Monday, March 20, 2006

PINTU GAIB

Pagi begitu cerah, kutilang di puncak pohon mangga begitu bahagia mengembangkan sayapnya. Sepertinya baru hari ini dia merasakan hangatnya siraman sinar matahari pagi tanpa terganggu oleh dentuman-dentuman meriam. Hampir setengah bulu di kepalanya rontok karena terlalu stres akibat bunyi keras bom yang setiap hari mengganggu acara makannya. Sisa-sisa pertempuran telah habis diguyur hujan semalaman, embun pagi berkilauan menyembul di ujung-ujung tajam rumput liar yang tumbuh di sepanjang pematang sawah.

Gerilya yang dilakukan Tentara Nasional Hindia Belanda semalam telah mengguncang pusat kota. Sejak kemarin bungker-bungker Jepang telah di bombardier oleh pesawat-pesawat sekutu. Serangan malam itu begitu hebatnya baik di darat, laut dan udara. Burung-burung besi berseliweran di atas kota menjatuhkan bom bom yang menghantam pusat-pusat logistik dan barak-barak prajurit Jepang. Hari ini dari yang terdengar di radio, Jepang telah menyerah. Hiroshima dan Nagasaki telah dibom atom. Kabarnya seluruh kota luluh lantak hanya dengan sebuah bom saja. Tetapi perang masih saja berkecamuk walau sifatnya sudah mulai sporadis, rupanya para prajurit Jepang belum mendengar berita pengakuan kekalahan negaranya atas sekutu.

Di sebuah tempat diujung timur kota Yogyakarta, di sebuah desa dekat kota Magelang, di antara tiga bukit barisan Menoreh menjulang bernama Borobudur. Sebuah rumah kayu berdiri kokoh dengan atap genteng tanah liat khas jawa. Warna kayunya menunjukan usianya yang sudah sangat tua tapi tetap kokoh dengan pondasi batu kali berdiri dipinggir sebuah sungai yang tidak begitu besar tetapi sangat jernih airnya. Jendela kayu berventilasi kecil memancarkan sinar lampu minyak jarak yang menggantung ditengah ruang utamanya yang berukuran empat kali enam meter. Rasanya kedamaian didalamnya begitu jauh dari hiruk pikuk perang dunia kedua yang sedang ikut membawa negeri ini ambil bagian di dalamnya. Meja kayu sederhana terbuat dari jati tua dikelilingi empat kursi berukir berbentuk daun-daunan menghiasi ruangan itu. Lantai batu kali yang disusun begitu rapi dan tampak mengkilat hanya pada bagian yang sering dipijak. Dinding kayu ruangan utama dihiasi koleksi berbagai jenis tombak dan keris membuat wibawa pada ruangan yang memang terasa megah.

Ruangan lain dalam rumah itu terdiri dari 2 kamar tidur dan ruang makan sekaligus dapur yang dilengkapi dipan tempat lesehan. Aroma arang kayu begitu kental mengitari seluruh udara di ruang makan. Bagian langit-langit dapur yang bersemu menghitam tampak jelas bekas-bekas kegiatan khas dapur dengan berbagai macam perlengkapan terbuat dari bambu dan logam yang menggantung di dindingnya.

Dari arah dapur, seorang laki-laki menggunakan blangkon, baju kerah jawa bergaris coklat dan kain batik bergambar daun coklat tua. Usianya baru 40 an, wajahnya yang segar tampak sangat berwibawa terlihat melalui pancaran matanya yang tajam. Lelaki itu duduk bersila di atas bale-bale yang persis menghadap ruangan utama. Sambil menghisap cengkok tambakaunya dia memanggil lembut seorang anak laki-laki yang baru saja keluar dari ruang lain.

“Dhosari Anadhdhe Sonkhodhath Aman”

sambil melambaikan tangannya. Anak yang kira-kira berumur tiga tahun itu tersenyum dan segera berlari kecil menghampiri lelaki tersebut.

“Onhdhae Sorsisphi Aphadhan Nosabas Anadhdhe ?”

katanya sambil meraih anak kecil tersebut ke pangkuannya.

“Gophanh Nekhan Sonmoran Dhitha Nekhan Sosan”

Dengan lidah yang masih kelu dan belum lancar mengucap, kata-kata itu terlontar dari mulut anak kecil itu begitu saja tanpa mengerti maksudnya.

“Ohh..hooo..hoo….Nekhan Sosan Khari Sanhna Gophanh”

Kata lelaki itu dengan nada suara yang begitu tenang. Dia membetulkan posisi duduk anaknya di atas pangkuannya, sambil mengembangkan telapak tangannya ke arah sebuah baki bambu yang penuh dengan singkong rebus yang kemudian bergerak melayang sendiri ke arahnya. Anak kecil itu berteriak gembira melihat ayahnya melakukan hal itu. Dia bisa menggerakan benda-benda dengan tangannya.

“Aman Agari Nama Sobadhedhannma” pinta si anak.

“Oh.ho..ho…Dimas sae sobagar ?”

katanya sambil mengelus kepala anaknya penuh kasih sayang. Si anak tersenyum gembira sambil mengambil sepotong singkong rebus dari baki bambu.

“Dimas…dimas….. bangun”

seketika saja seorang pemuda yang sedang tidur gelisah dalam mimpi bangkit dari tempat tidurnya.

“Ah………dimana aku….”

napasnya tersengal-sengal, keringatnya mengucur deras, matanya memandang sekeliling ruangan.

“Dimas ini aku Raji, kelihatannya kau mimpi buruk lagi”.

Disebelahnya raji telah duduk berusaha mengajak Dimas berbicara. Mata Dimas masih memandangi seluruh ruangan dan tempat tidur berjejer orang-orang berbaring di kasur-kasur di dalam ruangan bangsal. Dimas mulai teringat kembali dimana dirinya berada. Bangsal ini adalah ruang tidur bersama yang sudah tujuh tahun ditinggalinya bersama teman-teman senasibnya, tanpa ayah tanpa ibu, dan sekarang sahabat baiknya Raji sedang duduk dipinggir tempat tidurnya. Nelangsa terlihat dari guratan wajah ketika Dimas berusaha mencoba mengingat mimpinya tadi mimpi yang mulai menghantuinya sejak ulang tahunnya yang ke tigabelas, kebahagiaan bersama ayah ibunya yang hanya bisa dia rasakan lewat mimpi-mimpi. Setiap kali Dimas berusaha menghitung usianya yang sekarang 13 tahun, Dia benar-benar tidak bisa mengingat tahun yang dia jalani bersama kedua orang tuanya sejak terakhir ayahnya berkata akan mengajarinya dan menunjukan sesuatu.

Tiba-tiba saja bunyi bel berdering keras membangunkan seisi kamar, pagi itu masih pukul 5 dini hari, seorang perempuan berambut pirang masuk, dengan teriakan yang keras berkata dalam bahasa Belanda.

“vlug… vlug……vlug…goede morgen. Ei…. rrRaji kowe nggawe opo” Nyai Janis dengan campuran Jawa menunjukan jarinya ke arah Raji yang sedang di samping Dimas.

Seluruh penghuni ruangan yang semuanya laki-laki berumur antara 12 - 15 tahun segera mengambil handuk yang tergantung rapi di tepi tempat tidur masing-masing dan bergegas keluar ruangan berjalan melalui koridor yang cukup lebar. Nyai Janis mengawasi mereka dari belakang dan kemudian menutup pintu bangsal.

Sepanjang koridor menuju ruang mandi umum, Raji terus berusaha mengorek keterangan mengenai mimpi Dimas yang baru saja terjadi.

“Apakah kau mimpi hal yang sama kali ini?”

Raji setengah berbisik kepada Dimas dengan ekspresi wajah yang penuh ingin tahu. Dimas mengiyakan dengan mengganggukan kepalanya tanpa berkata apapun, kepalanya masih dipenuhi tanda tanya besar mengenai arti dari mimpi-mimpinya yang seakan tidak ada kaitannya dengan kehidupannya. Dimas merasakan ada kejanggalan dalam mimpi-mimpinya. Dimas merasakan ada ketidak cocokan waktu yang selama ini dicobanya untuk disingkap lewat mimpi-mimpinya. Tetapi kecurigaannya hanya disimpannya sendiri saja, Raji memang selalu diberitahu mengenai semua mimpi-mimpinya, tetapi Dimas tak pernah memberitahu Raji mengenai penafsirannya terhadap mimpinya sendiri.

Menurut yang didengarnya dari ibu asrama yang merawatnya, Dimas dititipkan karena kedua orang tuanya sudah meninggal dunia ketika dia berumur 2 tahun dan tidak ada saudara lain yang diketahuinya. Dari hal terakhir yang dia ingat adalah dia masih berusia 2 tahun sedang asyik bercengkrama dengan ayahnya. Ibu asrama kurang memberinya kepuasan dalam mengetahui asal-usulnya. Seakan dia merasa dirinya terlempar saja dari sebuah dunia lain ke tempatnya sekarang berada. Tak ada yang memberitahunya, bahkan Ibu asrama pun selalu menolak menceritakannya setiap Dimas berusaha mengetahui asal-usul keberadaannya. Rasa frustasi dan nelangsa terus menggandrungi hatinya, Dimas merasa ada bagian dari dirinya yang tidak dikenalnya sama sekali seringkali muncul dan dirasakannya.

Kembali setelah mandi, Dimas dan Raji sedang berusaha menyiapkan semua perlengkapan sholat menuju mushalla asrama. Azan subuh sudah berkumandang ketika mereka berdua memasuki ruangan masjid. Selesai sholat semua anak-anak biasanya melanjutkan untuk bersiap-siap melanjutkan aktifitas berikutnya. Jam tujuh semua anak laki-laki sudah bersiap-siap berangkat menuju sekolah rakyat yang dibiayai pemerintah diperuntukan khusus untuk orang-orang tidak mampu.

Berjalan keluar asrama, hampir seluruh anak-anak yang tinggal di asrama itu berangkat ke sekolah. Dimas dan Raji bergegas berjalan di antara puluhan anak-anak yang lain. Sebelum sampai gerbang pagar, mereka bergabung dengan Pafi yang sudah menunggu di depan gerbang.

“Pafi, apakah kau sudah mengerjakan PR sejarah ?”

Raji menyapa Pafi dengan wajah yang agak ramah kali ini.

“Hmmmm…tentu saja sudah dan kali ini kau tidak akan aku biarkan mencontek lagi”

Pafi menjawab dengan wajah yang bangga dan sedikit mengejek. Wajah Raji berubah cemberut, lalu pandangannya diarahkan kepada Dimas dengan senyum penuh harap. Dimas yang melihat wajah Raji segera menjawab pelan.

“Maafkan aku Raji, sudah waktunya kau berusaha dengan kemampuanmu sendiri”

Mendengar jawaban itu Raji menunduk murung. Setelah semalam dia gagal berusaha untuk membuat PR nya sendiri, kali ini usahanya yang terakhir tidak berhasil membujuk Pafi dan Dimas meminjamkan PR mereka kepadanya.

“Aku sudah semalaman berusaha membuat PR nya, tapi tetap aku tidak bisa menyelesaikannya. Ayolah, kalian kan sahabatku, masak untuk kali ini saja tidak mau membantu”

Raji merajuk yang diakhiri dengan senyum menunjukan gigi-giginya yang berbaris rapi dan alis yang diturun-naikan.

Karuan Pafi makin sebal melihatnya, dengan wajah yang cemberut dia membuang muka.

“Ini bukan kali pertama kau tidak menyelesaikan PR mu, kami sudah terlalu sering meminjamkan PR kepadamu, karena aku sahabatmu aku tidak mau meminjamkannya lagi, karena nanti kau akan jadi orang bodoh dan aku tidak mau mempunyai sahabat bodoh”

Pafi menyudahi omelannya dengan menjulurkan lidahnya.

“Benar yang Pafi bilang Raji, kau harus membuat PR mu sendiri”.

Kata Dimas pelan yang diikuti ekspresi Raji yang tampak kecewa.

Mereka duduk di kelas yang sama, sekolah mereka tidak jauh dari asrama, kurang lebih 15 menit dengan berjalan kaki menyusuri jalan utama menuju pusat kota Yogyakarta. Sekolah mereka tidak jauh dari jalan dekat kraton kesultanan Yogyakarta, setiap sore pulang sekolah mereka biasanya sempatkan berjalan melewati alun-alun dalam kraton sampai tembus jalan malioboro.

Hari itu pelajaran sejarah nasional Hindia Belanda, setelah kemarin-kemarin mereka begitu bosan memperlajari sejarah eropa dan kerajaan Netherland, sekarang mereka cukup gembira dengan pelajaran sejarah tanah tempat mereka tinggal sekarang.

Dalam ruangan kelas yang berbau debu, didepan terdapat papan tulis kapur berwarna hitam yang sudah sulit sekali dibersihkan bekas goresan tangan sebelumnya. Di atas papan tulis tergantung gambar Ratu Beatrice yang begitu anggun mengenakan baju warna ungu yang hampir semua orang diruangan itu berpikir aneh karena tidak seperti kebanyakan orang disini berpakaian. Kursi guru yang masih kosong menjulang tinggi dengan ukiran flora seperti kursi kebesaran. Tiba-tiba dari arah pintu masuk seorang lelaki tua berjenggot putih dengan mengenakan kopiah, berbaju jas pegawai negeri warna krem. Seketika seisi ruangan kelas bangkit dan mengucapkan salam.

“Goede morgen”.

Sang guru mengangguk dan tersenyum. Nama guru tersebut adalah Pak Kusumo, dia seorang ahli sejarah yang bekerja untuk pemerintah. Pada waktu luangnya dia mengajar sejarah di sekolah rakyat. Dia sempat ditawari pemerintah Hindia Belanda untuk mengajar di sekolah pemerintah khusus untuk priyayi, tetapi dia menolaknya.

“ Bagaimana kabar kalian hari ini ?”

sapanya ramah kepada semua murid kelas di dalam ruangan. Seluruh siswa menjawab.

“Baik pak guru”.
“Baiklah, hari ini kita akan mempelajari sejarah Hindia Belanda, silahkan mengeluarkan buku catatan dan dengarkan baik-baik”.

Pak Kusumo terus menjelaskan secara ringkas masing-masing episode sejarah diikuti gerakan semua siswa yang sibuk mencatat dengan tergesa-gesa mengikuti kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Pak Kusumo. Gerakan kepala menengok ke kiri dan ke kanan para siswa memastikan tulisan yang sempat tertinggal keteteran. Setiap titik yang ditandai dengan diam sejenaknya Pak Kusumo dimanfaatkan semua siswa untuk mengoyang-goyangkan tangannya yang pegal dan belepotan dengan tinta. Setiap sebuah kalimat dimulai kembali oleh Pak Kusumo kelihatan Raji begitu sibuk dengan ekspresi yang penuh penderitaan terus mencatat dengan kesal. Sejarah yang ditulisnya bukan seperti yang diharapkan sebelumnya. Isinya Cuma tentang penaklukan Belanda terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara. Rasanya seperti terdengar menjadi sebuah penjajahan dari pada kebanggaan.

Waktu terus bergulir sampai akhir pelajaran sejarah selesai. Raji sudah setengah mati pegalnya mencatat, sementara Dimas tidak pernah mencatat sejak awal, dia asyik mendengarkan apa yang diceritakan oleh guru. Kebiasaanya sudah dimaklumi seluruh isi kelas dan guru-guru yang mengajar di sekolah itu, karena sebagai timbal baliknya, Dimas dapat mengulang kembali semua yang diuraikan oleh guru seperti sebuah rekaman. Daya ingat Dimas sangat kuat, jadi dia sering dijadikan tempat bertanya bagi para siswa yang ketinggalan catatan disekolahnya. Dimas sendiri tidak mengerti kenapa dia memiliki ingatan yang sangat kuat seperti itu, tapi kalau mencoba mengingat 6 tahun waktu yang hilang, dia sama sekali tidak sanggup melakukannya.

Pelajaran terakhir telah selesai, Dimas, Raji, dan Pafi segera bergegas meninggalkan ruang kelas. Hari sudah siang tepat pukul satu, matahari yang sudah sangat tinggi diubun-ubun mulai sedikit condong ke arah barat. Hari yang amat tidak menyenangkan untuk berjalan kaki selama 15 menit di jalan yang panas berdebu. Dimas, Raji dan Pafi berjalan beriringan, di antara banyak siswa yang juga pulang bersamaan.

“Lihat, Shinta terus-menerus memandangku, dia pasti naksir padaku” Raji cengengesan.

“Huh…sok kegantengan” Pafi membuang mukanya.

“Memang aku ganteng kok, sebenarnya kamu juga suka kan?” Raji mengelus dagunya menyorongkan wajahnya ke Pafi yang persis disebelah kirinya.

Ekspresi wajah Pafi merah padam, wajahnya ditundukan sambil berpura-pura menutup kupingnya untuk menutupi rona mukanya yang berubah. Dasar lelaki, katanya dalam hati. Sepanjang jalan, Raji terus mengoceh yang sesekali ditimpali oleh Dimas yang terus menerus tertawa melihat tingkah Raji yang dibalas sewot oleh Pafi. Dimas amat paham dengan tingkah polah kedua sahabatnya ini yang selalu bertengkar.

Sepanjang jalan pulang kembali ke asrama Dimas, Raji dan Pafi melalui jalan tadi pagi yang mereka lalui. Mereka telah menghabiskan langkah mereka di atas jalan utama dan berbelok menuju jalan desa tepat lurus menuju asrama. Sepintasan Dimas melihat kemunculan dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar yang sangat tiba-tiba muncul di depan mereka. Keasyikan mengobrol menyebabkan mereka tidak menyadari darimana arah datangnya kedua orang tersebut. Ketika keduanya berpapasan mereka tersenyum kepada Dimas dan dibalas senyum juga. Raji yang melihat senyum Dimas kepada dua orang yang baru saja melewati mereka mengkerutkan alisnya.

“Kau mengenal mereka ?” katanya sambil menatap wajah Dimas.

“ Eh… tidak, mereka tersenyum ya… aku balas senyum” Dimas menjawab seadanya.

“Tapi sepertinya jalanan ini kosong, tidak ada siapapun di depan kita”

Pafi menambahkan sambil mengacungkan jari menunjuk jauh jalan desa yang sedang mereka lewati.

“Hiii… jangan-jangan hantu ya…” Raji bergidik merinding.

“Sudah…sudah jangan dilanjutkan” sergah Pafi yang mulai merasakan bulu romanya berdiri tegak dan tengkuknya menebal.

Selama seminggu terakhir ini mereka bertiga sering menemukan hal-hal aneh yang hanya mereka sendiri bisa melihat dan merasakannya. Banyak hal lain yang tidak mereka bertiga mengerti dan kadang-kadang disimpan sendiri dan hanya dibicarakan bertiga saja, bahkan pak Narso pun tidak diberitahu mengenai kemunculan hal aneh ini. Bagi Dimas misteri yang mereka alami tidak cuka sekadar pemunculan orang-orang ataupun hal-hal aneh, tetapi juga mimpi-mimpinya yang hanya dialami olehnya. Keanehan-keanehan itu mendorong ketiganya menyelidiki secara diam-diam. Bahkan akhirnya mereka sering keluar malam setelah jam tidur untuk menghindari kecurigaan dari orang lain, terutama Nyai Janis.

Sampai di halaman asrama, Dimas tidak langsung menuju bangsal, tetapi terus berjalan menuju kebun di belakang asrama. Tempat yang ditujunya adalah huma tempat berkumpul waktu panen jagung minggu lalu. Pafi dan Raji kelihatan tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Dimas. Kebun pertanian yang diurus oleh pak Narso benar-benar tumbuh subur. Kebun inilah yang menjadi kesukaan Dimas menghabiskan waktunya kala hari libur. Membantu pak Narso mencangkul dan merawat semua tanaman sangatlah menyenangkan bagi Dimas, sementara anak-anak yang lain lebih suka melakukan kegiatan lain. Sedangkan saat-saat setelah sekolah, Dimas lebih suka menghabiskan waktunya di ruang belajar mengerjakan PR nya atau sekadar membaca sebuah buku.

“Apa yang akan kita lakukan disini ?” tanya Raji.

“Kita harus menyelidiki pintu gaib itu nanti malam.” Kata Dimas

“Mengapa harus nanti malam ?” tanya Pafi

“Karena nanti malam adalah tepat malam purnama, kalian ingat kemunculan pintu gaib itu dimulai sejak malam purnama lalu tepat saat tengah malam.” Kata Dimas.

“Jadi maksudmu kita harus bangun nanti malam ?” tanya Raji yang tampak enggan sekali tidur nyenyaknya terganggu. Dia membayangkan harus berjalan tertatih-tatih dengan mata yang masih sangat mengantuk.

“Iya, kalau kau mau, kau bisa menggotong tempat tidurmu sekalian” kata Pafi sinis. Dia sudah paham benar soal tabiat Raji yang sangat tidak mau mengorbankan tidurnya.

“Kalau kau mau kehilangan kesempatan dapat melihat dunia di balik pintu gaib itu, ya tidak apa-apa.” Kata Dimas. Dimas tahu dimana letak kelemahan Raji agar mau mengorbankan waktu tidurnya.

“Baiklah, baiklah, aku ikut. Tapi nanti malam aku dibangunkan.” Kata Raji

“Baiklah, sekarang kita kembali ke asrama. Kita bertemu di dekat tangga turun ke lantai dasar.” Kata Dimas.

Malam begitu indah dengan rembulan bulat yang begitu cerah menerangi pelataran halaman. Dimas sejak sore tidak beranjak tidur, tetapi lebih memilih memandang langit yang berserakan cahaya bintang yang mengedipkan cahaya lemah di antara sinar bulan yang bulat telur. Semua anak-anak dalam bangsal telah terlelap. Dimas bangkit dari tempat duduknya dekat jendela dan berusaha tidak mengeluarkan suara. Bantal di atas kasurnya di tata di atas tempat tidurnya kemudian ditutupi dengan kain. Dengan perlahan Dimas berjalan tanpa alas kaki menuju tempat tidur Raji. Tangannya menepuk pundak Raji dengan pelan. Raji yang masih meringkuk seperti seekor kucing. Tepukan halus Dimas rupanya tak mampu membuatnya terbangun. Dimas mengusap kepala Raji, dengan segera Raji terbangun dan bangkit dari tempat tidurnya.

“Sssssstttt, pelan-pelan” Dimas menutup mulutnya yang berdesis dengan telunjuk kirinya. Raji nyengir kuda sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. Dengan perlahan Raji turun dari tempat tidurnya dan menata bantalnya seperti yang dilakukan Dimas. Dengan mengendap-endap mereka keluar dari bangsal menuju koridor. Di depan pintu bangsal mereka jongkok sebentar mengamati keadaan. Setelah yakin tidak ada orang di koridor tersebut, Dimas dengan berjalan bungkuk bergerak menuju tangga. Raji mengikuti dari belakang dengan tangan yang terus memegang tangan kiri Dimas.

“Mas, kau yakin kita harus melakukannya malam hari” Raji berbisik dengan suara yang agak ketakutan. Dimas berhenti dan memandang Raji yang begitu memelas ketakutan.

“Ya, hanya malam hari waktu yang paling aman dan terhindar dari kecurigaan orang lain. Kau kenapa Ji, takut ?” Dimas setengah berbisik.

“Aku tidak takut, Cuma hhhhmmmmm….” Raji agak ragu meneruskan kalimatnya.

“Ayo cepat, kita jangan terlalu lama disini” Dimas membetot tangan Raji dan menariknya menuju tangga. Kemudian mereka menuruni tangga setelah yakin tidak ada orang lain di bawah.

Pada arah yang berlawanan sesosok orang berjalan mengendap menuju arah yang sama dengan Dimas dan Raji. Dimas dan Raji berhenti dan bersembunyi di bawah tangga.

“Dimas….Raji…..”Suara seorang perempuan memanggil setengah berbisik.

Dimas mengenali suara yang memanggilnya kemudian muncul dari balik tangga dan melambaikan tangan kepada si Pemanggil.

“Pafi……” Dimas memanggil pelan orang yang ternyata adalah Pafi.

“Tidak ada orang yang melihatmu kan “ Tanya Dimas

“Tidak, semua penghuni asrama sudah tertidur” Pafi menjawab dengan pelan.

“Ayo, kita segera ke ruang belajar” Dimas mengajak Pafi dengan terus menarik tangan Raji yang masih memegang erat dengan kedua tangannya.

Sesampainya di depan pintu, ternyata pintu terkunci rapat.

“Sial, pintunya terkunci, bagaimana membukanya” Dimas merutuk. Pafi segera menghampiri gagang pintu dan berusaha memutar-mutar untuk membuka.

“Uh….kenapa tadi kita tidak mengambil kunci dulu di tempat pak Narso. Aku belum diajari mantra membuka pintu.” Pafi juga ikut merutuk.

“Lebih baik kita kembali saja ke kamar” Raji yang sedari tadi tidak merasa nyaman dengan aksi mereka berusaha membujuk kedua temannya untuk kembali.

“Tidak, kita harus masuk menyelediki pintu gaib rahasia itu malam ini juga, bagaimanapun caranya, kenapa kau jadi penakut malam ini Raji. Biasanya kau seperti jagoan” Tegas Pafi.

“Aku tidak takut, aku hanya tidak mau kita terkena hukuman dari Nyai Janis” Raji dengan emosi dan wajah yang merah padam. Untungnya dalam suasana gelap sehingga tidak terlihat, hanya nada suaranya saja yang menaik.

“Tapi bagaimana caranya masuk” Dimas mulai bingung dan berpikir mencari jalan.

“Pintu itu harus bisa di BUKA dulu…..” kata Pafi melanjutkan sambil menujukan telunjuk kanannya kearah gagang pintu dan secara otomatis terdengar suara berkeletak dan pintu terbuka dengan sendirinya.

Dimas, Pafi dan Raji saling pandang tersenyum dengan yang baru saja terjadi.

“Pintunya …….terbuka sendiri” Raji dengan suara tertahan menutup mulutnya.

“Bukan, bukan terbuka sendiri, tapi Pafi yang telah membukanya” Dimas mengangkat tangannya dan menunjuk jari Pafi yang masih menunjuk ke arah gagang pintu. Karena kemampuan Pafi menggerakan benda pernah di bahas sebelumnya akhirnya ketiga sahabat itu tak lagi mempersoalkan bagaimana pintu itu dapat terbuka. Mereka akhirnya memasuki ruang belajar gelap gulita. Pafi berusaha merangkak menyisir dinding dimana sebuah lampu minyak jarak tergantung. Dengan korek api yang sudah disiapkannya sejak tadi Pafi menyalakan lampu.

“Wah, bagus kau telah bawa korek api rupaya” Raji memuji Pafi dengan nada yang sedikit meledek.

“Memangnya kau pikir kau bisa diandalkan untuk mengingat apa yang diperlukan, hah” Pafi menyergah kata-kata Raji yang langsung terdiam.

“Sudah…sudah… lebih baik kita pusatkan perhatian kita ke lukisan di dinding itu” Dimas menengahi kedua sahabatnya yang memang selalu ada saja pertengkaran kecil diantara mereka berdua.

Dimas mengambil lampu yang sudah dinyalakan oleh Pafi kemudian memimpin di depan menuju lorong di dalam ruang belajar dimana pada dindingnya terdapat sebuah lukisan gunung kembar Bromo dan Semeru.

“Bagaimana caranya membuat pintu gaib itu muncul kembali” Pafi bergerak maju memeriksa lukisan di dinding itu. Dimas berdiri tepat didepan lukisan memandangi lukisan itu, sementara Raji hanya berdiri tepat di belakang Dimas.

“Aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya, pintu gaib itu muncul hanya dua kali di hadapanku” Dimas meraba-raba lukisan itu dengan penuh seksama.

“Coba kau ingat-ingat ada hal khusus apa yang terjadi saat itu, saat kau melihat pintu gaib itu muncul. Mungkin kau mengucapkan sesuatu, atau menggerakan sesuatu” Pafi berusaha membangkitkan ingatan Dimas yang sebenarnya dia sangat paham, bahwa hal itu bukan hal sulit buat Dimas.

“Aku tidak tahu, tidak ada yang lain pada kedua kejadian itu” Dimas berpikir keras sambil tetap memandang lukisan di dinding.

Tiba-tiba bunyi suara langkah seseorang makin dekat terdengar dari koridor di luar ruang belajar. Dimas, Pafi dan Raji segera saja menjadi panic.

“Matikan lampunya cepat” Pafi meminta Dimas mematikan lampu jarak yang sedang dipegangnya. Dimas dengan reflek segera meniupnya hingga padam. Suasana menjadi hening, hanya suara langkah kaki yang terdengar makin mendekat. “plak…plak….plak….plak…..”

Dalam keadaan gelap gulita Dimas dengan merangkak di lantai bergerak menjauhi dinding menuju bawah meja belajar diikuti Pafi dan Raji. Mereka bertiga bertahan di kolong meja sambil menahan nafas menunggu suara langkah itu makin mendekat.

Tidak berapa lama tiba-tiba pintu ruang belajar terbuka dengan suara keletak yang khas. Sesosok bayangan tinggi yang tidak jelas memasuki ruangan dan bergerak menuju lukisan di dinding. Setelah di hadapan lukisan itu sosok itu seperti membuka sesuatu di hadapannya. Sinar lembut menyeruak masuk dengan terbukanya sebuah pintu di hadapan sosok itu. Kemudian sosok itu memasuki pintu itu dan menghilang bersamaan dengan lenyapnya pintu itu dari tempat lukisan dinding itu berada dan kembali menjadi lukisan.

Dimas, Pafi dan Raji memandang dengan seksama mencoba mengenali siapa yang baru saja masuk. Tapi suasana terlalu gelap dan hanya bentuk pakaiannya saja yang mereka kenali.

“Siapa dia ? sepertinya bentuk sosoknya kita tidak pernah lihat sebelumnya” Dimas bertanya pelan kepada kedua sahabatnya.

“Siapapun dia, yang penting dia juga manusia, karena dia memakai pakaian” Raji berusaha menenangkan diri.

“Kau tadi memperhatikan gerakan yang dia lakukan ?” Pafi bertanya khusus kepada Dimas

“Tidak..tidak…. terlalu gelap, satu-satunya yang sempat kita lihat adalah saat cahaya lemah itu masuk melalui pintu gaib yang terbuka, itu pun Cuma bagian punggung saja” Dimas menjawab dengan menggelengkan kepalanya.

“Ayo kita harus segera kembali ke kamar” Raji berusaha bangkit dan keluar dari kolong meja.

“Jangan dulu, kita harus selidiki dulu apa yang tadi dilakukan orang itu” Pafi mencegah.

“Tidak, Raji benar Pafi, sebaiknya kita sudahi saja dulu malam ini. Sudah cukup apa yang kita lihat tadi. Kita bisa melanjutkannya besok setelah pulang sekolah.” Dimas bergerak keluar dari kolong meja. Pafi hanya mengangguk setuju walaupun hatinya masih begitu penasaran dengan yang baru saja dilihatnya.

Dengan perlahan mereka bertiga kembali mengendap-endap keluar ruangan belajar dan kemudian berpisah di tangga. Dimas dan Raji kembali ke bangsal putra sedangkan Pafi ke bangsal putri.


------ “” ------

Pagi hari saat menuju sekolah Dimas, Pafi dan Raji sudah kembali terlibat dalam pembicaraan mengenai aksi yang mereka lakukan semalam.

“Tidak ada yang khusus saat itu, hanya saja saat itu aku selalu pada saat hatiku sedang memikirkan asal usulku sebenarnya” Dimas menjelaskan.

“Mungkin itu sebabnya pintu gaib itu tidak muncul karena kau tidak sedang dalam perasaan ingin mengetahui asal-usulmu tetapi sedang ingin menyelidiki keberadaan pintu gaib itu” kata Raji penuh semangat, kontras sekali dengan sikapnya semalam. Sejenak mereka bertiga berpikir kebenaran yang disampaikan Raji.

“Mungkin nanti malam kita bisa coba lagi, tapi kita ubah niat kita. Tidak berusaha mencari tahu bagaimana membukanya, tetapi untuk mengetahui asal usul kita” Pafi berkata tak kalah penuh semangat dengan Raji.

Mendengar usulan Pafi untuk kembali lagi nanti malam, Raji mengkerutkan alisnya. Sepertinya apa yang dirasakannya semalam muncul kembali dengan usulan Pafi tadi.

“Baiklah, nanti malam kita akan ke ruang belajar lagi pada jam yang sama” Dimas menyetujui usulan Pafi.

“Kau yakin Dimas ? nanti malam kan malam Jum’at” Raji sedikit enggan.

“Kau ini penakut seperti ayam betina saja” Pafi menyergah Raji. Pafi sangat paham sifat Raji yang tidak mau disebut penakut. Kalau dia sudah dikatakan penakut, pastilah dia akan menyanggupinya. Benar saja, Raji balas menyergah Pafi.

“Aku tidak takut, aku hanya berhati-hati. Kita lihat nanti malam, siapa yang lebih berani” Raji menyorongkan kepalanya ke arah Pafi.

“Baiklah, kalau begitu tidak ada masalah” Pafi melipatkan kedua tangannya dan mendongakan wajahnya ke angkasa. Wajah Raji terlihat begitu gemas melihat tingkahnya, sementara Dimas hanya tersenyum-senyum melihat tingkah kedua sahabatnya.

Waktu terus berjalan, akhirnya mereka tiba juga di sekolah, sesaat sebelum memasuki gerbang sekolah Dimas memandang dua orang lelaki yang berdiri di pinggir gerbang. Keduanya mengangguk dan tersenyum kepada Dimas yang dibalas dengan anggukan dan senyuman pula oleh Dimas. Melihat perilaku tersebut Pafi dan Raji terheran-heran.

“Kau tersenyum kepada siapa Dimas” Pafi bertanya heran dan mengarahkan pandangannya ke arah yang sama dimana Dimas memberikan anggukannya.

“Kedua orang itu di pinggir gerbang” kata Dimas santai.

“Orang yang mana ?”Raji menoleh mencari 2 orang yang dikatakan Dimas berdiri di pinggir gerbang.

“Itu, kedua lelaki itu, aku masih melihat mereka sekarang” Kata Dimas sambil menunjuk ke arah pinggir gerbang sekolah.

“Tidak ada siapa-siapa di pinggir gerbang itu, aku tidak melihat siapapun kecuali gapura” Pafi menegaskan apa yang dilihatnya.

“Iya, aku juga tidak lihat siapapun” Raji menguatkan apa yang dikatakan Pafi.

“Masa kalian tidak melihat mereka ? dua orang lelaki berpakaian jawa dan mengenakan blankon” Dimas masih saja menunjuk ke arah yang menurut Pafi dan Raji adalah kosong. Pafi dan Raji tetap menggeleng-gelengkan kepala mereka. Dimas mulai bingung dan mulai tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sendiri.

“Jadi…. Kalau aku dapat melihatnya sedangkan kalian tidak, lalu dinamakan apa mereka ?” Dimas mulai melempar sebuah pertanyaan yang bagi Raji membuat bulu romanya berdiri sejadi-jadinya.


“Hantu…hiiiiiiiiiiiii” Raji langsung nyeletuk dan merapatkan jalannya dengan Dimas.

Dimas dan Pafi tetap diam berpikir, tak ada jawaban lain selain yang diberikan Raji untuk dapat menjelaskan keberadaan orang-orang gaib. Selama pendidikan yang mereka terima, mahluk gaib yang mereka kenal hanyalah berjenis malaikat, iblis, setan, jin, kuntil anak dan semua turunannya.

“Lalu apakah berarti orang yang tadi malam masuk ke dalam pintu gaib adalah juga hantu ?” Dimas tiba-tiba menyentak semua keheningan diantara mereka bertiga.

“Bukankah kalian juga melihat sosok itu semalam” Dimas bertanya memastikan kepada kedua sahabatnya. Pafi dan Raji terdiam bingung.

“Tidak, aku rasa yang kita lihat semalam itu bukanlah hantu, karena sosoknya begitu nyata. Kita merasakan ketukan langkah kakinya” Pafi mencoba menepis pendapat Dimas. Raji hanya mengangguk-angguk sementara Dimas masih berpikir keras.

“Lalu apa hubungan sosok yang sama-sama kita bertiga bisa lihat dengan dua orang lelaki tadi yang hanya aku bisa melihatnya” Dimas kembali melemparkan pertanyaan kepada kedua sahabatnya. Tetapi sebelum mendapatkan tanggapan bunyi besi yang dikentongkan keras tanda masuk sekolah sudah dimulai. Ketiganya segera bergegas menuju kelas dimana pak Suryo guru hanacaraka sudah berdiri di depan pintu menunggu para siswa memasuki kelas.

Ini satu-satunya kelas dimana Dimas menulis, karena pada pelajaran ini harus melakukan banyak latihan menulis.

“Selamat pagi anak-anak” Pak Suryo mengucapkan salam

“Selamat pagi pak guru” jawab seluruh anak-anak di kelas yang hanya berjumlah 40 orang. Semua anak-anak mulai mengeluarkan kertas dan alat tulis.

“Aku heran, kenapa kita harus belajar huruf-huruf yang sangat jarang kita gunakan dalam kehidupan kita sehari-hari” Raji menggerutu.

“Supaya kau mengerti kejayaan bangsamu jaman dulu, bahwa bangsa ini adalah bangsa yang pandai, dan tidak seharusnya dijajah seperti sekarang.”

Dimas menjawab gerutuan Raji dengan santai. Raji sangat terkejut dengan jawaban Dimas yang kali ini dirasakanya agak berbeda. Biasanya Dimas sangat berhati-hati dalam memberikan pendapat mengenai penjajahan.

“Tumben kau berkata agak lain mengenai bangsa ini, apakah karena pelajaran sejarah nasional Hindia Belanda pak Kusumo ?” Raji melirik Dimas dengan tersenyum.

“Sssssttt….jangan berisik, pelajaran sudah akan dimulai”

Pafi yang berada di meja di sebelah Raji memelototkan matanya ke arah Raji. Raji langsung merengut dan menarik kertas dan alat tulisnya, Dimas hanya tersenyum geli melihat tingkah kedua sahabatnya. Pelajaran pun dimulai, Pafi dan Dimas terlihat begitu menikmati menulis hanacaraka, sementara Raji terlihat begitu sengsara dengan banyak melakukan kesalahan goresan.



No comments: