Monday, January 28, 2008

PERTEMPURAN LEMBAH BADAI

Sehari setelah tiba dari perjalanan di Angkor Wat, Dimas, Raji dan Pafi menghadiri rapat besar di balairung keraton Narapati. Suasana di balairung keraton kerajaan Narapati telah penuh dengan para pejabat dan ahli perang. Pertemuan khusus dilakukan setelah Arghapati memberikan hasil laporan pertempurannya di Angkor Wat.

“Sekarang Angkor Wat sudah dikuasai, tetapi seluruh penduduk telah selamat dipindahkan ke Ayuthaya. Telik sandi melaporkan Pagan, Palembang dan Kutai telah jatuh ke tangan Amukhsara. Mereka sekarang sedang bergerak menuju Jawa.” Panglima Arghapati melaporkan perjalanannya kepada seluruh yang hadir.

“Bagaimana dengan misi menyelidiki kekuatan naga Jalatunda dan Pavaratha milik Amukhsara.” Patih Narmada bertanya.

“Mengenai kekuatan naga Jalatunda, hamba serahkan penjelasannya kepada Dimas, Pafi dan Raji.” Panglima Arghapati mempersilahkan tiga serangkai itu untuk berbicara. Walaupun suasana itu sudah biasa bagi Dimas, tetapi memberikan laporan tetap saja menjadi hal yang membuatnya gugup, terlebih harus dilakukan di hadapan para pejabat dan Naradyaksa. Akan lebih mudah bagi Dimas untuk langsung berbicara kepada Prabu Narayala. Dimas memandang Prabu Narayala seolah meminta ijin. Prabu Narayala memberikan anggukan setuju.

“Sebelum menuju pertempuran di utara Khitai, kami bertiga sempat singgah di tempat tinggal para peri di Hoa-binh. Semuanya berkat bantuan Jagawana. Dia pengasuh hutan di sana yang secara kebetulan memiliki batu bintang satuasra. Berkat batu bintang tersebut kami bisa melunturkan semua sihir-sihir pemagar wilayah para peri dan berhasil masuk ke sana. Disana kami bertemu dengan peri Agung dan mendapatkan petunjuk mengenai Naga Jalatunda. Peri Agung mengatakan air ketuban akan membersihkan semua sihir yang melekat ditubuhnya.” Dimas menceritakan semua kejadian di tempat tinggal para peri Hoa-Binh. Semua yang hadir mengernyit heran dan kagum dengan cerita Dimas. Mereka merasa hampir tidak percaya anak sekecil Dimas bisa memasuki wilayah para peri yang terkenal sangat penyendiri dan tidak mau berhubungan dengan dunia lain.

Dimas tidak menyebutkan dua petunjuk lain yang diberikan oleh Peri Agung. Raji dan Pafi tahu betul bahwa petunjuk itu memang terlalu pribadi dan tidak bisa disampaikan di dalam rapat itu. Semua yang hadir termenung mendengar kalimat yang disampaikan Dimas. Seakan semuanya sedang mencoba menerka apa yang dimaksud petunjuk itu membuat suasana balairung menjadi hening.

“Gusti Prabu, kiranya bisa memberikan petunjuk mengenai apa yang dimaksud dengan air ketuban itu.” Kata Patih Narmada kepada Prabu Narayala memecah keheningan.

“Air ketuban adalah air yang menyertai kelahiran. Hanya ada satu tempat dimana air ketuban jalatunda masih bisa ditemukan. Sumur Jalatunda. Letaknya di gunung Dieng.” Kata Prabu Narayala. Semua seperti terkaget mendengar kata Dieng, seolah Dieng merupakan tempat mengerikan.

“Untuk mengambil air sumur Jalatunda sangat berbahaya, karena sumur itu dijaga oleh para naga. Tugas ini membutuhkan pengendali air, penunggang cepat Garuda, dan pembuka gerbang.” Prabu Narayala memandang lekat pada Dimas, Raji dan Pafi seolah sedang melihat orang yang dimaksud. Tatapan Prabu Narayala terlihat begitu yakin bahwa tiga serangkai itu memang siap untuk tugas itu.

“Dimas, Raji dan Pafi yang akan menjalankan tugas ini di dampingi Vairivaravira Vimardana.” Prabu Narayala berkata setelah bangkit dari kursinya.

“Maafkan hamba tuanku, apakah bijak menugaskan anak-anak ke tempat yang sangat berbahaya seperti itu, sekali lagi maafkan kelancangan hamba tuanku.” Kata seorang Naradyaksa.

“Perjalanan Angkor Wat sudah membuktikan kesiapan mereka, tak ada lagi keraguan di hatiku kalau Dimas, Raji dan Pafi mampu seperti halnya panglima Arghapati dalam menghadapi bahaya. Mereka akan didampingi oleh para Vairivaravira Vimardana dalam perjalanan ini.” Prabu Narayala menjawab keraguan Naradyaksa. Semua pejabat bangkit memberikan sembah setuju kepada keputusan raja mereka. Tak ada seorang pun yang tahu dan mengerti apa yang menjadi perhatian utama Prabu Narayala. Prabu Narayala melihat perang ini bukan diakhiri dengan menghentikan semua pasukan Amukhsara.

“Sekarang bagaimana dengan persiapan kita untuk menghadapi pergerakan sekutu-sekutu Amukhsara dari utara dan barat.” Tanya Panglima Arghapati.

“Sambut mereka di lembah badai, gunakan Bawean sebagai pusat perbekalan. Panglima Arghapati, bawa seperempat kekuatan Narapati ke lembah badai. Hadang mereka dengan pavaratha rudra. Kirim pula seperempat kekuatan ke Merapi Amangkubhumi untuk bergabung dengan pasukan dari Kerajaan Selatan. Kita akan menyambut Amukhsara di Merapi. Kita harus tetap menyiagakan setengah kekuatan kita di Medanggana Raya. Para Janggan Wimana dari Tambora bisa jadi kekuatan yang mengejutkan kalau kita lengah.” Prabu Narayala memberikan perintah.

Panglima Arghapati memberikan sembah hormat, kemudian pamit dari balairung. Semua yang hadir pun bergerak meninggalkan ruangan saat Prabu Narayala meninggalkan kursinya.

Prabu Narayala sengaja mengirim seperempat dari kekuatan Narapati karena sudah menduga pergerakan Raja Sanaisbin di Barat. Mengirim Dimas, Raji dan Pafi ke Dieng bersama para Vairivaravira Vimardana akan menguntungkan, karena Sanaisbin tidak akan menduga bahwa musuh utamanya justru bergerak menyongsongnya. Perhitungan Prabu Narayala Pasukan Amukhsara akan menyapu semua penjagaan di Karang dan Sunda kemudian bergerak ke selatan.

Sementara saat yang bersamaan pasukan Narapati sedang bersiap berangkat ke lembah badai, Dimas, Raji dan Pafi sedang menunggu bersama para Vairivaravira Vimardana di kediaman Prabu Narayala untuk perjalanan mereka ke Dieng. Tak lama mereka menunggu, Wirapati muncul dari ruang keluar dari ruang utama. Seperti yang pernah dilakukan sebelumnya, para Vairivaravira Vimardana itu telah menggunakan berbagai macam pakaian rakyat biasa yang sangat lusuh termasuk Dimas, Raji dan Pafi.

“Dimas, sebelum berangkat Prabu Narayala ingin berbicara sendirian denganmu.” Kata Wirapati singkat.

Dimas bangkit dari tempat duduknya mengikuti Wirapati menuju ruang utama dimana Prabu Narayala menunggu. Raja Narapati itu terlihat duduk dengan santai, tetapi tampak tidak setegap biasanya. Ada rasa lelah yang tergaris di keningnya yang dipertegas dengan warna kulitnya yang mulai agak pucat.

“Dimas, kemarilah anakku. Ada yang harus aku sampaikan kepadamu sebelum berangkat ke Dieng.” Prabu Narayala melambaikan tangannya ke arah Dimas memintanya untuk duduk di sebelahnya. Dimas menurut dan duduk di sebelah Prabu Narayala. Dimas diam tak bertanya apa yang hendak disampaikan oleh Prabu Narayala.

“Singgahlah di Gunung Lawu, di puncaknya ada sebuah padepokan kecil. Sampaikanlah selendang kecil ini kepada pemimpin padepokan. Dia akan mengerti maksudnya.” Prabu Narayala menyerahkan sehelai selendang sutra pendek berwarna keemasan. Dimas menerimanya dengan tanpa banyak bertanya.

“Sampaikan salamku dan permintaan maafku kepada pemilik selendang ini karena telah membuatnya terlalu lama menunggu.” Kata Prabu Narayala.

“Baiklah Bapak Narayala.” Dimas menggangguk.

“Nah sekarang berangkatlah.” Prabu Narayala mengantar Dimas keluar ruangan utama dan kemudian bergabung dengan para Vairivaravira Vimardana. Setelah memberikan hormat semuanya pergi meninggalkan kediaman Prabu Narayala.

Sementara itu ribuan pavaratha rudra dan pavaratha pushpaka tampak sudah mengudara di atas Gunung Mahameru. Sebagian bergerak ke utara melintasi udara Medanggana Raya menuju Lembah badai yang sengaja dipilih sebagai tempat penghadangan karena lembah ini akan memberikan banyak kesulitan dalam bermanuver. Sementara sebagian yang lain bergerak ke barat menuju Merapi.

Di atas panggung di halaman kraton Medanggana Raya yang luas Prabu Narayala berdiri di hadapan ribuan pasukan Narapati telah berbaris rapi. Langit pagi tampak tua kemerahan di utara dan barat, seolah matahari telah tenggelam di siang bolong. Prabu Narayala memandangi langit yang semakin jingga tua.

“Wahai para Narapati, hari ini kita akan kembali berhadap-hadapan dengan Amukhsara, menyelesaikan apa yang belum tuntas di lembah Krakatau. Berangkatlah dengan gagah berani, jadikan lembah badai lautan kemenangan kita. Semoga Sang Isvarah melindungi kita semua.” Prabu Narayala memberikan pidato singkatnya di hadapan seluruh pasukan yang akan berangkat ke lembah badai. Panglima Arghapati memerintahkan semua pasukan mulai bergerak.

Ribuan Wahana terbang tengah melayang beriring-iringan memenuhi angkasa Bromo hingga membuat seluruh kota Medanggana Raya segelap mendung hitam. Kesiapan Narapati dalam menghadapi perang ini begitu tinggi hingga mampu menggerakan ribuan pavaratha dalam waktu singkat. Satu per satu wahana terbang itu mendarat mengambil pasukan yang telah dikelompokan dalam jumlah kecil. Kemudian mengangkasa kembali dengan kecepatan rendah.

Terbang dalam kecepatan rendah ini adalah terbang kehormatan dan pelepasan pasukan. Seluruh warga Medanggana Raya menghentikan semua kegiatannya memandang ke langit memberikan penghormatan kepada pasukan yang akan bertempur di lembah badai yang di dunia manusia berupa perairan yang disebut laut Jawa. Prabu Narayala berdiri di atas panggung tinggi melepaskan pasukannya. Dalam hatinya sangat sedih karena sebenarnya dia tahu bahwa pertempuran di lembah badai nanti adalah sebuah misi tanpa akhir.

Sementara pasukan sekutu Amukhsara telah membakar habis Kutai. Naga-naga Jalatunda melontarkan bola-bola api dari mulutnya, membakar semua yang berdiri di atas tanah. Hutan-hutan sepanjang sungai Mahakam hingga muara Barito hangus terbakar meninggalkan bara api dan tonggak-tonggak pohon yang menghitam. Kebakaran hebat melanda seluruh hutan di pesisir timur hingga ke barat. Sebagian besar penduduk Kutai telah berlayar ke Toraja, sementara yang tetap tinggal tak satu pun yang selamat. Ribuan pavaratha Rudra mengudara meninggalkan jejak asap menghitam di daratan yang memenuhi angkasa bergabung dengan asap hitam yang membakar sepanjang Pagan hingga Sriwijaya.

Panglima Arghapati yakin sekutu Amukhsara telah mencapai muara Barito. Perjalanan pasukan Narapati telah sampai di Madura. Penyebrangan menuju Bawean akan menjadi membahayakan bagi seluruh pasukan. Tetapi Panglima Arghapati tahu maksud Prabu Narayala memintanya untuk memusatkan semuanya di Bawean. Bawean berada tepat di tengah lembah badai yang memisahkan Jawa dengan Kalimantan. Jalan menuju ke sana melalui Madura akan menjadi tempat latihan bermanuver saat nanti berperang dengan sekutu Amukhsara. Bertempur di lembah badai sangat penting menguasai manuver. Pilar-pilar badai segera terbentuk membuat halangan dan berusaha menggulung semua pavaratha yang melintas. Badai-badai ciptaan dari sihir-sihir Kerajaan Selatan sengaja dibuat untuk menjaga lembah kematian tetap menjadi tempat yang suci. Ribuan pavaratha itu bergerak menghindari pilar-pilar badai yang makin lama makin banyak jumlahnya.

Cukup lama pavaratha-pavaratha Narapati mengarungi angkasa lembah badai. Iring-iringan panjang meliuk-liuk menghindari pilar-pilar badai seolah tak putus sambung menyambung bagaikan liukan ular naga. Angkasa di bawah awan lembah badai sangat mendung, seolah matahari tak sedikit pun menembus gumpalan-gumpalan awan hitam yang mengambang di atasnya. Daratan yang tampak hanyalah lekuk lembah yang turun naik sertan garis-garis panjang aliran sungai yang sama sekali tak tampak mengalir.

Akhirnya sebuah daratan hijau yang cukup luas tampak. Sinar matahari bersinar sangat yang mulai berangkat senja. Seluruh pavaratha mengarahkan kemudinya mendarat satu per satu di atas hamparan tanah lapang berumput yang di atasnya terdapat bongkah-bongkah batu yang rata seperti sebuah landasan. Bawean dalam waktu singkat dipenuhi oleh pavaratha. Pulau itu sepertinya memang sudah disiapkan menjadi pangkalan labuh.

Perkemahan dalam waktu singkat memenuhi semua lahan yang tersisa di antara pavaratha-pavaratha yang tertambat di atas landasannya. Tak ada satu api unggun pun menyala. Panglima Arghapati melarang semua prajurit menyalakan api. Dalam kemahnya yang berdiri persis di tengah kemah-kemah yang lain, Panglima Arghapati mengadakan pertemuan tertutup. Di ruangan kemah itu hanya ada lima orang termasuk Panglima Arghapati. Wirapati sang ajudan Prabu Narayala, dua Naradyaksa dan Rogokeling seorang Narasandhi yang memimpin pasukan khusus telik sandi.

“Kita memerlukan pengetahuan mengenai sejauh mana pasukan sekutu Amukhsara sudah bergerak.” Panglima Arghapati membuka pertemuan.

“Lebih baik kita istirahatkan pasukan malam ini, kirimkan telik sandi ke arah selatan Kalimantan. Perhitunganku musuh akan menggunakan aliran Barito sebagai penunjuk arah.” Wirapati memberikan saran.

“Saya sependapat dengan Wirapati. Aliran Barito cukup besar dan merupakan saluran utama yang bermuara di Aliran Sunda Utama hingga ke utara Bali. Aliran itu adalah yang paling aman dilalui terutama untuk pasukan yang belum pernah mengenal medan di lembah badai.” Kata Naradyaksa Perwira. Naradyaksa Madya di sebelahnya hanya manggut-manggut.

“Baiklah, Rogokeling siapkan telik sandi dengan Garuda terbaik untuk menyelidiki gerakan musuh.” Panglima Arghapati memberikan perintah.

“Baik akan saya siapkan sekarang juga Panglima, saya mohon pamit.” Rogokeling pamit dari tempat pertemuan.

“Sekarang kita harus mengatur serangan, apakah kalian punya pendapat ?.” Panglima Arghapati melemparkan pertanyaan kepada semua yang hadir.

“Menurutku, walaupun kita mungkin kalah dalam kekuatan tetapi lembah badai memberikan kita banyak keuntungan. Kita harus menggunakan kelebihan lembah ini untuk mengurangi kekuatan musuh sebanyak-banyaknya.” Wirapati mulai membeberkan satu per satu taktik perangnya.

“Musuh kita unggul memang dalam kekuatan, tapi mereka tidak memiliki pengalaman di lembah ini. Kita akan membawa musuh berhadapan langsung dengan kekuatan-kekuatan yang ada di lembah ini. Kita bisa menghancurkan pavaratha-pavaratha musuh satu per satu dengan memancing mereka berbenturan dengan pilar-pilar badai. Karena itu kita membutuhkan juru mudi pavaratha yang memiliki kemampuan mengendalikan pavaratha dengan cepat.” Wirapati menghentikan penjelasannya. Panglima Arghapati menunggu tanggapan para Naradyaksa.

“Bagaimana dengan para Naga Jalatunda, kita sudah tahu Garuda sekarang tak mampu mengalahkannya.” Kata Naradyaksa Madya.

“Naga Jalatunda memang merupakan hal yang harus kita waspadai, Karena itu kita harus menyiapkan penunggang Garuda-Garuda cepat dengan pengendali api.” Kata Wirapati.

“Mengapa harus pengendali api ?” Panglima Arghapati agak heran, karena menurut logika untuk pertempuran udara akan lebih membutuhkan pengendali udara dari pada pengendali api.

“Ingat, kita berada di lembah keramat. Kekuatan pengendalian udara telah di ambil seluruhnya oleh lembah ini. Pengendali udara tidak akan sanggup menggerakan angin yang sudah mempunyai kemauannya sendiri. Selain itu Naga-naga Jalatunda akan sangat mengganggu pavaratha-pavaratha kita yang sedang berusaha menggiring pavaratha musuh ke dalam pilar badai dengan semburan-semburan apinya. Pengendali Api harus menyerap semua api yang disemburkan oleh naga-naga itu. Garuda-garuda cepat harus melakukan gerakan-gerakan menghalau para Naga yang akan mengganggu pavaratha kita. Kita harus mengurangi kontak fisik antara Garuda dengan Naga Jalatunda, karena kita sudah tahu siapa yang akan menang kalau mereka sudah bertumbukan di udara.” Wirapati menjelaskan dengan cerdas. Semuanya mulai mengerti dengan strategi yang dijelaskan oleh Wirapati.

“Saran Wirapati sangat masuk akal, dengan pemilihan yang tepat kita akan bisa mengurangi korban yang lebih besar di pihak kita. Bahkan mungkin kita bisa mengalahkan mereka.” Kata Naradyaksa Madya dengan sangat yakin.

“Bagaimana dengan paman Naradyaksa Perwira ?” tanya Panglima Arghapati. Naradyaksa tua itu tepekur cukup lama, matanya agak terpejam sesaat sebelum akhirnya memberikan jawaban.

“Saya melihat rencana yang diajukan Wirapati sangat sempurna, rencana ini tidak boleh diketahui secara menyeluruh oleh seluruh pasukan. Setiap pasukan harus mempunyai tugas khusus yang sangat jelas apabila kita menginginkan rencana ini berhasil. Aku sependapat dengan Naradyaksa Muda, kalau semuanya berjalan sesuai rencana, sangat mungkin bagi kita memenangkan pertempuran ini.” Kata Naraydyaksa Perwira dengan sangat hati-hati.

“Baiklah, kita akan siapkan pasukan Garuda cepat dan para pengendali api. Tetapi sampai saat ini kita belum tahu bagaimana mengalahkan pavaratha siluman milik Amukhsara. Kita harus memikirkan cara kedua jika cara pertama gagal. Penyerangan akan dilakukan saat musuh berada pada jarak terdekat dari tempat ini. Pada saat itu musuh dalam kondisi tak siap karena sudah kelelahan menghadapi badai sepanjang perjalananan mereka. Kita akan bisa mencerai-beraikan mereka.” Kata Panglima Arghapati.

“Benar, kita tidak bisa mengandalkan rencana ini saja. Karena nasib Medanggana Raya akan sangat bergantung pada keberhasilan kita menghabisi sebanyak mungkin musuh agar pasukan Amukhsara di barat tidak bisa menggabungkan pasukannya di Medanggana Raya. Untuk mengetahui kelemahan pavaratha musuh, kita harus mencoba menyerangnya dengan berbagai senjata.” Kata Wirapati.

“Dari yang kita tahu mengenai sumber kekuatan pavaratha Amukhsara adalah darah Garuda yang membuat kulit pavaratha itu sangat sulit untuk dirusak oleh hanya sebuah serangan. Semua kerusakan akan pulih dengan cepat. Pavaratha Amukhsara seperti mahluk hidup, kita harus menyelidiki kelemahannya.” Wirapati menambahkan.

“Bagaimana menurut pendapat paman Naradyaksa ?” Panglima Arghapati mengalihkan perhatiannya kepada dua Naradyaksa yang dengan seksama mendengarkan keterangan Wirapati. Naradyaksa Perwira terdiam, sedangkan Naradyaksa Madya seakan hanya menunggu Naradyaksa Perwira memberikan jawaban.

“Menurutku kita sebaiknya menyiapkan satu kelompok pasukan khusus untuk menjatuhkan satu Pavaratha musuh. Kelompok khusus ini hanya bertugas untuk membongkar seluruh isi pavaratha musuh. Jika kita sudah tahu isinya, akan mudah bagi kita untuk mengetahui cara mendapatkan kelemahannya. Untuk tugas kelompok khusus ini, aku rasa Wirapati adalah orang yang paling tepat.” Kata Naradyaksa Perwira.

“Baiklah, aku setuju dengan usulan paman Naradyaksa Perwira. Wirapati siapkanlah semua yang kau butuhkan untuk kelompok khusus ini. Jika kau sudah menemukan kelemahannya. Kalau sampai kita kalah dalam pertempuran ini kau harus pimpin kelompok ini kembali ke Medanggana Raya dan menyampaikannya kepada Prabu Narayala.” Panglima Arghapati memberikan perintah. Wirapati agak terkejut mendengar perintah terakhir yang diterimanya. Tetapi mulutnya tidak bisa berkata-kata lagi, pikirannya menyetujui perintah itu.

“Baiklah Panglima, kalau begitu saya akan bersiap-siap.” Wirapati melangkah keluar dari kemah.

No comments: