dilalui terutama untuk pasukan yang belum pernah mengenal medan di lembah badai.” Kata Naradyaksa Perwira. Naradyaksa Madya di sebelahnya hanya manggut-manggut.

“Baiklah, Rogokeling siapkan telik sandi dengan Garuda terbaik untuk menyelidiki gerakan musuh.” Panglima Arghapati memberikan perintah.

“Baik akan saya siapkan sekarang juga Panglima, saya mohon pamit.” Rogokeling pamit dari tempat pertemuan.

“Sekarang kita harus mengatur serangan, apakah kalian punya pendapat ?.” Panglima Arghapati melemparkan pertanyaan kepada semua yang hadir.

“Menurutku, walaupun kita mungkin kalah dalam kekuatan tetapi lembah badai memberikan kita banyak keuntungan. Kita harus menggunakan kelebihan lembah ini untuk mengurangi kekuatan musuh sebanyak-banyaknya.” Wirapati mulai membeberkan satu per satu taktik perangnya.

“Musuh kita unggul memang dalam kekuatan, tapi mereka tidak memiliki pengalaman di lembah ini. Kita akan membawa musuh berhadapan langsung dengan kekuatan-kekuatan yang ada di lembah ini. Kita bisa menghancurkan pavaratha-pavaratha musuh satu per satu dengan memancing mereka berbenturan dengan pilar-pilar badai. Karena itu kita membutuhkan juru mudi pavaratha yang memiliki kemampuan mengendalikan pavaratha dengan cepat.” Wirapati menghentikan penjelasannya. Panglima Arghapati menunggu tanggapan para Naradyaksa.

“Bagaimana dengan para Naga Jalatunda, kita sudah tahu Garuda sekarang tak mampu mengalahkannya.” Kata Naradyaksa Madya.

“Naga Jalatunda memang merupakan hal yang harus kita waspadai, Karena itu kita harus menyiapkan penunggang Garuda-Garuda cepat dengan pengendali api.” Kata Wirapati.

“Mengapa harus pengendali api ?” Panglima Arghapati agak heran, karena menurut logika untuk pertempuran udara akan lebih membutuhkan pengendali udara dari pada pengendali api.

“Ingat, kita berada di lembah keramat. Kekuatan pengendalian udara telah di ambil seluruhnya oleh lembah ini. Pengendali udara tidak akan sanggup menggerakan angin yang sudah mempunyai kemauannya sendiri. Selain itu Naga-naga Jalatunda akan sangat mengganggu pavaratha-pavaratha kita yang sedang berusaha menggiring pavaratha musuh ke dalam pilar badai dengan semburan-semburan apinya. Pengendali Api harus menyerap semua api yang disemburkan oleh naga-naga itu. Garuda-garuda cepat harus melakukan gerakan-gerakan menghalau para Naga yang akan mengganggu pavaratha kita. Kita harus mengurangi kontak fisik antara Garuda dengan Naga Jalatunda, karena kita sudah tahu siapa yang akan menang kalau mereka sudah bertumbukan di udara.” Wirapati menjelaskan dengan cerdas. Semuanya mulai mengerti dengan strategi yang dijelaskan oleh Wirapati.

“Saran Wirapati sangat masuk akal, dengan pemilihan yang tepat kita akan bisa mengurangi korban yang lebih besar di pihak kita. Bahkan mungkin kita bisa mengalahkan mereka.” Kata Naradyaksa Madya dengan sangat yakin.

“Bagaimana dengan paman Naradyaksa Perwira ?” tanya Panglima Arghapati. Naradyaksa tua itu tepekur cukup lama, matanya agak terpejam sesaat sebelum akhirnya memberikan jawaban.

“Saya melihat rencana yang diajukan Wirapati sangat sempurna, rencana ini tidak boleh diketahui secara menyeluruh oleh seluruh pasukan. Setiap pasukan harus mempunyai tugas khusus yang sangat jelas apabila kita menginginkan rencana ini berhasil. Aku sependapat dengan Naradyaksa Muda, kalau semuanya berjalan sesuai rencana, sangat mungkin bagi kita memenangkan pertempuran ini.” Kata Naraydyaksa Perwira dengan sangat hati-hati.

“Baiklah, kita akan siapkan pasukan Garuda cepat dan para pengendali api. Tetapi sampai saat ini kita belum tahu bagaimana mengalahkan pavaratha siluman milik Amukhsara. Kita harus memikirkan cara kedua jika cara pertama gagal. Penyerangan akan dilakukan saat musuh berada pada jarak terdekat dari tempat ini. Pada saat itu musuh dalam kondisi tak siap karena sudah kelelahan menghadapi badai sepanjang perjalananan mereka. Kita akan bisa mencerai-beraikan mereka.” Kata Panglima Arghapati.

“Benar, kita tidak bisa mengandalkan rencana ini saja. Karena nasib Medanggana Raya akan sangat bergantung pada keberhasilan kita menghabisi sebanyak mungkin musuh agar pasukan Amukhsara di barat tidak bisa menggabungkan pasukannya di Medanggana Raya. Untuk mengetahui kelemahan pavaratha musuh, kita harus mencoba menyerangnya dengan berbagai senjata.” Kata Wirapati.

“Dari yang kita tahu mengenai sumber kekuatan pavaratha Amukhsara adalah darah Garuda yang membuat kulit pavaratha itu sangat sulit untuk dirusak oleh hanya sebuah serangan. Semua kerusakan akan pulih dengan cepat. Pavaratha Amukhsara seperti mahluk hidup, kita harus menyelidiki kelemahannya.” Wirapati menambahkan.

“Bagaimana menurut pendapat paman Naradyaksa ?” Panglima Arghapati mengalihkan perhatiannya kepada dua Naradyaksa yang dengan seksama mendengarkan keterangan Wirapati. Naradyaksa Perwira terdiam, sedangkan Naradyaksa Madya seakan hanya menunggu Naradyaksa Perwira memberikan jawaban.

“Menurutku kita sebaiknya menyiapkan satu kelompok pasukan khusus untuk menjatuhkan satu Pavaratha musuh. Kelompok khusus ini hanya bertugas untuk membongkar seluruh isi pavaratha musuh. Jika kita sudah tahu isinya, akan mudah bagi kita untuk mengetahui cara mendapatkan kelemahannya. Untuk tugas kelompok khusus ini, aku rasa Wirapati adalah orang yang paling tepat.” Kata Naradyaksa Perwira.

“Baiklah, aku setuju dengan usulan paman Naradyaksa Perwira. Wirapati siapkanlah semua yang kau butuhkan untuk kelompok khusus ini. Jika kau sudah menemukan kelemahannya. Kalau sampai kita kalah dalam pertempuran ini kau harus pimpin kelompok ini kembali ke Medanggana Raya dan menyampaikannya kepada Prabu Narayala.” Panglima Arghapati memberikan perintah. Wirapati agak terkejut mendengar perintah terakhir yang diterimanya. Tetapi mulutnya tidak bisa berkata-kata lagi, pikirannya menyetujui perintah itu.

“Baiklah Panglima, kalau begitu saya akan bersiap-siap.” Wirapati melangkah keluar dari kemah.
ANAK KRAKATAU

Jauh dari kota Yogyakarta yang dingin dan damai di tempat peperangan besar pernah terjadi sangat hebat. Peperangan yang pernah mempertaruhkan nasib semua dunia. Dekat Banten kota lama dengan sejarah kejayaan pusat perdagangan rempah dunia. Di sepanjang desa pantai barat yang menghadap langsung ke kepulan asap misterius yang muncul dari dasar laut. Muncul dari tempat dimana dulu krakatau besar memberikan dunia hujan abu berhari-hari. Getaran-getaran dari dalam tanah membuat permukaan laut beriak-riak kecil dan menjadi datar tak bergelombang.

Tidak ada nelayan yang berani melaut atau melewati selat, terlalu banyak hal-hal mengerikan yang pernah didengar dan diceritakan dari nelayan-nelayan atau para pelaut dari kapal-kapal asing yang melewatinya. Desa-desa di pesisir selat sunda belakangan digelisahkan oleh munculnya kejadian-kejadian aneh setelah asap misterius itu mulai membumbung dari dalam laut. Kejadian aneh yang disertai hilangnya gadis-gadis di desa itu secara misterius membuat desa segera saja gelap gulita ketika matahari mulai tenggelam di ujung krakatau.

Keresahan itu sudah semakin tidak terbendung, para lurah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Banyak penduduk yang akhirnya mengungsi ke wilayah cilegon bahkan mereka ada yang berduyun-duyun ke Batavia. Pengungsian besar-besaran dengan semua cerita aneh yang dibawanya akhirnya sampai juga kepada pemerintah Hindia Belanda. Penyelidikan intensif dilakukan di desa-desa yang telah dikosongkan oleh penduduknya, tetapi tak satu pun bukti ditemukan.

Sementara di balik keresahan itu, di bekas-bekas kedahsyatan perang masih begitu terlihat jelas. Di sebuah bangunan batu di lembah krakatau yang hitam legam yang hanya berdiri pohon-pohon meranggas gosong. Panasnya lembah membuat udara tidak memiliki cukup kesegaran untuk kehidupan bisa bernafas dengan baik.

Sosok berjubah hitam terbuat dari rami tebal yang terlihat compang camping penuh sobekan dan tambalan, berdiri tegak di puncak bangunan batu berbentuk piramida segi empat. Seorang berpakaian prajurit dengan perawakan berotot kekar, berkulit hitam dan bulu di seluruh tubuhnya. Mengenakan baju besi menyilang di depan dan belakang dada. Membawa golok raksasa bergerigi dengan untaian cincin menempel di bagian tumpulnya. Berjalan menaiki tangga piramida setinggi 5 kali pohon kelapa. Sungguh mahluk yang kecil dibandingkan ukuran piramida batu yang sedang ditapakinya.

Sesampainya di ujung puncak piramida, sembahnya dihaturkan dengan berlutut dan bersujud 4 kali kepada sosok berjubah hitam.

“Nassa Senopathi Honkhorolu Phordhana Sonhnatherdhan Nossan Phakhedha” sang prajurit tetap bersujud.

“Sandhith……” sosok berjubah hitam itu memberi perintah.

“Bagaimana dengan pasukan dari utara” tanya Raja Sanaisbin

“Sekarang pasukan sekutu kita di utara telah mulai melumpuhkan satu demi satu kota-kota perbatasan Narapati. Angkor Wat, Pagan, Sriwijaya, Kutai sekarang sudah dalam kekuasaan.” Kata Senopati Honkhorolu.

“Bagaimana dengan tindakan Narapati.” Tanya Raja Sanaisbin.

“Narapati hanya mengirimkan sedikit pasukannya ke Angkor Wat. Hanya terjadi pertempuran kecil di utara Khitai.” Kata Senopati Honkhorolu

“Hmmm…Narayala cerdik, dia sudah menduga akan kekuatan baru kita. Angkor Wat hanyalah perang kecil untuk mengukur kekuatan. Narayala membiarkan semua kota-kota perbatasan dikuasai, karena dia tidak menginginkan Medanggana Raya lemah penjagaan.” Kata Raja Sanaisbin.

“Katakan kepadaku Honkhorolu, bagaimana perkembangan bala tentaraku” sosok berjubah hitam itu bergerak mendekati Senopati Honkhorolu Phordhana yang masih berdiri diatas lutut kirinya dengan tangan kanan masih mendekap rapat pada dadanya. Sosok senopati yang raksasa walaupun berlutut, tetap saja tingginya masih sama dengan sang sosok berjubah hitam itu.

“Tuanku Sanaisbin raja segala bangsa dunia tengah yang perkasa, semua pasukan sudah hampir siap.” senopati Honkhorolu memberikan laporannya.

“Aku ingin melihatnya langsung” Raja Sanaisbin bergerak menuruni tangga piramida. Gerakannya tidak lagi terlihat dengan jejak-jejak kaki, tetapi langsung melayang. Senopati Honkhorolu mengikuti gerakan tuannya dari belakang. Mereka bergerak turun sampai ke dasar piramida yang didepannya terbentang pohon-pohon raksasa yang nyaris setinggi piramida. Di seluruh batangnya menggaantung benda lonjong putih seperti kepompong seukuran dua kali kerbau. Pohon raksasa itu tidak tampak lagi sebagai pohon karena tidak ada daun satupun tersisa. Yang ada hanyalah ratusan kepompong putih yang menggantung diseluruh batangnya.

“Bangsa Dwarapala telah menyatakan dukungannya kepada kita dan akan menyiapkan 15.000 raksasa untuk memperkuat pasukan kita.” Kata Senopati Honkorolu

Raja Sanaisbin tampak puas dengan yang dilihatnya, senyum senang melihat keganasan naga Jalatunda yang baru saja mencabik-cabik seorang raksasa. Tak terlihat wajah welas asih tetapi hanya senyum kebengisan yang dalam. Mereka kemudian bergerak menuruni lembah yang lumayan dalam dan berhenti di pinggir jurang dibawahnya mengalir sungai lahar pijar yang sangat dalam dan panjang. Aliran lahar pijar yang panas membara pada dasar jurang mengepulkan asap-asap belerang yang menyapu seluruh dinding jurang. Pada dinding-dinding jurang terdapat benda-benda berwarna kuning bening keemasan menempel diseluruh dinding jurang di kiri dan kanan sungai.

“Di hadapan kita adalah duaratus ribu Kepompong-kepompong para Amukhsara yang siap menetas untuk dikerahkan, kita berhasil mempercepat pertumbuhan para prajurit. Panas aliran lahar pijar telah mempercepat penetasan”

Senopati menunjukan dinding-dinding jurang yang penuh dengan kepompong para Amukhsara yang pada beberapa bagian mulai retak-retak dan seorang Amukhsara keluar dari kepompong langsung melompat ke punggung para naga-naga terbang Jalatunda para prajurit Amukhsara yang melayang di sebelahnya. Kadang-kadang ada yang yang tidak tepat sehingga terjatuh melayang ke sungai, tetapi dengan cekatan para naga menukik mengejar dan mencengkram amuksara yang jatuh dengan kaki-kakinya. Pada sisi lain terjadi tubrukan antara amuksara yang melompat dengan penunggang naga sehingga sang penunggang terjatuh ke dalam jurang. Tetapi naga-naga yang selalu berseliweran bolak balik keluar masuk jurang selalu berhasil menangkap siapapun yang terjatuh.

Sang Raja Sanaisbin tampak puas, tak lama kemudian datang dua ekor naga mendarat di hadapan mereka menunduk rendah. Raja Sanaisbin dan Senopati Honkhorolu menaiki naga-naga Jalatunda tersebut kemudian terbang menyebrangi jurang lahar pijar kemudian mendarat pada lereng yang cukup tinggi dimana terdapat sebuah goa besar pada bagian dindingnya. Pada bagian puncak tampak kaldera bekas letusan yang dipenuhi air membentuk danau berwarna hijau keputihan yang ditengahnya menyembul sebentuk kerucut dengan puncak yang terus-menerus menyeburkan lahar pijar panas. Mereka berdua masuk ke dalam gua yang sangat besar yang menembus dasar kaldera. Suara-suara lolongan panjang srigala keluar dari mulut goa begitu nyaring bergema.

“Kita juga telah berhasil membuat persilangan Cakracakra dengan Mahisasura, sehingga kita sekarang mempunyai pasukan srigala yang bertubuh sebesar kerbau yang akan mampu menandingi para pasukan harimau putih Narapati”

Lalu mereka bergerak menuju ruangan goa yang lebih besar dengan stalaktit dan stalagmit yang menyembul berwarna-warni. Mereka keluar pada ujung lorong yang memiliki ketinggian sehingga dapat melihat seluruh isi ruangan dengan jelas.

“Tuanku Raja Sanaisbin, di bawah sana adalah tempat latihan semua prajurit. Kami menculik cukup Narapati, Garuda dan Narasimha untuk latihan ini”

Raja Sanaisbin dan Senopati Honkhorolu berjalan balik kembali keluar dari lorong yang pertama mereka masuki. Kemudian memasuki lorong yang lain yang diujungnya terdapat ruangan lain berbentuk sel penjara dengan sejumlah perempuan manusia dewasa yang sedang duduk-duduk dengan kepayahan. Semua perut mereka buncit seperti sedang mengandung. Ada yang sedangan menangis ketakutan, ada yang duduk dengan tatapan mata yang kosong tak bicara sepatahpun. Ada yang sudah mulai tertawa-tawa sendirian dan ada yang hanya menunduk dengan seluruh rambut menutupi wajahnya.

“Ruangan ini adalah ruangan penetasan Amukhsara sebelum disimpan di kepompong kawah api. Kami menggunakan perempuan-perempuan manusia sebagai induk pembiakan. Kami tidak mengambil perempuan Narapati, karena akan menimbulkan kecurigaan jika terjadi penculikan dalam jumlah besar”

“Setiap induk kami tanam tiga janin Amukhsara dalam tubuhnya, dengan cara ini kita bisa menghasilkan tentara dengan cepat” Senopati Honkhorolu kembali menjelaskan semuanya. Ruangan demi ruangan penuh dengan kengerian dan mimpi buruk panjang tak berkesudahan. Jerit kesakitan dan lengkingan kematian terus menerus bergema diikuti dengan sorak-sorai Amukhsara, pekik girang naga-naga Jalatunda dan raungan kemenangan para Cakracakra.

Semua ruangan-ruangan itu terhubung dengan lorong yang berujung pada ruangan terbesar seperti sebuah cerobong asap dengan atap terbuka menghadap langit. Di bawahnya bergolak danau lahar pijar yang sangat panas. Ruangan besar itu telah menjadi anjungan bagi sandarnya ratusan wahana Pavaratha. Di setiap anjungan terdapat goa yang menjadi jalur keluar dan masuk bagi persediaan dan tentara.

“Ruangan ini adalah tempat dibangunnya wahana Pavaratha yang telah diperkuat dengan darah para Garuda dan sihir para Janggan Wimana seperti perintah tuanku” kata Senopati Honkhorolu kepada Raja Sanaisbin.

“Sapu bersih semua penjagaan Narapati di Gunung Karang. Gabungkan kekuatan sekutu dari Sriwijaya. Hancurkan Merapi Amangkubhumi. Gerakan sekutu kita di Kutai ke Madura.” Raja Sanaisbin memberikan perintah.

“Perintah hamba laksanakan tuanku.” Senopati Honkhorolu pamit.

Raja Sanaisbin telah melepaskan seluruh pasukan yang sesungguhnya akan menjadi kekuatan utama dalam permainan perangnya. Pasukan-pasukan yang sekarang sedang menaklukan satu demi satu kota-kota Narapati, menjarah, membunuh dan menghancurkan semua peradabannya hanyalah pengalih perhatian. Prabu Narayala paham betul taktik saudara kembarnya itu. Dia membiarkan saudara kembarnya menguasai seluruh kota tetapi pada saat yang bersamaan menyelamatkan kekuatan yang ada dengan mengungsikannya ke tempat yang aman. Prabu Narayala tahu bahwa Narapati belum siap menghadapi kekuatan baru Amukhsara.

Sementara Raja Sanaisbin tak beda dengan Prabu Narayala. Walaupun telah terlepas keterkaitan jiwanya dengan saudara kembarnya Prabu Narayala, tetapi cara berpikir kembarnya tidak pernah hilang. Raja Sanaisbin tahu saudara kembarnya sudah membaca semua gerakannya. Dia tetap membiarkan seolah saudara kembarnya telah berhasil ditipunya. Gerakan pasukan dan penaklukan bukanlah sarana utama dalam kemenangan perang ini. Rahasia-rahasia lain yang lebih kecil justru yang menjadi perhatiannya. Sang terpilih pembawa buku kehidupanlah yang harus diwaspadai olehnya. Raja Sanaisbin sudah menduga kalau Prabu Narayala sedang menyiapkan sang Terpilih untuk menjadi pamungkas dalam perang ini. Tetapi ada yang tidak diketahui saudara kembarnya itu dan itu akan menjadi senjata pamungkasnya.
ANGKOR WAT



Malam belum lagi larut, kabut sangat tebal dengan tiba-tiba menyelimuti seluruh Medanggana Raya. Dimas sangat gelisah dan tak bisa sedikit pun memejamkan matanya. Setiap kali berusaha memejamkan mata, selalu saja kilasan-kilasan kejadian yang sempat diterimanya dari Garuda yang mati beberapa waktu lalu saat perjalanannya ke benteng Merapi. Perjalanan panjang yang baru saja dilaluinya tadi siang dari benteng Merapi bersama para Vairivaravira Vimardana tidak membuatnya lelah dan mampu beristirahat. Matanya tetap tak bisa terpejam bersama menerawangnya seluruh pikiran entah kemana. Akhirnya Dimas melangkahkan kakinya keluar kamar dan ternyata mendapati Raji dan Pafi juga tidak bisa tidur.

“Ah, kau juga tidak bisa tidur rupanya” kata Raji bangkit dari pembaringan di ruang tengah begitu melihat Dimas keluar dari kamarnya.

‘Eh, tidak, kalian juga tidak bisa tidur ?” kata Dimas balik bertanya.

“Iya, Aku dan Raji tadi sedang berbicara mengenai pesan penglihatan yang kau dapat dari Garuda Kencana yang mati di desa itu” kata Pafi.

“Aku juga tidak bisa tidur gara-gara masalah itu, aku ingin sekali menceritakannya segera kepada Bapak Narayala, tapi kelihatannya beliau sedang semadi. Menurut paman Wirapati, semadinya dilakukan sejak keberangkatan kita dua pekan lalu dan baru akan selesai setelah tiga hari lagi” kata Dimas.

“Lalu apa yang harus kita lakukan ? apakah kita katakan saja kepada paman Arghapati atau Kerthapati ?” tanya Raji.

“Aku tidak yakin, lagipula aku rasa keterangan sepenting ini lebih baik hanya Bapak Narayala yang harus tahu” kata Dimas. Pafi dan Raji terdiam, masing-masing larut dalam pikiran mereka sendiri-sendiri.

Malam masih sisa sepertiga, udara dingin telah menyelimuti seluruh kota Medanggana Raya dengan kabut tebal. Tak biasanya kabut yang begitu tebal melanda seluruh penjuru kota. Cahaya bulan yang sangat terang di langit yang tanpa awan, tak mampu menerangi kota yang berselimut putih.

Medanggana Raya pagi begitu indah, Dimas, Pafi maupun Raji akhirnya tidak tidur semalaman. Mereka habiskan sepertiga sisa malam dengan bercerita. Mata mereka tampak mulai mengantuk berat, tetapi kantuk mereka sekejap hilang dikejutkan oleh datangnya seorang yang sudah mereka begitu kenal sangat lama.

“Nyai Janis !!!” Pafi berteriak dan berlari menyongsong kedatangan Nyai Janis yang sudah berdiri di depan pintu tengah. Kerinduan yang berbeda dan luar biasa dirasakan oleh Pafi yang langsung memeluk Nyai Janis, bule Belanda pemimpin asrama tempat mereka tinggal di dunia manusia. Dimas dan Raji pun merasakan kegembiraan yang sama dengan Pafi. Seakan bertemu dengan ibu mereka sendiri yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu.

“Pafi, apa kabar, sudah lama sekali kita tidak bertemu. Saya rindu sekali dengan kalian” kata Nyai Janis dengan logat bulenya yang khas.

“Well, Piye kabare Dimas, Raji.” Kata Nyai Janis dengan logat Jawa yang aneh menyapa Dimas dan Raji yang terbengong-bengong tak tahu harus berbuat apa. Nyai Janis melepaskan pelukannya dari Pafi lalu membuka kedua tangannya untuk Dimas dan Raji. Mendapatkan tangan yang begitu terbuka keraguan Dimas dan Raji hilang dan segera menyongsong Nyai Janis dengan pelukan bersama.

“Kabar kami baik Nyai, bagaimana kesehatan Nyai sendiri” kata Dimas menanyakan sesuatu yang dulu sama sekali tidak pernah ingin dia lakukan. Dimas merasakan perbedaan yang luar biasa dari sikap Nyai Janis. Sikap keibuannya membuatnya nyaman dan merasakan sebuah sikap perlindungan.

“Kalian seperti tidak tidur semalaman, ada apa ?” tanya Nyai Janis.

“Eh…iya Nyai, kami begadang semalaman, kabut tebal yang turun tiba-tiba membuat kami semua kedinginan. Jadi kami akhirnya ngobrol semalaman” kata Pafi memberikan alasan.

“Nyai sendiri adakah yang sangat penting hingga harus datang ke Medanggana Raya ?” tanya Dimas

“Ya, Saya harus bertemu dengan Prabu Narayala. Ada hal penting yang harus saya sampaikan” kata Nyai Janis.

“Wah, sayang sekali Nyai. Bapak Narayala masih menjalankan semadinya dan baru tigahari kemudian beliau selesai.” Kata Raji

“Ya..ya… saya tahu itu dari Wirapati, karena itu saya punya kesempatan untuk menghabiskannya bersama kalian disini, boleh kan ?” kata Nyai Janis. Dimas, Raji dan Pafi menganggukan kepala mereka secara bersamaan.

“Tentu saja Nyai, kami ingin sekali tahu bagaimana kabar teman-teman di asrama.” Kata Pafi.

“Ya, benar bagaimana dengan Aryo dan teman-temannya itu. Apakah mereka masih berlagak jagoan seperti dulu” kata Raji.

“Kabar teman-teman di asrama baik-baik semua, mengenai Aryo, dia sekarang sudah lebih baik. Dia bersama teman-temannya menjadi aktifis pegerakan bumi putera.” Kata Nyai Janis

“Aku kangen sekali dengan pisang goreng buatan Mbok Sinem.” Kata Dimas tersenyum.

Mereka makin asyik terlibat pembicaraan mengenai semua hal yang terjadi di asrama dan teman-teman di dunia manusia. Nyai Janis dengan sabar dan senang hati menceritakan semua pertanyaan ketiganya.

Tiga hari telah berlalu, pagi itu Prabu Narayala telah menyelesaikan semadinya. Wajah raja Narapati itu tampak lebih bersinar. Turun dari tandu didampingi Wirapati, Prabu Narayala memasuki kediamannya. Dimas, Raji, Pafi dan Nyai Janis telah menunggu di depan menyambut kedatangannya.

“Nyai Janis, ahahahaha... apa kabar ? kau malah yang menyambut kedatanganku. Maafkan aku Janis” kata Prabu Narayala. Nyai Janis tersenyum lebar membuka tangannya dan menghampiri Prabu Narayala dengan pelukan hangat.

“Anak-anak, kalian sudah berada disini juga, bagaimana dengan pelajaran kalian ?” tanya Prabu Narayala kepada Dimas, Pafi dan Raji yang sejak tadi berdiri.

“Kami sudah sampai tiga hari yang lalu Bapak Narayala. Bagaimana kesehatan Bapak Narayala ?” kata Dimas.

“Aku baik-baik saja nak” kata Prabu Narayala. Sejenak menarik nafas kemudian duduk di kursi. Dimas merasakan ada yang aneh pada diri Prabu Narayala. Lemahnya bukan seperti orang yang baru semadi atau pun berpuasa, tetapi seperti orang yang lelah karena habis melakukan perjalanan jauh.

“Ada apa sehingga jauh-jauh kau datang kemari Janis” tanya Prabu Narayala mulai pertanyaannya kepada Nyai Janis.

“Aku datang karena ada berita besar dari dunia manusia. Bangsa Jepang menyerang pangkalan angkatan laut terbesar bangsa Amerika Serikat di Pearl Harbour. Hari berikutnya menyerang Hongkong, Filipina dan Burma.” Katanya Nyai Janis.

“Terima kasih Janis, keteranganmu sangat berguna bagi Narapati. Memang Narapati sedang mengawasi semua kemungkinan gerakan-gerakan yang dilakukan Amukhsara dan mencoba mencari dimana Amukhsara mengendalikan semuanya. Tapi sejauh ini belum ditemukan petunjuk yang pasti mengenai keberadaan pusat pasukan Amukhsara.” kata Prabu Narayala.

“Kami juga menemukan keterangan yang mungkin penting saat kami melakukan perjalanan kemarin Bapak Narayala.” Kata Dimas. Prabu Narayala beralih kepada Dimas, walau sudah sangat paham watak Dimas, tetapi tetap saja dia sesekali terkejut dengan apa yang dimiliki oleh Dimas.

“Baiklah, ceritakanlah anakku” kata Prabu Narayala.

“Garuda yang mati yang kami temui di desa itu sempat menyebutkan satu kata – Pasauran” kata Dimas.

“Hmmm nama yang menarik, Pasauran adalah wilayah yang terletak di ujung barat Jawa. Letaknya memang dekat dengan tempat munculnya anak krakatau saat kelahiran kau anakku.” Kata Prabu Narayala. Semua tampak berjengit kecuali Nyai Janis mendengar semua yang dikatakan Prabu Narayala.

“Berdasarkan ingatan Garuda yang mati yang sempat ditarik oleh Kerthapati dan cerita yang kau dapatkan langsung dari Garuda itu, aku makin yakin dengan tempat yang aku kunjungi selama semadiku.” Kata Prabu Narayala. Dahi Dimas agak berkerut heran mendengar kata “kunjungan selama semadi”. Prabu Narayala tersenyum mengerti keheranan Dimas.

“Amukhsara telah berhasil membuat persilangan Naga dengan Garuda, sehingga naga-naga Jalatunda yang mereka miliki sekarang lebih tangguh karena memiliki semua kekuatan naga dan Garuda untuk menandingi semua Garuda kencana para Narapati. Mereka juga berhasil mengembangkan Serigala Cakracakra menjadi seukuran kerbau sehingga mampu menandingi para Narasimha. Latihan yang mereka lakukan dengan menggunakan banyak Garuda dan Narasimha menjelaskan mengapa jumlah mereka berkurang akhir-akhir ini. “ Kata Prabu Narayala.

“Tapi aku tak menemukan dimana Sanaisbin membentuk tentaranya. Aku telah menjelajahi semua tingkatan waktu, tetapi tak satupun menunjukan adanya tanda sebuah markas pembentukan pasukan. Aku hanya bisa menduga bahwa dia telah menciptakan ruang waktu yang baru. Ada satu kekuatan yang membantunya, karena untuk membuka sebuah ruang waktu yang baru, akan dibutuhkan sumber tenaga yang sangat besar. Sumber tenaga seperti sekarang hanya dimiliki oleh batu bintang Satuasra, kecuali dia………. berhasil mendapatkan pecahan Satuasra yang terlempar jauh saat menghantam bumi. Konon kabarnya pecahan itu sebesar seperti delapan dari Satuasra yang sekarang bersemayam di perut Cakravartin.” Kata Prabu Narayala sambil menghela nafas.

“Apakah Narapati sudah menyiapkan pasukan ?” tanya Nyai Janis.

“Ya Janis, Narapati sudah mempersiapkan semua yang diperlukan untuk menghadapi serangan Amukhsara, tapi aku masih belum bisa menebak ke mana arah Sanaisbin mengarahkan sasarannya. Kalau dia memiliki pusat pengaturan di Krakatau, mengapa dia harus membuat serangan tipu muslihat seolah-olah serangan datang dari utara ? Aku Cuma bisa menduga kalau dia belum yakin dengan kekuatan pasukannya, sehingga dia melakukan serangan dari arah lain untuk mengecoh sasaran sebenarnya sambil mengukur tingkat kekuatannya. Aku sangat yakin sasaran utama selain Medanggana Raya adalah Benteng Merapi Amangkubhumi. Sanaisbin tahu kalau dia tidak mungkin melewati lembah keramat Sunda, karena pasukannya akan mengalami banyak hambatan.” Kata Prabu Narayala sambil mengibaskan tangannya ke arah lampu kepompong di langit-langit ruangan. Sinar terang kuning menyoroti meja di bawahnya dan membentuk lekuk-lekuk wilayah kerajaan Narapati yang membentang dari Bagan, Angkor Wat, Ayuthaya, Kutai, Sunda, Kenchana, Sumatra, dan Jawa.

“Jika Sanaisbin mengira kita tidak mengetahui rencana serangannya, maka biarkan dia tetap begitu. Kita berikan apa yang kita mau.” Kata Dimas. Prabu Narayala tersenyum mendengar yang dikatakan Dimas, tetapi Nyai Janis seperti menjadi kagum melihat perkembangan dan kecerdasan yang ditunjukan Dimas.

“Betul sekali nak, kita baru mendapat petunjuk mengenai datangnya serangan dari utara, tetapi serangan sebenarnya di dunia Narapati belum kita ketahui di mana persisnya wilayah Narapati yang akan lebih dulu diserang.” Kata Prabu Narayala. Temu kangen itu akhirnya berubah menjadi sebuah pembicaraan tingkat tinggi mengenai perang. Berbagai taktik dan strategi dibahas untuk memecahkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Wirapati sang ajudan Prabu Narayala rupanya selain menjadi ajudan, dia pula menjadi penasihat Prabu Narayala dalam melancarkan rencana perang, hal itu terlihat dari kemahirannya dalam memberikan pilihan-pilihan lain dalam mengatur serangan. Raji dan Pafi ikut memberi pendapat, pengalamannya berkelana bersama para Vairivaravira Vimardana memberi mereka cukup pengetahuan dasar mengenai keadaan di medan perang. Semua yang hadir ikut terlibat tukar pendapat mengenai rencana terbaik dalam menghadapi pasukan Amukhsara.

Pada saat yang sama tanpa mereka ketahui dari sudut kota yang lain seorang prajurit yang kedinginan bergegas mengetuk pintu kediaman Arghapati. Suara langkah kaki dari dalam rumah terdengar mendekati pintu. Dari balik pintu Arghapati membuka pintu dan langsung bertanya kepada prajurit itu.

“Ada apa prajurit, apakah ada hal yang sangat penting sehingga kau mengetuk pintu rumahku.” kata Arghapati.

“Maafkan hamba tuanku Arghapati, ada seorang telik sandi mohon diijinkan menghadap tuanku” kata prajurit itu.

“Baiklah, suruh dia masuk” kata Arghapati.

Prajurit itu membalikan badannya dan tak lama kemudian kembali lagi dengan membawa seorang lelaki berpakaian seperti seorang petani yang sudah sangat lusuh dan kelihatan kelelahan.

“Maafkan hamba tuanku, nama hamba Kraitong, hamba adalah telik sandi yang ditempatkan di wilayah Angkor Wat. Hamba membawa berita sangat penting untuk tuanku” kata Kraitong sambil menunduk.

“Berita apa yang kau bawa Kraitong, lekas katakan kepadaku” kata Arghapati.

“Telah terjadi pergerakan pasukan dari wilayah utara tuanku, ribuan pasukan tidak hamba kenal telah mulai menyebrangi perbatasan.” Kata Kraitong

“Apakah mereka dari kerajaan tetangga ?” Tanya Arghapati

“Bukan tuanku, hamba mengenali pasukan kerajaan tetangga. Pasukan yang kali ini sedang menuju Angkor Wat sangatlah menyeramkan. Mereka membawa pasukan Cakracakra raksasa seukuran Narasimha dan Naga Jalatunda yang berbadan seperti Garuda.” Kata Kraitong

“Baiklah, kau istirahatlah Kraitong, aku akan segera melaporan ini kepada Prabu Narayala” Kata Arghapati yang segera bersiap untuk ke tempat kediaman Prabu Narayala. Sang telik sandi pergi meninggalkan tempat sementara Arghapati berjalan melalui pintu belakang menuju pintu tembus yang langsung masuk ke halaman kediaman Prabu Narayala. Dengan hati-hati Arghapati mengetuk dengan irama ketukan yang sangat tidak lazim. Dari dalam pintu Prabu Narayala membuka pintu perlahan dan melihat Arghapati yang telah lengkap dengan semua atribut keprajuritannya. Prabu Narayala mengerti arti ketukan pintu yang dilakukan Arghapati dan diperkuat oleh kesiapan Arghapati dengan seluruh pakaian kedinasannya.

“Masuklah Arghapati” Kata Prabu Narayala. Arghapati memasuki ruangan dimana Nyai Janis, Dimas, Raji, Pafi dan Wirapati sedang duduk bersama Prabu Narayala membahas strategi perang.

“Maafkan hamba tuanku, hamba membawa berita penting dari teliksandi kita di Angkor Wat” Kata Arghapati sambil bergerak masuk ke dalam. Arghapati mendekati Prabu Narayala yang duduk di atas kursi batu yang berada di tengah ruangan.

“Katakanlah, tidak apa-apa semua yang ada di ruangan ini boleh mendengarnya.” kata Prabu Narayala.

“Amukhsara telah bergerak dari utara menuju perbatasan kita di Angkor Wat.” Kata Arghapati.

“Sudah kita duga sebelumnya, bahwa Amukhsara akan menyerang kita dari utara. Mereka akan menguasai tanah Narapati bagian demi bagian sehingga kita akan tersudut ke selatan” Kata Prabu Narayala.

“Tapi kali ini ada yang tidak biasa dari pasukan Amukhsara tuanku, pasukan Cakracakra yang mereka gunakan sekarang berbeda dengan pasukan yang terdahulu. Kali ini Cakracakra seukuran Narasimha” Kata Arghapati.

Prabu Narayala terdiam, dia termenung seperti sedang merangkai kejadian demi kejadian.

“Raja Sanaisbin melakukan persilangan dan pembentukan pasukan yang lebih tangguh untuk menandingi Narasimha dan Garuda Kencana. Sepertinya berita penculikan banyak wanita manusia di ujung kulon juga lenyapnya beberapa Narasimha dan Garuda Kencana secara misterius cukup menjelaskan kegiatan mereka selama ini. Anak krakatau adalah tempat yang paling tepat untuk melakukannya.” Kata Prabu Narayala.

“Bukankah kita juga sudah mengirimkan telik sandi kita ke sana tuanku. Tetapi kita tidak menemukan apapun” Kata Arghapati.

“Betul, kita memang telah mengirimkan telik sandi ke sana untuk menyediliki tempat itu, tetapi kita mencari di tempat yang salah. Dengan kesaktian Raja Sanaisbin, teliksandi kita tidak akan mampu menembus pandang barak tersembunyi yang berada di depan mata mereka. Aku menduga Raja Sanaisbin menggunakan tingkatan waktu yang berbeda sebagai tempatnya, karena telik sandi kita berada di dunia tengah, maka dia tidak akan dapat melihat mereka, sementara Raja Sanaisbin dapat melihat mereka” Kata Prabu Narayala.

“Lalu kenapa penyerangan dilakukan melalui utara ?” Tanya Arghapati.

“Kami baru saja membahas pertanyaan itu Arghapati. Dia ingin tetap menyamarkan barak pembangunan pasukannya sampai dia merasa yakin dengan kemampuan pasukannya. Dalam semadiku kemarin, aku melakukan “Kembara Sukma”, aku sudah berusaha untuk menembus barak gaibnya, tapi sampai saat ini belum juga berhasil. Sepertinya Raja Sanaisbin menggunakan sihir yang sangat kuat, sehingga Senopati Sarwwajalla dari Kerajaan Selatan pun tidak mampu menemukannya.” Kata Prabu Narayala.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang tuanku” tanya Arghapati

“Kita harus mengirimkan pasukan ke sana” Kata Prabu Narayala.

“Tapi, bukankah tadi tuanku katakan bahwa pusat kekuatan mereka sebenarnya berada di anak Krakatau.” Tanya Arghapati

“Betul, dan sampai sekarang kita belum mampu menemukan mereka. Selain itu, laporan telik sandi mengatakan bahwa ada yang berbeda dari pasukan mereka sekarang. Kita harus kirim pasukan untuk mengukur kekuatan dari pasukan baru itu, sehingga kita bisa mempelajari kekuatan dan mencari kelemahan mereka.” Kata Prabu Narayala.

“Baiklah tuanku, sekarang hamba mengerti” kata Arghapati

“Siapkanlah limapuluh pasukan Garuda Kencana dan limapuluh pasukan Narasimha. Gunakan wahana Pavaratha Pushpaka untuk mengangkut pasukan. Berangkatlah pagi-pagi setelah subuh, gunakan jalur Lembah Sunda timur.” Kata Prabu Narayala kepada Arghapati.

“Aku akan ikut dengan paman Arghapati.” Seru Dimas. Semua yang hadir terkejut dengan pernyataan Dimas.

“Mengapa kau pikir harus ikut anakku ?” tanya Prabu Narayala.

“Aku pikir penting untukku untuk mengenali kelemahan Naga Jalatunda. Pada tahap ini Naga Jalatunda harus menjadi perhatian utama untuk menemukan kelemahannya, karena serangan udara akan lebih berbahaya dari pada serangan darat. Kalau kita tidak mampu menemukan kelemahan Naga Jalatunda, maka pasukan Garuda Kencana akan kocar kacir pada saat perang yang sesungguhnya nanti.” Kata Dimas dengan yakin.

“Pafi dan Raji akan mengendarai Garuda Kencana akan menggiring seekor Naga Jalatunda menjauhi arena perang, kemudian akan melakukan serangan-serangan dari udara, sementara aku akan mencoba menyerangnya dari daratan. Sementara pasukan yang lain harus mencoba bertahan sebisa mungkin sampai kami menemukan kelemahan Naga Jalatunda.” Kata Dimas.

“Tapi, kenapa harus kalian yang melakukannya, bukankah kita bisa menyiapkan tiga prajurit khusus dari Vairivaravira Vimardana.” Kata Wirapati. Dimas diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu, dirinya harus yakin bahwa orang-orang yang akan mendengar jawabannya telah siap.

“Karena untuk menemukan kelemahan Naga Jalatunda diperlukan mata seorang Sethi.” Kata Dimas singkat. Kecuali Prabu Narayala, Pafi dan Raji semua terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan Dimas.

“Baiklah, aku rasa jawabanmu cukup memuaskan semua yang hadir di ruangan ini. Bersiaplah untuk keberangkatan kalian.” Kata Prabu Narayala. Semua bangkit berdiri tegak secara bersamaan. Bersamaan dengan pamitan Arghapati untuk mempersiapkan keberangkatan pasukan ke Angkor Wat, Dimas, Pafi dan Raji ikut meninggalkan ruangan mempersiapkan diri untuk keberangkatan mereka.

Tiga Pavaratha sudah bersandar di halaman depan pintu gerbang kota. Wahana terbang itu terdiri dari 2 Pavaratha Pushpaka pengangkut dan satu Pavaratha rudra atau perusak. Diiringi dengan gemuruh pelepasan disepanjang nadisara yang mengairi dan membelah kota. Para penduduk Narapati berbaris melepas seratusan tentara yang diiringi para Narasimha.

Berada di atas wahana Pavaratha menjadi yang pertama bagi Dimas, Pafi maupun Raji. Merasakan benda mirip perahu yang terbuat dari bahan yang tidak dikenal dunia manusia itu mengangkasa merasakan sesuatu yang berbeda. Pavaratha terbuat dari bahan mirip logam tetapi sangat ringan dan fleksible. Kulit permukaan kapal bersisik seperti sisik ikan saling bertumpuk. Sisik inilah yang membuat wahana ini mampu bergerak dengan kecepatan tinggi, karena angin yang menghadang dialirkan dengan luwes oleh sisik-sisik di seluruh badan wahana. Dilapisi sihir-sihir yang diciptakan oleh bangsa Sethi, membuat wahana itu mampu terbang dan mampu melindungi diri dari serangan.

Ketiga wahana Pavaratha itu bergerak naik dan menembus selubung gaib, lalu dengan kecepatan yang sangat tinggi melesat ke utara.

“Bersiap semuanya, kita akan meningkatkan kecepatan tinggi” kata pemimpin wahana. Semua yang berdiri di dalam wahana sambil memegang pegangan pada dinding-dinding. Gerakan cepatan wahana mendorong seluruh penumpung di dalamnya ke belakang. Gerakannya yang sangat cepat menembus barisan awan yang sedang mengembangkan mendung hingga bergerak seolah sedang berlayar di atas lautan awan. Tiga Pavaratha melaju beriringan dengan kecepatan tinggi.

“Bersiap, kita akan melewati Lembah Badai, akan banyak angin hisap di depan, kita sudah memasuki lembah Sunda, kita akan melakukan gerakan menghindar.” Pengendali Pavaratha membuat wahana itu bergerak meliuk. Awan-awan hitam yang menggantung di angkasa tiba-tiba seolah-olah berputar dan tertarik ke bawah membentuk putaran hingga ke daratan. Puluhan angin putting beliung bermunculan susul menyusul membuat rintangan pilar-pilar langit yang berusaha menghantam wahana pavaratha yang terus bergerak menghindar.

“Memangnya kenapa kita harus menghindari lembah Sunda paman ?” tanya Dimas kepada Arghapati.

“Lembah Sunda adalah tempat dulu dimana seluruh bangsa Narapati mendirikan seluruh kota dan kebudayaannya, sewaktu masih tinggal di dunia manusia sekarang. Tetapi sekarang kenyataan di dunia manusia lembah ini adalah lautan. Lembah ini dulunya penuh dengan kematian, karena banyak yang tidak sempat terselamatkan saat banjir besar melanda seluruh lembah. Kemudian Prabu Narayala melarang setiap Narapati untuk tinggal bahkan melewati wilayah ini sebagai penghormatan kepada mereka yang meninggal. Lembah ini disebut lembah kematian yang hanya diijinkan lewat untuk situasi darurat. Kemudian dengan bantuan Bangsa Sethi dan Kerajaan Selatan seluruh lembah Sunda dijaga dengan sihir-sihir yang oleh Sanasibin sekalipun tidak akan mampu dihilangkan. Setiap benda yang melewati lembah ini baik di darat maupun di udara maka akan muncul banyak rintangan. Lembah ini memiliki beberapa nama seperti lembah guntur yang penuh dengan kilatan-kilatan halilintar, Lembah Badai dengan angin hisap dengan pilar-pilar badai yang menjulang dari awan hingga daratan, lembah api dimana semburan uap panas dari dalam tanah selalu menerjang apapun yang melewati wilayah itu.” Kata Arghapati menjelaskan. Dimas mengedipkan matanya yang seketika berubah menjadi biru dan memandang ke arah luar yang ditutupi oleh dinding-dinding Pavaratha. Dimas mencoba menembus pandang melihat isi seluruh lembah yang tak pernah seorangpun melihatnya.

Mendekati wilayah selatan Kencana, angin hisap sudah tidak lagi tampak berputar-putar digantikan oleh hamparan hutan yang hijau membentang bagaikan permadani ke kaki bumi.Kelok-kelok sungai yang menari indah di antara hutan hingga menembus masuk pedalaman. Dalam beberapa jam lautan luas telah tampak di utara. Kemudian pavaratha diarahkan menyusuri garis batas antara laut dan daratan.

“Wilayah ini tampak lebih tenang” kata Dimas yang masih menggunakan mata Sethinya untuk mengamati keadaan di luar wahana.

“Ini adalah wilayah lembah api, kita akan menyusuri di pinggir saja hingga sampai ke wilayah Angkor Wat. Di wilayah ini banyak jebakan-jebakan yang ditebar untuk menghalau siapa saja yang masuk. Hanya yang berpengalaman melewati wilayah ini saja dapat menghindarinya.” Kata Arghapati

“Jebakan ? jebakan apa paman ?” tanya Dimas.

“Semburan angin panas dari dasar bumi yang cukup mampu membuat sebuah wahana Pavaratha terbakar dan jatuh.” Kata Arghapati. Semburan-semburan angin panas mulai bermunculan di seluruh wilayah lembah api hingga menembus ketinggian awan.

“Apakah kita bisa menangkalnya dengan menciptakan angin putting beliung.” Tanya Pafi.

“Yang kita hadapi adalah tenaga yang langsung berasal dari bumi itu sendiri, sehingga pemiliki tenaga angin, air dan api tidak akan sanggup menahannya. Kekuatan yang diciptakan semburan angin panas itu begitu kuatnya sehingga bisa melontarkan wahana yang terbang di atasnya kepada ketinggian hampa udara.” Kata Arghapati.

Wahana Pavaratha terus melaju dengan cepat meliuk-liuk mengikuti garis batas laut yang membuat semua penumpangnya terguncang-guncang. Bunyi derit goresan-goresan kuku dari para Narasimha dan Garuda Kencana memenuhi lantai ruang Pavaratha. Goncangan itu berhenti ketika daratan Angkor Wat sudah mulai tampak. Hamparan hutan yang sangat lebat yang mengelilingi sebuah kota yang cukup besar. Benteng besar dan tinggi melindungi seluruh kota yang dikelilingi parit yang lebar. Kemegahan kota dengan istana pahatan batu menjulang tinggi melengkapi keindahan langit Angkor Wat.

Tiga Pavaratha itu mendarat di dalam benteng kota. Ratusan prajurit telah bersiap menyambut kedatangan tiga Pavaratha yang dikenali sebagai milik Narapati dari bentuk dan bendera yang berkibar di atasnya.

“Mengapa tidak ada perisai gaib yang melindungi kota ini paman ?” tanya Raji

“Kota Angkor Wat adalah kota yang terletak dekat perbatasan kerajaan Narapati di wilayah utara dan sangat jauh. Kota Angkor Wat tidak dilindungi oleh perisai gaib seperti kota Medanggana Raya, karena tidak memiliki sumber tenaga perisai gaib yang cukup seperti yang dimiliki Medanggana Raya dari batu bintang Satuasra.” Kata Arghapati.

Pintu wahana Pavaratha terbuka lebar, Arghapati keluar menuruni tangga dimana para pejabat kota Angkor Wat telah berbaris menyambut kedatangan mereka. Mereka memberikan salam di depan dada ketika Arghapati turun dan membalas salam mereka satu per satu. Ketika Dimas, Pafi dan Raji keluar dari pintu wahana, serentak seluruh pejabat dan masyarakat yang menyambut kedatangan itu bersujud. Tindakan itu cukup membuat Arghapati terkejut tidak menduga penghormatan mereka terhadap Tritunggal Narapati. Dimas, Pafi dan Raji menjadi kikuk menghadapi situasi ini, mereka belum pernah mendapat penyembahan yang begitu besar selama ini.

“Bangkitlah Angkor Wat, terima kasih atas penyambutan hangat kalian.” Kata Arghapati. Semua pejabat kota dan masyarakat kota Angkor Wat bangkit dan tetap menundukan kepala dengan tangan bertepuk di depan dada.

“Selamat datang di Angkor Wat Panglima Arghapati. Terima kasih sang Tritunggal telah mau datang ke tempat kami.” Kata seorang pejabat yang terlihat paling tua diantara semua pendampingnya.

“Terima kasih paman.” Kata Dimas dengan memberikan salam kepada lelaki tua itu.

“Dimas, Pafi, Raji, ini adalah Adipati Narajaya, beliau adalah pemimpin kota Angkor Wat.” Kata Argahapati memperkenalkan lelaki tua yang sedari tadi terus-menerus memberikan salam dengan kedua tangan menyatu di depan dada yang membuat Dimas, Pafi dan Raji sedikit canggung dengan penyambutan itu.

“Salam Paman Adipati Narajaya.” Kata Pafi dan Raji bersamaan yang dibalas dengan salam yang sama.

“Paman Narajaya, kami datang atas hasil laporan telik sandi tentang pergerakan pasukan Amukhsara dari utara. Kami datang untuk membicarakan masalah ini bersama Angkor Wat.” Kata Arghapati.

“Baiklah Panglima Arghapati, mari kita ke balai kota. Segala rencana persiapan telah disiapkan disana.” Kata Adipati Narajaya menunjukan arah kepada Arghapati. Arghapati memerintahkan semua pasukan Garuda Kencana dan Narasimha untuk beristirahat. Ratusan prajurit kota Angkor Wat segera sibuk membantu para prajurit Narapati memberikan makanan bagi para Garuda dan Narasimha.

Semua pejabat Angkor Wat bergerak bersama mengikuti menuju balai kota. Balai kota yang megah terpahat dari batuan yang sangat besar dan tinggi menjulang di tengah kota. Meluncur kencang dengan kendaraan kereta kayu yang ditarik oleh burung-burung Galapaksi menembus jalan utama kota yang dipenuhi dengan saluran air Nadisara dan kolam-kolam Baray yang membentang di sisi-sisi kota. Semua rombongan kereta burung Galapaksi berhenti di halaman rumput yang luas di depan balai kota yang megah terpahat dari batuan yang sangat besar dan tinggi menjulang di tengah kota yang membelakangi kuil piramida segi enam yang menjulang setinggi tiga kali pohon kelapa. Kemakmuran tampak diseluruh kota dengan bangunan-bangunan tinggi yang berada di pinggir-pinggir nadisara kota.

Di dalam ruang balai kota pertemuan penting membahas cara-cara menghadang gerak Amukhsara.

“Berdasarkan penyelidikan menyeluruh tentang kekuatan Amukhsara, kami menyimpulkan bahwa Amukhsara sekarang datang dengan kekuatan baru yang belum pernah kami coba dalam sebuah pertempuran sesungguhnya. Kami hanya tahu ada beberapa perubahan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya. Kedatangan kami menghadang mereka di Angkor Wat untuk mengukur kekuatan baru itu.” Kata Arghapati.

“Lalu bagaimana rencana selanjutnya jika kita tidak bisa membendung mereka mendekati gerbang kota.” Tanya Adipati Narajaya.

“Angkor Wat harus bersiap bertempur dan mengungsi. Seluruh penduduk kota harus diungsikan ke tempat yang lebih aman sebelum pertempuran untuk mempertahankan kota dilakukan. Ayuthaya adalah tempat teraman saat ini, karena kedudukannya yang berbatasan dengan lembah keramat Sunda. Amukhsara tidak akan berani menyerang ke Ayuthaya.” Kata Arghapati. Semua yang hadir mulai menangkap bahwa kali ini perang dengan Amukhsara akan lebih luas dan lebih besar dari yang dulu pernah terjadi.

“Maafkan aku Panglima Arghapati, aku Senopati Panaraban ingin mengajukan pertanyaan, mohon diijinkan.” Kata seorang pemuda gagah yang selalu berada di samping Adipati Narajaya.

“Bertanyalah senopati, pertemuan ini terbuka untuk semua hal dan bagi siapapun.” Kata Arghapati mempersilahkan.

“Aku merasakan ada kesan bahwa sekarang kekuatan kita berada di bawah Amukhsara. Apakah benar dugaanku Panglima Arghapati.” Tanya senopati Panaraban

“Tidak sepenuhnya benar, tetapi Narapati tahu bahwa sekarang kekuatan Amukhsara jauh lebih baik dibandingkan perang yang lalu, begitu juga dengan cara mereka melakukan penyerangan. Sekarang perang tidak dimulai dari pusat wilayah Narapati di Jawa, tetapi dimulai dari lingkar utara dan timur perbatasan. Narapati tidak mungkin menyebarkan semua pasukannya ke seluruh wilayah di perbatasan, tanpa melindungi ibukota. Menurut pengamatan kami, serangan ini bertujuan untuk melumpuhkan daya dukung kota-kota perbatasan jika terjadi serangan di ibukota dan memutuskan hubungan ibukota dengan kota-kota lain yang cukup jauh jaraknya. Amukhsara bermaksud mengepung Medanggana Raya. Mereka telah belajar dari kekalahan perang di masa lalu, dimana mereka langsung menyerang ibukota. Pasukan mereka banyak habis setelah banyak bantuan dari kota-kota di perbatasan yang jauh. Yang bisa kami lakukan sekarang adalah menghindari korban terlalu banyak di kota-kota yang mungkin akan menjadi sasaran Amukhsara. Pilihan kita hanyalah membiarkan Amukhsara menang di semua perbatasan dan memberikan jalan mereka masuk mengepung ibukota. Tetapi kita dapat menyelamatkan sebanyak mungkin rakyat dan prajurit untuk mengungsi ke tempat yang aman. Pada waktunya nanti prajurit yang bisa berhasil mengungsi bergabung dan bergerak secara perlahan mengepung prajurit Amukhsara yang telah terkonsentrasi di Medanggana Raya.” Kata Arghapati menjelaskan. Semua yang hadir mulai mengerti arah yang dimaksud Arghapati.

“Jadi kita akan bermain tipu muslihat, seolah-olah semua kota-kota perbatasan telah berhasil dikuasai dan memberi keyakinan kepada Amukhsara untuk mengkonstrasikan pasukannya di Medanggana Raya agar mudah kita ketahui seluruh kekuatan yang sesungguhnya.” Kata Adipati Narajaya.

“Tepat sekali paman Narajaya. Menurut perhitungan, Amukhsara tidak berniat menduduki kota-kota di perbatasan, tetapi lebih bertujuan melumpuhkan kekuatan di perbatasan agar tidak dapat lagi memberikan bantuan kepada ibukota Medanggana Raya. Karena tujuan sesungguhnya dari pasukan Sanaisbin adalah Cakravartin.” Kata Arghapati.

“Lalu bagaimana caranya kita memindahkan penduduk ?” tanya Adipati Narajaya.

“Gunakan kesempatan ketika kami melakukan penghadangan terhadap gerakan Amukhsara di utara. Kami akan mengulur waktu sebanyak mungkin agar kalian cukup waktu untuk memindahkan semua penduduk. Aku minta seratus prajurit untuk membantu, siapkanlah limartus prajurit untuk menjaga gerbang kota. Kita harus tetap memberikan perlawanan saat mereka memasuki gerbang kota agar mereka tidak bisa menerka tipu muslihat kita. Sementara sebagaian besar pasukan harus mengawal para pengungsi dan menyamar menjadi pengungsi. Aku akan mengirim kabar kepada Ayuthaya agar bersiap menerima kalian.” Kata Arghapati.

“Baiklah aku akan menyiapkan seratus prajurit terbaik Angkor Wat untuk membantu kalian. Semoga Yang Maha Kuasa menolong kita semua.” Kata Adipati Narajaya. Semua yang hadir berdiri dan meninggalkan ruangan balai kota. Adipati Narajaya melepaskan pasukan yang sudah disiapkan membantu pasukan Narapati untuk menghadang Amukhsara. Para Garuda dikeluarkan dari wahana Pavaratha Pushpaka pengangkut. Para Garuda berpekik ria memanggil-manggil penunggangnya sehingga menimbulkan suasana gaduh. Sekitar seratusan prajurit kota Angkor Wat dipimpin langsung oleh Senopati Panaraban memenuhi alun-alun kota. Arghapati memimpin pasukan bergerak keluar gerbang kota. Tiga wahana Pavaratha mengangkasa ke udara bersamaan dengan terbangnya para Garuda mengiring di sekeliling wahana. Dimas, Pafi dan Raji berangkat secara terpisah setelah lepas dari gerbang kota dengan mengambil jalan ke ke timur.

Selepas keberangkatan pasukan Narapati, kesibukan segera saja terjadi diseluruh kota. Adipati Narajaya memimpin pasukan yang tersisa untuk memanggil seluruh penduduk kota untuk segera bersiap mengungsi. Seluruh penduduk kota Angkor Wat dengan patuh mengikuti semua perintah yang diberikan. Pengungsian besar-besaran penduduk kota Angkor Wat segera dimulai. Dengan berjalan beriringan yang dikawal pasukan gajah dan kuda di sisi kiri dan kanan. Gerobak-gerobak pengangkut perbekalan, anak-anak, orang-orang tua dan yang sakit beriringan bergerak diantara para pengungsi yang berjalan kaki.

Sementara Dimas terus memacu Sighram berlari ke arah timur menembus lebatnya hutan. Pafi dan Raji mengikuti dari udara bersama Garuda masing-masing.

“Raji kita harus terbang rendah dan kasat mata. Gerakan kita tidak boleh terlalu kelihatan.” Kata Pafi dengan telepatinya kepada Raji. Tangannya menepuk memerintahkan Srigati mengikuti gerakan-gerakan Jethoraksa yang bergerak seperti burung yang kehilangan kendali terbang. Pafi tampak kesal karena kesulitan mengikuti gerak Jethoraksa.

“Raji, katakan pada Garudamu agar jangan seperti burung mabuk seperti itu, atau sekalian aku gebuk sampai jatuh.” Kata Pafi galak. Raji menepuk punggung Jethoraksa. Garuda itu memekik ringan seolah sedang menggerutu. Akhirnya Jethoraksa dan Srigati terbang sejajar dan merendah mengikuti gerak Sighram di bawah kelebatan hutan.

“Dimas, aku akan berada di depanmu untuk mengawasi jalan yang akan kita lalui. Pafi kau ikuti Dimas dari belakang.” Kata Raji sambil memacu Jethoraksa untuk mendahului. Pafi mengangguk dan membawa Srigati terbang lebih rendah lagi mengikuti gerakan Sighram.

Dalam waktu yang bersamaan tubuh Garuda yang terbang rendah itu pun menghilang dari pandangan. Yang tampak hanya kebasan angin yang menerpa daun-daun di ujung pepohonan hutan. Sighram terus berlari diantara batang-batang pohon hutang hujan yang lebat. Gerakannya yang sangat lincah melompat menghindari bonggol-bonggol kayu pohon mati yang rebah termakan jamur. Dalam kecepatan gerak tersebut Dimas merasakan hutan seakan menyempit dan makin mengurung dirinya dan Sighram.

“Sighram, sepertinya kita melewati hutan larangan. Pohon-pohon disini seperti bergerak merapat menghalangi jalan kita. Lebih baik kita berhenti dulu.” Kata Dimas kepada harimau putih itu. Sighram menghentikan larinya dan terlihat waspada. Pohon-pohon disekeliling Dimas bergerak merapat dan hanya memberikan ruang berupa lingkaran. Tidak ada satu celahpun yang bisa dilalui dari kurungan pohon-pohon itu. Sighram menggeram keras, Dimas mencoba menenangkan harimau itu dan berusaha tenang. Tak lama kemudian sebuah celah terbuka dan muncul seorang gadis kecil bermata sipit sebaya dengan Dimas memakai mahkota yang terbuat dari ranting-ranting kayu dengan kuntum-kuntum bunga kecil.

“Hmmm….orang asing dan Narasimha, pasangan yang jarang terjadi. Sepertinya mengandung gizi yang cukup untuk pohon-pohonku.” Kata gadis kecil itu dengan bertolak pinggang. Sighram menggeram marah, badannya sudah siap untuk menerkam. Dimas mengusap punggungnya agar menahan diri.

“Apakah kesalahan telah kubuat sehingga kau mengurungku.” Tanya Dimas dengan santai.

“Hihihihihihihi huahahaha hahahahaha…….. kesalahan, hahahahaha. Aku tidak perlu sebuah kesalahan untuk mengurungmu. Seperti bangsa manusia yang membuat perangkap untuk menangkap buruan, kau adalah buruanku yang akan jadi makanan pohon-pohonku.” Kata gadis kecil itu.

“Maafkan aku yang telah masuk ke wilayahmu, tapi aku tidak bisa menjadi makanan untuk pohon-pohonmu. Aku sedang terburu-buru dan tidak punya banyak waktu untuk berdebat denganmu.” Kata Dimas tegas.

“Kurang ajar, serang!!” kata gadis kecil itu. Serta merta pohon-pohon itu menyerang Dimas dengan menghantamkan cabang-cabangnya ke arah Dimas dan Sigram. Dimas dengan sigap membuat perisai gaib menahan pukulan cabang-cabang pohon dari berbagai arah.

“EKHARA SOBIENH”

Dari atas punggung Srigati Udara Pafi merapalkan mantra yang membuat angin putting beliung berputar bergulung-gulung melindungi Dimas dan Sighram dari serangan. Angin putting beliung itu makin lama makin besar menghisap pohon-pohon yang mengurung Dimas. Setiap kali barisan depan pohon-pohon terhisap angin putting beliung ciptaan Pafi, tumbuh pohon baru yang makin banyak.

“Ah, ada bantuan dari atas rupanya. Kerahkan semua kemampuanmu Narapati. Hihihihih…ayo pohon-pohonku tangkap makanan kalian.” kata gadis kecil itu. Sulur-sulur pohon melesat ke udara berusaha menangkap Srigati yang sedang terbang berputar. Dengan gesit Srigati menghindar, tetapi banyaknya sulur yang melesat membuat sebagian sanggup merenggut kaki Srigati. Garuda itu kontan tertahan di udara dan berusaha mengepakan sayapnya lebih kencang ke udara. Tetapi sulur-sulur yang mengikat kakinya makin banyak dan membuat Srigati kehilangan keseimbangan. Pafi yang berada di punggung Srigati berusaha keras menjaga keseimbangan tubuhnya agar tetap berada di atas Srigati yang meliuk-liuk diudara menahan tarikan sulur-sulur itu.

Melihat situasi kritis tersebut Dimas menjejakan kakinya tiga kali sambil merapalkan mantra.

“ASSBAN BHUMI” pohon-pohon yang mengurung Dimas terhisap ke dalam tanah.

“Aku pemilik kekuatan bumi, tunduklah kalian kepadaku atau aku hancurkan kalian semua.” Kata Dimas sambil menjejakan kakinya ke tanah tiga kali. Tanah yang dipijaknya bergetar hebat. Seketika pohon-pohon itu berhenti bergerak. Gadis kecil itu terkejut melihat pohon-pohonnya berhenti bergerak. Kakinya perlahan-lahan terhisap tanah yang dipijaknya. Gadis kecil itu sendiri terpaku di tanah tak mampu menggerakan apapun.

“Ampun…ampunkan hamba gusti.” Teriak gadis kecil itu.

“Hancurkan saja kekuatannya Dimas.” Kata Raji.

“Tidak, kita tidak perlu melakukan itu. Dia sudah meminta ampun artinya dia sudah mengakui kekalahannya dan akan tunduk kepadaku.” Kata Dimas

“Hamba tunduk kepada perintah paduka, ampunkan hamba tuanku.” Gadis kecil itu menundukan kepalanya.

“Siapa namamu ?” tanya Dimas

“Nama hamba, Jagawana Tunggadewi. Hamba yang mengasuh pohon-pohon di hutan ini.” Kata Gadis kecil itu.

“Baiklah kau aku ampuni.” Kata Dimas. Pafi dan Raji hampir saja berusaha mencegah, tetapi Dimas mengangkat tangannya agar keduanya untuk diam.

“Bangunlah. Oh ya, namaku Dimas dan ini temanku Raji dan Pafi. Kami tidak bermaksud mencari musuh disini. Kalau kau bersedia menjadi teman kami, akan sangat menyenangkan sekali.” Kata Dimas mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Mendapatkan uluran tangan seperti itu Jagawana Tunggadewi bukannya menyambutnya malahan dia menangis tersedu dan bersujud di depan Dimas.

“Huuuu….belum pernah ada yang mau menjadi temanku selama ini, aku sangat terharu. Huuuu……” Jagawana Tunggadewi terus menangis.

“Jadi kau mau jadi teman kami ?” tanya Pafi.

“Iya..iya aku mau sekali, terima kasih atas kebaikan kalian. Aku berjanji akan selalu menjadi teman kalian selamanya.” Kata Jagawana Tunggadewi sambil bangkit dari sujudnya.

“Terimalah tuanku, ini sebagai tanda persahabatan dari hamba.” Kata Jagawana Tunggadewi menyodorkan kantong kulit itu. Dimas menerima kantong kulit yang diserahkan Jagawana Tunggadewi.

“Kalau kau ingin jadi teman kami, panggillah dengan nama saja, tak perlu dengan tuanku.” Kata Dimas yang diangguk setuju oleh Jagawana Tunggadewi.

“Benda apa ini ?” tanya Dimas membuka kantung kulit ditangannya. Sinar putih keemasan menyeruak dari dalam kantung kulit itu.

“Itu adalah batu bintang Satuasra, hamba menemukannya di hutan ini.” Kata Jagawana Tunggadewi. Mendengar nama benda yang diberikan Dimas dan Pafi terbelalak kaget.

“Batu Bintang Satuasra ?” kata Pafi terbelalak.

“Memangnya batu apa sampai kau begitu kaget ?” tanya Raji. Pafi kelihatan malas menjawab pertanyaan Raji. Pertanyaannya Raji menurutnya terlalu bodoh untuk dijawab dan keterlaluan kalau benda paling penting di dunia Narapati sampai tidak diketahuinya.

“Batu bintang Satuasra adalah Batu bintang yang menjadi sumber tenaga untuk berdirinya dunia Narapati. Terdapat 7 pecahan batu bintang Satuasra. Pecahan paling besar dan utama ada di perut Cakravartin, sementara yang enam lainnya merupakan pecahan kecil yang menurut legenda disembunyikan oleh para leluhur agar tidak digunakan oleh orang-orang yang berniat jahat.” Dimas dengan sabar menjelaskan kepada Raji.

“Bagaimana kau mendapatkannya ?” tanya Pafi

“Batu bintang ini semula dijaga oleh para pohon penjaga, tetapi aku berhasil mengambilnya setelah aku memenangkan permainan teka-teki bersama mereka.” Kata Jagawana Tunggadewi.

“Teka-teki ?” Dimas keheranan dengan cara Jagawana Tunggadewi mendapatkan benda yang sangat penting ini.

“Iya, teka-teki. Mereka memberi teka-teki, dan jawabannya menuntunku kepada tempat dimana batu bintang Satuasra disembunyikan.” Kata Jagawana Tunggadewi.

“Baiklah, Jagawana, kami harus melanjutkan perjalanan. Dapatkah kau menunjukan arah yang benar untuk menuju Hoa-Binh.” Pinta Dimas kepada Jagawana Tunggadewi.

“Hoa-Binh adalah tempat yang cukup jauh, wilayah itu sangat berbahaya, aku sendiri pun jarang ke sana. Banyak pohon-pohon asuhanku mati terbakar akibat ulah para naga Jalatunda. Tapi aku bisa membuat jalur menuju ke arah sana asalkan aku diijinkan untuk ikut bersama kalian.” Kata Jagawana Tunggadewi.

“Kami sedang dalam tugas berbahaya dan kemungkinan akan mengorbankan nyawa untuk ini.” Kata Dimas

“Persahabatan yang kalian berikan kepadaku lebih berharga dari sekedar mengorbankan nyawaku. Aku bersedia menukarnya dengan apapun asalkan tetap menjadi sahabat kalian.” Kata Jagawana Tunggadewi. Wajahnya menyinarkan kesetiaan dalam yang sudah diikrarkannya di hati.

“Baiklah, sekarang tunjukanlah jalannya.” Dimas langung bersiap menunggangi Sighram. Jagawana Tunggadewi tersenyum gembira kemudian membalikan badanya menghadap ke utara kemudian mendendangkan nyanyian lembut yang menggema ke seluruh hutan. Setelah nyanyian Jagawana Tunggadewi selesai pohon-pohon bergeser membentuk sebuah celah.

“Naiklah bersamaku.” Kata Dimas kepada Jagawana Tunggadewi agar menaiki Sighram di belakangnya. Tanpa banyak tanya Gadis kecil itu melompat naik. Pafi dan Raji kembali mengudara bersama Srigati dan Jethoraksa. Sighram langsung melesat menyusuri celah diantara pepohonan. Kehijauan hutan sangat menyegarkan dengan suara-suara hewan liar menggema di seantero rimba. Pafi di atas punggung Srigati menciptakan angin yang sangat kencang mendorong semua mendung. Membutuhkan satu siang untuk bisa tiba di wilayah Hoa-Binh yang terletak di wilayah aliran sungai hitam.

“Kita sudah sudah dekat dengan wilayah Hoa-Binh, di seberang sungai ini adalah wilayah yang kita tuju.” Kata Jagawana Tunggadewi.

Pafi dan Raji menukik dari udara mendaratkan Garuda mereka tepat di tepi sungai hitam.

“Hari sudah gelap, lebih baik kita beristirahat disini.” Kata Dimas

Mereka mengumpulkan ranting-ranting kering membuat api unggun di tepian sungai di bawah langit hitam yang masih kebiruan sisa mentari sore. Aliran sungai yang tenang sedikit diriakan oleh lemparan tombak dari Raji yang berusaha menangkap ikan untuk makan malam mereka. Setelah memberikan sebagian besar kepada Sighram, Srigati dan Jethoraksa, Raji membawa sisa ikannya untuk di panggang.

Sambil menikmati ikan bakar, mereka duduk mengelilingi api unggun. Jethoraksa terlihat manja sekali mengelus-eluskan kepalanya ke pangguan Raji.

“Boleh aku tahu apa yang sedang kita kejar ?” tanya Jagawana Tunggadewi. Dimas menatap Jagawana, ada sesuatu yang dipikirkannya. Raji dan Pafi menunggu apa yang akan dikatakan Dimas. Sejenak Dimas menatap Pafi dan Raji seperti ada suatu hal yang sedang mereka rundingkan melalui tatapan tersebut. Kemudian tatapan Dimas kembali kepada Jagawana.

“Kami sedang dalam perjalanan untuk menghadang gerak pasukan Amukhsara di perbatasan utara.” Kata Dimas yang begitu hati-hati menjelaskan maksud perjalanan mereka.

“Aku mengerti sekarang mengapa begitu banyak Naga Jalatunda berbentuk yang tidak seperti biasanya berkeliaran di Dong-Son. Aku tidak pernah melihat jenis naga ini sebelumnya. Mereka mengeluarkan api dari mulutnya dan membakar banyak pohon-pohon asuhanku. Kulit sisik hitam legam dan mengkilat seperti logam dengan tubuh dan sayap seperti Garuda.” Kata Jagawana Tunggadewi.

“Dimana daerah Dong-Son ?” tanya Dimas

“Sebelah timur dari tempat kita sekarang, tunggu…….” Jagawana diam seolah sedang mendengarkan sesuatu. Bagi Dimas, Raji dan Pafi yang terdengar hanyalah suara gesekan daun yang tertiup angin.

“Dia sedang mendengarkan pohon-pohon berbicara.” Kata Pafi yang cukup paham dengan bahasa angin yang dibawa oleh pohon-pohon.

“Aku mendapat kabar dari pohon-pohonku bahwa ada serombongan pasukan Garuda terbang melintas beberapa waktu yang lalu di sebelah barat aliran sungai Ngum.” Kata Jagawana Tunggadewi.

“Berarti kita berada di belakang mereka.” Kata Dimas

“Apakah ini sudah sesuai rencana kita ?” tanya Raji

“Seperti demikian, kita memang seharusnya datang lebih lambat dari mereka supaya kehadiran kita tidak terlalu diawasi.” Kata Dimas

“Kalau begitu besok kita tidak bisa berada di udara, karena hal itu akan membuat kedatangan kita cepat terendus.” Kata Pafi

“Aku bisa meminta pohon-pohonku untuk menyamarkan perjalanan kita.” Kata Jagawana

“Ya, kita bisa jalan di darat, tapi bagaimana dengan Jethoraksa dan Srigati. Mereka berdua tidak bisa berjalan cepat di darat.” Tanya Raji

“Aku rasa mereka berdua bisa harus terbang sendiri, sehingga seolah mereka adalah Garuda–Garuda tanpa tuan.” Kata Dimas.

“Sebenarnya dimana kita akan melakukan penghadangan, di Hoa-Binh atau Dong-Son ? Karena kedua tempat itu adalah tempat yang memiliki sifat yang berbeda. Dong-Son memiliki sifat liar dan buas karena merupakan tempat berkumpulnya para naga. Sedangkan Hoa-Binh adalah tempat para peri tinggal yang sangat baik dan membantu. Peri-peri disana dipimpin oleh seorang Peri tertinggi yang mereka sebut Peri Agung. Peri Agung lah yang menentukan semua yang berlaku di wilayah Hoa-Binh. Menurut legenda Peri Agung mengetahui segala jawaban semua pertanyaan.” Kata Jagawana Tunggadewi

“Tempat penghadangan adalah aliran sungai Mekhong di selatan Yunan persis di perbatasan Khitai. Tapi kita akan ke Hoa-Binh dulu bertemu para peri di sana setelah itu kita menuju Mekhong.” Kata Dimas

“Tapi memasuki wilayah Hoa-Binh tidaklah mudah, para peri sangat melindungi wilayahnya dengan banyak sihir hebat sehingga tidak mudah untuk ditemui. Aku sendiri tidak pernah bertemu dengan mereka secara langsung.” Kata Jagawana Tunggadewi

“Dengan ini aku rasa tidak akan terlalu sulit bukan ?” kata Dimas sambil menunjukan kantong kulit yang berisi batu bintang Satuasra.

“Apakah kau bagaimana menggunakannya ?” tanya Jagawana Tunggadewi. Dimas menggelengkan kepalanya, semua terlihat heran dan mengira-ngira apa yang akan dilakukan Dimas dengan batu bintang Satuasra.

“Bangsa peri adalah bangsa yang sangat menyukai cahaya, dan batu bintang Satuasra adalah sumber cahaya yang paling menggoda di permukaan bumi. Kalau kita tidak bisa menemukan mereka, kita akan memancing mereka keluar.” Kata Dimas dengan mengerutkan dahinya ke atas sambil tersenyum.

Dimas tahu bahwa sebenarnya dia bisa menggunakan mata sethinya untuk menemukan dimana tempat tinggal para peri itu. Tapi dia sudah berjanji untuk tidak sembarangan menggunakannya. Raji dan Pafi pun tahu kalau Dimas tidak mau kemampuannya diketahui banyak orang. Sejauh ini selain mereka berdua hanya Ratu Selatan dan Prabu Narayala yang mengetahui kemampuan itu.

Malam makin larut, udara semakin dingin. Taburan bintang di langit mengelipkan cahaya indah ditemani bunyi jangkrik dan lembayan kelap-kelip kunang-kunang. Sighram tampak tetap terjaga dan sangat waspada terhadap setiap suara dan gerakan. Pohon-pohon asuhan Jagawana merapat melingkar seakan menjadi sebuah benteng yang tak dapat ditembus.

Udara dingin pagi mulai menjalari seluruh tubuh. Api unggun telah padam tinggal menyisakan abu dan arang kayu yang masih merah membara. Matahari tampaknya cepat sekali bersinar ditempat ini, sinar hangatnya segera saja menyingkirkan udara dingin. Setelah menutup semua sisa api unggun semalam perjalanan dilanjutkan.

“Ayo kita berangkat.” Dimas mengajak ketiga temannya untuk bergegas.

“Aku akan membuat jembata air.” Kata Raji dengan yakin.

“Sihirmu tidak akan bekerja di sungai hitam, karena para peri di Hoa-Binh sudah menyebar sihir-sihir anti sihir di sepanjang sungai hitam dan sungai merah yang menjadi perbatasan tempat tinggal mereka.” Kata Jagawana yang membuat Raji urung melakukan aksi pamernya.

“Nah kau baru mengatakannya sekarang kalau sihir kita tidak akan bekerja di wilayah para peri. Bagaimana kalau ada yang menyerang kita, lalu dengan apa kita akan menyeberang ke sana ?” tanya Raji.

“Kita tidak akan diserang apapun selama masih berada di wilayah Peri. Para Peri juga tidak akan menyerang kita tapi juga tidak akan menampakan diri jika tidak mereka perlukan.” Kata Jagawana

“Aku kira kita bisa menyebrangnya dengan para Garuda, setelah kita tiba di seberang para Garuda kembali ke tempat ini.” Kata Dimas sambil mengelus-elus kepala Sighram seperti berpamitan. Binatang itu mengeluskan kepalannya ke badan Dimas seperti mengerti maksud dari tuannya.

Tanpa banyak bicara lagi mereka segera menaiki punggung Srigati dan Jethoraksa.

“Ayo Jethoraksa, terbanglah ke seberang sungai.” Raji menepuk punggung Jethoraksa. Garuda itu mengerti dan sekali kepakan sayap mereka langsung mengudara menyebrangi sungai hitam. Srigati yang membawa Pafi dan Jagawana juga ikut mengudara dan menyeberangi sungai. Sementara Sighram duduk menunggu di pinggir sungai.

Sesampai di seberang sungai para Garuda kembali lagi ke tempat Sighram menunggu. Mereka kemudian memasuki hutan yang begitu rapat dengan pohon-pohon dengan ukuran yang sangat besar. Kerapatan atap hutan membuat cahaya tidak mampu menembus lantai hutan. Dimas mengeluarkan kantong kulit yang berisi batu bintang Satuasra. Sinar putih kekuningan menyeruak keluar dari kantong kulit itu dan ketika Dimas mengeluarkan dari kantongnya sinar batu bintang Satuasra menerangi ruangan hutan. Mereka terus bergerak diantara batang-batang pohon yang berjajar rapi seakan penanamannya sudah diatur seperti sebuah susunan pilar-pilar bangunan yang menyangga atapnya. Dahan-dahan pertama yang sangat tinggi menjulur saling menyatu membentuk relung-relung seolah menjadi bagian langit-langit dari sebuah koridor ruangan.

“Aku tidak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya.” Kata Jagawana Tunggadewi.

“Karena kita melihat ruangan hutan ini dengan cahaya biasa. Cahaya batu bintang Satuasra memiliki kekuatan untuk menyingkap apapun yang telah ditutupi oleh sihir.” Kata Pafi

Mereka terus berjalan memasuki lorong hutan lebih dalam hingga tiba di sebuah ruangan seperti sebuah balairung dengan langit-langit dahan yang lebih tinggi. Sebelum mereka semua melangkah lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara nyanyian yang sangat merdu menggema ke seluruh ruangan hutan. Nyanyian yang terasa begitu memilukan hati. Dimas paham nyanyian itu adalah bentuk sapaan bangsa peri terhadap setiap tamu yang baru datang dan ingin ditemui mereka.

“Jauh nasib melangkahkan raga untuk menemukan jiwa yang kelana entah dimana Melintasi tanah-tanah kematian, menghadang bencana, mencari sesuatu yang tak perlu dicari. Mengapa masih mencari padahal cahaya timur telah bersamanya”

Dari lorong yang berada di seberang balairung itu muncul seorang lelaki dewasa yang bersinar sangat cerah. Sinar kuning keemasan memancar dari seluruh tubuh dan pakaiannya. Matanya yang biru tajam menyorotkan aura yang tidak bisa ditahan oleh siapapun kecuali, Dimas.

“Maafkan kami telah mengganggu ketenangan anda semua. Kami datang bermaksud meminta pertolongan.” Kata Dimas yang tetap menatap pandangan sang lelaki. Sementara Raji, Pafi dan Jagawana sudah tidak tahan dengan perasaan yang begitu bersalah, menyesal dan perasaan sedih lainnya akibat nyanyian dan tatapan lelaki tadi.

“Sang Pembawa Buku kehidupan, mengapa begitu jauh langkah kakimu ? Pertolongan apa yang hendak kau cari ?” tanya lelaki peri itu.

“Narapati dalam perang dengan Amukhsara, Dunia tengah dalam bahaya.” Kata Dimas singkat sambil memasukan kembali batu bintang Satuasra ke dalam kantong kulit.

“Peri tidak ikut campur dalam pertarungan siapapun, Narapati harus berperang sendiri.” Kata lelaki peri tersebut.

“Narapati tidak meminta para Peri ikut berperang, Narapati hanya ingin bertanya dan mendapatkan jawaban.” Kata Dimas lagi.

“Baiklah, pertanyaan dan jawaban. Ikutilah aku.” Kata lelaki peri itu membalikan badannya masuk ke dalam lorong. Kemudian mereka melangkah mengikuti peri, tetapi Raji, Pafi dan Jagawana masih tetap dengan perasaan sedih mereka dan kali ini air mata sudah mengalir deras dari kedua mata mereka.

“Tahanlah perasaan kalian dulu.” Kata Dimas kepada tiga sahabatnya yang sudah sesenggukan.

Tak lama kemudian mereka tiba di sebuah balairung yang sangat megah dengan cahaya lampu berbentuk bunga terompet berjumlah ratusan menggantung lurus dengan panjang tak berarturan dari langit-langit dahan. Sebuah kursi tahta yang diduduki oleh seorang wanita muda dengan pakaian putih panjang dan mahkota kecil di dahinya. Di kiri dan kanannya berjajar para wanita dan pria dengan ciri-ciri yang sama dengan lelaki peri tadi. Mungkin ini yang dimaksud Peri Agung oleh Jagawana, kata Dimas dalam hati.

Dimas memberi hormat dengan membungkukan badannya. Sementara Raji, Pafi dan Jagawana langsung bersimpuh di lantai di belakang Dimas. Perasaan sedih yang mereka rasakan makin menjadi saja.

Peri Agung melambaikan tangannya meminta Dimas mendekat sementara tangan yang lainnya memberi isyarat perintah kepada seorang peri yang membawa kendi air. Peri yang membawa kendi air mendekati Raji, Pafi dan Jagawana. Kemudian memberikan mereka minum satu per satu. Setelah air kendi masuk ke dalam kerongkongan mereka, semua perasaan sedih hilang begitu saja. Rupanya air itu adalah penangkal dari sihir rasa sedih yang mengenai mereka.

“Selamat datang wahai Sang Narayana, kedatanganmu menjadi dilema bagi kaum Peri. Kau datang dengan cahaya bintang dan juga sekaligus bayangan kegelapan. Pada sisi yang mana kau akan berikan kepada kami, kami pun tak tahu.” Kata Peri Agung dengan menatap Dimas sambil tersenyum. Suara wanita itu begitu lembut dan menyentuh lembut ke dalam dada dan membuat tenang.

“Kami datang hanya ingin mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan jawaban.” Kata Dimas. Dia tahu mengajukan pertanyaan saja tidak cukup kalau tidak mendapatkan jawabannya. Sang Peri Agung merasakan kecerdikan Dimas.

“Engkau mempunyai tiga pertanyaan yang kau inginkan untuk mendapat jawaban anakku.” Tanya Peri Agung kepada Dimas.

“Bagaimanakah cara mengalahkan Naga Jalatunda ?” tanya Dimas

“Hmmmm.. Naga Jalatunda, air ketuban akan membersihkan semua sihir yang melekat ditubuhnya.” Kata Peri Agung

“Dimanakah letak 5 batu bintang Satuasra yang tersisa. ?” tanya Dimas lagi.

“Dimana semua bermula tak akan berakhir, semuanya senantiasa baru disanalah semuanya tersimpan.” Kata Peri Agung

“Kau tinggal memiliki satu pertanyaan lagi anakku, bijaksanalah dalam menggunakannya.” Kata Peri Agung. Dimas diam sejenak, pikirannya melayang mencari sebuah pertanyaan yang tersisa di kepalanya. Menengok ke arah Raji, Pafi dan Jagawana seakan hendak mendapatkan pertanyaan itu dari kepala mereka.

“Dimanakah aku bisa menemukan makam kedua orang tuaku ?” kata Dimas menyelesaikan pertanyaan terakhirnya.

“Pertanyaanmu yang terakhir tidaklah sulit untuk aku jawab, tapi sudah siapkah mendengar jawabanku ? Aku bisa memberikan jawaban yang kau inginkan atau kau ingin jawaban yang sebaliknya. Apakah kau tidak ingin tahu bagaimana kedua orang tua kedua sahabatmu ?” kata Peri Agung seolah tahu apa yang dipikirkan. Diantara rasa tak siap akan mendengar kenyataan pahit dan rasa bersalah setelah mendengar sindiran dari Peri Agung. Raji dan Pafi memegang pundak Dimas, seakan keduanya mengerti situasi perasaan Dimas yang tersudut oleh sindiran Peri Agung. Walaupun merasa lebih lega tapi rasa bersalah terhadap kedua sahabatnya masih tetap terselip.

“Tak ke langit tak ke bumi, jiwa merana di antara dunia-dunia. Dimana makam jika tak ada jasad. Penantian panjang menanti pemuasan kerinduan.” Kata Peri Agung.

Dimas menarik nafas dalam, ada sesak di dada entah rasa sedih atau luapan kegembiraan.

“Terima kasih atas kemurahan hati Peri Agung.” Kata Dimas yang berusaha terus menahan luapan emosinya.

“Ingatlah wahai Narapati, perang kali ini hanyalah awal dari perang dahsyat yang tidak hanya dimenangkan oleh golongan putih tetapi juga oleh golongan hitam. Malaikat mengambil jalan iblis, iblis tersenyum di balik wajah malaikat. Jadi dimana kebenaran diletakan ? Kebenaran hanya akan menjadi sebuah nilai yang ditentukan oleh siapa yang kuat dan berkuasa. Perang abadi akan terus berlangsung tapi kau tidak bisa membedakan siapa musuhmu. Janganlah kau sampai salah mengambil cara untuk memenangkan perang ini.” Peri Agung memberikan isyarat kepada peri yang menyambut kedatangan Dimas, Raji, Pafi dan Jagawana.

“Ambilah jalan melalui hulu sungai hitam dan sungai merah. Berjalanlah lurus terus ke utara, kalian akan tiba di perbatasan Hoa-Binh sebelum matahari mencapai ubun-ubun, perjalanan selanjutnya menuju perbatasan Khitai adalah menjadi pilihan kalian.” Peri Agung memberikan petunjuk. Peri Agung bangkit mendekat, tangannya menyodorkan masing-masing sebuah busur panah kepada Raji dan Pafi. Raji dan Pafi agak gugup mendapatkan kejutan itu.

“Terimalah busur panah Cakrabuwana ini.” Peri Agung menyerahkan dua busur panah kepada Raji dan Pafi.

“Terima kasih Peri Agung.” Kata Raji dan Pafi bersamaan.

Dimas, Raji, Pafi dan Jagawana berangsur pamit diantar seorang peri lelaki sampai keluar gerbang. Matahari terlihat masih muda, sinarnya sesekali menembus rapatnya dedaunan hutan. Jagawana memimpin di depan.

“Nah kita sekarang berada di wilayah yang sudah terbebas dari sihir Peri Agung. Kalian beruntung sekali mendapatkan busur Cakrabuana. Busur itu ditempa oleh para pandai besi bangsa peri dan dilengkapi sihir-sihir hebat. Anak panah apapun yang digunakan, dia akan mampu menembus dinding setebal benteng.” Kata Jagawana.

“Tapi kenapa Peri Agung memberikan Busur ini kepada kita berdua saja, sementara kau tidak.” Kata Raji .

“Peri Agung pasti punya maksud, kita akan mengetahuinya saat kita membutuhkannya. Sekarang bagaimana mengartikan jawaban-jawaban Peri Agung. Apa yang dimaksud dengan air ketuban naga dan tempat semuanya dimulai. Kita harus menerka teka-teki ini.” Kata Dimas dengan sabar.

“Air ketuban ? Dimana kita bisa mendapatkan air ketuban naga ? masak kita harus menunggui naga beranak.” Kata Raji sambil garuk-garuk kepala.

“Aku rasa istilah ketuban naga bukanlah dalam arti yang sebenarnya tetapi lebih merupakan kiasan.” Kata Jagawana.

“Aku setuju, ketuban naga tetap mengartikan bahwa benda yang dimaksud berupa air.” Kata Pafi.

“Mungkin lebih baik kita mencari sejarah kelahiran naga Jalatunda nanti setibanya kita di Medanggana Raya.” Kata Dimas.

“Tapi aku heran mengapa kau menanyakan soal batu bintang Satuasra ? Apakah kau akan mengumpulkan semuanya ?” tanpa Pafi

“Aku sendiri tidak tahu, nuraniku mengatakan hal ini akan menjadi sangat penting pada saatnya. Tapi aku tidak terpikir untuk mengumpulkan semuanya.” Kata Dimas.

“Oh ya, bagaimana dengan jawaban dari pertanyaan terakhir ?” tanya Jagawana dengan polosnya. Mendengar pertanyaan itu Dimas langsung terdiam.

“Maafkan aku yang hanya memikirkan diriku sendiri sampai aku lupa tentang kalian.” Kata Dimas dengan nada suara yang lebih berat.

“Tidak Dimas, kau tak perlu merasa seperti itu. Keberadaan orang tua kami sudah jelas keberadaannya dalam bentuk makam. Tetapi kau cuma mendapatkan cerita tentang meninggalnya kedua orang tuamu tetapi tidak dijelaskan dimana mereka dikuburkan.” Kata Raji berusaha membuat Dimas tidak merasa bersalah.

“Benar Dimas, aku pun akan bertanya jika aku tahu ada yang bisa menunjukan dimana makam kedua orang tuaku. Masalahnya aku sudah mengetahui dimana mereka dikuburkan, jadi tak perlu bertanya lagi.” Kata Pafi ikut menenangkan Dimas. Dimas merasa beruntung sekali mendapatkan dua sahabat yang begitu pengertian.

“Maafkan aku atas pertanyaan tadi.” Kata Jagawana

“Tidak apa-apa, lebih baik kita melanjutkan perjalanan menuju lembah Mekhong.” Dimas mengajak teman-temannya untuk segera berangkat.

Mereka berempat tidak melanjutkan lagi pembicaraan mereka. Perjalanan dilanjutkan dengan berlari. Gesekan ranting-ranting diiringi silir angin meniup daun-daun yang mengiringi laju lari keempat remaja itu. Mengiringi perjalanan panjang yang masih misterius bagi siapapun bahkan untuk Dimas sendiri. Itulah uniknya kehidupan, rasanya makin menantang dan memberi semangat karena ada hal yang tidak diketahui di depan sana yang memberikan harapan. Perjuangan Narapati untuk membuat dunia tetap memiliki harapan dengan menjaganya tetap menjadi misteri masih belum berakhir. Harapan itu kini diletakan di pundak sang pembawa buku kehidupan bersama para pahom narendra.

------ **** ------

Jalan makin menanjak, Jagawana seperti tidak pernah kehabisan tenaga dengan lincah melompat ke sana kemari. Andaikan saat kakinya terpeleset, sebuah cabang pohon dengan cekatan seperti sebuah tangan meraihnya. Seakan semua pohon di hutan Hoa-Binh hidup dan menjaganya terus menerus. Dimas, Raji dan Pafi mengikuti gerakan dari lantai hutan. Tanah-tanah gembur bercampur lumut dan ranggasan daun berderak bersama ranting yang terinjak.

“Bisa istirahat sebentar ?” kata Raji yang sudah begitu kelelahan. Keringatnya mengucur deras membasahi kening dan seluruh wajahnya.

“Aku rasa kita bisa istirahat sebentar.” Jagawana turun dari cabang pohon dengan sekali lompat menjejakan kakinya di tanah.

“Apakah kau tidak pernah lelah Jagawana ?” tanya Pafi.

“Bagaimana aku merasa lelah, aku hanya mengeluarkan sedikit tenaga. Sejak tadi aku diayun-ayun oleh pohon-pohon asuhanku.” Kata Jagawana. Pafi maupun Raji mengangguk-angguk mengerti mengapa Jagawana terlihat santai sekali.

“Kita tidak boleh terlalu lama beristirahat, karena kemungkinan pasukan kita sudah berhadap-hadapan dengan Amukhsara. Masih berapa jauh dari tujuan kita ?” kata Pafi

“Huh, andaikan aku bisa naik Jethoraksa.” Kata Raji mengeluh.

“Kalau kita tidak berhenti lagi dan tetap pada kecepatan yang sama, aku rasa kita akan tiba di tujuan sebelum tengah hari” Kata Jagawana.

Tanpa beristirahat lagi mereka melanjutkan perjalanan tanpa berhenti sekalipun. Makanan yang mereka makan hanyalah yang tersisa di perbekalan mereka, itupun dimakan sambil berlari. Sesekali Jagawana melempar buah-buahan yang dipetiknya dari pohon-pohon hutan kepada Dimas, Raji maupun Pafi. Sampai tengah hari dimana matahari tepat dipuncak ubun-ubun langit yang cerah mereka akhirnya tiba di ujung utara perbatasan bernama Khitai. Bukit tebing yang cukup tinggi memberikan pandangan yang cukup luas untuk pengamatan wilayah di bawahnya. Terlihat pasukan Narapati sudah siap dan berhadap-hadapan dengan pasukan Amukhsara yang memiliki jumlah pasukan lebih besar.

Matahari siang yang tadi begitu cerah perlahan berangsur gelap tertutup bayangan awan tebal yang menutupi seluruh lembah bersama gerakan pasukan Amukhsara mendekati barisan Narapati. Suara teriakan-teriakan dari pasukan Amukhsara dengan tunggangan srigala Cakracakra mengambil inisitatif untuk menyerang lebih dulu. Hampir bersamaan setelah gerakan itu pasukan Narapati yang menunggang Narasimha melompat menyambut serangan pasukan srigala Cakracakra setelah perintah serangan dilakukan. Begitu bertemu di tengah, para Narapati dan Amukhsara melompat dari tunggangan masing-masing dan langsung menghunus pedang. Sementara para Narasimha dan Cakracakra saling bergumul. Setelah beberapa saat pasukan naga Jalatunda terbang menyerang yang disambut oleh pasukan Garuda. Manuver-manuver menukik dan meluncur deras diantara dua wahana Pavaratha rudra yang sudah saling berhadapan. Serangan-serangan dilancarkan para naga Jalatunda yang sudah mengalami perubahan bentuk baik ke arah para Garuda maupun Pavaratha Narapati. Semburan-semburan api dari mulutnya menyapu apapun yang berada di permukaan tanah tidak peduli pasukan dari Narapati ataupun Amukhsara. Para Garuda menghindar ke sana kemari sambil sesekali melakukan serangan ke darat ke arah pasukan Amukhsara. Kadang-kadang tidak semua Garuda bisa menghindar, ada yang harus berdebum ke tanah terkena semburan api para naga Jalatunda.

Dua wahana Pavaratha Rudra yang saling berhadapan mulai melakukan manuver saling menyerang. Pavaratha Rudra Amukhsara memiliki bentuk yang berbeda dengan milik Narapati. Layar-layarnya yang terkembang compang-camping seperti hasil kumpulan kain-kain perca. Warnanya yang kusam dan berlumut seolah sudah lama terendam di dalam air. Meriam-meriam yang ditempatkan di bagian depan dan belakang geladak terlihat seperti terbuat dari batu yang meleleh tak beraturan. Semburan-semburan sinar merah mulai meluap dari mulut-mulut Pavaratha Rudra Amukhsara. Dalam waktu yang bersamaan semburan sinar biru meluncur dari geladak Pavaratha Rudra Narapati. Serangan-serangan itu hanya membentur dinding kosong, tetapi benturannya begitu terasa bergetar ke dalam lambung wahana. Masing-masing wahana dilindungi oleh perisai-perisai gaib yang menahan setiap serangan lawan.

Sementara Dimas dan kawan-kawannya mulai berpikir mencari cara untuk bisa memancing seekor naga Jalatunda terbang ke arah mereka. Upaya mereka harus benar-benar tersembunyi dan lolos dari pengawasan para Amukhsara. Hal itu penting agar saat penangkapan dilakukan, tidak datang bantuan yang akan menyulitkan penyelidikan mereka.

“Lihat pasukan naga Jalatunda sudah mulai bergerak.” Pafi menunjuk ke arah gerakan pasukan naga Jalatunda yang mulai mengudara menyerang.

“Pafi, Raji panggil Srigati dan Jethoraksa. Minta mereka untuk memancing satu naga Jalatunda ke arah kita.” Kata Dimas. Pafi dan Raji berkonsentrasi sejenak dan tak lama kemudian dua ekor Garuda dari balik bukit yang terbang menghampiri pertempuran. Kedua ekor Garuda itu seakan sedang bekerja sama memancing seekor naga Jalatunda. Seekor naga Jalatunda berhasil dipancing perhatiannya dan bergerak menyerang Srigati. Garuda betina itu menukik ke angkasa disusul oleh naga Jalatunda dengan semburan-semburan api dari mulutnya. Jethoraksa mengikuti semua gerakan naga Jalatunda yang mengejar Srigati dari belakang. Srigati terus terbang ke arah tempat Dimas, Raji, Pafi dan Jagawana berada.

“lihat Srigati telah berhasil membawa seekor naga Jalatunda, ayo kita bersiap. Pafi kau ciptakan angin putting beliung, tahan dia di dalam pusaran. Jagawana, bersiaplah menarik naga itu dengan pohon-pohon sulur dan kalau sampai ke daratan ikatlah. Raji kau harus siapkan serangan air untuk meredam semburan api dari mulutnya dan melumpuhkan Amukhsara yang menungganginya.” Dimas membagi tugas serangan kepada teman-temannya. Naga Jalatunda yang mengikuti Srigati terus mengejar dan menyeburkan api. Pada jarak yang tidak terlalu jauh dari berdirinya Pafi melakukan serangan. Sebuah angin putting beliung berhembus muncul dari permukaan tanah kemudian meninggi hingga menjebak naga Jalatunda itu di dalamnya. Raji langsung melakukan serangan ke arah Amukhsara penunggangnya hingga jatuh dan kemudian di kurung dalam bongkahan es.

“Jagawana cepat keluarkan pohon-pohon sulurmu, anginku tidak akan cukup lama menahan semburan apinya.” Pafi mendesak Jagawana untuk segera bertindak. Sebelum Jagawana bertindak, Raji terlebih dahulu melakukan serangan. Sebuah pusaran air yang diambilnya dari aliran mata air di semprotkan ke arah mulut sang naga. Sementara Jagawana melontarkan pohon-pohon sulurnya membelit ke seluruh tubuh naga itu. Naga itu berontak dan berusaha melepaskan diri dengan mencoba terbang lebih tinggi, tapi kurungan angin ciptaan Pafi terus menahannya dan perlahan naga itu makin turun ke tanah dan terikat di sebuah pohon yang besar. Sang naga mengeluarkan suara teriakan yang sangat nyaring dan sesekali berusaha menyemburkan api dari mulutnya. Tetapi Raji memadamkannya dengan semburan air.

“Jagawana, kau bisa ikat mulutnya, karena kalau tidak aku akan kehabisan air untuk memadamkan mulutnya.” Kata Raji ngedumel. Jagawana kemudian menyuruh sulur-sulur pohonnya mengikat mulut naga Jalatunda itu. Dimas mendekati naga yang masih terus meronta-ronta. Bentuk tubuh naga Jalatunda sekarang benar-benar berubah, kulit sisik berwarna hitam mengkilat dengan sayap mirip Garuda, ekor kadal yang panjang dengan ujungnya yang bersirip. Dimas menunduk memegang tanah dan perlahan naga yang terikat itu terhisap ke dalam tanah hingga setengah bagian kakinya.

“Aku akan membaca pikirannya, bantu aku jika terjadi sesuatu denganku.” Kata Dimas yang mulai meraba bagian tubuh naga itu, sementara Pafi dan Raji langsung bersiap untuk melakukan serangan kepada naga itu jika terjadi sesuatu terhadap Dimas. Dimas memulainya dengan menyentuh bagian dada. Bola matanya yang terpejam bergerak-gerak seperti sedang melihat lintasan-lintasan sesuatu yang bergerak di depan matanya.

“Dia tidak mempan dengan mantra pembeku ataupun mantra-mantra pelumpuh lainnya. Kalau terjadi sesuatu dengan Dimas kita harus menghantamnya sekuat yang kita bisa.” Kata Pafi yang pernah sekali berhadapan dengan naga Jalatunda. Naga itu terus meronta-ronta, tatapan matanya yang merah menyala menyorot tajam kepada Dimas yang sedang terpejam. Tiba-tiba Dimas membuka matanya dan menatap balik tatapan sang Naga. Mata Dimas telah berubah menjadi biru terang tanda dia sedang menggunakan mata Sethi-nya untuk masuk ke dalam ruang pikiran naga itu. Seketika naga itu diam tak bersuara lagi, tatapan merahnya yang semula begitu tajam dan beringas kini berubah menjadi tatapan yang kosong. Perlahan-lahan warna tubuh naga itu berubah dari hitam menjadi biru cerah. Dimas sedang mengobrak-abrik seluruh pikiran dan ingatan sang naga dan kekuatan Dimas telah mulai melunturkan sihir-sihir yang melekat di seluruh tubuh sang naga. Tetapi tiba-tiba Dimas terjengkang dan terlepas dari sang Naga dan warna kulit naga itu kembali berubah hitam mengkilat dengan cepat. Naga itu kembali meronta-ronta dan tatapannya kembali tajam dan beringas.

“Kau tidak apa-apa Dimas ?” Raji membantu Dimas untuk bangkit dari duduknya. Rasa pusing dan mual mulai menjalar diseluruh tubuh Dimas, tubuhnya terhuyung ketika mencoba berusaha berdiri, tetapi Raji dengan cekatan menopangnya.

“Kau tidak apa-apa Dimas ?” Pafi mengulang pertanyaan yang sama dari Raji.

“Tidak, aku tidak apa-apa. Aku hanya sedikit pusing dan mual. Mungkin ini akibat penjelajahanku di pikiran naga itu. Dia membawaku berputar-putar sampai pusing sekali rasanya. Sihir yang melekat di tubuhnya sangat kuat.” Kata Dimas sambil berusaha berdiri tegak.

“Tapi kau terpental begitu jauh, apa yang terjadi ?” tanya Pafi.

“Tadi aku berusaha menetralkan sihir yang menutupi seluruh tubuh naga itu, tapi sihir para Janggan Wimana memang sangat hebat. Dia mempunyai pertahanan yang kuat sehingga sihir putih manapun tidak akan bisa melumpuhkannya. Sihirnya membuat kulit naga ini lebih kuat dari besi.” Kata Dimas

“Bagaimana kalau kau coba batu bintang Satuasra, bukankah batu bintang Satuasra bisa menetralkan semua jenis sihir ?” kata Jagawana.

“Benar bukankah itu sudah terbukti efektif di hutan Hoa-Binh, ada baiknya kita coba.” Kata Raji

Kemudian Dimas mengeluarkan kantong kulit yang tergantung di lehernya dan mengeluarkan batu bintang Satuasra. Sinar putih keemasan memancar dari batu tersebut sampai jarak sepuluh meter. Sinar yang terang yang memancar itu menerpa naga Jalatunda yang sedang terikat. Seluruh tubuh sang Naga berubah menjadi biru terang.

“Sekarang dia bisa diserang dari sisi manapun.” Kata Dimas, apakah ada yang mau melumpuhkannya.

“Biar aku saja, aku akan mantrai dia dengan mantra pembeku” kata Raji yang langsung merapal mantra tersebut dan dua larik sinar biru meluncur deras dari kedua telapak tangan Raji mengenai tubuh naga itu. Nara Jalatunda itu langsung diam tak lagi bergerak ataupun mengeluarkan suara. Setelah yakin naga Jalatunda itu membeku, Dimas memasukan kembali batu bintang Satuasra ke dalam kantung kulitnya. Tubuh naga Jalatunda itu terlihat biru terang dan tetap diam membeku. Tetapi beberapa saat kemudian naga itu perlahan berubah kembali menjadi hitam dan meronta-ronta. Mantra yang dikenai Raji luntur hanya dalam beberapa saat saja.

“Rupanya mantra para Wimana Janggan sangat kuat, tidak ada cara lain kita harus membunuhnya saat seluruh mantra itu netral oleh sinar batu bintang Satuasra.” Dimas mengeluarkan kembali batu bintang Satu asra dari kantong kulitnya. Saat sinar batu bintang Satuasra mengenai tubuh naga Jalatunda itu dan warna kulitnya kembali menjadi biru terang, tanpa disangka Jagawana melancarkan serangan dengan membelit leher sang Naga dengan sulur-sulur pohon hingga binatang itu tercekik dan darah mengalir dari belitan sulur-sulur pohon itu di lehernya. Tanpa banyak suara binatang itu akhirnya mati dan tak bergerak lagi. Dimas, Raji dan Pafi begitu kaget melihat tindakan Jagawana yang begitu cepat.

“Maafkan aku bertindak lebih dulu, hatiku sejak tadi sudah terbakar oleh api yang menghanguskan pohon-pohon asuhanku.” Kata Jagawana. Mendengar alasan Jagawana yang lainnya cukup mengerti dengan kebencian Jagawana terhadap naga Jalatunda.

“Sekarang kita harus membantu pasukan Narapati. Jagawana kau tetaplah disini, bantu kami dengan membuat rintangan pohon-pohon saat nanti ada perintah mundur.” Kata Dimas. Jagawana Cuma mengangguk. Kemudian Dimas memanggil Sighram. Harimau itu tidak lama kemudian muncul di hadapan.

Mereka semua langsung menuju tempat pertempuran. Pasukan Narapati sudah mulai terdesak hebat. Beberapa Garuda berdebum ke bumi dan terkapar tak bergerak lagi. Sementara di angkasa beberapa burung api terbang meliuk-liuk ke sana kemari menghantam para naga Jalatunda yang terus melontarkan api dari mulutnya.

“Pasukan Garuda, lindungi pasukan darat dari semburan api Jalatunda !!” kata Arghapati berteriak. Berberapa Garuda yang telah berubah menjadi burung api menabrak sejadinya ke tubuh naga-naga Jalatunda yang terlalu kuat.

Pasukan Narapati yang ada memiliki kemampuan menyerang jarak jauh sehingga sangat sedikit yang menjadi korban. Tetapi pasukan yang di perbantukan dari Angkor Wat adalah pasukan dengan tingkatan di bawah pasukan Narapati. Pertempuran tangan dengan menggunakan senjata tajam tidak cukup membantu mereka menahan serangan para Amukhsara.

“Paman Arghapati, kami sudah menemukan kelemahan naga Jalatunda.” Kata Dimas mendekati Arghapati yang sedang sibuk menghajar lawan-lawannya.

“Kalau begitu, bisakah kau membantu para Garuda melawan mereka ?” Arghapati meminta Dimas.

“Baiklah paman.” Dimas langsung melompat dari punggung Sighram, sambil menyambar sebuah pedang yang tergeletak di tanah dan mengambil segerombol anak panah bersama tempatnya dari punggung seorang prajurit Angkor Wat.

“Pafi…Bisa kau angkat aku ke udara.” Kata Dimas berteriak kepada Pafi yang meliuk-liuk menghindari serangan seekor naga Jalatunda sambil melancarkan serangan-serangan angin punyuh yang membuat beberapa Naga terdorong dan kehilangan keseimbangan. Srigati, Garuda tunggangan Pafi meluncur deras ke tanah dan menyambar Dimas dengan kakiknya.

“Raji, kau lindungi Pafi dari serangan naga lain, ambilah beberapa anak panah, aku akan mengeluarkan batubintang Satuasra.” Kata Dimas kepada Raji.

“Jethoraksa tangkap kakiku.” Kata Raji yang langsung melompat ke udara meluncur deras ke tanah dengan kepala menghadap bawah. Jethoraksa dengan lincah menangkap kaki majikannya.

“Bawa aku ke arah prajurit panah Angkor Wat itu, aku mau mengambil anak panah mereka.” Kata Raji yang bergelantungan dengan kepada di bawah.

Jethoraksa meluncur mengampiri tanah, kemudian Raji melakukan gerakan menyambar dan beberapa anak panah berhasil di ambilnya. Sang Prajurit terkejut bukan main dan tersungkur oleh udara deras dari kepakan sayap Jethoraksa. Raji tersenyum dan melambaikan tangannya.

“Jethoraksa, angkat aku kembali ke punggungmu.” Kata Raji

Burung Garuda itu menanjak naik ke angkasa kemudian melepaskan cengkramannya pada kaki Raji. Pada saat Raji melayang jatuh, Jethoraksa melakukan manuver melengkung dan menangkap Raji di atas punggungnya.

“Bagus…bagus Jetho, ayo kita hajar kadal-kadal jelek itu.” Kata Raji sambil menepuk punggung Jethoraksa. Garuda itu memekik keras tanda setuju dengan majikannnya.

Kemudian Jethoraksa menghampiri Srigati dan melakukan gerakan berputar vertikal melindungi Srigati.

“Pafi, terimalah anak panah ini.” Dimas melempar segerombol anak panah bersama tempatnya ke samping. Dengan cekatan Srigati meliuk menghampiri anak panah itu dan membiarkan Pafi menangkapnya.

“Pafi, dekatilah satu persatu naga Jalatunda. Begitu kau melihat bagian tubuh Jalatunda ada yang mulai berwarna biru, segeralah kau serang dia dengan panahmu. Raji….kalau ada naga Jalatunda yang mendekat dan berusaha menyerang Srigati, kau panah saja dengan busur Cakrabuwana.” Dimas memberikan instruksi kepada kedua sahabatnya.

“Baik Dimas, Aku akan hajar mereka satu per satu.” Kata Raji sambil terus melakukan gerakan memblokade di sekitar Srigati.

Pafi mulai mengarahkan Srigati mendekati seekor Jalatunda dengan seorang Amukhsara di atasnya. Dimas mengeluarkan batu bintang Satuasra dari kantung kulitnya. Dengan gerakan cepat Srigati terbang sejajar di sebehlah kiri seekor Jalatunda, Pafi telah siap dengan busur Cakrabuwana yang terentang dengan sebuah anak panah. Begitu sinar batu bintang Satuasra mengenai tubuh naga itu, Pafi mulai mencari sasaran bidikannya. Sementara di atas naga Jalatunda, Amukhsara yang mengendarainya tertawa terbahak-bahak tanpa sadar bagian dada naga tunggangannya sudah mulai berubah warna menjadi biru terang tanda sihir di tubuh naga itu mulai luntur. Kemudian Pafi melepaskan anak panahnya. Anak panah itu meluncur deras dan mengenai ruang kosong di antara dua sayap sang naga. Hal itu membuat prajurit Amukhsara itu makin terbahak. Pafi mengambil satu batang anak panah lagi dan mengarahkan ke dada kiri sang naga. Setelah tepat sasaran anak panah dilepas dan melesat menembus tubuh sang naga hingga melesat keluar lagi di bagian kanan. Naga itu memekik kesakitan, suaranya begitu keras dan kemudian terhuyung dengan darah yang mengalir deras mengguyur pasukan yang sedang bertempur di bawahnya. Darah naga adalah racun yang langsung membuat mahluk hidup apapun selain Garuda akan melelah. Tak lama kemudian naga itu jatuh berdebum ke tanah. Sorak sorai pasukan Narapati dan Angkor Wat melihat kejatuhan seekor naga. Semangat mereka bangkit kembali, pertempuran kembali makin sengit.

Mendengar jeritan seekor naga yang terluka, beberapa ekor naga Jalatunda yang lain bergerak mengejar. Dengan sigap Raji menarik busurnya dan melepaskan anak panah berturut-turut ke arah naga-naga itu. Beberapa naga terjengkang dan meluncur deras dan berdebum di atas tanah, tetapi kemudian bangkit lagi. Tak ada luka sedikitpun, panah Raji hanya membuat para naga itu terdorong oleh tenaga yang dihasilkan busur Cakrabuwana. Tak lama kemudian seekor naga menjerit lagi dan berdebum keras di tanah. Rupanya Pafi berhasil menjatuhkan naga yang kedua. Tapi jumlah naga yang bertempur masih terlalu banyak sehingga tidak mungkin dilumpuhkan satu persatu dengan cara itu. Arghapati yang melihat aksi Dimas di udara terlihat cemas.

“Dimas, kita akan menarik mundur pasukan.” Kata Arghapati berteriak.

“Baik paman, aku akan membuat rintangan. Raji tetaplah kau menghalau naga-naga itu dengan panahmu. Pafi buatlah rintangan angin putting beliung. Aku akan membuat rintangan yang lain di bawah sana.” Kata Dimas. Srigati meluncur turun dan mendaratkan Dimas di atas tanah. Pasukan Garuda yang tersisa bergerak mundur, bersama dengan itu Pafi mulai menciptakan puluhan angin putting beliung yang menghalau para Naga. Sementara Raji melepaskan anak-anak panah ke arah naga-naga yang berhasil melewati rintangan yang dibuat oleh Pafi.

“Mundur….mundur…. kembali ke Pavaratha.” Arghapati berteriak. Satu per satu pasukan Narapati dan Angkor Wat bergerak mundur. Bersamaan dengan mundurnya pasukan, puluhan pohon muncul merintangi gerakan para Amukhsara.

“Siapa yang melakukan itu Dimas.” Tanya Arghapati kepada Dimas yang baru saja lepas dari Srigati. Arghapati tahu, Dimas tidak mungkin bisa melakukannya selama kakinya belum menyentuh tanah, karena pohon-pohon itu muncul sesaat Dimas sebelum menjejakan kakinya ke tanah.

“Temanku paman, dia pengasuh pohon-pohon di seluruh hutan Angkorwat.” Kata Dimas.

“Jagawana maksudmu ?” tanya Arghapati.

“Iya, paman mengenalnya ?” tanya Dimas

“Tentu saja, dia pernah hampir membuatku jadi pupuk untuk pohon-pohonya.” Kata Arghapati. Mendengar hal itu Dimas tersenyum lebar. Dimas mengerti apa yang dimaksud oleh Arghapati.

“Rintangan pohon-pohon itu tidak cukup lama menahan gerak para Amukhsara, aku akan membuat jurang paman.” Kata Dimas. Arghapati menganggukan kepalanya tanda setuju. Tidak ada yang bisa melakukannya kecuali pemilik tenaga bumi. Sementara Arghapati adalah pemilik tenaga api.

“GERANH ASSBAN BHUMI”

Dimas menjejakan kakinya tiga kali. Seketika bumi bergetar hebat, sebuah retakan memanjang sejajar di hadapan pasukan Narapati sedikit demi sedikit mulai melebar dan terus melebar hingga menganga menjadi sebuah jurang yang sangat dalam. Beberapa prajurit Amukhsara yang berhasil menerobos barisan pohon-pohon ciptaan Jagawana tidak menyadari kalau di hadapan mereka telah menganga sebuah jurang yang dalam. Tanpa bisa dikendalikan lagi mereka terjatuh ke dalam jurang itu. Melihat jurang yang sudah menganga lebar dan menghambat gerak pasukannya, para Amuksara yang menunggangi naga Jalatunda mengurungkan niatnya mengejar pasukan Garuda yang mundur menarik diri.

Satu per satu pasukan Narapati dan Angkor Wat juga para Narasimha yang tersisa memasuki wahana Pavaratha. Pasukan Garuda yang telah berkurang separuhnya mendarat. Beberapa Garuda dan Narasimha yang terluka dinaikan ke wahana lebih dulu untuk mendapatkan perawatan dari tabib-tabib Narapati. Tak lama kemudian Pafi dan Raji mendarat paling terakhir bersama Srigati dan Jethoraksa.

“Kekuatan Amukhsara sekarang sungguh diluar dugaan. Kita selain kalah jumlah juga kalah kekuatan terutama dari pasukan Garuda. Garuda-garuda kita tidak mampu mengoyak sedikitpun kulit para Naga Jalatunda yang sudah mengalami perubahan bentuk. Kita harus mengabarkan semua kota perbatasan agar bersiap mengungsi ke tempat yang lebih aman.” Kata Arghapati

“Bagaimana dengan sisa pasukan yang kita tempatkan di kota Angkor Wat ?” tanya Senopati Panaraban.

“Kabarkan kepada Prajurit Angkor Wat yang menjaga kota agar segera menyusul untuk mengungsi. Bawalah serta pasukanmu yang tersisa menuju Angkor Wat. Kabari Pagan agar mereka juga mengungsi. Narapati akan mengabari Kutai dan Sriwijaya.” Kata Arghapati.

“Baiklah Panglima, kami akan berangkat sekarang.” Senopati Panaraban mengangguk memberikan salam perpisahan. Kemudian bersama sisa pasukannya pergi menuju Angkor Wat. Berita-berita sudah menyebar ke seluruh negeri Narapati. Kepanikan melanda diseluruh negeri terutama yang tinggal di garis batas wilayah.

Pasukan Amukhsara mulai menyebar di seluruh bagian utara wilayah perbatasan Narapati. Pagan, Angkor, Hoa-Binh telah dikuasai. Ayuthaya tetap bebas dalam pelindungan sihir-sihir tanah larangan. Tetapi Ayuthaya tidak bisa bergerak ke manapun. Hanya lembah guntur jalan yang tidak dikuasai oleh Amukhsara.

Pasukan Narapati yang kembali dari Angkor Wat membawa berita penting untuk Medanggana Raya. Berita yang harus disampaikan dengan berpacu waktu. Pasukan Amukhsara mulai mengincar Kutai dan Sriwijaya. Tidak ada jalan lain Arghapati akhirnya memecah pasukannya menjadi 3 bagian.

“Jatuchakra, Gambungjago, pimpinlah masing-masing satu wahana Pavaratha Pushpaka. Bawa separuh dari pasukan Garuda dan Narasimha bersama kalian, sampaikan pesanku kepada Adipati Sanjaya di Sriwijaya dan Adipati Ajidarma di Kutai agar mereka mengungsikan seluruh penduduk kota ke tempat yang aman. Bawalah tanda ini untuk menunjukan kalau kalian utusan Narapati.” Kata Arghapati menyerahkan dua buah medali kepada Jatuchakra dan Gambungjago. Tanpa banyak pertanyaan semua segera bersiap.

“Ayo Jagawana naik.” Dimas mengajak Jagawana itu naik ke wahana Pavaratha Rudra. Gadis kecil itu hanya diam dan tersenyum.

“Aku hanya sampai disini saja Dimas. Tempatku disini bersama pohon-pohon asuhanku. Mereka masih membutuhkanku.” Kata Jagawana. Matanya berkaca-kaca, ada keharuan dirasakan diujung waktu kebersamaan mereka. Dimas, Pafi dan Raji mengerti apa yang dirasakan Jagawana. Sebuah pertemanan yang wajar baru dirasakannya sekejap kini harus terpisahkan.

“Kita masih bisa bertemu lain waktu.” Kata Dimas mengulurkan tangannya.

“Ya, kita sudah menjadi teman. Jarak hanyalah sebuah ruang yang tak berarti jika hati kita tetap bersahabat.” Kata Pafi mendekap erat Jagawana.

“Kunjungi aku kalau kalian punya cukup waktu.” Kata Jagawana.

“Kami pasti mengunjungimu nanti.” Kata Raji.

“Terima kasih atas persahabatan yang kalian berikan kepadaku.” Kata Jagawana

“Jagalah dirimu baik-baik Jagawana.” Kata Dimas.

Dimas memasuki wahana Pavaratha Rudra diikuti oleh Raji dan Pafi. Tidak lama kemudian tiga pavaratha mengangkasa menuju arah yang berbeda. Melesat menembus barisan awan meninggalkan Jagawana kembali bersama dunianya dunia pohon-pohon.

“Kita akan melewati tanah larangan, bersiaplah Lembah Guntur adalah yang pertama yang harus kita lewati.” Kata Arghapati memberikan perintah kepada juru mudi Pavaratha.

Satu pavaratha rudra yang dinaiki oleh Dimas, Raji dan Pafi meluncur langsung ke selatan ke arah yang paling berbahaya diantara ketiga Pavaratha, lembah guntur. Dengan kecepatan yang lebih tinggi dari pada pavaratha pengangkut, pavaratha rudra melesat menembus permukaan awan dan melayang. Memasuki wilayah lembah guntur pavaratha rudra itu menukik kembali ke bawah dan terbang rendah nyaris menyentuh daratan.

“Aku merasakan kita kembali menukik ke bawah, sepertinya kita berada tidak terlalu jauh dari daratan.” Kata Pafi.

“Betul Pafi, wilayah lembah guntur yang membentang dari selatan wilayah Ayuthaya dan Angkor Wat tidak bisa dilalui di atas awan, karena di sana terdapat medan energi yang akan menarik apapun yang ada di atasnya masuk ke dalam gumpalan awan dan memanggangnya di dalam. Wahana ini harus turus ke bawah awan dimana ratusan kilatan halilintar siap menghadang kita dan membakar kita hidup-hidup.” Kata Arghapati.

Puluhan halilintar mulai menyerang kemanapun arah pavaratha rudra itu bergerak. Suara dentuman-dentuman keras menghantam tanah dan dinding-dinding tebing sempit yang dilalui pavaratha rudra. Seperti sebuah ledakan gunung tanah yang terhantam halilintar itu berdeburan ke udara. Debu hitam pekat beterbangan memenuhi udara yang memang sudah sarat dengan kabut. Juru mudi Pavaratha mulai kehilangan arah.

“Bagaimana kita mengenali serangan halilintar itu paman ?” tanya Dimas yang khawatir dengan apa yang dilihatnya dibalik mata Sethinya.

“Akan ada putaran debu halus yang sukar untuk dilihat yang naik tidak terlalu tinggi dan menjadi penghantar untuk halilintar yang berada di dalam awan untuk menyerang. Juru mudi akan merasakan putaran debu halus itu melalui perabahan energi halus yang dilakukannya, tapi jika banyak gangguan getaran itu akan hilang.” Kata Arghapati.

“Saya tidak bisa lagi meraba putaran debu halus itu tuan Arghapati, Debu yang ditebarkan oleh hantaman halilintar mengganggu pembacaan getaran yang saya lakukan.” Kata juru Mudi.

Arghapati terdiam, dia tidak bisa memberikan pemecahan atas masalah yang baru saja dikemukakan oleh juru mudi.

“Berikan kemudianya pada saya.” Kata Dimas. Juru mudi itu melihat Dimas kemudian berganti kepada Arghapati. Sementara Arghapati cukup terkejut dengan permintaan Dimas, tapi Dimas menatapnya dengan mata yang sudah menjadi biru terang. Arghapati menunduk tak sanggup menatap mata Dimas.

“Juru Mudi, berikan kemudi kepada Dimas.” Kata Arghapati. Sang juru mudi tanpa banyak bertanya menuruti perintah.Dimas memegang kemudi.

“Bersiaplah.” Kata Dimas. Mata Sethinya mampu menembus semua kegelapan debu hitam. Bagi Dimas semua yang berada diluar sangat jelas, semua getaran halus dari debu-debu yang membentuk pusaran ke atas yang diikuti dengan sambaran halilintar terlihat begitu jelas. Tidak ada yang sadar kalau Dimas sedang menggunakan kemampuannya melambatkan waktu sehingga bisa menghindari semua serangan-serangan halilintar itu.

Tak lama kemudian langit kembali cerah, sebuah jurang yang tidak terlalu dalam membentang memanjang. Dimas menghentikan laju pavaratha. Dirinya merasakan hawa dingin luar biasa di udara yang cerah ini.

“Paman, kita sudah melewati lembah Guntur. Langit sudah kembali cerah, tapi aku merasakan hawa dingin sekali disini.” Kata Dimas.

Pavaratha itu sekarang memasuki perbatasan Lembah Kematian. Lembah yang penuh dengan arwah yang bersemayam sebagai penghormatan atas bencana banjir besar yang melanda dunia Narapati 15.000 tahun yang lalu. Lembah Kematian selalu sangat dingin bahkan lebih dingin dari udara pagi di puncak gunung. Kabut tipis menggantung di atas tanah yang bagitu rapuh. Tonggak-tonggak pohon yang sudah meranggas tampak begitu kering dan menghitam. Dimas merasakan getaran yang terasa kencang di dadanya. Tangannya menggenggam kantong kulit yang tergantung di dadanya. Digenggamnya kuat-kuat kantong kulit yang berisi batu bintang Satuasra itu seakan khawatir akan lepas dari tempatnya. Juru mudi mengendalikan Pavaratha dengan sangat hati-hati. Bayangan-bayangan putih yang berjalan melayang-layang hilir mudik terkadang menembus wahana dan terlihat lewat di dalam lambung wahan dimana semuanya berada. Rasa dingin yang teramat sangat seakan membekukan seluruh pembuluh darah saat bayangan hantu itu menembus melewati bagian tubuh. Arghapati meletakan jari telunjuknya di depan bibir mengisyaratkan agar semua tidak bersuara dan tidak bergerak. Tetapi Dimas tidak sanggup mentaati permintaan Arghapati. Tangannya terus bergetar hebat menggenggam kantong kulit yang tergantung di dadanya. Tanpa dapat ditahan lagi batu bintang Satuasra mencelat keluar dari kantongnya dan melayang-layang di atas kepala.

“Batu bintang Satuasra !” kata Arghapati terkejut melihat sebuah sinar putih yang menyala terang melayang-layang di hadapannya. Dimas dengan cepat menangkap kembali batu bintang satuasra dan memasukan kembali ke kantungnya.

“Apa yang terjadi ?” tanya Pafi. Suaranya diusahakan sepelan mungkin. Dimas menggelengkan kepala. Dirinya juga sama tidak tahunya apa yang sedang terjadi. Batu bintang Satuasra bergetar hebat sejak memasuki wilayah lembah kematian.

“Mereka meminta batu bintang itu serahkan kepada mereka.” Kata juru mudi Pavaratha.

“Kita tidak boleh menyerahkannya begitu saja, kita harus meminta mereka membiarkan kita melewati lembah kematian.” Kata Arghapati.

“Bagaimana berbicara dengan mereka ?” tanya Raji

“Kita harus keluar dari Pavaratha dan menyerahkannya langsung kepada mereka. Bagaimana Dimas, apakah kau bersedia menyerahkan batu bintang satuasra itu kepada mereka ?” Kata Arghapati.

“Asalkan itu menjadi jalan kita lebih cepat memberi kabar ke Medanggana Raya.” Kata Dimas tenang.

Dimas dan Arghapati keluar dari Pavaratha. Lembah kematian terasa begitu dingin. Dataran berdebu halus dengan kabut tipis menutupi seluruh lembah. Sejauh mata memandang hanya warna hitam, abu-abu dan putih saja yang terlihat. Reruntuhan bangunan batu tampak berjajar rapi seakan sebuah kota besar pernah berdiri di sini. Untuk tanah kematian, apapun yang hidup akan memancarkan sinar terang. Begitu pula dengan Arghapati dan Dimas. Tubuh mereka memancarkan sinar terang.

“Serahkan….Satuasra……” suara menggema seakan datang dari berbagai arah.

“Kami bersedia menyerahkannya, tapi apakah kami diberi jalan melintas hingga keluar lembah ini.” Kata Arghapati menjawab suara itu.

“Semua yang hidup akan mati, semua yang telah di tanah kematian tak akan bisa kembali ke tanah kehidupan.” Suara itu kembali bergema, tetapi kali ini di hadapan Arghapati dan Dimas muncul bayangan-bayangan putih. Dalam sekejap seluruh lembah telah dipenuhi oleh arwah-arwah yang menghuni lembah kematian. Begitu banyaknya arwah tersebut hingga seluruh dataran lembah berubah menjadi putih.

“Banyak sekali mereka.” Dimas berkata pelan.

“Mereka adalah korban yang tidak sempat menyebrang ke dunia tengah.” Kata Arghapati pelan.

“Kami akan menyerahkan batu bintang satuasra, asalkan kami dibiarkan melewati lembah ini dengan selamat.” Kini Dimas yang menjawab kembali suara gema itu.

“Kematian akan menjadi perjalanan akhir bagi yang hidup, yang telah sampai didalamnya tak akan bisa kembali lagi hidup. Hanya sang pembawa buku kehidupan bisa mengubahnya.” Suara gema itu kini seolah berasal dari banyak suara yang berbicara bersama-sama.

“Kalau demikian aku akan mengubahnya untuk kalian.” Dimas berkata dengan yakin kepada para arwah itu. Arghapati sedikit terkejut dan tidak yakin dengan apa yang telah didengarnya.

“Apakah kau bisa melakukannya ?” bisik Arghapati.

“Aku tidak tahu paman, tapi yang aku yakin pasti mereka mengenali apa yang bersemayam di tubuhku.” Kata Dimas pelan. Kemudian dengan pasti maju beberapa langkah ke depan meninggalkan Arghapati di belakang.

“Tak ada yang hidup membawa buku kehidupan, yang hidup tak bisa dipercaya membawa buku kehidupan.” Suara gema itu kembali muncul.

“Akulah pembawa buku kehidupan.” Kata Dimas dengan lantang.

“Pembawa buku kehidupan tak bisa disentuh yang mati.” Suara gema itu menjawab.

“Dan kalian tidak akan bisa menyentuhku.” Kata Dimas dengan garang.

Tiba-tiba seluruh arwah bergerak secara bersama menghampiri Dimas dan sangat cepat melesat menabrak tubuh Dimas. Dengan kecepatan yang lebih hebat lagi kesemua arwah itu terpental. Melihat tak ada satupun yang mampu menembus tubuh Dimas, ke semua arwah itu mundur perlahan.

“Sekarang kalian percaya, ambilah batu bintang satuasra ini dan berilah kami jalan.” Kata Dimas dengan mantap.

“Yang mati mengikuti yang telah digariskan.” Suara gema itu kembali muncul.

Kemudian Dimas mengeluarkan batu bintang satuasra dari kantung kulitnya dan dengan cepat dia melemparnya ke arah para arwah. Sinar putih yang dikeluarkan menyirami seluruh lembah. Perlahan seluruh bayangan putih itu seperti pudar tertiup angin. Sebuah jalan lurus yang terang terbuka tanda para arwah sudah memberikan jalan melewati lembah kematian. Dimas dan Arghapati segera bergegas masuk kembali ke dalam pavaratha. Perjalanan pun dilanjutkan tanpa adanya hambatan hingga tiba di ujung tanah Jawa di muara Citarum. Pavaratha kemudian bergerak ke timur menuju Medanggana Raya.

---- *** ----