Monday, March 20, 2006

ASRAMA DAN PERSAHABATAN


Siang yang terik di sebuah bangunan asrama anak-anak yatim piatu berarstiektur gaya eropa tiga lantai. Denah bangunan berbentuk huruf U dengan dinding-dinding semen bercat putih yang dicampur dengan batu kali berwarna hitam pada bagian pilar-pilarnya. Siapapun yang melihatnya tidak akan percaya kalau bangunan semegah itu adalah sebuah panti asuhan. Terlalu mewah untuk tempat tinggal anak-anak yatim piatu pada masa itu. Atap genteng tanah liat berwarna merah yang sudah kecoklatan menjulang tinggi di atas bangunan yang membentuk piramida melengkung seperti arsitektur bangunan Jawa.

Gedung asrama berdiri di atas tanah seluas 1 hektar, ditengah bangunan terdapat bangunan musholla berarsitektur joglo. Setiap kompleks terdiri dari bangunan berbentuk huruf U dengan genteng tanah liat, terbagi menjadi 3 bangsal. Bangsal kanan untuk anak-anak perempuan, bangsal tengah untuk anak-anak laki-laki, bangsal kiri yang berdekatan dengan mushollah dan gereja untuk ruang belajar. Pada bagian tengah diantara 2 bangunan utama terdapat Musholla, Gereja, Kantor Pengurus Asrama, dan Ruang Dapur umum yang sekaligus bangsal tempat makan bersama. Tidak jauh dari bangunan utama terdapat bangunan rumah tempat tinggal para pengurus asrama yang dikelilingi kebun sayuran.

Dikelilingi pagar batu kali yang telah dipahat kotak-kotak seperti bangunan candi-candi jaman kuno yang hanya dihalangi oleh hamparan tanaman bunga-bunga herbras berwarna-warni. Pada pintu gerbang terdapat dua gapura gaya Majapahit selebar empat meter menjulang tinggi satu garis lurus dengan pintu utama bangunan asrama. Tampak kosong tanpa ada tanda-tanda kegiatan penghuni asrama.

Dari arah jalan di depan pagar asrama tiga orang anak sedang berlari adu cepat menuju gerbang. Satu orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki berusia tigabelasan lebih dahulu masuk melewati gerbang asrama, kemudian di susul satu orang anak laki-laki yang lain. Dari kejauhan tampak gerombolan anak-anak yang lain sedang berjalan santai menuju arah yang sama. Dengan seragam celana pendek berwarna krem dan baju berwarna yang sama jelas menunjukan bahwa semuanya adalah siswa sekolah.

“Ah..ah…aku mengalahkanmu lagi Raji” seru anak perempuan yang ikut berlari tadi dengan wajah mengejek kepada anak laki-laki yang larinya tiba belakangan. Wajahnya merah kepanasan dengan aliran darah yang terus berdenyut kencang dari degupan jantung yang terpompa cepat. Rambutnya yang dikuncir kuda dikibas-kibaskan berusaha mendapatkan angin segar yang silir menyentuh seluruh permukaan tengkuknya. Hidungnya yang mancung, kulit yang putih, dengan rambut berwarna coklat terlihat kontras dengan kedua teman laki-lakinya yang berwarna kulit coklat.

Si anak laki-laki bernama Raji yang diejek tadi tidak menyahutinya, dirinya terlalu lelah untuk melayani ejekan teman perempuannya. Mulutnya terus terbuka lebar menghirup sebanyak mungkin udara untuk mendinginkan isi dadanya yang panas terbakar oleh denyutan jantungnya yang memanas. Kulitnya yang berwarna coklat muda kemerahan tersengat sinar matahari.

“Kau berlaku curang Pafi, mencuri waktu mulai lebih awal. Hitungan Dimas belum selesai kau sudah lari duluan” matanya yang bulat menatap tajam menjawab ejekan Pafi setelah yakin dadanya sudah mulai teratur oleh hembusan udara segar mendinginkan seluruh rongga.

“Tidak ada larangan mulai lebih awal kan ?, kau saja yang terlalu lamban untuk bereaksi, betul kan Dimas ?” dengus Pafi yang tidak terima kemenangannya dianggap sebuah kecurangan, sambil kemudian memandang anak laki-laki yang bernama Dimas yang sedang melemaskan kaki-kakinya. Matanya yang berwarna biru laut menatap Dimas dengan lekat seakan menunggu jawaban. Raji pun menatap Dimas sambil menggaruk garuk kepalanya yang mulai terasa gatal akibat ketombenya menggeliat kepanasan. Seakan Dimas adalah pusat semua hal dari keberadaan mereka, terlihat jelas sekali bahwa anak laki-laki yang bernama Dimas itu benar-benar memimpin kedua temannya. Setiap percakapan seakan selalu diarahkan dan menunggu jawaban serta persetujuan Dimas.

Dimas nyengir mendengar keributan dua rekannya, giginya yang berbaris rapi dengan lesung pipit di sebelah kanan membuatnya tampak sangat menarik walaupun dalam cucuran bulir-bulir keringat yang deras mengalir meluncur di kedua keningnya. Seperti sudah terbiasa dengan keributan kecil itu dan terbiasa bahwa dialah yang harus menjadi penengah bagi keduanya, Dimas memandang gantian kepada kedua temannya. Wajahnya terlihat kental dengan wajah orang Jawa, berbeda dengan kedua temannya yang memiliki wajah tidak sama dengan kebanyakan penghuni asrama.

“Kau memang mencuri waktu mulai lebih awal Pafi, tapi kau juga memang masih terlalu lambat Raji, sebenarnya kau tidak tertinggal jauh pada saat awal, tapi kau sempat berhenti tadi, dan itu yang membuat Pafi bisa mengalahkanmu” Dimas seperti tahu cara membuat dirinya tidak berpihak kepada siapapun diantara kedua temannya. Matanya kembali menatap kedua temannya yang sudah siap kembali saling menyerang. Tetapi aksi mereka tiba-tiba saja terhenti oleh langkah tiga orang anak laki-laki yang lebih besar dan lebih tinggi dari mereka. Satu anak laki-laki berjalan paling depan diikuti dua lainnya. Wajah mereka terlihat angkuh dan menatap merendahkan. Langkah mereka berhenti persis di hadapan Dimas yang sedang duduk bersebelahan dengan Raji dan Pafi yang berdiri di sampingnya. Tangannya yang bertolak pinggang dengan tatapan yang seakan menjijikan, tersenyum sinis kepada kedua temannya yang berdiri di belakangnya.

“Ah…kumpulan Belanda kampung rupanya.” Kata seorang yang paling besar menyapu pandangannya bergantian kepada Dimas, Raji dan Pafi.

“Bagaimana kau menambah hidungmu biar kau lebih mirip Belanda, Dimas, atau ganti saja namamu dulu menjadi Van Der Boer ha..ha..ha..” Ketiga anak-laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. Dimas tetap tenang, tetapi Pafi sudah mulai mengerutkan alisnya. Matanya mulai melotot seakan sudah siap mencerna tiga orang di depannya yang dua kali lebih besar darinya. Raji sendiri menunjukan ekspresi wajah yang sangat membenci ketiga anak laki-laki di depannya. Kertakan rahangnya sudah begitu mengeras menahan amarah yang amat sangat.

“Dan kau Raji, kau tinggal mewarnai rambutmu saja dengan tahi burung dan membaluri kulitmu dengan sagu, ha..ha..ha…” Kata anak lelaki yang bertubuh paling besar. Raji yang sejak tadi sudah begitu merah padam tak mampu lagi menahan ledakan amarahnya, tak lagi dipikirkan badan lawannya yang lebih besar dari dirinya. Berusaha bangkit tetapi Dimas yang menyadari keadaan segera menariknya kembali duduk dan Raji menoleh ke Dimas dengan wajah kesal.

“Jangan Raji, tidak ada gunanya dan kita punya hal yang lebih penting daripada berkelahi dengan mereka” Dimas berbisik kepada Raji mencoba meredam amarah Raji yang tampak sudah berasap di kepalanya.

“Ayo..Raji, kau ingin berkelahi, kenapa Raji…kau takut ? ha..ha.ha. Lihat Mik, Nip, Raji ketakutan ha..ha…”

“Raji…petok…petok…petok…Dia tidak berani kepadamu Aryo, ha…ha..ha..” Sahut kedua temannya

“Kami tidak ingin membuat keributan Aryo” Dimas mencoba menyudahi acara ejekan itu.

“Kami tidak ingin membuat keributan Aryo” Anak lelaki yang dipanggil Aryo menirukan kalimat Dimas dengan nada mengejek.

“Saatnya nanti, giliranmu Dimas, Ayo kita tinggalkan Belanda kampung ini” Aryo menunjukan telunjuknya kemudian terus berlalu yang diikuti oleh kedua temannya.

Berjarak lima meter setelah ketiga anak laki-laki itu berlalu, sebelum mereka memasuki pintu gedung asrama, tangan Pafi bergerak membuat sebuah lambaian ke arah mereka dengan wajah mengejek. Tiba-tiba anak laki-laki yang berada di belakang Aryo menggerakan tangannya dan menepak kepala belakang Aryo.

“PLAAAKKK”

Aryo membalikan wajahnya dengan wajah merah padam, “Kau sengaja memukulku Nip, kau ingin aku hajar” Anip yang tidak sadar akan gerakan tangannya sendiri menggigil ketakutan.

“Ah..a..aku tidak sengaja Yo, aku tidak tidak sengaja, maafkan aku” Tangan Aryo mencengkram kerah baju Anip yang berusaha menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya agar tidak terkena bogem mentah Aryo. Sesaat kemudian Aryo melepaskan cengkramannya dan balas menepak kepala Anip yang merengkut ketakutan. Aryo menatap balik ke arah Dimas, Pafi dan Raji yang tertawa cekikikan dan kemudian tiba-tiba berhenti saat melihat tatapan Aryo yang penuh marah.

Aryo dan kedua temannya berlalu, sementara Raji tak kuasa menahan tawa mereka langsung meledak terbahak-bahak.

“Bagaimana kau melakukannya Pafi ?” Raji bertanya apakah yang dilihatnya hanya sebuah kebetulan atau karena ulah Pafi. Dimas menatap Pafi menegaskan pertanyaan yang sama yang ditanyakan Raji kepadanya. Pafi hanya mengangkat bahunya mendapatkan tatapan seperti itu dari Dimas dan Raji.

“Entahlah, tadi aku hanya bermaksud mengejek, mungkin gerakan si Anip itu hanya kebetulan saja” Jawab Pafi. Dimas sedikit mengernyitkan dahinya. Dirinya yakin sekali bahwa gerakan yang dilakukan Pafi tadi mengakibatkan tangan Budi memukul kepala belakang Aryo.

“Bisakah kau melakukannya lagi ?” Tanya Raji dengan senyum yang terlihat puas setelah melihat kejadian tadi.

“Sudahlah, aku yakin Pafi pun tidak tahu jawabannya, lebih baik jangan kita persoalkan lagi masalah tadi” Kata Dimas berusaha menyudahi pembicaraan yang membuat Pafi bingung. Dimas tahu apa yang dirasakan Pafi seperti ketika dia merasa seperti mengetahui sesuatu tetapi tidak ada yang bisa diingatnya. Walaupun banyak pertanyaan yang mungkin sama dengan yang dipikirkan oleh Raji tetapi akhirnya pertanyaan yang bermunculan dikepalanya tidak dilanjutkannya. Dimas kembali larut ke dalam suasana keakraban yang kembali tercipta setelah sejak tadi Raji dan Pafi hanya bertengkar mengenai perlombaan lari mereka. Kejadian tadi membawa hikmah juga rupanya kepada persahabatan mereka, kalau dalam urusan berhadapan dengan gengnya Aryo, mereka berdua menjadi kompak.

Memasuki ruang tengah asrama suasana disambut oleh langit-langit yang menjulang tinggi yang ditopang enam pilar batu segi empat yang penuh dengan ukiran dengan kubah di atasnya. Dikelilingi dinding-dinding batu-batu hitam dengan relief-relief dan ukiran seni. Pada langit-langit yang melengkung setengah bulat tampak barisan bintang-bintang berwarna keemasan berjajar seperti lengkung busur. Di kedua sisi ruangan terdapat dua tangga batu menuju lantai dua yang dibawahnya terdapat koridor ke ruangan-ruangan lain. Mulai lantai dua sampai lantai empat merupakan bangsal tempat tidur para penghuni asrama. Sebelah kiri adalah bangsal khusus putra sedangkan di sebelah kanan adalah bangsal putri. Lantai dua diperuntukan penghuni asrama yang berusia di bawah 10 tahun, Lantai tiga untuk yang berusia 11 – 15 tahun, lantai empat untuk yang di atas 15 tahun.

Puluhan anak-anak tiba dan dalam sekejap memenuhi ruangan. Semua berjalan menuju kamar masing-masing. Dimas, Raji dan Pafi pun ikut bersama-sama menuju kamar mereka. Dimas dan Raji berbelok ke kiri ke bangsal putra berpisah dengan Pafi yang mengambil arah ke kanan di bagian bangsal putri. Kemudian Dimas dan Raji menaiki tangga menuju lantai dua dan tiga dimana letak bangsal mereka berada pada lantai tiga.



Kamar menjadi tempat favorit bagi Dimas. Bagi Dimas kamar menjadi tempat yang begitu nyaman untuk membebaskan diri dari semuanya. Berbeda dengan Raji yang langsung tergeletak setiap melihat kasur dan bantal, Dimas lebih suka memilih memandang hamparan ladang di belakang asrama.

“Aku senang sekali sewaktu tadi melihat Anip menepuk kepala Aryo, hahaha…apalagi saat Anip begitu ketakutan kena bogemnya Aryo. Jarang-jarang kita dapat kesenangan seperti itu.” Kata Raji dengan wajah yang begitu gembira di atas tempat tidurnya. Dimas diam saja tak menyahut, sementara anak-anak yang lain satu per satu keluar dari bangsal. Setiap siang setelah pulang sekolah, semua anak-anak asrama makan siang bersama.

Setelah yakin semua anak-anak lain telah meninggalkan bangsal, Dimas baru bergerak pindah dari pinggir jendela. Raji sangat paham dengan kebiasaan sahabatnya ini kalau dia merasa ada hal yang tidak ingin orang lain mendengarnya selain mereka berdua.

“Aku melihat yang terjadi terhadap Aryo tadi menambah deretan keanehan yang mulai kita temui dan rasakan sejak bulan purnama seminggu yang lalu.” Kata Dimas.

“Dan purnama kemarin itu bertepatan dengan hari kelahiran kita menurut kalender bulan.” Kata Raji.

“Kita tidak boleh menceritakan kejadian aneh yang kita alami belakangan ini sampai kita bisa memahami apa yang sedang terjadi.” Kata Dimas. Tiba-tiba suara aneh keluar dari perut Raji.

“Wah, weker ku sudah bunyi nih, ayo kita makan.” Kata Raji yang segera bangkit dari tempat tidurnya. Dimas juga sudah merasakan perutnya begitu keroncongan mengangguk setuju.

Ruang makan telah penuh dengan anak-anak asrama saat Dimas dan Raji berjalan masuk menuju meja perasmanan yang sebagian besar sudah nyaris kosong. Raji dengan sigap mengambil semua sekenanya, tetapi gerakannya melambat setelah melihat tatapan mata Ibu Asrama yang melotot melihat gerakan sapu jagatnya Raji. Dimas hanya tersenyum ringan melihat kelakukan sahabatnya. Setelah cukup mengambil makanan ke dalam piring, mereka berdua pun bergerak menuju sebuah deretan meja panjang sambil mencari-cari tempat yang masih kosong. Sebuah tangan melambai memberi arah kepada mereka berdua, ternyata Pafi telah menyiapkan dua tempat kosong untuk mereka.

“Kalian terlambat, kemana saja kalian ?” tanya Pafi sambil terus mengunyah makanannya. Dimas segera duduk di samping Pafi diikuti oleh Raji.

“Kami tadinya mau langsung ke ruang makan, tetapi ada sesuatu yang menahan kami” kata Dimas setengah berbisik sementara Raji langsung menyantap makananannya dengan lahap. Pafi segera berhenti mengunyah dan mengernyitkan wajahnya. Tetapi sebelum sempat bertanya lagi, Dimas sudah melanjutkan ceritanya.

“Kau tahu pintu yang tiba-tiba muncul di dinding di dalam ruang belajar, tadi kami mencoba melewatinya lagi. Herannya tidak ada satu tanda pun menunjukan adanya sebuah pintu tambahan. Kami berusaha mencari tahu bagaimana caranya agar pintu itu bisa muncul kembali, karena itu kami agak terlambat kesini.” Kata Dimas sambil tetap berbisik.

Mereka berusaha agar pembicaraan tidak terdengar oleh yang lain. Tetapi pembicaraan segera berhenti jika ibu asrama sudah mulai memperhatikan gerak gerik mereka. Nyai Janis kepala asrama tampak sangat penuh curiga melihat pembicaraan mereka bertiga yang begitu tertutup. Nyai Janis adalah seorang berkebangsaan Belanda. Nama aslinya adalah Madame Janice tetapi dia lebih suka dipanggil Nyai Janis, seorang perawan tua berumur 45 tahun. Nyai Janis sangat baik terhadap semua anak-anak tapi sangat tegas terhadap pelanggaran peraturan asrama. Selain kepala asrama ada pegawai lain yang tinggal bersama mereka yaitu pengurus kebun pak Narso, juru masak mbok Sirah, mbok Sinem, mbok Sinten, dan mbok Sirem. Selain urusan masak dan kebun, semua kegiatan perawatan asrama dilakukan sendiri oleh seluruh penghuni asrama.

Akhirnya Dimas menghentikan pembicaraannya dengan segera menyantap makan siang mereka yang sudah mulai kelihatan kering. Segera setelah menghabiskan makanan segera meninggalkan ruangan makan. Berusaha menyelinap agar keluarnya tidak diawasi oleh Nyai Janis. Dimas, Raji dan Pafi berjalan menyelinap ke koridor di lantai satu dimana letak ruang belajar berada. Ruangan tersebut dihubungkan oleh lorong yang langsung menuju bangunan kantor yang terpisah dari bangunan utama. Pada ruang belajar terdapat dinding yang satu-satunya tidak memiliki jendela.

Ketiganya bergerak menuju ruang belajar dengan menampakan tingkah yang wajar agar tidak dicurigai oleh orang lain. Sesampainya di dalam ruang belajar yang juga termasuk ruang perpustakaan terdapat sebuah dinding. Pada dinding tersebut hanya terdapat lukisan setinggi pintu bergambarkan sebuah pemandangan gunung kembar Bromo dan Semeru. Dimas dan kedua sahabatnya terus memandangi dinding.

“Kenapa pintu itu tidak muncul ya….” Dimas berpikir keras mencari perbedaan yang mungkin terlewat antara situasi saat dirinya bisa melihat pintu tersebut muncul dengan keadaan sekarang.

“Ada orang menuju kemari, ayo segera pergi dari tempat ini” Pafi segera bergerak menuju rak buku berpura-pura mencari buku. Dari arah pintu muncul beberapa anak perempuan yang segera menyapa Dimas begitu melihat. Dimas hanya tersenyum dan segera mengalihkan perhatiannya kepada buku-buku yang tersusun rapi di raknya. Ruang perpustakaan segera saja ramai dengan anak-anak asrama yang akan mengerjakan tugas sekolah mereka. Dimas, Raji dan Pafi segera meninggalkan tempat. Tetapi ketika baru beranjak keluar dari ruangan, Raji yang lebih awal bergegas keluar menabrak sesuatu yang lebih besar di depannya. Raji terpental balik ke belakang hingga terduduk di lantai, sementara yang di tabraknya tetap tegak berdiri. Dimas dan Pafi segera berhenti menyadari apa yang terjadi.

“Kau ingin berkelahi denganku Raji ?” Aryo maju satu langkah di hadapan Raji yang sedang terduduk di lantai meringis.

“Dia tidak sengaja menabrakmu Aryo,” Dimas berusaha menjelaskan sambil menghalangi Aryo dari Raji. Tetapi Aryo yang sejak lama menanti kesempatan untuk mendapat alasan untuk berkelahi tidak mau mendengar alasan yang diberikan oleh Dimas. Sementara Pafi membantu Raji bangkit.

“Kau ingin mengantikan dia untuk berkelahi denganku Dimas ?” Aryo menarik kerah baju Dimas yang berukuran lebih kecil dari Aryo. Dengan reflek Dimas mencengkram tangan Aryo berusaha menahan badannya yang ikut terangkat oleh tarikan tangan Aryo.

Aryo tidak melanjutkan gerakannya, tubuhnya diam tak bergerak seperti patung. Dimas dengan leluasa melepaskan diri. Anip dan Amik yang berada di belakang Aryo langsung petantang-petenteng tanpa sadar dengan apa yang terjadi dengan Aryo.

“Mampus kau sekarang, mau lari kemana lagi ?” Anip berkacak pinggang sambil tersenyum penuh kemenangan menatap Dimas. Tetapi dia menjadi heran ketika menoleh ke wajah Aryo yang terdiam kaku dengan tatapan mata yang kosong.

“Yo….yo…” Anip mengguncang-guncang pundak Aryo. Tetapi Aryo tetap diam tak bergerak. Amik dan Anip terlihat panic, mata mereka segera saja beralih kepada Dimas yang sudah mundur satu langkah dari tempatnya. Tiba-tiba Aryo seperti ketakutan, ekspresi wajahnya begitu tegang.

“Ah…. Jangan…jangan…” Aryo tersadar dengan sebelumnya mengigau, tangannya menepis-nepis udara kosong di atas kepalanya seakan sedang menghalau sesuatu.

Cengkraman Aryo pada kerah baju Dimas terlepas dan Dimas melepaskan pegangannya pada tangan Aryo. Tanpa banyak bicara lagi Dimas pergi diikuti Raji dan Pafi yang masih penuh tanda tanya dengan yang terjadi pada Aryo. Sepanjang mereka berjalan mereka bertiga membicarakan yang baru saja terjadi pada Aryo.

“Apa yang telah terjadi padanya tadi ?” Pafi bertanya tanpa mengarahkan kepada siapa dia mengajukannya.

“Aku sendiri tidak tahu, dia tiba-tiba saja dia terdiam membeku setelah aku berusaha melepaskan cengkramannya” Dimas juga tampak bingung.

“Hal tadi mirip dengan yang terjadi tadi siang sewaktu kita baru pulang sekolah” kata Raji yang cukup mengamati.

“Maksudmu mirip ?” Tanya Pafi agak bingung

“Iya, Pafi menggerakan tangan yang secara otomatis juga menggerakan tangan Anip, tapi Pafi sendiri tidak merasa melakukan apapun yang membuat Anip menggerakan tangannya. Begitu pula dengan Dimas, tidak merasa melakukan apapun sehingga Aryo begitu ketakutan.” Raji menjelaskan cukup panjang.

Ketiganya kembali terdiam merenungkan apa yang baru saja terjadi kepada mereka. Semua kejadian aneh ini mulai terjadi sejak hari ulang tahun mereka yang ke 13 kemarin termasuk pintu misterius yang tiba-tiba muncul di dalam dinding ruang belajar.

“Lebih baik kita kembali melanjutkan rencana kita hari ini untuk memanen jagung bersama pak Narso” kata Dimas memecah kehening mereka. Kedua sahabatnya segera saja menyetujui dan bergegas menuju kebun di belakang asrama. Hamparan ladang yang sering dipandangi Dimas dari balik jendela bangsal. Barisan tanaman jagung yang masih muda tapi siap panen untuk jadi jagung bakar sangat menggoda siapapun. Dimas berjalan santai di antara tanaman-tanaman sayur yang mengelilingi huma di pinggir ladang.

“Selamat sore pak Narso” Pafi menyapa seorang lelaki tua yang sedang duduk di tengah huma sedang asyik menghisap cangklong tembakaunya yang langsung tersenyum melihat kehadiran tiga anak yang sudah sangat dikenalnya.

“Selamat sore anak-anak, ayo duduk dulu disini” Pak Narso menggeser duduknya dengan tangan yang tetap memegang cangklongnya. Dimas, Pafi dan Raji segera mengambil duduk di sebelah pak Narso. Tak lama kemudian datang beberapa anak-anak asrama lainnya yang ikut serta panen itu.

“Wah nak Inung bawa pasukan rupanya ya” Pak Narso menyapa seorang gadis kecil berkulit coklat dengan mata yang agak besar dan rambut yang dikepang kuda.

“Iya nih pak, siapa yang bisa menolak undangan panen jagung dari pak Narso.” Kata Inung. Satu per satu anak-anak yang datang bersma Inung menyapa pak Narso.

“Baiklah langit sore tampaknya sudah mulai sejuk, kita bisa mulai panen hari ini” Pak Narso bangkit dan mengambil beberapa ani-ani dan bakul.

“Kita harus berbagi tugas, yang laki-laki memotong bongkol jagung dengan ani-ani, sedangkan anak perempuan mengumpulkan jagung yang telah terjatuh ke dalam bakul-bakul ini, dan perlu dua orang untuk menjadi pengumpul jagung di huma” Pak Narso kemudian menjelaskan bagaimana cara kerja panen dan tanpa banyak kesulitan semuanya sudah mulai bekerja memanen jagung.

Suasana begitu ceria, anak-anak begitu menikmati pekerjaan panen jagung itu sehingga tak terasa keringat telah membasahi tubuh mereka. Raji begitu bersemangat memotong bongkol jagung sehingga kurang berhati-hati dalam mengayunkan ani-ani nya. Tangannya tanpa sengaja tergores daun jagung yang cukup tajam sehingga memberikan luka yang cukup dalam di telapak tangan kirinya.

“Aduh, tanganku berdarah” Raji mengeluh, Dimas dan Pafi yang berada di sebelahnya segera menghampiri.

“Kenapa kau Ji, waduh tanganmu berdarah”

Dimas sibuk mencari sesuatu untuk menutup luka pada tangan raji. Pafi dengan cekatan merobek pinggir kain dari rok yang sedang dipakainya. Tapi sebelum sempat mengikatkannya pada tangan Raji, tiba-tiba saja darah yang mengucur deras dari telapak tangan Raji berhenti dan kembali terhisap ke dalam lukanya. Dimas dan Pafi terbengong melihat telapak tangan Raji kembali bersih dan lukanya kembali merapat tanpa bekas. Raji sendiri tidak percaya dengan terjadi dengannya.

Sebelum sempat bertanya-tanya dengan keanehan yang terjadi pada Raji, seorang anak datang memberitahu mereka bertiga kalau waktu panen telah habis. Dimas, Raji dan Pafi segera saja meninggalkan tempat dengan membawa jagung yang sempat mereka petik. Di dalam huma pak Narso sudah menunggu dengan beberapa anak-anak lainnya sedang menimbang jagung dan memasukannya ke dalam karung-karung.

“Ini sisa panen yang terakhir kami ambil pak Narso” Kata Pafi menyerahkan bakul yang berisi penuh dengan jagung. Bersamaan dengan timbangan terakhir datang mbok Sinem dengan mbok Sinten membawa bakul makanan. Anak-anak bersorak sorai dan tanpa dikomando segera menyantap makanan sebelum menyentuh meja. Semua bergembira, pak Narso hanya tersenyum melihat tingkah anak-anak yang saling berebutan makanan di dalam bakul, membuat mbo Sinem dan mbok Sinten nyaris jatuh terdorong ke sana kemari.

“Eihh…eih…pelan-pelan nak…..jangan berebut” Mbok Sinem berusaha memegang bakulnya dengan erat. Dimas, Pafi dan Raji tak kalah gesit menyerbu makanan yang dipegang mbok Sinem.

“Mmmmhhh, memang pisang goreng buatan mbok Sinem paling enak” Raji memuji sambil mengunyah pisang goreng yang berada di genggaman tangan kanan dan kiri.

Suasana canda tawa mengiringi setiap kelakar yang dikeluarkan oleh Raji. Pak Narso membuka beberapa bongkol jagung muda dan memanggangnya di atas bara api yang sudah dinyalakan sebelumnya. Tak perlu memakan waktu lama jagung-jagung bakar tersebut habis dilalap anak-anak yang begitu gambira. Langit senja sudah mengembang jingga keunguan. Pak Narso meminta semua anak-anak untuk kembali ke asrama.

“Ayo kita kembali ke asrama” Dimas berjalan menuju bangsal utama diikuti oleh Pafi dan Raji di belakangnya. Sementara anak-anak yang lain juga akhirnya membubarkan diri setelah meninggalkan huma pak Narso hanya dengan sisa bakul kosong Mbok Sinem dan Mbok Sinten.

Suasana asrama amat lengang, sebagian besar anak-anak sudah berada di bangsal masing-masing. Dimas kembali ke kamarnya dan menemui beberapa anak sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Dimas merasa serba salah, pikirannya terus teringat dengan hal-hal aneh yang terjadi belakangan ini. Merasa tidak betah dengan situasi kamar yang terlalu ramai, Dimas mengajak Raji untuk keluar dari bangsal.

Taman halaman depan adalah pilihan yang paling menyenangkan baik untuk Dimas maupun Raji, karena saat malam biasanya tidak ada anak-anak yang mau bermain di halaman depan. Anak-anak asrama yang lainnya cenderung bermain di halaman tengah.

Bulan purnama tinggal separuh tampak begitu indah menggantung di antara dua gerbang masuk. Di bale di tengah taman tempat yang akan dituju oleh Dimas dan Raji ternyata telah duduk seseorang. Sinar bulan yang tidak penuh menyamarkan bayangan orang tersebut. Dimas agak ragu mendekatinya, tangannya menahan gerak Raji yang nyaris melewatinya. Orang tersebut membalikan badannya dan sebelum Dimas dan Raji sempat menilik-nilik wajah yang samar itu, sebuah suara yang mereka kenal memanggil.

“Hai Dimas, Raji, rupanya kalian tidak betah juga di bangsal.” Kata suara itu yang tak lain adalah Pafi.

“Eh, ternyata kau Pafi, kami pikir orang lain.” Kata Dimas.

“Ehehehe iya aku berpikir tadinya itu kuntilanak, ternyata gak terlalu meleset, hikhikhik.” Kata Raji cengengesan. Pafi langsung mendelik mendengar perkataan Raji, wajahnya dalam bayangan sinar bulan yang samar kini malah nampak lebih menyeramkan. Bersamaan itu sekelebat angin mendesir kencang nyaris mendorong jatuh Raji dan Dimas ke belakang.

“Wow, angin apa itu.” Kata Raji.

“Sepertinya kita baru saja menyaksikan hal aneh yang baru lagi. Rasanya hal itu sejak tadi sangat mengganjal pikiranku, makanya aku tak bisa tenang di bangsal.” Kata Dimas sambil mengambil tempat duduk di bale-bale diikuti Raji.

“Aku juga merasakan kegelisahan yang sama, aku merasa ada hal yang sangat besar dan kita sama sekali tidak tahu apa yang sedang kita hadapi.” Kata Pafi yang mulai kelihatan wajah pintarnya. Sangat berbeda dari wajah murka yang tadi ditunjukannya.

“Ya, termasuk yang barusan saja kau tunjukan Pafi. Sepertinya kita harus cari seseorang yang bisa membantu kita untuk menyingkap tabir ini.” Kata Raji yang kali ini agak lebih serius.

“Kira-kira siapa yang bisa membantu kita ?” tanya Pafi

“Seseorang yang bisa membantu dan juga bisa merahasiakannya. Orang itu harus orang yang begitu mengenal kita dan kita mengenalnya sangat dekat.” Kata Dimas.

“Siapa ya, Nyai Janis dia terlalu tidak peduli, Guru Kusumo tidak mungkin…” Pafi berpikir keras menyebutkan nama-nama orang yang dikenalnya.

“Pak Narso” kata Raji singkat. Awalnya Raji hanya ingin memulai lagi candaannya, karena menurutnya Pak Narso hanyalah seorang pembantu asrama saja. Tetapi Dimas dan Pafi berpikir sebaliknya.

“Ya betul, pak Narso adalah orang yang tepat yang bisa kita minta bantuan, pengetahuannya mengenai hal gaib. Dia juga orang yang sangat bisa kita percaya untuk bisa merahasiakannya.” Kata Dimas.

“Betul sekali, dan tidak ada seorangpun akan curiga bila kita sering mengunjunginya, karena kita sudah sering mengunjunginya sebelum ini.” Kata Pafi.

“Lho, jadi kalian sungguh-sungguh ? aku pikir tadinya Cuma becanda” kata Raji nyengir kecil. Dimas dan Pafi maklum dengan kelakuan sahabatnya yang satu ini.

“Kapan kita akan menemui pak Narso ?” tanya Raji

“Sebaiknya malam ini juga, semakin cepat kita tahu semakin baik.” Kata Dimas.

“Ayolah kalau begitu!” kata Raji yang langsung bangkit dari bale-bale.

Mereka berjalan mengitari asrama, terkadang mereka menahan suara agar tidak sampai terdengar ke ruangan Nyai Janis. Bila Nyai Janis sampai terbangun, maka akibatnya berakhirlah rencana mereka malam ini. Terus berjalan mengendap-endap menuju sebuah rumah kayu sederhana berbentuk panggung yang terletak di pinggir ladang. Berkas-berkas cahaya tampak keluar dari sela-sela bilik. Samar-samar terdengar suara dua orang sedang bercakap-cakap dari dalam rumah. Dimas, Raji dan Pafi berjalan menaiki tangga dan mengetuk pintu.

“tok..tok..tok…”

“Siapa ya…?” tanya suara seorang perempuan yang terdengar sudah tua. Tak mendengar sahutan dari pengetuk pintu, terdengar suara langkah kaki mendekati pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka dan cahaya lampu teplok menyeruak keluar menyinari wajah Dimas, Raji dan Pafi.

“Selamat malam pak Narso” kata Dimas.

“Selamat malam, oh nak Dimas, nak Raji, nak Pafi silahkan…silahkan masuk.” Pak Narso mempersilahkan masuk ke dalam ruangan yang sangat sederhana. Di dalam ruangan Mbok Sinem istri pak Narso sedang duduk di bale-bale. Wanita tua itu tersenyum dengan sangat ramah dan segera menyambut kedatangan Dimas, Raji dan Pafi.

“Wah malam-malam seperti ini berkunjung, ada keperluan apakah ?” tanya Mbok Sinem. Pak Narso memberi isyarat kepada Mbok Sinem yang dimengerti Mbok Sinem sebagai sebuah permintaan menyiapkan makanan. Mbok Sinem tampak sudah begitu mengerti bahasa tubuh yang dilakukan oleh Pak Narso.

“Silahkan duduk Nak Dimas, Nak Raji, Nak Pafi. Apakah ada sesuatu yang bisa saya bantu ?” tanya Pak Narso. Dimas tampak agak ragu-ragu, sejenak apa yang tadi telah disepakai di bale-bale depan asrama menjadi sebuah keraguan yang begitu besar. Membayangkan sosok lelaki tua yang didepannya yang akan dimintainya pertolongan mengenai hal-hal yang sampai sekarang pun dia belum bisa menyebutkan peristiwanya. Tapi pikirnya kembali mengarahkan matanya kepada pak Narso, toh saat ini memang tujuannya untuk mengetahui hal apa yang sedang mereka alami. Sikutan Raji mendorongnya untuk segera mengambil tempat duduk di sebelah pak Narso. Meja tamu yang sederhana itu Cuma berisi dua kursi sehingga Raji dan Pafi terpaksa mengambil duduk di bale-bale yang tadi diduduki oleh Mbok Sinem.

Pak Narso diam menunggu Dimas menyampaikan maksud kedatangannya. Wajahnya menatap dengan lekat ke arah Dimas yang mulai kebingungan mencari kata untuk memulainya.

“Eh…engg….kami ingin meminta bantuan…. pada Pak Narso.” Kata Dimas dengan susah payah mengeluarkan kata-kata pertamanya.

“Hmm… bantuan apakah yang bisa berikan buat nak Dimas.” Kata Pak Narso dengan pelan dan lembut. Dimas kebingungan lagi mendapatkan kata-kata yang harus diucapkannya. Pikirannya antara ragu dan ingin langsung menceritakannya. Tetapi belum sempat keluar kata-kata dari mulutnya, Mbok Sinem telah datang dengan senampan minuman dan jagung rebus. Rasanya saat itu Dimas merasa terselamatkan sehingga mendapatkan waktu lagi berpikir untuk memulai kalimatnya.

“Silahkan diminum nak tehnya, ayo nak Raji jagung rebusnya diambil ayo.” Kata Pak Narso yang kelihatan sangat mengerti kebiasaan Raji.

“Begini pak Narso, saya, maksudnya kami beberapa hari belakangan ini menemui beberapa keganjilan.” Kata Dimas yang berhenti untuk menunggu reaksi air muka pak Narso tentang kalimat awalnya.

“Keganjilan ? yang seperti apa bentuk keganjilan itu nak Dimas.” Tanya pak Narso. Melihat Dimas yang begitu lambat menyampaikan maksud kedatangannya, Raji menjadi tidak sabar. Mulutnya langsung terbuka dan mengeluarkan kata-kata. Tetapi belum lengkap kata pertamanya keluar dari mulutnya, Pafi membekapnya dengan tangan kirinya. Raji membuka bekapan tangan Pafi yang sudah lebih dulu memberikan gerakan telunjuk di depan bibirnya agar Raji diam. Melihat air muka pak Narso yang begitu tenang dan tidak terlalu kaget memberikan keberanian kepada Dimas untuk meneruskan kata-katanya.

“Keganjilan ini terjadi pada kami pak Narso. Kami tidak tahu bagaimana menyebutnya. Tapi keganjilan antara kami berbeda satu sama lain. Saya tiba-tiba seperti bisa mendengar apa yang sedang dipikirkan oleh orang lain, Pafi seperti bisa menggerakan benda dari jarak jauh, sedangkan Raji tadi sore sewaktu memetik jagung tangannya tergores daun jagung dan berdarah, tetapi luka itu langsung menutup tanpa bekas termasuk darah yang keluar terhisap kembali.” Dimas berhenti memastikan pak Narso memahami apa yang barusan di jelaskannya. Wajah pak Narso tampak berkerut memandang secara bergantian ke arah Dimas, Raji dan Pafi. Seakan sedang menyelami alam pikirannya dan mencoba menembus pandang dengan tatapan mata batinnya.

“Sejak kapan kejadian ini berlangsung nak.” Tanya Pak Narso perlahan.

“Sejak ulang tahun kami yang ke-13 yang menurut hitungan bulan jatuh pada purnama kemarin.” Kata Dimas.

Pak Narso segera menghitung-hitung dengan kedua jari tangannya seakan sedang menghitung suatu angka. Gerakan jari-jarinya yang cepat menutup dan membuka perlahan berhenti diikuti dengan tatapan yang kaget ke arah Dimas kemudian bergantian kepada Raji dan Pafi. Dimas merasakan dadanya berdegup keras. Raji dan Pafi bangkit dari bale-bale mendekati Dimas. Mbok Sinem memegang pundak pak Narso, mulutnya bergetar menganga menatap Dimas.

“Pak…..” katanya Mbok Sinem dengan suara yang bergetar.

“Tenang Mbok.” Kata pak Narso sambil memegang tangan Mbok Sinem yang berada di pundaknya.

“Kenapa pak Narso ?” tanya Pafi. Pak Narso sejenak menatap wajah Dimas dengan tatapan haru, tetapi kemudian matanya ditundukan ke meja. Pak Narso menarik nafas dalam-dalam seakan ada tekanan besar menyesakan dadanya.

“Nak Dimas, Nak Raji dan Nak Pafi telah diberi hadiah istimewa oleh Yang Maha Kuasa. Tidak semua orang mendapatkan berkah seperti yang Anak terima. Menurut ciri-ciri yang Nak Dimas sebutkan, Nak Dimas mempunyai kekuatan yang memberikan kemampuan membaca pikiran dan menguasai pikiran orang lain. Nak Raji mempunyai kemampuan menyembuhkan sedangkan Nak Pafi mempunyai kemampuan menggerakan benda. Semuanya karena sifat anak masing-masing yang menunjukan kesamaan pada empat unsur sumber kekuatan, Bumi, Api, Air dan Angin.” Pak Narso berhenti sejenak.

“Kami masih belum mengerti pak Narso” kata Pafi. Pak Narso tersenyum, matanya kembali menatap Dimas. Tampak sekali tatapan haru yang berusaha disembunyikannya. Dimas bukan saja tidak mengerti apa yang diterangkan oleh pak Narso, tetapi juga makin tidak mengerti dengan tatapan pak Narso.

“Kekuatan manusia tidaklah seberapa, manusia-manusia sakti tidaklah menggunakan kekuatannya sendiri tetapi meminjamnya dari alam. Alam lah sumber kekuatan itu. Bumi, Air, Api, dan Angin adalah empat unsur utama dari wujud kekuatan tersebut. Kemampuan yang dimiliki nak Dimas sesungguhnya mengambil kekuatan yang bersumber dari bumi, sedangkan nak Raji dari Air dan nak Pafi dari Angin. Bagaimana sumber kekuatan tersebut dipilih sangat tergantung dari sifat-sifat alami anak sendiri.” Pak Narso menyudahi penjelasannya.

“Tapi anak semua belum bisa mengendalikannya karena tiap kejadian hanya sebuah kebetulan saja. Belum ada yang benar-benar dilakukan atas kemauan sendiri. Untuk bisa mengendalikannya harus dilatih selayaknya olah kanuragan.” Kata pak Narso. Raji mulai tampak makin tertarik dengan penjelasan pak Narso. Kalau urusan melatih kemampuan berkelahi, Raji sangat tertarik. Apalagi kalau ingat gengnya Aryo dia makin semangat. Matanya sudah berbinar-binar antusias menanggapi pak Narso.

“Tapi tanggung jawabnya sangat besar bila anak sudah mampu mengendalikannya. Hanya boleh dilakukan untuk tindakan kebaikan, bukan untuk menyakiti apalagi untuk membalas dendam.” Kata Pak Narso mengingatkan sambil tersenyum melihat air muka Raji yang merengut.

“Apakah pak Narso bisa mengajari kami untuk mengendalikannya ?” tanya Dimas.

Pak Narso diam sesaat, ada hal yang begitu diperhitungkan olehnya hingga harus berhati-hati benar dalam memberikan jawaban atas pertanyaan Dimas.

“Saya bisa mengajari anak semua, tetapi saya mengajukan syarat yang anak semua penuhi.” Kata pak Narso.

“Syarat apa pak ?” tanya Dimas

“Jika sudah bisa mengendalikannya, anak tidak boleh menggunakannya untuk melukai orang lain dan harus merahasiakannya dari siapapun.” Kata pak Narso. Dimas, Raji dan Pafi saling memandang, seakan harapan mereka persis sama dengan diminta oleh pak Narso. Tentu saja bagi Raji syarat pertama terlalu memberatkan, karena berarti dia tidak bisa mencobanya kepada Aryo.

“Baiklah pak Narso, kami menyanggupinya.” Kata Dimas sambil menengok lagi kepada Raji dan Pafi. Secara bergantian Raji dan Pafi menyanggupi syarat yang diajukan pak Narso.

“Baiklah, sekarang kami akan kembali ke asrama.” Kata Dimas

Malam baru sepertiganya bergulir, langit sangat cerah dengan butiran cahaya bintang yang berserakan bersama bulan separuh. Dimas, Raji dan Pafi meninggalkan rumah Pak Narso. Pak Narso dan Mbok Sinem mengantar hingga halaman depan dan tetap terus berdiri mengawasi sampai ketiganya masuk ke dalam asrama.

------ “””” ------

Hari minggu pagi, Dimas merasa bergairah sekali padahal fajar baru saja menyingsing. Lain dari biasanya Raji pun telah siap dengan beberapa perlengkapannya, hari ini mereka akan memulai latihan pertama bersama pak Narso. Padahal biasanya Raji sangat malas bangun pagi di hari libur seperti hari ini.

“Kau bawa apa saja Ji ?” tanya Dimas keheranan dengan tas Raji yang terisi penuh.

“Hehehe….aku cuman bawa joran, umpan dan singkong bakar yang aku minta dari Mbok Sinten, siapa tahu kita bisa menemukan tempat memancing selesai latihan nanti.” Raji cengengesan. Dimas Cuma menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Apa kau sudah bilang Pafi soal rencana keduamu ini ?” tanya Dimas.

“Untuk apa aku harus tanya dia segala, memangnya dia biro perijinan.” Kata Raji.

“Bukan begitu, kan lebih baik diberitahukan sebelumnya, siapa tahu dia juga punya rencana lain.” Kata Dimas

“Baiklah, nanti aku akan beritahu dia.” Kata Raji yang segera menggendong tasnya. Mereka berdua berangkat meninggalkan bangsal yang masih penuh dengan anak-anak yang terlelap dengan selimutnya. Mereka berdua berpapasan dengan Pafi di tangga menuju lantai dasar. Sesuai pesan Pak Narso bahwa mereka bertiga harus berangkat secara terpisah dengan Pak Narso. Arah yang dituju adalah daerah pinggir hutan yang tidak jauh letaknya dengan dari asrama. Mereka menemukan sebuah bangunan candi yang sudah banyak tertutup oleh tanaman merambat. Burung-burung kutilang berkicauan di cabang-cabang pohon diselingi suara beruk-beruk yang bergerusakan melompati batang pohon. Aliran air terjun kecil dari ujung tebing yang cukup tinggi menumbuk bebatuan yang berserak tak beraturan di kubangan kecil dan mengalirkan airnya ke parit kecil.

“Masuklah ke dalam melalui pintu candi anak-anak.” Suara Pak Narso terdengar keluar dari arah mulut pintu candi. Dimas, Raji dan Pafi mengikuti apa yang diminta oleh Pak Narso. Mereka bertiga menapaki tangga di depan pintu masuk candi. Ruangan candi yang sempit telah diterangi oleh obor yang terpasang didinding ruangan. Pak Narso sedang duduk bersila menghadap pintu masuk.

“Duduklah nak di atas ambalan batu itu, ambilah sikap semadi dan pejamkan mata.” Pinta Pak Narso yang langsung diikuti oleh Dimas, Raji dan Pafi.

“Apa gunanya ambalan ini, mengapa tidak pakai tikar pandan saja, kan dingin kalau duduk di atas batu.” Kata Raji dalam hati.

“Ayo nak Raji, bebaskan pikiran sejenak dari segala pertanyaan.” Kata pak Narso yang seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Raji. Raji mengerutkan alisnya dan mengikuti semua petunjuk.

Duduk di atas ambalan batu terasa aliran dingin mengalir mencengkram seluruh tubuh seakan langsung mengakar ke dalam bumi. Gerakan aliran dingin itu begitu liar seakan membungkus seluruh tubuh yang menjadi gemetaran menahan rasa dingin yang amat sangat. Pak Narso meminta untuk mempertahankan posisi semadi dan membiarkan aliran dingin itu bergerak semaunya sampai muncul rasa hangat yang akan menggantikan rasa dingin.

“Nah sekarang bukalah mata kalian.” Pinta Pak Narso. Dimas, Raji dan Pafi membuka mata mereka. Seakan baru saja mendapatkan siraman air pegunungan yang begitu menyegarkan, Dimas merasakan tubuhnya begitu ringan.

“Anak semua telah melewati tahap awal dari pengendalian kekuatan masing-masing. Sebenarnya kekuatan utama dalam diri kalian telah mulai aktif saat purnama lalu, tetapi belum seluruh pintu terbuka sehingga anak semua tidak bisa mengendalikannya sesuai kemauan, tetapi sifatnya hanya kebetulan saja. Aliran dingin tadi telah membantu untuk membuka sisa pintu yang belum terbuka. Aliran hangat setelah rasa dingin yang dirasakan anak semua merupakan tanda bahwa semua pintu tenaga murni dalam tubuh anak telah terbuka semua.” Kata Pak Narso.

“Apa yang dimaksud dengan pintu-pintu pak ?” tanya Dimas.

“Tubuh manusia mempunyai tujuh titik utama tenaga dalam yang disebut Cakra. Ke tujuh cakra tersebut haruslah terbuka sebelum bisa menyerap maupun melepas energi.” Pak Narso menunjukan bagian-bagian mana yang menjadi titik-titik cakra.

“Jadi apakah dengan sekarang kami dapat mengendalikan kekuatan kami sesuai kehendak kami ?” tanya Raji bersemangat.

“Belum nak Raji, sekarang baru membuka semua hambatan keluar masuknya energi. Untuk mengendalikannya perlu latihan yang cukup, karena menyerap tenaga dari alam yang sangat besar perlu kekuatan diri yang sangat besar pula. Terutama nak Dimas, ada tanggung jawab yang sangat besar yang harus anak mas jalani.” Pak Narso menatap tajam kepada Dimas. Dimas menatap ragu kepada pak Narso.

“Tanggung jawab apa yang pak Narso maksud ? mengapa Cuma saya yang harus menjalaninya ?” tanya Dimas agak gemetaran. Ada getar rasa takut yang menjalar di hati Dimas. Takut karena ketidaktahuan yang begitu besar.

“Saya sendiri tidak tahu apa yang nanti harus nak Dimas jalani, tetapi yang saya tahu nak Raji dan nak Pafi akan menjadi bagian yang sangat penting dalam perjalanan itu.” Kata Pak Narso.

“Hari sudah mulai sore, sebaiknya anak semua kembali ke asrama. Ingatlah janji anak semua agar tetap merahasiakan hal ini dan tidak menggunakannya untuk melukai.” Kata Pak Narso.

“Baiklah pak Narso, terima kasih untuk semua wejangan hari ini. Kami akan patuhi pesan pak Narso.” Kata Dimas seraya bangkit dari duduknya dan mengajak Raji dan Pafi untuk pamit.

Matahari sore sudah diujung puncak pohon, kicauan burung masih menyemarakan sore yang begitu jingga disirami cahaya mentari tua. Bunga-bunga rumput liar masih melambai gembira di tengah silir angin sore yang sejuk. Rencana memancing dibatalkan, rupanya Raji begitu bersemangat untuk segera bertemu dengan Aryo dan gengnya. Ingin rasanya dia membalas Aryo, tapi Dimas terus mengingatkan tentang janji mereka kepada pak Narso. Sedangkan Pafi yang biasanya berlawanan dengan Raji, kali ini dia juga menyimpan keinginan yang sama dengan Raji, menghajar Aryo. Tetapi baik Raji maupun Pafi sangat penurut bila Dimas yang berbicara, seolah ada gema wibawa yang tak bisa diabaikan oleh keduanya. Dimas begitu memimpin kedua sahabatnya, seakan Raji dan Pafi rela mati untuknya. Kesetiaan keduanya seperti sudah mendarah daging, bahkan mereka bertiga seperti sudah terikat sejak lahir.

No comments: