Monday, January 28, 2008

ANAK KRAKATAU

Jauh dari kota Yogyakarta yang dingin dan damai di tempat peperangan besar pernah terjadi sangat hebat. Peperangan yang pernah mempertaruhkan nasib semua dunia. Dekat Banten kota lama dengan sejarah kejayaan pusat perdagangan rempah dunia. Di sepanjang desa pantai barat yang menghadap langsung ke kepulan asap misterius yang muncul dari dasar laut. Muncul dari tempat dimana dulu krakatau besar memberikan dunia hujan abu berhari-hari. Getaran-getaran dari dalam tanah membuat permukaan laut beriak-riak kecil dan menjadi datar tak bergelombang.

Tidak ada nelayan yang berani melaut atau melewati selat, terlalu banyak hal-hal mengerikan yang pernah didengar dan diceritakan dari nelayan-nelayan atau para pelaut dari kapal-kapal asing yang melewatinya. Desa-desa di pesisir selat sunda belakangan digelisahkan oleh munculnya kejadian-kejadian aneh setelah asap misterius itu mulai membumbung dari dalam laut. Kejadian aneh yang disertai hilangnya gadis-gadis di desa itu secara misterius membuat desa segera saja gelap gulita ketika matahari mulai tenggelam di ujung krakatau.

Keresahan itu sudah semakin tidak terbendung, para lurah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Banyak penduduk yang akhirnya mengungsi ke wilayah cilegon bahkan mereka ada yang berduyun-duyun ke Batavia. Pengungsian besar-besaran dengan semua cerita aneh yang dibawanya akhirnya sampai juga kepada pemerintah Hindia Belanda. Penyelidikan intensif dilakukan di desa-desa yang telah dikosongkan oleh penduduknya, tetapi tak satu pun bukti ditemukan.

Sementara di balik keresahan itu, di bekas-bekas kedahsyatan perang masih begitu terlihat jelas. Di sebuah bangunan batu di lembah krakatau yang hitam legam yang hanya berdiri pohon-pohon meranggas gosong. Panasnya lembah membuat udara tidak memiliki cukup kesegaran untuk kehidupan bisa bernafas dengan baik.

Sosok berjubah hitam terbuat dari rami tebal yang terlihat compang camping penuh sobekan dan tambalan, berdiri tegak di puncak bangunan batu berbentuk piramida segi empat. Seorang berpakaian prajurit dengan perawakan berotot kekar, berkulit hitam dan bulu di seluruh tubuhnya. Mengenakan baju besi menyilang di depan dan belakang dada. Membawa golok raksasa bergerigi dengan untaian cincin menempel di bagian tumpulnya. Berjalan menaiki tangga piramida setinggi 5 kali pohon kelapa. Sungguh mahluk yang kecil dibandingkan ukuran piramida batu yang sedang ditapakinya.

Sesampainya di ujung puncak piramida, sembahnya dihaturkan dengan berlutut dan bersujud 4 kali kepada sosok berjubah hitam.

“Nassa Senopathi Honkhorolu Phordhana Sonhnatherdhan Nossan Phakhedha” sang prajurit tetap bersujud.

“Sandhith……” sosok berjubah hitam itu memberi perintah.

“Bagaimana dengan pasukan dari utara” tanya Raja Sanaisbin

“Sekarang pasukan sekutu kita di utara telah mulai melumpuhkan satu demi satu kota-kota perbatasan Narapati. Angkor Wat, Pagan, Sriwijaya, Kutai sekarang sudah dalam kekuasaan.” Kata Senopati Honkhorolu.

“Bagaimana dengan tindakan Narapati.” Tanya Raja Sanaisbin.

“Narapati hanya mengirimkan sedikit pasukannya ke Angkor Wat. Hanya terjadi pertempuran kecil di utara Khitai.” Kata Senopati Honkhorolu

“Hmmm…Narayala cerdik, dia sudah menduga akan kekuatan baru kita. Angkor Wat hanyalah perang kecil untuk mengukur kekuatan. Narayala membiarkan semua kota-kota perbatasan dikuasai, karena dia tidak menginginkan Medanggana Raya lemah penjagaan.” Kata Raja Sanaisbin.

“Katakan kepadaku Honkhorolu, bagaimana perkembangan bala tentaraku” sosok berjubah hitam itu bergerak mendekati Senopati Honkhorolu Phordhana yang masih berdiri diatas lutut kirinya dengan tangan kanan masih mendekap rapat pada dadanya. Sosok senopati yang raksasa walaupun berlutut, tetap saja tingginya masih sama dengan sang sosok berjubah hitam itu.

“Tuanku Sanaisbin raja segala bangsa dunia tengah yang perkasa, semua pasukan sudah hampir siap.” senopati Honkhorolu memberikan laporannya.

“Aku ingin melihatnya langsung” Raja Sanaisbin bergerak menuruni tangga piramida. Gerakannya tidak lagi terlihat dengan jejak-jejak kaki, tetapi langsung melayang. Senopati Honkhorolu mengikuti gerakan tuannya dari belakang. Mereka bergerak turun sampai ke dasar piramida yang didepannya terbentang pohon-pohon raksasa yang nyaris setinggi piramida. Di seluruh batangnya menggaantung benda lonjong putih seperti kepompong seukuran dua kali kerbau. Pohon raksasa itu tidak tampak lagi sebagai pohon karena tidak ada daun satupun tersisa. Yang ada hanyalah ratusan kepompong putih yang menggantung diseluruh batangnya.

“Bangsa Dwarapala telah menyatakan dukungannya kepada kita dan akan menyiapkan 15.000 raksasa untuk memperkuat pasukan kita.” Kata Senopati Honkorolu

Raja Sanaisbin tampak puas dengan yang dilihatnya, senyum senang melihat keganasan naga Jalatunda yang baru saja mencabik-cabik seorang raksasa. Tak terlihat wajah welas asih tetapi hanya senyum kebengisan yang dalam. Mereka kemudian bergerak menuruni lembah yang lumayan dalam dan berhenti di pinggir jurang dibawahnya mengalir sungai lahar pijar yang sangat dalam dan panjang. Aliran lahar pijar yang panas membara pada dasar jurang mengepulkan asap-asap belerang yang menyapu seluruh dinding jurang. Pada dinding-dinding jurang terdapat benda-benda berwarna kuning bening keemasan menempel diseluruh dinding jurang di kiri dan kanan sungai.

“Di hadapan kita adalah duaratus ribu Kepompong-kepompong para Amukhsara yang siap menetas untuk dikerahkan, kita berhasil mempercepat pertumbuhan para prajurit. Panas aliran lahar pijar telah mempercepat penetasan”

Senopati menunjukan dinding-dinding jurang yang penuh dengan kepompong para Amukhsara yang pada beberapa bagian mulai retak-retak dan seorang Amukhsara keluar dari kepompong langsung melompat ke punggung para naga-naga terbang Jalatunda para prajurit Amukhsara yang melayang di sebelahnya. Kadang-kadang ada yang yang tidak tepat sehingga terjatuh melayang ke sungai, tetapi dengan cekatan para naga menukik mengejar dan mencengkram amuksara yang jatuh dengan kaki-kakinya. Pada sisi lain terjadi tubrukan antara amuksara yang melompat dengan penunggang naga sehingga sang penunggang terjatuh ke dalam jurang. Tetapi naga-naga yang selalu berseliweran bolak balik keluar masuk jurang selalu berhasil menangkap siapapun yang terjatuh.

Sang Raja Sanaisbin tampak puas, tak lama kemudian datang dua ekor naga mendarat di hadapan mereka menunduk rendah. Raja Sanaisbin dan Senopati Honkhorolu menaiki naga-naga Jalatunda tersebut kemudian terbang menyebrangi jurang lahar pijar kemudian mendarat pada lereng yang cukup tinggi dimana terdapat sebuah goa besar pada bagian dindingnya. Pada bagian puncak tampak kaldera bekas letusan yang dipenuhi air membentuk danau berwarna hijau keputihan yang ditengahnya menyembul sebentuk kerucut dengan puncak yang terus-menerus menyeburkan lahar pijar panas. Mereka berdua masuk ke dalam gua yang sangat besar yang menembus dasar kaldera. Suara-suara lolongan panjang srigala keluar dari mulut goa begitu nyaring bergema.

“Kita juga telah berhasil membuat persilangan Cakracakra dengan Mahisasura, sehingga kita sekarang mempunyai pasukan srigala yang bertubuh sebesar kerbau yang akan mampu menandingi para pasukan harimau putih Narapati”

Lalu mereka bergerak menuju ruangan goa yang lebih besar dengan stalaktit dan stalagmit yang menyembul berwarna-warni. Mereka keluar pada ujung lorong yang memiliki ketinggian sehingga dapat melihat seluruh isi ruangan dengan jelas.

“Tuanku Raja Sanaisbin, di bawah sana adalah tempat latihan semua prajurit. Kami menculik cukup Narapati, Garuda dan Narasimha untuk latihan ini”

Raja Sanaisbin dan Senopati Honkhorolu berjalan balik kembali keluar dari lorong yang pertama mereka masuki. Kemudian memasuki lorong yang lain yang diujungnya terdapat ruangan lain berbentuk sel penjara dengan sejumlah perempuan manusia dewasa yang sedang duduk-duduk dengan kepayahan. Semua perut mereka buncit seperti sedang mengandung. Ada yang sedangan menangis ketakutan, ada yang duduk dengan tatapan mata yang kosong tak bicara sepatahpun. Ada yang sudah mulai tertawa-tawa sendirian dan ada yang hanya menunduk dengan seluruh rambut menutupi wajahnya.

“Ruangan ini adalah ruangan penetasan Amukhsara sebelum disimpan di kepompong kawah api. Kami menggunakan perempuan-perempuan manusia sebagai induk pembiakan. Kami tidak mengambil perempuan Narapati, karena akan menimbulkan kecurigaan jika terjadi penculikan dalam jumlah besar”

“Setiap induk kami tanam tiga janin Amukhsara dalam tubuhnya, dengan cara ini kita bisa menghasilkan tentara dengan cepat” Senopati Honkhorolu kembali menjelaskan semuanya. Ruangan demi ruangan penuh dengan kengerian dan mimpi buruk panjang tak berkesudahan. Jerit kesakitan dan lengkingan kematian terus menerus bergema diikuti dengan sorak-sorai Amukhsara, pekik girang naga-naga Jalatunda dan raungan kemenangan para Cakracakra.

Semua ruangan-ruangan itu terhubung dengan lorong yang berujung pada ruangan terbesar seperti sebuah cerobong asap dengan atap terbuka menghadap langit. Di bawahnya bergolak danau lahar pijar yang sangat panas. Ruangan besar itu telah menjadi anjungan bagi sandarnya ratusan wahana Pavaratha. Di setiap anjungan terdapat goa yang menjadi jalur keluar dan masuk bagi persediaan dan tentara.

“Ruangan ini adalah tempat dibangunnya wahana Pavaratha yang telah diperkuat dengan darah para Garuda dan sihir para Janggan Wimana seperti perintah tuanku” kata Senopati Honkhorolu kepada Raja Sanaisbin.

“Sapu bersih semua penjagaan Narapati di Gunung Karang. Gabungkan kekuatan sekutu dari Sriwijaya. Hancurkan Merapi Amangkubhumi. Gerakan sekutu kita di Kutai ke Madura.” Raja Sanaisbin memberikan perintah.

“Perintah hamba laksanakan tuanku.” Senopati Honkhorolu pamit.

Raja Sanaisbin telah melepaskan seluruh pasukan yang sesungguhnya akan menjadi kekuatan utama dalam permainan perangnya. Pasukan-pasukan yang sekarang sedang menaklukan satu demi satu kota-kota Narapati, menjarah, membunuh dan menghancurkan semua peradabannya hanyalah pengalih perhatian. Prabu Narayala paham betul taktik saudara kembarnya itu. Dia membiarkan saudara kembarnya menguasai seluruh kota tetapi pada saat yang bersamaan menyelamatkan kekuatan yang ada dengan mengungsikannya ke tempat yang aman. Prabu Narayala tahu bahwa Narapati belum siap menghadapi kekuatan baru Amukhsara.

Sementara Raja Sanaisbin tak beda dengan Prabu Narayala. Walaupun telah terlepas keterkaitan jiwanya dengan saudara kembarnya Prabu Narayala, tetapi cara berpikir kembarnya tidak pernah hilang. Raja Sanaisbin tahu saudara kembarnya sudah membaca semua gerakannya. Dia tetap membiarkan seolah saudara kembarnya telah berhasil ditipunya. Gerakan pasukan dan penaklukan bukanlah sarana utama dalam kemenangan perang ini. Rahasia-rahasia lain yang lebih kecil justru yang menjadi perhatiannya. Sang terpilih pembawa buku kehidupanlah yang harus diwaspadai olehnya. Raja Sanaisbin sudah menduga kalau Prabu Narayala sedang menyiapkan sang Terpilih untuk menjadi pamungkas dalam perang ini. Tetapi ada yang tidak diketahui saudara kembarnya itu dan itu akan menjadi senjata pamungkasnya.

No comments: